"Hallo? Apa ada yang penting?"
"Ha—" Duar! Arinda terlonjak kaget di atas ranjangnya. Gadis itu langsung melompat, saat tiba-tiba suara petir di luar sana terdengar menggelegar. Duar! Bertepatan dengan suara petir yang kedua, kini listrik di rumahnya padam. Hanya gelap yang menemaninya di kamar yang kecil ini. "Neng? Sudah tidur belum?" Suara Nuriyah terdengar dari luar sana. Tak lama setelahnya, terdengar bunyi rintihan kecil, disusul suara benda jatuh. Mungkin, Nuriyah menabrak sesuatu di luar sana, karena keadaan yang memang gelap gulita. Arinda meraba-raba ranjangnya, mencoba mencari keberadaan ponselnya yang sempat dia lemparkan tanpa sengaja tadi. "Aduh, mana sih ponselnya," keluhnya sembari terus mencari berharap secepatnya menemukan benda tersebut. Setelah mendapatkan benda tersebut, Arinda langsung menghidupkan senter, mengarahkannya ke luar kamarnya. Berjalan mencari Nuriyah yang kini berada di dapur. "Bi?" panggilnya pelan. Wanita itu langsung menoleh, memperlihatkan lilin di tangannya dengan senyum lebarnya. "Untung bibi masih punya ini!" ucapnya yang langsung membawa lilin tersebut ke depan. Meletakkannya di ruang tamu. Lumayanlah untuk menerangi ruangan yang tak seberapa lebar itu. Arinda mengekor di belakangnya. Tangannya terulur, membuka kunci pintu kayu yang sudah lapuk dimakan usia itu. Kepalanya celingak-celinguk keluar, mengamati keadaan luar yang sangat gelap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali di luar sana. "Mati lampu semua, Bi," ucapnya yang langsung menutup pintu itu kembali. Terlebih, saat angin kencang mulai menerpa wajah cantiknya, menerbangkan hijabnya. Nuriyah duduk dengan tenang. "Duduklah. Sebentar lagi pasti turun hujan," ucapnya yang menepuk-nepuk sofa butut di sebelahnya. Arinda menurut, ikut duduk di sebelah Nuriyah. Matanya menatap bayang-bayang tubuhnya yang terpantul di tembok. Sudut bibirnya tertarik, teringat dengan masa-masa dia kecil dulu. "Di sini listriknya masih sering mati kaya gini, ya, Bi?" tanya Arinda, sudah lebih tenang. Dua tahun tidak mengalami hal seperti ini, membuatnya sedikit merasa gelisah. Nuriyah mengangguk. "Kalau sudah ada suara petir, pasti listriknya langsung padam seperti ini, Neng. Buat jaga-jaga aja.” Arinda manggut-manggut mendengarnya. "Bibi besok ikut aku ke kota saja kalau aku sudah menikah. Kita tinggal bareng di sana." Ajakan itu, entah sudah yang keberapa kalinya Arinda katakan. Namun, jawaban Nuriyah tetap seperti sebelumnya. Dia meraih tangan Arinda, menggenggamnya dengan erat. "Neng, bukannya bibi tidak mau. Tapi, bibi sungguh berat meninggalkan rumah ini dan segala kenangannya," ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ya, Nuriyah benar. Hal itu juga yang Arinda rasakan, tapi, dia tidak memiliki pilihan lain. Dia ingin merubah takdirnya. Ingin mengubah kehidupannya agar menjadi lebih baik. Di luar sana, mulai terdengar suara rintik hujan. Suara daun-daun yang terbawa angin, membuat keheningan yang sempat terjadi perlahan-lahan mulai sirna. Mengingat kata menikah, Arinda kembali teringat dengan kejadian sebelum listrik di rumahnya padam. Dia melirik ponselnya yang kini sinyalnya pun ikut menghilang. Tak ada satupun pesan yang masuk dari nomor Ardi. Seperti malam-malam sebelumnya. "Siapa wanita itu?" batin Arinda kembali merasakan gelisah. Bahkan kini, duduknya tidak lagi tenang. Dia meremas ujung jilbab yang dia kenakan saat ini. Berharap, pikiran-pikiran buruk itu secepatnya pergi dari otaknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kalimat-kalimat Ulfa kembali terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya semakin merasa ragu. "Bagaimana kalau Mas Ardi memang sudah memiliki istri?" gumamnya lirih. Menahan segala sesak yang tiba-tiba muncul di dada. "Apa ini alasan kenapa Mas Ardi tidak pernah menghubungiku kalau malam tiba?" Puk! Tepukan Nuriyah di tangannya, membuatnya langsung mendongak cepat. Buru-buru dia merubah ekspresinya, agar sang Bibi tak merasa curiga. "Kenapa? Ada yang sedang kamu