“Lagi telepon siapa, Man?”
“Eh, Ibu,” ujarku kaget dengan kehadiran Ibu yang tak kusadari.“Acaranya sudah selesai, Bu?” tanyaku sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Nomor Aidah masih tak aktif.“Iya. Kok kamu sama keluargamu nggak kelihatan nonton acaranya, Man?” Aku menghela napas, bingung harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kalimat bagaimana.“Man?”“I-iya, Bu?”“Ditanya kok malah bengong. Kenapa? Istri sama anakmu mana?” Ya Tuhan, aku benar-benar bingung. Akan merasa semakin tak enak kalau memberitahu Ibu kalau Aidah membawa Rizki pulang, bahkan tanpa sepengetahuanku.“Ibu, dicariin. Di sini, toh.” Tiba-tiba Mbak Ida datang, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Tapi semoga saja dia tak menanyakan keberadaan Aidah.“Kenapa, Da? Ibu mau istirahat. Pegal ini badan.”“Tapi ada yang cariin, Bu. Ustaz Mustofa, sama istrinya.”“Walah, di mana? Suruh masuk saja ke rumah Ibu, ya? Oh ya, Man. Tolong dong, bilang ke Aidah siapin air sama makanan yang baru buat Ustaz Mustofa. Ibu mau ke kamar mandi dulu.”“A-anu, Bu.” Mendadak aku tergagap, benar-benar bingung sekali harus mengatakan apa pada beliau. Apa lagi sekarang ada Mbak Ida.“Anu kenapa sih, Man? Kok kamu kayak orang linglung.” Mbak Ida berkomentar.“Aidah. Tadi Aidah pulang, sama Rizki.”“Hah? Pulang?” ucap Ibu dan Mbak Ida berbarengan, aku mengangguk.“Lho, kenapa pulang? Tersinggung dia sama ucapan Mbak tadi?”Aku segera menggeleng.“Bukan, Mbak. Bukan. Rizki tadi rewel, badannya agak panas, kayaknya Aidah juga kurang sehat. Makanya Alman suruh pulang biar mereka bisa istirahat.”“Kamu nggak anterin?” tanya Ibu.“Nggak, Bu. Takut di sini nggak ada orang yang bantu-bantu kalau acaranya selesai,” kataku beralasan. Padahal aku sendiri sama sekali tak tahu kalau Aidah dan Rizki pulang.“Oh ... kirain dia tersinggung sama perkataan Mbak. Ya bagus lah, biar istrimu bisa tiduran dengan nyaman kalau di rumah.” Apa itu semacam sarkas? Entah lah, aku tak mau bersuuzan pada Mbak Ida. Selama ini dia sudah terlalu baik, jasanya mungkin takkan terbalas karena sudah mau mengorbankan tenaga dan materi hanya karena sudah mau membantu biaya kuliahku dulu.Soal kejadian di prasmanan tadi memang murni salahku, harusnya aku tak membiarkan Rizki bersama Ibu atau pun orang lain. Harusnya aku tak menghampiri Indri dan larut dalam obrolan yang asyik dengannya.“Kalau begitu, suruh Mbak Ratih saja. Ibu nggak kuat mau ke kamar mandi dulu.”“Ya sudah, Bu. Jangan lama-lama, ya?” pesan Mbak Ida, aku hanya bisa diam dengan pikiran tak tenang.***Pagi sekali aku sudah pergi dari rumah Ibu, masa bodoh walau harus pulang dengan tangan kosong. Mereka beralasan tak bisa memberiku sepotong kue atau daging sisa hajatan dengan alasan masih sibuk dengan keadaan rumah yang berantakkan.Rupanya benar, Aidah dan Rizki sudah ada di rumah. Nampak istriku itu tengah sibuk memasak saat aku datang, sedangkan anak kami masih tertidur dengan lelapnya. Ada rasa bersalah di lubuk hati melihat makhluk kecil itu, aku sebagai ayah tak bisa menjaganya dengan baik. Aku benar-benar teledor.“Sudah pulang, Mas?” tanyanya dengan nada biasa saja saat aku menghampirinya ke dapur.“Iya. Kamu dan Rizki kenapa pulang tanpa bilang Mas?” tanyaku, tapi Aidah malah diam dan malah anteng dengan sup di atas kompor.“Aidah?” panggilku.“Mas tunggu saja, ya. Atau mandi saja dulu.” Perkataan Aidah membuat batin ini menebak, kalau dia sedang tak berselera membahas kejadian di acara hajatan Mbak Ida.Oke, untuk saat ini aku lebih memilih nurut. Saran Aidah ada benarnya, mungkin dengan membersihkan badan pikiran yang terasa kalut ini bisa hilang.Setelah selesai mandi, aku langsung menuju kamar untuk mencium kening Rizki. Tidurnya lelap sekali. Untuk menghilangkan sepi kuhidupkan televisi, ya, aku sudah berada di ruang keluarga tanpa sekat sekarang.Tak lama, Aidah datang dengan beberapa benda di tangannya. Dia beberapa kali bolak-balik hanya untuk menyiapkan makanan di sini. Kami memang selalu bersantap bersama di ruang keluarga, karena bangunan yang kami huni terbilang kecil dan belum memiliki ruang khusus untuk makan.