"Jangan berharap lebih padaku, Arinda!" "Kenapa, Mas? Bukankah Mas berjanji akan meresmikan pernikahan kita ini?" "Dan kamu percaya kata-kata itu, Arinda?" "Tentu. Aku tak memiliki alasan untuk tidak memercayai suamiku sendiri, Mas!" "Kamu salah, Arinda. Kamu tidak perlu mempercayaiku!" "Maksud kamu apa sih, Mas?" "Nanti kamu akan tahu sendiri." Arinda. Perempuan cantik yang menikah di usia muda itu, hanya bisa menatap kepergian laki-laki yang baru meninggalkan kamar dengan tatapan bingungnya. "Maksud Mas Ardi apa?"
View More"Neng Arinda!"
Arinda—wanita cantik yang kini menginjak usia dua puluh lima tahun itu, menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya di belakang sana. Dia tersenyum tipis, saat tahu siapa yang sudah memanggilnya. "Bu Ning!" sapanya, sambil mengulurkan tangannya dengan takzim. "Neng Arinda kapan pulangnya?" tanya wanita yang Arinda panggil Bu Ning. "Baru kemarin malam, Bu," sahut Arinda sopan. Berbicara dengan nada lembut seperti biasanya. "Neng teh ada waktu nggak? Mau ngobrol dulu sebentar," ucap wanita yang kerudung lebarnya tertiup angin itu. "Tentu saja, Bu. Mari, kita ngobrol di rumah bibi saja." Arinda menunjuk ke arah rumah Bibinya sendiri yang sudah terlihat di depan matanya. "Hayuk, atuh. Kita ke sana!" sahut Bu Ning setuju, berjalan dengan antusias. "Ngomong-ngomong, bibi kamu sudah sehat belum?" Arinda kembali mengangguk sopan. "Alhamdulillah. Bibi sudah sehat, Bu. Terima kasih, sudah mau saya repotkan selama saya di kota.” "Aduh, nggak usah ngomong gitu atuh, Neng. Kita ini kan tetangga. Jadi, sudah seharusnya saling tolong menolong." Bu Ning mendudukkan bokongnya di dipan depan rumah. "Oh iya, Neng. Ibu dengar-dengar, Neng beneran mau nikah sama laki-laki Kota, ya?" tanya Bu Ning dengan mimik wajah seriusnya. Arinda menyembunyikan wajahnya. Mengingat kata-kata menikah, membuat wajahnya terasa memanas. Sungguh, dia begitu menanti upacara sakral itu dalam hidupnya. "Betul, Bu. Dua minggu lagi, saya sudah resmi dipersunting oleh Mas Ardi." "Apa kamu yakin sama pilihan kamu itu, Neng?" tanya Bu Ning yang kini terlihat cemas. Entah kenapa, wanita itu sedikit tidak rela jika Arinda menikah dengan laki-laki kota. "Insyaallah. Saya yakin dengan pilihan saya, Bu." Ada keraguan dalam nada bicara Arinda. Entah kenapa, dia juga merasa tidak begitu yakin. Tetapi, Ardi selalu bisa membuatnya menjadi yakin. Untuk menerima pinangan laki-laki yang lebih dewasa darinya itu. "Dia laki-laki baik kan, Neng?" Lagi, Bu Ning menyuarakan tanyanya. "Alhamdulillah. Mas Ardi orangnya baik kok, Bu." Meski ragu, tetapi Bu Ning tetap mengangguk sambil tersenyum juga. Menelan rasa gelisah hatinya seorang diri. "Semoga, hanya perasaanku saja," batinnya berharap. "Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, ibu mau pamit dulu, ya. Sudah siang, mau masak dulu." "Ibu tak mau makan di sini, kah? Kita makan sama-sama. Sudah lama sekali kita tak makan bareng, kan?" tawar Arinda cepat, sebelum Bu Ning berlalu dari hadapannya. "Wah, kalau ditawari, ibu mah nggak akan nolak atuh, Neng!" Bu Ning tersenyum lebar, begitu juga dengan Arinda yang ikut tertawa kecil. "Lho, ada kamu Ning," celetuk Nuriyah, bibi dari Arinda yang baru keluar dari rumah. "Iya, Nur. Mampir dulu, temu kangen sama anak gadis," sahut Bu Ning, masih dengan senyum lebarnya. "Bu Ning ngobrol dulu aja sama bibi. Biar aku masak dulu buat makan siang kita," pungkas Arinda. "Baiklah. Ibu akan menunggu sampai masakanmu matang, Neng." Bu Ning mengacungkan kedua jempolnya. Meletakkan kresek berisi belanjaannya kembali ke meja yang sudah usang. Setelahnya dia mengobrol ringan dengan Nuriyah. Dia ingin mengorek informasi tentang pernikahan Arinda. Lebih tepatnya, tentang calon Arinda. Arinda sendiri langsung menuju dapur, dengan menenteng kresek belanjaannya sendiri. Kebetulan dia masih kebagian ayam dan juga ikan nila. Rencananya, dia hanya akan menggorengnya saja. Dan dia juga akan membuat sayur asem dan juga sambal tentunya. Ah, membayangkan saja sudah membuat perutnya semakin keroncongan. Sudah lama sekali dia tidak memakan masakan rumahan seperti ini. Sekitar dua tahun, lepas dia memutuskan untuk merantau ke Kota lebih tepatnya. "Kira-kira, Mas Ardi jam segini lagi makan sama siapa, ya?" gumam Arinda. Biasanya, laki-laki itu akan menyambangi