pikirkan, Neng?" tanya wanita itu lembut. Arinda hanya sanggup menggelengkan kepalanya. Tak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya itu kepada sang Bibi. "Yakin?" tanya Nuriyah kembali memastikan. Merasa ada yang Arinda sembunyikan. Arinda hanya bisa menganggukkan kepalanya lagi. "Ayo tidur saja, Bi," ajaknya kemudian. Nuriyah mengangguk, ikut beranjak dari duduknya setelah memastikan lilinnya dalam posisi aman. "Tidur sama aku aja, ya, Bi," ucap Arinda lagi. "Lumayan terang kalau pakai hp ini," imbuhnya cepat. Tak menyahut, Nuriyah hanya menganggukkan kepalanya. Berjalan dengan saling berpelukan menuju kamar Arinda. ~~~ Ceklek. Reza Ardi Pradana. Laki-laki yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, langsung mematung di tempatnya. Matanya menatap lurus ke arah sang istri yang kini tengah memegang ponsel miliknya. Menyadari sang suami sudah keluar, wanita yang tadinya fokus dengan ponsel itu langsung menoleh dengan senyum lebarnya. Dia melambaikan tangannya, meminta sang suami agar cepat mendekat ke arahnya. "Mas Reza, sini!" Reza mendekat, setelah memastikan detak jantungnya kembali normal. Dia menampilkan ekspresi setenang mungkin, agar tak membuat sang istri merasa curiga. "Mas tadi ada panggilan masuk," jelas wanita yang kini duduk dengan memeluk lengan sang suami. Bergelayut manja di sana. Reza menoleh, tanpa melepaskan tangannya dari rambut panjang dan istri. "Oh, ya? Dari siapa, Sayang?" tanyanya cepat. Wanita itu menggelengkan kepalanya, "Entah. Nggak ada namanya. Mana nggak ada ngomong juga orangnya. Tiba-tiba, dimatiin begitu aja," jelas wanita itu, semakin merapatkan tubuhnya ke arah sang suami. Reza hanya menganggukkan kepalanya singkat. "Udahlah. Mungkin, cuma orang iseng doang, Sayang." "Ta—" "Lebih baik, kita istirahat aja. Mas capek banget habis 'tempur' sama kamu tadi," potong Reza cepat. Tak ingin membahas perihal panggilan itu lebih lanjut lagi. Walau masih merasa penasaran, wanita itu menganggukkan kepalanya juga. Tapi, sorot matanya benar-benar tidak bisa menutupi rasa penasarannya itu sendiri. "Ayu pasti tidak percaya," batin Reza, memutar otaknya agar sang istri tak lagi memikirkan nomor yang memang sengaja tidak dia simpan itu. "Sayang? Kamu nggak percaya sama mas, ya?" tanya Reza lembut, mengusap pipi sang istri dengan penuh kasih. "Percaya, kok. Lagi pula, tidak ada alasan buat aku tidak percaya sama Mas," ucap si wanita tersenyum manis. Cup! Reza mendaratkan kecupannya di kening sang istri cukup lama. "Bagaimana ... kalau kita main lagi?" bisiknya tepat di telinga sang istri. Tangannya kini berganti memeluk sang istri. "Lagi?!" pekik wanita itu dengan mata yang melebar sempurna. "Tapi, kita baru aj—" Belum sempat si wanita menyelesaikan kalimatnya, Reza sudah menghujamnya dengan ciuman. "Mas …." Tak lagi mengeluarkan protesnya, Ayu hanya bisa mengikuti permainan sang suami yang semakin lama semakin membuatnya melayang. Padahal, mereka baru saja selesai melakukan penyatuan beberapa menit yang lalu. Tapi, sekarang, tubuh mereka sudah kembali menyatu. Suara desahan yang keluar dari mulut Ayu, semakin membuat Reza bersemangat. Namun, tiba-tiba, sekelebat bayangan seseorang melintas di kepala Reza. Membuat laki-laki itu menghentikan permainannya sebentar. "Kenapa, Mas?" tanya Ayu dengan tatapan herannya. Reza hanya menggelengkan kepalanya. "Mas sudah mau keluar, Sayang," ucapnya kemudian. "Kita barengan aja, Mas!" sahut Ayu cepat. Reza mengangguk. Pikirannya benar-benar tertuju pada bayangan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Sekali lagi, dia menatap wajah sang istri yang dipenuhi oleh keringat itu. Dia terus menatapnya, sampai wanita itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Reza menarik napas panjang, sangat merasa bersalah kepada wanita yang sudah sepuluh tahun menemaninya itu. "Maafin aku, Ayu. Aku benar-benar terpaksa harus melakukan ini." "Aku cuma ingin memiliki keturunan. Itu saja!”"Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.