Share

Pengakuan Aidah

Author: Azu Ra
last update Last Updated: 2022-07-05 21:39:22

“Lagi telepon siapa, Man?”

“Eh, Ibu,” ujarku kaget dengan kehadiran Ibu yang tak kusadari.

“Acaranya sudah selesai, Bu?” tanyaku sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Nomor Aidah masih tak aktif.

“Iya. Kok kamu sama keluargamu nggak kelihatan nonton acaranya, Man?” Aku menghela napas, bingung harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kalimat bagaimana.

“Man?”

“I-iya, Bu?”

“Ditanya kok malah bengong. Kenapa? Istri sama anakmu mana?” Ya Tuhan, aku benar-benar bingung. Akan merasa semakin tak enak kalau memberitahu Ibu kalau Aidah membawa Rizki pulang, bahkan tanpa sepengetahuanku.

“Ibu, dicariin. Di sini, toh.” Tiba-tiba Mbak Ida datang, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Tapi semoga saja dia tak menanyakan keberadaan Aidah.

“Kenapa, Da? Ibu mau istirahat. Pegal ini badan.”

“Tapi ada yang cariin, Bu. Ustaz Mustofa, sama istrinya.”

“Walah, di mana? Suruh masuk saja ke rumah Ibu, ya? Oh ya, Man. Tolong dong, bilang ke Aidah siapin air sama makanan yang baru buat Ustaz Mustofa. Ibu mau ke kamar mandi dulu.”

“A-anu, Bu.” Mendadak aku tergagap, benar-benar bingung sekali harus mengatakan apa pada beliau. Apa lagi sekarang ada Mbak Ida.

“Anu kenapa sih, Man? Kok kamu kayak orang linglung.” Mbak Ida berkomentar.

“Aidah. Tadi Aidah pulang, sama Rizki.”

“Hah? Pulang?” ucap Ibu dan Mbak Ida berbarengan, aku mengangguk.

“Lho, kenapa pulang? Tersinggung dia sama ucapan Mbak tadi?”

Aku segera menggeleng.

“Bukan, Mbak. Bukan. Rizki tadi rewel, badannya agak panas, kayaknya Aidah juga kurang sehat. Makanya Alman suruh pulang biar mereka bisa istirahat.”

“Kamu nggak anterin?” tanya Ibu.

“Nggak, Bu. Takut di sini nggak ada orang yang bantu-bantu kalau acaranya selesai,” kataku beralasan. Padahal aku sendiri sama sekali tak tahu kalau Aidah dan Rizki pulang.

“Oh ... kirain dia tersinggung sama perkataan Mbak. Ya bagus lah, biar istrimu bisa tiduran dengan nyaman kalau di rumah.” Apa itu semacam sarkas? Entah lah, aku tak mau bersuuzan pada Mbak Ida. Selama ini dia sudah terlalu baik, jasanya mungkin takkan terbalas karena sudah mau mengorbankan tenaga dan materi hanya karena sudah mau membantu biaya kuliahku dulu.

Soal kejadian di prasmanan tadi memang murni salahku, harusnya aku tak membiarkan Rizki bersama Ibu atau pun orang lain. Harusnya aku tak menghampiri Indri dan larut dalam obrolan yang asyik dengannya.

“Kalau begitu, suruh Mbak Ratih saja. Ibu nggak kuat mau ke kamar mandi dulu.”

“Ya sudah, Bu. Jangan lama-lama, ya?” pesan Mbak Ida, aku hanya bisa diam dengan pikiran tak tenang.

***

Pagi sekali aku sudah pergi dari rumah Ibu, masa bodoh walau harus pulang dengan tangan kosong. Mereka beralasan tak bisa memberiku sepotong kue atau daging sisa hajatan dengan alasan masih sibuk dengan keadaan rumah yang berantakkan.

