Share

Awal Mula

Aidah PoV~

Namaku Nuraidah, orang-orang sekitar sering memanggilku Aidah.

Aku terlahir dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang tidak mampu setelah kepergian bapak.

Aku hanya tinggal bersama ibu dan satu adik lelakiku, Ilham. Saat ini dia masih duduk di bangku SLTA. Beruntung, Allah masih sayang kami, di tengah kesusahan yang melanda, selalu saja ada rezeki pemberian-Nya.

Ilham tak boleh sepertiku, yang hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SLTP saja. Maka dari itu, aku mencoba bekerja keras untuk membantu meringankan beban Ibu, dengan cara bekerja apa pun selagi itu halal.

Sampai di mana aku diterima kerja di sebuah warung makan dekat pabrik mesin. Karena kalau hanya mengandalkan bansos pemerintah saja tidak cukup.

Alhamdulillah, gajiku dari sana setidaknya bisa meringankan biaya sekolah Ilham.

Namun, tak lama aku berhenti bekerja karena dipinang seorang pria. Dia lah Mas Alman, suamiku sekarang.

Entah kenapa aku bisa menjatuhkan hati padanya, padahal selama ini banyak lelaki yang mendekatiku. Dari mulai para lelaki di kampung, lelaki yang bekerja di pabrik, bahkan sahabat Mas Alman sendiri, Bang Faiz.

Kukira, menikah dengan Mas Alman adalah pintu kebahagiaan. Nyatanya ... banyak ujian, tekanan batin, dan kesedihan yang harus kuhadapi semenjak bersamanya.

Semua itu dimulai dari ....

"Namamu siapa?" tanya wanita paruh baya di hadapanku. Dia Bu Nani, tepatnya Ibu Mas Alman.

Benar, ini kali pertama kami bertemu. Kali pertama juga aku dibawa ke rumah Mas Alman. Diperkenalkan ceritanya.

"Aidah, Bu." Aku menjawab sesopan mungkin.

"Oh, dari mana asalnya?"

"Kampung Jati Asih, Bu."

"Kampung sebelah, toh." Aku mengangguk sambil tersenyum.

Tak lama datang satu orang perempuan dewasa, diikuti dua perempuan yang usianya nampak tak terpaut jauh dari orang tersebut.

"Ini calon Alman, Bu?" Kutebak perempuan yang bertanya itu adalah kakak Mas Alman.

"Katanya," ujar Ibu Mas Alman dengan nada yang kurang enak didengar. Entahlah, atau memang itu hanya perasaanku saja.

"Orang mana kamu?" tanyanya padaku.

"Kampung sebelah, Ida. Jati Asih."

"Oh, lulusan universitas mana?" tanyanya lagi, tapi kali ini Ibu Mas Alman tak menjawab dan malah memandangku.

Aku yang diberi pertanyaan seperti itu mendadak bingung, bahkan sudut hati dipenuhi rasa malu.

"Saya cuma lulusan SMP, Bu, Mbak."

"Hah? SMP?" Mereka kompak menyahut sambil menatapku bak pencuri.

"Kamu lulusan SMP?" tanya Bu Nani lagi.

"Iya, Bu."

Keempat perempuan di hadapanku itu geleng-geleng.

"Kamu itu nggak pantas jadi istri Al--"

"Eh, Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri. Kapan ke sini? Udah kenalan sama Aidah?" Tiba-tiba Mas Alman yang tadi pamit hendak membeli jus kembali.

Keempat perempuan itu saling bertatapan, lalu menyunggingkan senyuman.

"Udah dong, Man. Manis banget calonmu, Man. Pandai kamu cari pendamping." Aku meneguk ludah. Kenapa ekspresi mereka yang begitu menyeramkan kini berubah?

"Hehe, terima kasih, Mbak. Oh ya, ini jusnya, Aidah. Ini juga buat Ibu. Aku cuma beli dua, nggak tahu ketiga kakakku mau ke sini."

"Nggak apa-apa, Man. Kalau mau kita tinggal beli," sahut perempuan yang sedari tadi hobi bersuara. Entah siapa namanya, aku belum tahu pasti yang mana Ida, Laksmi atau Nuri.

"Mbak pamit dulu, Man. Masih ada kerjaan di rumah, takut Dwi bangun juga."

