Share

Dilupakan

Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.

Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.

Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.

Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?

Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.

Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah.

"Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.

Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak berdaya.

Kecuali satu, Bu Hindun namanya. Dari semenjak aku ikut rewang, dia lah yang selalu bersikap baik padaku. Bahkan saat Ibu-ibu di dapur makan bersama tanpa mengajakku, beliau dengan sembunyi-sembunhi memberikanku sepotong kue bolu dan nasi beserta sayap ayam goreng, lalu menyuruhku untuk makan di kamar sendirian.

Sambil menangis, aku melahapnya sendiri di kamar. Tak bisa kutolak karena memang perut sudah sangat lapar.

Setelah itu, tak lama muncul seorang perempuan semampai, dengan dandanan khas orang kota.

Indri. Begitu mereka memanggilnya.

"Ya ampun, nggak usah repot-repot, Nak." Ibu mertuaku menerima bingkisan dari perempuan bernama Indri itu.

"Nggak apa-apa, Bu. Takut nanti sore Indri nggak bisa datang, makanya ngasih kadonya sekarang."

"Ih, dari dulu perhatianmu sama keluarga kami emang nggak pernah pudar. Eh, Aidah! Malah berdiri di situ, ambilin air, sama makanan ringan di stoples. Taruh di meja!" perintah Ibu membuatku tersadar, lalu dengan cepat menurut.

Susah payah aku terduduk untuk menyuguhi tamu Ibu karena perut yang sudah besar ini.

"Sayang, Alman lagi ke luar. Di suruh beli segala macam. Jadi nggak ketemu deh, kalian."

Aktivitas tanganku melambat saat mendengar penuturan Ibu. Ada hubungan apa memangnya suamiku dengan perempuan bernama Indri itu?

"Oh iya, nggak apa kok. Mas Alman ke sini juga, Bu? Dikirain Mbak Aidahnya saja." Dia tahu namaku? Tapi, aku baru tahu dia sekarang.

"Iya, ke sini. Ndri, katanya kamu mau ngelanjutin S2, ya?" tanya Ibu.

"Hehe, InsyaAllah, Bu. Doanya."

"Ya ampun ... hebat! Pasti didoain, kok. Pasti! Haduh, coba aja kalau dulu jadi sama Alman, cocok banget!"

Ya Allah, jadi ini perempuan yang hendak dijodohkan dengan suamiku? Ternyata, Ibu memang masih mengharapkan dia jadi menantu. Sampai tega berkata seperti itu di depanku.

Sedangkan Indri sendiri, nampak enggan menjawab, entah karena tak enak padaku atau punya alasan lain.

"Kok masih di sini? Bantuin masak aja di dapur, Dah. Sekalian panggil Laksmi, bilangin ada Indri, bawa hadiah buat Uci."

Aku menelan ludah, lalu menjawab iya dan pergi meninggalkan keduanya.

Ternyata, sedalam apa pun aku berusaha untuk berbaur, sekuat apa pun usahaku untuk mengambil hati keluarga Mas Alman, takkan pernah bisa karena nyatanya hanya seorang Indri yang diinginkan Ibu dan para kakaknya untuk menjadi pendamping si bungsu.

***

Bukan hanya satu atau dua kali aku merasa dikucilkan, tak dianggap ada. Sampai di mana aku memilih tidur saja tatkala Mas Alman memaksaku untuk ikut rewang di acara hajatan pernikahan anak Mbak Ida. Zainab.

Mas Alman terus memaksaku untuk ikut bergabung. Tapi aku terus menolak, tak peduli dengan pikiran jeleknya padaku.

Sering sekali aku hendak mengadu dan membicarakan masalah ini pada Mas Alman, tapi, dia malah berbicara mendahuluiku dengan memuji-muji keluarganya.

Keluarga yang menurutnya sempurna dan bak malaikat, karena selalu membantu kesusahannya kala dulu pada zaman kuliah. Mas Alman merasa berhutang budi pada ketiga kakaknya, apa lagi Mbak Ida.

Namun, tanpa mereka tahu, keluarga yang menurutnya seperti malaikat itu memperlakukanku seperti makhluk tak kasat mata. Tak dianggap, diabaikan begitu saja.

Sampai di mana, aku berani mengutarakan semuanya setelah hajatan Mbak Ida selesai. Tapi Mas Alman tak percaya, dan aku sudah bisa menebaknya dari awal.