“Nggak dibangunin Rizkinya?”“Biarin, nanti juga bangun sendiri,” kata Aidah sambil menuang nasi ke piring dan memberikannya padaku.Kami langsung makan bersama, tapi tak ada yang mengeluarkan suara kecuali sang televisi menghiasi keheningan.“Aidah, kamu belum jawab pertanyaan Mas.” Aku memberanikan diri untuk berujar.“Pertanyaan yang mana?” tanyanya tanpa menatapku.“Kenapa kamu pulang malam-malam tanpa kasih tahu orang-orang? Kamu tahu, bagaimana khawatirnya suamimu ini karena anak dan istri menghilang,” ucapku sambil menatapnya. Tapi dia malah diam dan sibuk dengan makanan.“Aidah, suamimu bertanya. Suamimu lagi bicara. Tolong dijawab.” Aku menekan nada suara.“Tapi istrimu sedang makan,” katanya terdengar dingin. Aku hanya bisa menghela napas dan meletakkan piring saat itu juga.“Kalau begitu, tunda dulu makannya.” Aidah mendongak sekarang, tanpa kusangka dia menurut dan meletakkan piringnya.“Ayo, jawab!” pintaku.“Apa yang harus kujawab? Aku hanya ingin pulang. Dari awal aku sudah bilang ‘kan, Mas? Aku ingin pulang?”“Tapi kenapa? Kamu marah pada Mbak Ida karena dia menegur kita? Tapi semua itu wajar, ‘kan?”“Wajar katamu, Mas?” ujarnya sambil menatapku dalam.“Apa wajar, seorang kakak malah menyudutkan adiknya? Apa wajar, seorang kakak membeda-bedakan adiknya? Apa wajar, sebuah keluarga mengucilkan satu orang yang tak berdaya?”“Maksud kamu, Aidah?”“Maksudku? Apa Mas selama ini tidak pernah melihat bagaimana perlakuan Ibu, Mbak Ida dan kakak-kakakmu yang lain padaku? Apa kamu tak sadar kalau mereka tak menyukaiku, Mas?”Aku terdiam, mencoba menelaah perkataan Aidah walau rasanya tak masuk akal.“Selama ini, kamu nggak tahu perlakuan keluargamu bagaimana. Kamu nggak tahu apa itu merasa sepi di tengah keramaian. Kamu nggak tahu, Mas ....” Aidah terisak, membuatku semakin bertanya-tanya.“Perlakuan mereka yang mana, Aidah? Sepi di tengah keramaian? Itu karena kamu nggak bisa berbaur dan bersosialisasi dengan keluargaku. Kamu terlalu pemalu dan selalu ingin menyendiri.”“Aku sudah mencobanya, Mas! Selalu, aku selalu berusaha! Tapi keluargamu tak pernah mau menerimaku. Keluargamu tak menyukaiku, Mas!” ujarnya lagi, aku menggeleng tak percaya.“Siapa yang bilang begitu, Aidah? Tidak ada yang tak menerimamu, tidak ada yang tak menyukaimu. Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri, semuanya sangat menyayangimu. Kurang apa mereka selama ini, Aidah? Jika kita tengah dilanda kesulitan, mereka lah yang selalu membantu kita.”Aidah malah sesegukan. Aku semakin bingung dan bingung.“Itu hanya di hadapanmu saja, Mas. Di belakangmu, mereka secara terang-terangan menghinaku. Menghina seorang Aidah yang terlahir dari keluarga tak mampu! Seorang Aidah yang hanya lulusan SMP tak pantas bersanding dengan seorang Alman yang lulusan Sarjana! Itu yang selalu mereka katakan, Mas!” ucap Aidah panjang lebar sembari menangis.Aku terdiam. Apa benar yang diucapkan Aidah? Jika pun berbohong, mana mungkin dia sampai menangis sehebat itu. Tapi, aku masih tak percaya, mana mungkin ibu dan ketiga mbakku yang seperti malaikat itu memperlakukan Aidah seperti demikian.“Jangan mengarang cerita, Aidah. Mas tak mau berselisih dengan keluarga sendiri.”“Mengarang?” Aidah membulatkan matanya sekarang.“Aku memang sudah menyangka, kamu takkan percaya ucapanku ....” katanya sambil tersenyum dengan netra basah.