"Loh, Mbak Nuri, ya sudah kalau begitu. Nanti ke sini lagi aja kalau Dwi bangun." Oh, rupanya dia yang bernama Nuri. Mas Alman pernah bilang, kalau kakak perempuannya paling kecil bernama Nuri.

Dia cukup cantik dan manis khas orang Jawa. Tapi tubuhnya paling tinggi di antara yang lain. Plus langsing.

"Mbak Laksmi juga, ya?"

"Kok barengan?" sahut Mas Alman. Dan sekarang aku tahu, perempuan dengan kulit paling putih itu adalah kakak kedua lelaki di sampingku.

"Tadi lagi masak, Man." Mas Alman pun hanya bisa mengiyakan.

Lalu, sekarang aku sudah tahu. Perempuan yang hobi bicara dan menginterogasiku tadi adalah Mbak Ida, kakak sulung Mas Alman.

Dia memang terlihat paling dewasa, bukan karena tubuhnya yang sedikit gemuk, tapi cara bicara dan sikapnya penuh dengan kepemimpinan, membuatku yakin jika dia lah perempuan paling berkuasa di antara kedua adiknya.

"Mbak juga, Man. Belum nyapuin kamar Zainab. Oh ya, Nduk Aidah. Yang betah ya, anggap saja rumah sendiri, Mbak mau pulang dulu, dekat kok, itu yang di samping rumah Mbak. Nanti siang kita makan bareng ya di rumah."

"Ide bagus, masakan Mbak 'kan paling uwenak!" puji Mas Alman.

"Oh, jadi masakan Ibu nggak enak, gitu?" timpal Ibu.

"Man, Ibu kita sedang cemburu," sahut Mbak Ida. Lalu mereka terbahak, sementara aku hanya ikut tersenyum walau merasakan sesuatu yang mengganjal di hati.

***

Satu bulan setelah perkenalan itu, aku dan Mas Alman resmi jadi suami istri.

Tak ada tabuhan gendang, tak ada suara merdu penyanyi. Seusai ijab qobul, suasana sepi kembali.

Aku ikhlas Mas Alman menikahiku dengan mahar tak fantastis, aku ikhlas tak mengadakan resepsi di hari bahagia. Karena menjadi jodohnya, itu pun sudah lebih dari suka cita.

Sampai akhirnya aku tahu, kalau awalnya Mas Alman ingin mengadakan pesta. Hanya saja beberapa kali sang ibunda dan keluarganya melarang, dengan alasan sayang uang, lebih baik ditabung untuk membangun atau membeli rumah.

Padahal, bukan itu alasannya.

"Nikahin perempuan lulusan SMP itu ndak usah pakai acara resepsi segala. Untung si Alman nurut sama kita," ujar Mbak Ida. Tak sengaja kudengar pembicaraan mereka saat aku menginap di rumah Ibu mertua.

Setiap berkunjung ke rumah Mas Alman, entah kenapa aku selalu merasakan sepi di tengah keramaian.

Aku ada, tapi tak pernah diajak bicara. Aku ada, tapi seperti makhluk tak kasat mata.

Namun, jika ada Mas Alman di sampingku. Mereka selalu menampakkan sikap yang berbeda. Sikap manis yang luar biasa. Semua itu menjadikanku bingung, harus bercerita atau memendamnya sendiri?

Sampai di mana, waktu anak Mbak Nuri, Dwi, dikhitan dan kami diundang untuk datang sebelum hari H dimulai.

Aku sebagai istri Mas Alman, dengan senang hati ikut rewang, untuk menghormati keluarga suami juga tentunya.

Dua hari sebelum acara khitanan berlangsung, aku sudah berada di rumah Ibu, dan sering sekali ditinggal Mas Alman karena dia harus pergi bekerja lalu setelah pulang ikut bantu-bantu juga dengan kaum adam yang lain.

Saat aku membantu memasak untuk acara hajatan, sesuatu yang tak mengenakkan terjadi. Di mana kala itu tangan ini tengah memotongi kentang bersama kedua ibu dari kampung Mas Alman.

"Hey, kamu!" Suara Mbak Ida terdengar melengking.

"Hey, Aidah!" Aku langsung menoleh.

"Dipanggil kok nggak nyahut, nggak sopan itu namanya!"

"Maaf, Mbak. Saya kira Mbak bukan manggil saya."

"Itu ngupasin kentangnya yang bener, dong! Jangan segede-gede ember!" ujarnya, aku langsung menunduk, melihat hasil kentang yang kukupas.

