Share

Pulang?

"Ya ampunnn!" Sontak Mbak Ida turun dari pelaminan. Bahkan, biduan di panggung menghentikan nyanyiannya karena kejadian ini.

Semua mata mengarah kepadaku, tepatnya ke prasmanan yang keadaannya hancur sebagian. Hanya karena kain alas meja terbawa oleh anakku, Rizki.

"Aduh, kok bisa begini. Ya Allah...." Mbak Ida masih berkoar. Beberapa penjaga makanan nampak sibuk membereskan. Tapi tidak dengan Aidah, istriku melenyapkan keberadaannya sekarang.

"Bapak, gimana ini? Aduuuh!" ujarnya pada Bang Lukman, sementara aku hanya bisa diam, merasa begitu bersalah.

"Beresin! Beresin! Udah, Bu. Tenang. Makanan di dalam 'kan masih banyak."

"Tapi, Pak. Itu satenya banyak banget, lho. Sayang. Yassalaam ...." Mbak Ida menepuk jidatnya sendiri.

"Anak kamu lho, Man. Gara-gara Rizki! Kok nggak dijagain sih? Lagian Ibunya ke mana?" lanjut Mbak Ida membuat rasa bersalahku semakin menjadi.

"Maaf, Mbak. Tadi aku lagi ngobrol sama Indri. Lagian Rizki udah dititipin sama Ibu, soalnya Aidah 'kan bantu-bantu pagar ayu. Ibu ke mana, sih? Kok bisa begini, duh!" Aku sendiri ikut pening.

"Sudah, sudah! Jangan bikin tambah malu," kata Bang Lukman setengah berbisik.

"Bapak-bapak, Ibu-ibu dan semua tamu terhormat. Maaf atas kejadian yang tidak mengenakkan ini. Silakan kembali menikmatk acara, ya! Mbak penyanyi, yuk dilanjut! Mumpung belum Zuhur!" ucap Bang Lukman terdengar bijak. Lalu dia ikut membantu membereskan alat-alat juga makanan yang berceceran.

Aku pun tak tinggal diam. Sementara Mbak Ida, di sela acara yang kembali berlanjut, dia masih mengomel tak terima.

***

Sampai sore dan acara resepsi selesai, aku belum kunjung bertemu dengan anak istri. Malah yang kutemui adalah Indri, sebelum pulang wanita itu memberikan nomor ponsel untuk disimpan. Katanya takut sewaktu-waktu ada perlu aku atau pun dia bisa mudah menghubungi.

Indri, putri Bapak Warso. Juragan tanah yang terkenal di kampung ini. Sempat akan dijodohkan denganku, bahkan dia sangat dekat dengan ibu dan ketiga kakak perempuanku. Sampai kini malah.

Indri keturunan orang berada tentunya, dia bahkan kuliah dengan mudah tanpa harus memikirkan mahalnya biaya sepertiku. Indri orang yang mahir bersosialisasi, suka berbicara, mudah berbaur.

Dibanding istriku, sifatnya memang lebih humble. Kalau Aidah, dia lebih ke kalem dan pendiam. Pemalu juga. Tapi itu lah yang membuatku jatuh cinta padanya, ketenangannya, kesabarannya, pokoknya dia bisa bikin hatiku adem.

Ditambah, Aidah punya ciri khas wajah yang begitu manis. Indri juga sebenarnya cantik, bahkan tubuhnya lebih semampai dibanding Aidah yang lebih mungil.

Namun ya itu, Aidah memiliki sesuatu yang nggak dimiliki wanita lain. Sampai akhirnya aku lebih memilih dia untuk dijadikan istri ketimbang Indri.

Kembali ke jalan cerita acara hajatan keluarga.

Setelah resepsi selesai dan para tamu mulai bubar, aku mencari Aidah juga Rizki. Dari mulai kamar sampai dapur, tak kutemukan keberadaan mereka. Tapi tas dan pakaian keduanya masih ada di kamar.

Sampai di mana kudengar suara tangisan di belakang rumah Ibu, tepatnya dekat kandang ayam.

Aku menghela napas lega saat menemukan Aidah dan Rizki di sana. Segera kuhampiri keduanya.

"Kalian ngapain di sini. Rizki, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanyaku benar-benar khawatir. Tapi anak yang belum genap dua tahun itu menangis saja tanpa mau menjawab pertanyaanku.

"Aidah, ayo kita masuk ke rumah. Sudah mau Magrib." Aidah tetap diam saja sambil terus mengelus punggung Rizki yang berada di pelukannya.

Sebisa mungkin kubujuk dia, walau susah, akhirnya Aidah menurut. Mau masuk ke dalam rumah Ibu walau dia masih enggan bersuara.

***

"Alman, Aidah. Sini!" panggil Mbak Ida di ambang pintu saat kami berada di kamar.

Tanpa banyak tanya kami langsung menurut, mengekori kakak sulungku tanpa membawa Rizki karena dia sudah terlelap.