“Tapi, Aidah. Ibu dan ketiga Mbakku tak mungkin melakukan hal seburuk itu. Aidah, kamu harus tahu kalau mereka harta yang paling berharga dalam hidupku. Mereka lah yang selalu menjagaku sampai bisa sebesar ini dan bertemu denganmu.”“Lalu? Aku dan Rizki bukan hartamu yang berharga, begitu?”“Aidah, bukan seperti itu! Tapi sikap kamu ini salah, kamu nggak bisa menghormati Ibu dan keluargaku, pantas jika mereka memperlakukanmu seperti kemarin. Aku pun kecewa karena kamu tak mau berbaur dengan mereka.”Aidah tersenyum, tapi dia tak menampilkan senyum manisnya seperti biasa.“Tapi memang seperti itu adanya, keluargamu membenciku, Mas Alman ....”Aku menggeleng, tak percaya. Mungkin saja pikiran perasaan Aidah sedang tak baik, hingga menyebabkannya berani menjelekkan keluargaku.“Sudah, Aidah. Tenangkan pikiranmu, jangan hanya karena kamu sedang bersedih, lantas menyalahkan keluargaku sebagai para penjahat.”“Mas Alman! Tapi itu semua kenyataan!”“Aidah!” bentakku tak mau kalah.“Kalau kamu masih kukuh menjelekkan mereka, aku malas berbicara denganmu!” ucapku kesal. Aidah menatapku lama dengan air matanya. Sementara aku memilih beranjak dan pergi, meninggalkan dia, Rizki dan rumah ini untuk beberapa saat saja.Aidah PoV~Namaku Nuraidah, orang-orang sekitar sering memanggilku Aidah.Aku terlahir dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang tidak mampu setelah kepergian bapak.Aku hanya tinggal bersama ibu dan satu adik lelakiku, Ilham. Saat ini dia masih duduk di bangku SLTA. Beruntung, Allah masih sayang kami, di tengah kesusahan yang melanda, selalu saja ada rezeki pemberian-Nya.Ilham tak boleh sepertiku, yang hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SLTP saja. Maka dari itu, aku mencoba bekerja keras untuk membantu meringankan beban Ibu, dengan cara bekerja apa pun selagi itu halal.Sampai di mana aku diterima kerja di sebuah warung makan dekat pabrik mesin. Karena kalau hanya mengandalkan bansos pemerintah saja tidak cukup.Alhamdulillah, gajiku dari sana setidaknya bisa meringankan biaya sekolah Ilham.Namun, tak lama aku berhenti bekerja karena dipinang seorang pria. Dia lah Mas Alman, suamiku sekarang. Entah kenapa aku bisa menjatuhkan hati padanya, padahal selama ini banyak lelaki
Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah."Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak be
“Terima kasih banyak, Bang Faiz. Maaf jadi ngerepotin,” kataku sambil memangku Rizki. Hujan semakin deras saat kami sampai di rumah.“Aidah, kamu menangis?” tanyanya tanpa menjawab kalimatku barusan.Aku menggeleng dan sebisa mungkin mengulas senyum, walau hati ini masih terasa berdenyut perih. Masih tergambar wajah bahagia Mas Alman, Indri beserta keluarganya tadi.“Maaf kalau saya banyak tanya,” katanya. Aku menggeleng lagi.“Bang Faiz sebaiknya berteduh dulu di sini. Hujan semakin deras, Bang,” saranku.“Jaket Bang Faiz juga basah ini.”“Nggak apa, Aidah. Yang penting Rizki nggak kehujanan,” ucapnya. Aku tersenyum, Bang Faiz memang tipikal lelaki perhatian, tapi sayang dari dulu aku tak pernah bisa menaruh hati pada lelaki baik ini.“Tunggu hujan reda saja dulu ya, Bang. Nanti saya bikinin teh, atau mau kopi? Tapi saya belum masak. Nanti dibikinin mi instan saja,” ucapku sambil membuka kunci pintu, sementara Bang Faiz masih setia duduk di atas motornya.“Nggak usah repot-repot, Aid