Perasaan, ukuran kentang yang kupotong sama dengan kedua ibu yang lain.

"Baik, Mbak." Tapi aku menurut saja, mencoba memperbaiki apa yang salah di mata Mbak Ida.

"Astagaaa! Gitu aja nggak becus! Nih, begini!" ucap Mbak Ida lagi, lalu sekarang berjongkok dan mencontohiku memotong kentang.

"Bisa nggak, kayak begini?" tanyanya sambil melotot.

"Iya, Mbak." Aku mencoba lagi, tapi sepertinya salah kembali. Walau perasaanku sudah merasa apa yang dilakukan diri ini benar.

"Ya ampun! Gini, nih! Kalau perempuan nggak berpendidikan! Aku aja yang lulusan SD bisa ngupas kentang! Ini kekecilan, d*ngu!" Mataku panas seketika mendengar ocehan Mbak Ida, sekuat tenaga kutahan agar mata ini tak mengeluarkan butiran bening.

"Udah lah, kamu nyabutin bulu ayam aja, sana! Lebih cocok!" katanya. Aku hanya bisa terdiam, tapi beranjak dari tempat yang penuh dengan kentang.

Akhirnya aku ke luar dapur, menuju tempat khusus ibu-ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.

"Ngapain ke sini?" tanya seorang wanita yang usianya sepantaran dengan Ibu mertuaku.

"Ini, Bu. Saya disuruh bantuin nyabutin bulu ayam sama Mbak Ida."

Ibu itu tak menyahut, malah membisiki beberapa temannya. Ya Allah, apa salahku? Apa? Kenapa mereka memperlakukanku seperti seorang penjahat?

"Aidah! Aidah!" Suara yang tak asing tiba-tiba memanggil.

Bergegas tubuh ini menuju dapur kembali, rupanya Ibu.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Dari mana saja kamu? Kok ninggalin pekerjaan gitu aja? Itu Bu Wati sama Bu Susi nggak kamu bantuin ngupas kentang, hah?" Ibu berkacak pinggang. Aku menelan ludah.

"Tadi Mbak Ida suruh saya cabutin bulu ayam, Bu."

"Aduuuh, jangan banyak alasan kenapa? Emang ya, firasat seorang Ibu tuh benar. Dari dulu, aku sudah curiga kalau Alman bakalan dapat petaka kalau nikahin kamu."

Astaghfirullah, aku berharap semua ini hanya mimpi saja.

***

Setelah kejadian tadi siang, aku masih membantu pekerjaan di dapur. Mengesampingkan rasa sakit hanya untuk menghormati keluarga Mas Alman.

Mungkin saja, Ibu dan Mbak Ida sedang pusing dengan pekerjaan banyak ini, sehingga mereka tak sadar memperlakukanku seperti itu.

Ya, aku mencoba berhusnuzan.

Sampai di mana ....

"Ayo, makan dulu, Bu-Ibu!" Mbak Nuri selaku pemilik acara berseru. Semua perempuan di sana langsung menghentikan pekerjaan, lalu berkumpul di ruangan sebelah dekat dapur.

Aku yang bingung ikut saja, walau tak kebagian tempat duduk dan terpaksa singgah di perbatasan pintu.

Mbak Nuri, Mbak Ida juga Ibu terlihat membawa sebakul nasi dan beberapa lauk di wadah berukuran jumbo.

Mbak Nuri bertugas membagi piring pada Ibu-ibu, tapi entah kenapa aku sendiri tak diberi benda berbahan beling tersebut.

"Ini, Bu. Biar adiiil. Yoook, makannn!" kata Mbak Ida setelah membagi semua orang nasi serta lauk pauk.

Kecuali aku. Ya, benar.

Seorang Aidah yang duduk di perbatasan pintu laiknya hantu, makhluk tak kasat mata. Tak ada yang mengajak, tak ada yang memberi pun sebutir nasi.

Mereka saling bercengkerama, sambil sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya tanpa melihat aku yang juga ada di sini.

Tak kuasa rasanya untuk menahan air mata. Tapi mereka masih tidak peduli, tawa mereka bahkan semakin keras hanya karena mendengar sebuah lelucon dari Mbak Nuri.

Kenapa? Kenapa mereka memperlakukanku seperti itu? Apa karena aku bukan orang berada?

Bukan kah setiap makhluk itu sama di mata Tuhan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status