Mas Alman tak terima, dia bilang aku tak boleh menjelekkan keluarganya. Padahal memang itu faktanya. Sampai dia sendiri tak pulang semalaman hanya karena tak percaya dengan omongan istri sendiri.

Hingga suatu hari, saat sore pintu rumah mungil ini diketuk seseorang.

Aku tertegun saat membukanya, kukira dia takkan kembali.

"Sudah makan?" tanyanya seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Belum." Aku menjawab singkat, rasanya masih kesal pada Mas Alman, mengingat dia tak percaya dengan kejujuranku.

"Ini, aku bawa nasi padang. Nggak usah masak." Aku terdiam. Nasi padang? Tumben sekali dia membawa makanan saat pulang ke rumah.

"Rizki tidur, ya?"

"Iya." Lagi-lagi aku menjawab singkat.

Kemudian aku langsung menuju dapur, menuangkan dua bungkus nasi padang pada piring besar, dan membawanya menuju ruang televisi.

Kami makan bersama lagi, tapi tanpa keributan seperti waktu lalu.

"Mas tidur di rumah Ibu?" tanyaku penasaran saat piring kami sudah sama-sama habis.

"Iya." Aku mengangguk-angguk sambil menebak, apa Mas Alman membicarakan perihal kejujuranku pada Ibu dan ketiga Mbaknya?

"Ini, ada undangan dari Pak Yanto. Pemilik Yayasan, dulu aku sekolah di Yayasannya. Anak bungsunya menikah." Aku terdiam, jangan bilang Mas Alman akan mengajakku kembali ke kampung Sukamurni.

Aku belum siap ketemu Ibu, juga Mbak-mbaknya.

"Kamu mau datang?" tanyaku.

"Tentu. Siapin baju, Mas, ya? Kamu pakai kebaya yang dibeli kemarin ya? Biar samaan."

"Lho, aku ikut juga?"

"Ya iya, wong diundangnya sama anak istri." Refleks aku menggigit bibir bawah, ragu.

"Kita nggak nginep di rumah Ibu, kok. Habis ke sana langsung pulang." Aku terdiam, ada apa dengan Mas Alman? Apa dia memang percaya padaku sekarang? Hingga dia tahu kalau aku malas mampir ke rumah Ibu.

"Baik kalau begitu," jawabku. Dia hanya tersenyum.

***

Kesedihan yang kualami kemarin seolah sirna begitu saja. Apa lagi Mas Alman menunjukkan sikap seperti percaya padaku.

Hari ini, setelah selesai bersiap kami bertiga langsung menuju ke undangan pernikahan anak bungsu Pak Yanto. Mas Alman nampak ceria, Rizki juga sama. Sambil duduk di tengah, dia banyak berceloteh ria.

Kami memang ke sana naik motor. Setelah setengah jam lebih di perjalanan, kami pun sampai.

Rupanya, rumah Pak Yanto ini harus melewati rumah Ibu dulu, tapi Mas Alman benar-benar tak mampir dulu ke sana.

"Sebentar," kata Mas Alman, teleponnya berbunyi saat kami baru saja sampai di depan rumah si empunya acara. Dekorasi pernikahan mereka nampak begitu mewah sekali.

"Ya? Oh, iya. Alman ke sana sekarang. Iya, iya." Aku mengerutkan kening mendengar pembicaraan Mas Alman.

"Siapa, Mas?" tanyaku. Tapi dia terdiam agak lama.

"Ibu, minta dijemput. Katanya mau ke sini juga." Sekarang, giliranku yang terdiam.

"Nggak apa-apa 'kan?"

Aku menghela napas, mencoba mengulas senyum.

"Ya sudah."

Mas Alman ikut tersenyum.

"Makasih ya, kalau gitu tunggu sebentar, ya. Nanti kita masuk bareng-bareng. Rizki, tunggu sama Ibu sebentar, ya. Ayah mau jemput Eyang dulu," ucap Mas Alman sambil mengelus kepala buah hati kami.

Mas Alman pun kembali menaiki motornya, meninggalkan kami di tempat parkir dengan janji pergi sebentar saja.

***

Dua jam lebih berlalu, Mas Alman belum kunjung kembali. Aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman ada di dalam tasku.