tempatnya bekerja. Mengajaknya untuk makan siang bersama. Dia dulu bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah hotel besar. Dan sekarang, dia sudah mengundurkan diri, setelah Ardi yang memintanya untuk berhenti bekerja. Dan sekarang ia akan menghabiskan dua minggu di desa. Sembari menunggu hari bahagia itu tiba. Arinda kembali menyibukkan diri dengan masakannya, tak ingin memikirkan Ardi lebih lama lagi. Tangannya dengan cekatan memotong sayuran. Membalikkan ayam yang berada di penggorengan, agar tidak gosong. Hampir satu jam berkutat di dapur sederhana, semua masakan Arinda kini sudah selesai. Gadis itu juga sudah menata makanan dan nasi ke atas meja makan usang. Dia meraba meja dan kursi itu. Meja itu masih tetap sama, tidak berubah sedikitpun. Nuriyah tidak mau mengganti apa pun yang ada di rumah itu. Walau Arinda sendiri sudah memiliki banyak uang dari hasil kerjanya. Bahkan, lantainya pun masih dari tanah, dan dindingnya masih nampak bata merahnya. Wanita itu hanya menerima televisi dengan ukuran sedang, yang kini berada di dalam rumahnya. Menjadi hiburannya sehari-hari. Dia tidak ingin semua kenangan yang ada di rumah itu menghilang saat direnovasi nantinya. Kenangan bersama kakak dan kakak iparnya. Yang tak lain adalah orang tua dari Arinda sendiri. "Neng!" Arinda tersentak kaget, saat pundaknya ditepuk dengan tiba-tiba. Refleks, dia memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Astagfirullah! Maaf, Bi. Arinda malah melamun," ucapnya buru-buru. Mengusap wajahnya dengan kasar. Beruntung dia sudah menyelesaikan masakannya. Hingga tak membuatnya celaka. Nuriyah tersenyum tipis. "Sudah selesai, Neng?" tanyanya. Arinda mengangguk cepat. "Sudah, Bi. Yuk, kita makan!" Ia kembali tersenyum lebar. "Bu Ning?" tanya Arinda, celingukan. "Oh, dia masih ada di depan. Sebentar, biar bibi panggilkan dulu." "Tidak usah, Bi. Biar Arinda aja," cegah gadis itu cepat. "Bibi duduk di sini aja," imbuhnya yang membawa Nuriyah ke kursi. "Baiklah." Wanita itu tak memprotes. Dia mengusap punggung tangan Arinda, sebelum gadis itu melesat keluar. Tak berselang lama, dia kembali dengan Bu Ning. Mereka berjalan dengan saling memeluk pinggang satu sama lain. Masih sama-sama rindu berat setelah sekian lama tak berjumpa. Ketiga wanita itu duduk mengelilingi meja makan. Arinda dengan sigap mengambilkan nasi ke piring masing-masing. Dia membiarkan dua wanita itu mengambil lauk yang mereka mau, mulai makan dengan begitu lahapnya. "Ah, enaknya masakan kamu, Neng," puji Bu Ning tulus. Setiap suapan selalu habis dengan cepat di dalam mulutnya. "Pasti yang jadi suami kamu bakal gendut ini," lanjutnya lagi. "Wah, Bu Ning bisa aja. Jadi malu udah dipuji enak," sahut Arinda, kembali mengisi piringnya dengan kuah sayur. "Ibu beneran lho, Neng. Beruntung banget yang jadi suami kamu nanti. Udah cantik, pinter masak pula!" Pujian demi pujian terus Arinda terima. Bukan hanya dari Bu Ning saja, tetapi dari sang bibi juga. Arinda tertawa lepas. Melepaskan semua rindu yang selama ini hanya bisa dipendam seorang diri. "Terima kasih banyak, ya, Neng. Ibu kenyang banget nih. Sampai nambah tiga kali," celetuk Bu Ning sembari mengelus perutnya yang kini bertambah buncit. "Haha. Iya, sama-sama, Bu." "Ya sudah. Ibu pamit dulu!" Arinda menyalami Bu Ning. Melambaikan tangannya, sampai wanita itu menghilang di belokan menuju rumahnya. Setelahnya, dia kembali masuk ke dalam rumah. Hendak membereskan piring bekas mereka makan tadi. "Lho, Bi? Kok, udah dibereskan, sih?" tanya Arinda saat dia tiba di dapur. "Biar kamu bisa istirahat, Neng. Udah, sana masuk kamar aja. Calon pengantin jangan capek-capek!" titah Nuriyah, mengelap tangannya yang basah. "Aduh, terima kasih banyak, Bi. Aku jadi nggak enak, nih." Arinda memeluk Nuriyah sebentar, sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, dia melihat layar ponselnya yang menyala. Gegas dia mengambilnya, mengusap layarnya hingga menampilkan foto dirinya dan Ardi sebagai wallpaper depan. "Mas Ardi," gumam Arinda saat mendapati pesan masuk dari calon suaminya itu. [Baru sehari tidak bertemu, mas sudah rindu sekali dengan dirimu, Sayang. Bagaimana kabar calon istri aku di desa? Kamu baik kan di sana?] "Ah, Mas Ardi! Kamu sungguh membuatku tergila-gila!”"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments