"Fa, gimana ini?" Sri langsung memegangi tangan Ulfa, dengan tubuh yang memutar ke belakang.
Ulfa sendiri hanya bisa tercengang. Mencoba mencerna maksud pesan yang dikirimkan oleh Wina tadi. "Sri, coba tanya sama adik ipar kamu lagi. Dia beneran, apa salah orang?" desak Ulfa, ikut menggenggam tangan Sri dengan erat. Tak mereka pedulikan lalu-lalang warga yang menatap heran ke arah mereka berdua, karena cukup lama menepi. "Wina nggak mungkin bohong, Fa!" ucap Sri yang kini meremas ponsel di tangan kirinya. "Eh, tunggu bentar!" Ulfa berseru tiba-tiba, membuat Sri langsung menatap ke arah temannya itu. "Wina tadi bilang Pak Reza, kan?" tanyanya. "Bukannya calon suami Arinda namanya Ardi ya kalau aku tidak salah?" imbuhnya lagi. Sri tampak berpikir, membenarkan ucapan Ulfa. "Ah, kamu benar. Mungkin, mereka cuma mirip saja, Fa!" ucapnya merasa sedikit lega. Ulfa manggut-manggut. "Nah! Bisa jadi hanya mirip saja!" "Astaga! Aku udah panik duluan lagi," keluh Sri mengelus dadanya. Melepaskan gemuruh yang sejak tadi bersarang di dalam sana. "Ayo lah pulang. Aku mau masak juga. Bentar lagi anakku pulang sekolah!" ajak Ulfa menepuk pundak Sri, agar temannya itu kembali menatap ke depan, mengendarai sepeda motor miliknya sampai ke rumahnya. Sri mengangguk. Melajukan motornya setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Tiba di depan rumah Ulfa, wanita itu bergegas turun. "Makasih, ya, Sri. Kamu hati-hati pulangnya!" ucapnya seraya menepuk pundak Sri. Sri tersenyum tipis, kembali melajukan motornya menuju rumahnya sendiri. Sepanjang jalan, dia masih memikirkan pesan dari Wina. "Nggak mungkin bisa semirip itu. Jangan-jangan—" Tin! Tin! "Aaaaa!" Brak! ~~~ Tok! Tok! "Rin! Arinda!" Ulfa mengetuk pintu rumah temannya itu dengan tidak sabar. Tangannya mencoba membuka pintu tersebut, tetapi terkunci dari dalam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah tersebut. Tak putus asa, dia mencoba mengintip dari balik jendela yang gordennya kebetulan terbuka. Tapi, tetap saja tak ada satu orang pun di dalam sana, baik Nuriyah maupun Arinda. "Ck! Pada ke mana, sih?" keluh Ulfa yang mondar-mandir dengan perasaan cemas. Sepuluh menit menunggu, akhirnya dia memutuskan untuk berbalik. Tepat saat itu, dia melihat Arinda yang berjalan dengan Bu Ning. Gadis itu langsung berlari begitu menyadari keberadaan Ulfa di rumahnya. "Ulfa!" serunya menambah kecepatan laju kakinya. Hampir saja dia jatuh tersungkur, saat kakinya tanpa sengaja tersandung akar pohon. "Fa, Sri gimana?" tanyanya dengan nafas tersengal, peluh sudah membasahi seluruh wajahnya. Wajah putih itu kini terlihat memerah. Ulfa menghela napas berat. "Sri ketabrak, Rin," jelas Ulfa dengan suara lemah. "Ya Allah! Jadi, berita tadi itu benar adanya?" timpal Bu Ning yang tidak bisa menutupi wajah terkejutnya. Sementara Arinda, hampir saja terjatuh karena mendadak lemas, andai Bu Ning dan Ulfa tidak segera menangkap tubuh mungil itu. "Ya Allah, Fa. Kok, bisa?" lirih Arinda dengan mata berkaca-kaca. Setetes air matanya tak lagi bisa dibendung, jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya. Ulfa menggelengkan kepalanya lemah. "Aku juga nggak tahu, Rin. Padahal, dia sudah hampir sampai di rumahnya tadi," ucap Ulfa ikut terisak bersama Arinda. "Terus, keadaan Sri sekarang gimana, Nak Ulfa?" sela Bu Ning, pertanyaan yang mewakili Arinda. "Dia sudah dibawa ke rumah sakit, Bu!" jawab Ulfa, menyeka ingus yang keluar dari hidungnya. Arinda memegangi pundak Ulfa dengan erat. "Fa, ayo kita ke sana!" ajaknya sedikit memaksa. Ulfa tersenyum masam. "Aku pengen banget Rin. Tapi, Nakula nanti nggak ada yang jagain," ucapnya lesu. Arinda mengangguk paham. "Kalau begitu, kamu di rumah saja, Fa. Biar aku yang ke sana!" "Ayo. Ibu temani kamu, Neng!" Arinda mengangguk. Dia melangkah, masuk ke dalam rumah. Memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas kecil dengan tergesa. "Mas Ardi," gumamnya saat tanpa sengaja melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari laki-laki itu. Arinda buru-buru menggelengkan kepalanya, saat suara perempuan yang semalam mengangkat teleponnya kembali melintas dalam ingatannya. "Tidak-tidak. Aku tidak ada waktu untuk memikirkan itu dulu!" ~~~ "Mas." Reza menoleh, mematikan layar teleponnya begitu Ayu mendekat ke arahnya. Dia menampilkan senyum tipis, walau hatinya sedang dilanda gelisah yang hebat saat ini. Reza menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta sang istri agar duduk di sana. "Sini, Sayang." Ayu menurut, duduk di sebelah sang suami dengan tatapan mata lurus ke depan. Menatap layar televisi yang sedang menyala. Tetapi, dia tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang disiarkan di televisi itu. Pikirannya sedang berkelana entah ke mana. Cup! Kecupan singkat di rambut itu membuat Ayu langsung menoleh dengan cepat. Dia tersenyum tipis, dengan tangan yang memeluk pinggang sang suami. "Ada yang lagi kamu pikirkan, Sayang?" tanya Reza. Membelai wajah sang istri dengan penuh perhatian. Ayu menggelengkan kepalanya ragu. "Soal di kantor kamu tadi, apa Mama—" Ayu menjeda sebentar kalimatnya, merasa dadanya semakin terasa sesak saat akan mengatakan kalimat selanjutnya. "Mama kenapa, Sayang? Udah, deh. Jangan mikir yang macam-macam, Ay!" "Mas, Mama kamu tadi pasti nanyain tentang keturunan lagi ‘kan?" tanya Ayu dengan suara bergetar menahan tangis. Terdengar hembusan napas kasar dari mulut Reza. Dia melepaskan diri dari pelukan sang istri. Menegakkan duduknya sembari menatap lurus ke depan. "Kenapa kamu selalu mikir seperti itu, sih?" tanya Reza, setelah berhasil menenangkan gejolak di dirinya. Ayu tersenyum tipis, sangat tipis hingga hampir tak terlihat. "Mas, kita sudah sepuluh tahun menikah. Dan selama itu juga, kita belum memiliki keturunan. Aku tahu apa yang Mama inginkan walau dia tidak pernah mengatakannya langsung kepadaku," ucap Ayu, mencoba menguatkan dirinya untuk melanjutkan pembahasan ini. "Ay, aku nggak masalah walaupun kita tidak bisa memiliki anak nantinya," ucap Reza, menatap wajah Ayu dalam-dalam. Ayu menggeleng cepat. "Mas, carilah perempuan lain yang bisa memberikanmu keturunan. Mama pasti ingin segera menimang cucu," ucapnya pelan, tanpa berani menatap mata Reza yang terus menatapnya. "Ayu! Kamu ini ngomong apa?!" seru Reza dengan rahang yang mulai mengeras. Dengan Ayu yang seperti ini, membuatnya semakin merasa bersalah dengan wanita di depannya ini. "Aku serius, Mas. Aku cuma ingin lihat kamu sama Mama bahagia. Aku cuma ingin, ka—" "Ayu! Kamu itu sumber kebahagiaan aku. Sampai kapan pun, aku tidak akan mencari wanita lain!" ucapnya yang sangat bertolak belakang dengan apa yang akan dia lakukan dalam waktu dekat ini. Reza meraih tubuh Ayu, membawanya ke dalam pelukannya. Dia kesal, entah kepada siapa lebih tepatnya. "Maafin aku, Ayu!" batinnya. Ayu melepaskan pelukan mereka, mengelus pipi Reza dengan tatapan sendunya. "Sudahlah. Aku mau siapkan barang-barang kamu buat ke luar kota Minggu depan aja," putusnya yang langsung beranjak. Mengusap sudut matanya sebentar, sebelum berbalik meninggalkan Reza. Reza hanya bisa menatapnya nanar dari sofa tempatnya duduk saat ini. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan tentang kebenarannya. Tapi, kalimat-kalimat itu hanya tertahan di kerongkongannya saja. "Aku benar-benar tidak sanggup untuk jujur sama kamu, Ay! Aku nggak sanggup lihat kamu terluka!" batin Reza memejamkan matanya. "Maafkan aku, Ayu ... maafkan aku," batinnya lagi. "Mas!" panggil Ayu yang kembali menoleh ke arah Reza. Hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya tadi. Reza membuka matanya. "Ya, Sayang?" "Pikirkan lagi tentang kata-kataku tadi, Mas. Aku akan mencoba ikhlas, kalau kamu menikah lagi!""Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa
Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p
"Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis
"Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali
"Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan
"Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.