Satu minggu Mas Alman tak pulang ke rumah, aku tak tahu dia di mana, namun hati kecil menebak jika Mas Alman pasti tengah berada di rumah Ibu dan mengadukan semua kejadian yang kami alami pada beliau.Jelas, aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman sendiri masih berada di dalam tas yang kupakai saat hendak menghadiri acara pernikahan anak Pak Yanto. Entah kenapa saat itu Mas Alman memberikan benda tersebut padaku seusai menelepon Ibu. Apa kah karena dia tak mau diganggu olehku karena ingin bebas bercengkerama dengan Indri juga keluarganya?Mendadak, tanganku terasa gatal ingin membuka tas lalu mengecek ponsel Mas Alman. Padahal sebelumnya aku tak berselera mengotak-atik benda itu.Akhirnya aku pun memberanikan diri membuka ponsel Mas Alman, karena selama kami menjalankan kehidupan berumah tangga, aku sama sekali tak pernah berani mengganggu privasi suami sendiri. Termasuk mengecek ponselnya.Tanganku gemetar saat menghubungkan chargeran pada benda pipih tersebut. Ponsel Mas
Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya
[Kita harus ketemu, aku mau bicara] pesanku pada Mas Alman.Setelah beberapa jam, dia baru membalas dan bersedia bertemu denganku di sebuah rumah makan, dia juga meminta agar aku menbawa Rizki dengan alasan rindu ingin bertemu.Aku mengiyakan, walau kenyataannya bohong. Aku tak mau membawa Rizki, takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi Mas Alman merebut dan membawa anak kecil itu nanti.Setelah menitipkan pada Ibu dan Ilham, aku berangkat bakda ashar menuju rumah makan yang ada di pertengahan desa Sukamurni juga Jati Asih.Sejak rumah dijual oleh Mas Alman, aku dan Rizki memang kembali ke rumah Ibu. Malu juga sedih bercampur jadi satu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya wanita tanpa pamrih itu yang mau menerima kami."Mana Rizki?" tanya Mas Alman, rupanya dia yang lebih dulu sampai."Rizki tidur, kasihan kalau harus dibangunin.""Kamu bohong, ya? Kamu nggak ngajak Rizki dan nggak kasih tahu dia kalau mau ketemu aku, 'kan?" tanyanya sambil menatap dalam."Peduli apa kamu sama an
Alman PoVBeberapa hari sebelum bercerai."Lho, Man? Kok pulang lagi?" Kuhempaskan tubuh ke sofa, menjeda jawaban Ibu sementara."Man? Kok malah merem? Ibu lagi nanya lho, ini." Kuhela napas dalam, lalu membuka mata perlahan."Nanti aja Bu, bicarainnya kalau pekerjaaj rumah udah selesai," jawabku. Memang keadaan rumah Ibu masih berantakkan bekas acara hajatan Mbak Ida."Nggak apa, Man. Tinggal beresin dapur sama ruang belakang, ada Mbak Ratih ini."Aku menghela napas lagi, lalu menjauhkan punggung dari sofa."Aidah, Bu.""Kenapa Aidah? Dia ngapain kamu, Man? Dia selingkuhin kamu? Dia nyakitin kamu?" sambar Ibu.Aku menggeleng."Bukan, Bu. Bukan.""Terus kenapa?" tanya Ibu lagi seperti tak sabar."Maaf, Bu. Alman mau tanya sesuatu sama Ibu." Kening Ibu nampak mengerut mendengar pertanyaanku."Iya, Man. Boleh. Mau tanya apa?""Apa benar, Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi dan Mbak Nuri sering ngucilin Aidah saat Alman nggak ada?""Ngucilin? Maksudnya ngucilin gimana, Man? Ibu nggak ngerti." Jaw
"Mas, lipstiknya mana?" Aku tepuk jidat. Kenapa pula bisa lupa membelikan pesanannya."Maaf, Sayang. Mas lupa, beneran. Besok saja ya Mas beliinnya," ujarku jujur. Indri malah mengerucutkan bibirnya."Mas gimana, sih? Makanya kalau istri pesan sesuatu itu dengerin, masukin ke hati yang terdalam biar nggak lupa! Mas keseringan, deh. Minggu lalu, aku mau martabak telur eh malah pulangnya bawa martabak manis. 'Kan nggak lucu, Mas." Panjang lebar Indri menceramahiku.Kalau hari itu memang keliru, tapi untuk sekarang, aku benar-benar lupa dengan perasaan Indri. Entah lah, pikiranku melayang ke mana-mana, semenjak pagi tadi melihat mantan istri dibonceng Pak Guru Arkan, aku tak bisa fokus mengerjakan atau mengingat sesuatu.Masa iddah Aidah memang sudah berakhir satu bulan yang lalu. Apa tak terlalu cepat dia menikah dengan lelaki lain? Semudah itu kah dia melupakanku?Lalu kenapa harus dengan Pak Guru Arkan? Kenapa bukan dengan Faiz, lelaki yang selama ini terang-terangan dekat dengannya.