Kuberanikan untuk menelepon Ibu, tapi tak diangkat. Kukirim pesan pada Mbak Ida, tapi tak kunjung dibaca.

Rizki pun mulai rewel karena merasa kepanasan. Aku memutuskan untuk berteduh ke warung yang ada di depan sana agar bisa memberikan susu pada Rizki yang sudah kuperah.

Satu jam kami menunggu di warung, Mas Alman belum kunjung kembali juga. Padahal acara resepsi sepertinya sudah dimulai dari dua jam yang lalu. Banyak tamu lalu lalang, ada yang pulang juga datang.

Mendadak langit mendung, semilir angin yang menyapa membuat kulit terasa merinding. Sepertinya hujan akan datang, dan benar. Setelah beberapa menit berlalu, gerimis mulai membasahi bumi, seolah memberkahi acara yang tengah diadakan.

Hatiku sedih, sambil memeluk Rizki aku bingung sendiri. Mas Alman ke mana? Dia di mana? Aku tak mungkin masuk menghadiri acara tanpa dia. Aku tak mengenal si pemilik hajatan.

Tak kusangka hujan semakin deras, aku dan Rizki yang meneduh di depan warung bahkan kecipratan airnya. Ya Allah, ke mana suamiku?

"Aidah?" Suara seseorang membuatku meluruskan pandangan.

"Bang Faiz?" sahutku. Lelaki yang mengendarai motor besar itu turun dan langsung menghampiri.

Aku yang agak risi dan takut mengubah posisi duduk, membawa Rizki sedikit mundur.

"Lagi apa? Hujan ini, kok duduk di sini?" tanyanya sambil berdiri di depan kami, menghalau air hujan dengan tubuhnya.

"Lagi nungguin Mas Alman, Bang."

"Alman?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Loh, Alman bukannya sudah pulang ke rumah Bu Nani? Tadi sebelum ke sini, saya lihat Alman lagi duduk-duduk di teras sama Bu Nani juga Mbak Ida."

Aku melongo, setengah percaya dengan ucapan Bang Faiz.

"Lagi duduk-duduk? Tadi Mas Alman bilangnya mau jemput Ibu, katanya mau ke undangan bareng-bareng. Tapi udah tiga jam lebih belum balik juga," jelasku.

"Ya Allah, tiga jam lebih? Kalian nunggu di sini tiga jam lebih?" tanyanya lagi, aku mengangguk.

"Kalau gitu pulang saja ke rumah Bu Nani bareng saya, ya? Dari pada hujannya keburu besar." Aku tak bisa menjawab, ragu dengan ajakan Bang Faiz. Takutnya membuat salah paham juga.

Tapi melihat cuaca dan keadaan Rizki, takut dia kedinginan di sini, akhirnya aku terpaksa menurut.

Sebelum naik motor Bang Faiz melepas jaketnya, menyarankanku untuk membungkus pakaian tersebut pada tubuh Rizki.

Aku tak enak sebenarnya, tapi lagi-lagi dia meyakinkan dengan berkata tidak apa-apa.

Kami pun akhirnya meninggalkan tempat ini, Bang Faiz membawaku dan Rizki ke rumah Ibu, walau malas bertemuu mereka, tapi bagaimana lagi?

Tak sampai lima belas menit, motor Bang Faiz sampai ke jalan raya yang berada di depan rumah Ibu.

Saat Bang Faiz akan membelokkan motornya menuju jalan yang menghubungkan ke rumah Ibu, aku menyuruhnya untuk berhenti.

Dari kejauhan aku melihat Mas Alman memang tengah bercengkerama bersama Ibu dan Mbak Ida, bahkan yang membuat hatiku sakit, ada seorang makhluk kebanggaan keluarga mereka ikut tertawa bersama, sambil menikmati teh yang berjejer di atas nampan.

Indri, perempuan itu ada di sana.

"Kenapa berhenti, Ai?" tanya Bang Faiz.

"Antar saya pulang, Bang Faiz."

"Loh, ini 'kan pulang."

"Pulang ke rumah saya, ke Jati Asih." Bang Faiz terdiam, tapi tak lama dia membawaku menjauh dari orang-orang yang tengah menikmati bahagia.

Mas Alman, kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu benar-benar melupakan kami, anak dan istrimu yang tengah menunggu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status