Kami dibawa ke ruang keluarga rupanya. Di sana sudah ada Ibu, Bang Lukman, Mbak Laksmi, Mbak Nuri. Entah kenapa aku mendadak tak enak hati.

"Duduk," pinta Bang Lukman.

Kami menurut lagi.

"Langsung aja, ya. Ini, kita mau bicarain kejadian tadi. Kok bisa sih Rizki hancurin acara?" kata Mbak Ida, membuat perasaanku semakin tak karuan.

"Maaf, Mbak. Tadi 'kan aku sudah jelasin. Lagi pula, Ibu ke mana tadi? Bukannya jagain Rizki pas aku ngobrol sama Indri?" tanyaku heran.

"Ibu tadi ke kamar mandi dulu, Man. Si Rizki dititipin sama Mbak Ratih karena Aidah nggak ada di meja prasmanan," jelas Ibu.

"Aidah tadi bantuin Bu Tini di dapur, Bu. Soalnya banyak makanan habis di meja," timpal Aidah membuatku menoleh.

Jelas, yang salah di sini bukan Ibu mau pun Aidah, apa lagi Rizki. Tapi aku, kenapa malah mau-maunya nyamperin Indri dan ngobrol lama dengannya.

"Maaf Mbak Ida, Bang Lukman. Aku akan bertanggung jawab atas kerugian yang kalian alami karena kejadian tadi." Aku berujar.

"Bukan masalah rugi atau enggaknya, Man."

Alisku terasa bertautan.

"Lalu apa, Mbak? Soal Rizki? Dia 'kan masih anak-anak."

"Iya, makanya. Harus dijaga bener-bener. Lagian Aidah nggak usah bantuin aja tadi, fokus saja sama anak. Toh dari kemarin juga nggak pernah ikut nimbrung, kenapa tadi langsung sok-sokan mau berpartisipasi?" ucap Mbak Ida membuatku terkejut.

"Dibantuin salah, nggak dibantuin juga salah. Lalu saya harus bagaimana, Mbak?" Aku lebih terkejut lagi saat Aidah menyahut. Baru kali ini dia berani berkata seperti itu pada anggota keluargaku.

Mbak Ida dan yang lain pun sepertinya sama denganku. Kaget dengan jawaban Aidah.

"Bukan berarti--" Kalimat Mbak Ida terputus saat anaknya, si pengantin ; Zainab, masuk sambil berucap dengan nyaring.

"Iiih, kebetulan! Aku mau bagi hadiah ini buat Eyang sama para bibi dan paman tersayaaang!"

"Ibuuu ...." Tiba-tiba Rizki terbangun, otomatis Aidah langsung pamit. Sedangkan aku, hanya bisa duduk diam lalu menunduk sambil memijit pelipis pelan.

Sepertinya, setelah ini akan ada yang perang dingin.

***

Setelah selesai berbagi hadiah, Zainab kembali ke rumahnya sendiri.

Masih sambil duduk aku terpaku melihat hadiah yang diberikan keponakanku itu. Ya, aku kebagian, tapi tidak dengan istri dan anakku. Padahal, yang lain kebagian semua.

Kenapa? Ada apa sebenarnya?

Kuputuskan untuk beranjak menuju kamar, tak mempedulikan ajakan iparku, Bang Sopyan, suami Mbak Laksmi yang mengajakku untuk melihat hiburan malam. Wayang kulit.

"Aidah, sudah tidur?" tanyaku di sela kegelapan ruangan kamar depan ini.

"Rizki?" panggilku. Tak ada sahutan. Aku memicingkan mata, lalu dengan segera menekan stop kontak.

Lampu langsung menerangi ruangan, tapi aku terkejut saat melihat isi kamar kosong, bahkan tak kutemukan tas dan barang-barang istri juga anakku.

"Aidah? Rizki?" Aku memanggil-manggil mereka, lalu ke luar kamar. Mencari ke sudut-sudut ruangan, walau masih tak kutemukan.

Tak ada yang bertanya kenapa aku memanggil Aidah dan Rizki, karena semua orang sudah sibuk dengan pembukaan wayang kulit di depan sana.

"Mbak, lihat Aidah sama Rizki?" tanyaku pada Mbak Ratih saat kaki ini mulai melangkah ke luar rumah.

"Nggak, Mas Alman. Mungkin lagi di depan nonton wayang." Aku terdiam, mungkin saja benar apa kata Mbak Ratih. Tapi, kenapa barang-barang mereka tak ada di kamar?

"Mas Alman, cari siapa?" Aku langsung menoleh, rupanya Pak Ujang, tetangga kami yang kukenal dengan baik.

"Istri sama anak, Pak. Tapi kayaknya ada di depan, nonton."

"Oh, Mbak Aidah sama Den Rizki?" tanyanya lagi, aku mengangguk.

"Tadi sih saya lihat memang ke depan, Mas. Tapi bawa koper, jalan ke dekat pangkalan ojek. Mau saya tanya keburu pergi."

"Pangkalan ojek?" Pak Ujang mengangguk.

Apa mungkin, Aidah pulang? Ya Tuhan....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status