Rupanya benar, Aidah dan Rizki sudah ada di rumah. Nampak istriku itu tengah sibuk memasak saat aku datang, sedangkan anak kami masih tertidur dengan lelapnya. Ada rasa bersalah di lubuk hati melihat makhluk kecil itu, aku sebagai ayah tak bisa menjaganya dengan baik. Aku benar-benar teledor.

“Sudah pulang, Mas?” tanyanya dengan nada biasa saja saat aku menghampirinya ke dapur.

“Iya. Kamu dan Rizki kenapa pulang tanpa bilang Mas?” tanyaku, tapi Aidah malah diam dan malah anteng dengan sup di atas kompor.

“Aidah?” panggilku.

“Mas tunggu saja, ya. Atau mandi saja dulu.” Perkataan Aidah membuat batin ini menebak, kalau dia sedang tak berselera membahas kejadian di acara hajatan Mbak Ida.

Oke, untuk saat ini aku lebih memilih nurut. Saran Aidah ada benarnya, mungkin dengan membersihkan badan pikiran yang terasa kalut ini bisa hilang.

Setelah selesai mandi, aku langsung menuju kamar untuk mencium kening Rizki. Tidurnya lelap sekali. Untuk menghilangkan sepi kuhidupkan televisi, ya, aku sudah berada di ruang keluarga tanpa sekat sekarang.

Tak lama, Aidah datang dengan beberapa benda di tangannya. Dia beberapa kali bolak-balik hanya untuk menyiapkan makanan di sini. Kami memang selalu bersantap bersama di ruang keluarga, karena bangunan yang kami huni terbilang kecil dan belum memiliki ruang khusus untuk makan.

“Nggak dibangunin Rizkinya?”

“Biarin, nanti juga bangun sendiri,” kata Aidah sambil menuang nasi ke piring dan memberikannya padaku.

Kami langsung makan bersama, tapi tak ada yang mengeluarkan suara kecuali sang televisi menghiasi keheningan.

“Aidah, kamu belum jawab pertanyaan Mas.” Aku memberanikan diri untuk berujar.

“Pertanyaan yang mana?” tanyanya tanpa menatapku.

“Kenapa kamu pulang malam-malam tanpa kasih tahu orang-orang? Kamu tahu, bagaimana khawatirnya suamimu ini karena anak dan istri menghilang,” ucapku sambil menatapnya. Tapi dia malah diam dan sibuk dengan makanan.

“Aidah, suamimu bertanya. Suamimu lagi bicara. Tolong dijawab.” Aku menekan nada suara.

“Tapi istrimu sedang makan,” katanya terdengar dingin. Aku hanya bisa menghela napas dan meletakkan piring saat itu juga.

“Kalau begitu, tunda dulu makannya.” Aidah mendongak sekarang, tanpa kusangka dia menurut dan meletakkan piringnya.

“Ayo, jawab!” pintaku.

“Apa yang harus kujawab? Aku hanya ingin pulang. Dari awal aku sudah bilang ‘kan, Mas? Aku ingin pulang?”

“Tapi kenapa? Kamu marah pada Mbak Ida karena dia menegur kita? Tapi semua itu wajar, ‘kan?”

“Wajar katamu, Mas?” ujarnya sambil menatapku dalam.

“Apa wajar, seorang kakak malah menyudutkan adiknya? Apa wajar, seorang kakak membeda-bedakan adiknya? Apa wajar, sebuah keluarga mengucilkan satu orang yang tak berdaya?”

“Maksud kamu, Aidah?”

“Maksudku? Apa Mas selama ini tidak pernah melihat bagaimana perlakuan Ibu, Mbak Ida dan kakak-kakakmu yang lain padaku? Apa kamu tak sadar kalau mereka tak menyukaiku, Mas?”

Aku terdiam, mencoba menelaah perkataan Aidah walau rasanya tak masuk akal.

“Selama ini, kamu nggak tahu perlakuan keluargamu bagaimana. Kamu nggak tahu apa itu merasa sepi di tengah keramaian. Kamu nggak tahu, Mas ....” Aidah terisak, membuatku semakin bertanya-tanya.

“Perlakuan mereka yang mana, Aidah? Sepi di tengah keramaian? Itu karena kamu nggak bisa berbaur dan bersosialisasi dengan keluargaku. Kamu terlalu pemalu dan selalu ingin menyendiri.”

“Aku sudah mencobanya, Mas! Selalu, aku selalu berusaha! Tapi keluargamu tak pernah mau menerimaku. Keluargamu tak menyukaiku, Mas!” ujarnya lagi, aku menggeleng tak percaya.

“Siapa yang bilang begitu, Aidah? Tidak ada yang tak menerimamu, tidak ada yang tak menyukaimu. Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri, semuanya sangat menyayangimu. Kurang apa mereka selama ini, Aidah? Jika kita tengah dilanda kesulitan, mereka lah yang selalu membantu kita.”

Aidah malah sesegukan. Aku semakin bingung dan bingung.

“Itu hanya di hadapanmu saja, Mas. Di belakangmu, mereka secara terang-terangan menghinaku. Menghina seorang Aidah yang terlahir dari keluarga tak mampu! Seorang Aidah yang hanya lulusan SMP tak pantas bersanding dengan seorang Alman yang lulusan Sarjana! Itu yang selalu mereka katakan, Mas!” ucap Aidah panjang lebar sembari menangis.

Aku terdiam. Apa benar yang diucapkan Aidah? Jika pun berbohong, mana mungkin dia sampai menangis sehebat itu. Tapi, aku masih tak percaya, mana mungkin ibu dan ketiga mbakku yang seperti malaikat itu memperlakukan Aidah seperti demikian.

“Jangan mengarang cerita, Aidah. Mas tak mau berselisih dengan keluarga sendiri.”

“Mengarang?” Aidah membulatkan matanya sekarang.

“Aku memang sudah menyangka, kamu takkan percaya ucapanku ....” katanya sambil tersenyum dengan netra basah.

“Tapi, Aidah. Ibu dan ketiga Mbakku tak mungkin melakukan hal seburuk itu. Aidah, kamu harus tahu kalau mereka harta yang paling berharga dalam hidupku. Mereka lah yang selalu menjagaku sampai bisa sebesar ini dan bertemu denganmu.”

“Lalu? Aku dan Rizki bukan hartamu yang berharga, begitu?”

“Aidah, bukan seperti itu! Tapi sikap kamu ini salah, kamu nggak bisa menghormati Ibu dan keluargaku, pantas jika mereka memperlakukanmu seperti kemarin. Aku pun kecewa karena kamu tak mau berbaur dengan mereka.”

Aidah tersenyum, tapi dia tak menampilkan senyum manisnya seperti biasa.

“Tapi memang seperti itu adanya, keluargamu membenciku, Mas Alman ....”

Aku menggeleng, tak percaya. Mungkin saja pikiran perasaan Aidah sedang tak baik, hingga menyebabkannya berani menjelekkan keluargaku.

“Sudah, Aidah. Tenangkan pikiranmu, jangan hanya karena kamu sedang bersedih, lantas menyalahkan keluargaku sebagai para penjahat.”

“Mas Alman! Tapi itu semua kenyataan!”

“Aidah!” bentakku tak mau kalah.

“Kalau kamu masih kukuh menjelekkan mereka, aku malas berbicara denganmu!” ucapku kesal. Aidah menatapku lama dengan air matanya. Sementara aku memilih beranjak dan pergi, meninggalkan dia, Rizki dan rumah ini untuk beberapa saat saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Penyesalan Terdalam

    "Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pengkhianatan

    "Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Aidah Bahagia, Alman Menderita

    "Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Ada yang Tumbuh, Ada yang Hilang

    “Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Kenapa Berubah?

    Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Balasan Sebuah Kejahatan

    Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status