Seno menatap Soraya dalam-dalam, lalu meletakkan tangan di bahunya. "Kamu siap menghadapi mereka?"Soraya diam sejenak. Dalam hatinya, dia tahu ini adalah saatnya untuk berdiri tegak, bukan lagi menjadi Soraya yang dulu.Dia menarik napas, mengangguk mantap. "Aku siap."Aya pun langsung mengaja Adel bersiap untuk acara malam ini. Putri kecilnya bergeming di hadapan Aya. "Ma, kenapa kita enggak pulang-pulang ke rumah Papa? Adel kangen sama Papa." Soraya sedikit bingung untuk menjelaskan pada Adel. Soraya berlutut agar sejajar dengan putrinya, menatap mata polos Adel yang penuh harap. Hatinya mencelos, karena ia tahu cepat atau lambat pertanyaan ini akan muncul."Sayang, Mama tahu kamu kangen Papa," ucap Soraya lembut, mengusap pipi kecil Adel.Adel mengangguk pelan, bibirnya mengerucut. "Papa sibuk ya, Ma? Makanya kita enggak pulang-pulang?"Soraya menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Bukan begitu, Sayang. Mama dan Papa..." Ia ragu sejenak, lalu melanjutkan,
"Mas, kita kayanya enggak bisa deh makan malam di rumah Mama kamu," ucap Vira sembari duduk di hadapan Dani. Dani menyesap kopi dinginya, jam istirahat tinggal sebentar lagi. Keduanya belum juga ingin beranjak dari tempat duduk mereka. "Kenapa, Vir?" tanya Dani. "Papa bilang ada undangan dari Pak Seno. Acara kecil-kecilan di rumahnya. Katanya mau memperkenalkan adik perempuannya yang baru pulang ke rumah katanya.""Pulang ke rumah? Habis kuliah atau bagaimana?" tanya Dani heran. "Enggak paham juga sih. Intinya sekarang mereka sudah berkumpul setelah asik perempuan mereka kembali."Dani hanya mengangguk paham. "Nanti aku bilang sama Ibu.""Mas, bagaimana kalau kita ajak saja ibu dan kakak kamu. Sekalian kenalan sama papa dan mama aku," ajak Vira. Dani terdiam sejenak, mempertimbangkan ajakan Vira. Membawa ibunya dan Maya ke acara keluarga Pak Seno? Itu terdengar seperti ide buruk."Ibu dan Mba Maya?" Dani mengangkat alis, memastikan kembali."Iya, Mas. Biar mereka juga kenal sama
"Walah, May. Palingan dia mau melamar jadi Tata usaha." Bu Rasyid menimpali. Amalia sudah geram mendegar ibu Rasyid berbicara. "Kata siapa Aya mau melamar pekerjaan?""Yah, lihat saja penampilan dia. Pake make up, baju bagus yah mungkin minjam untuk bisa di Terima kerja. Mana punya Soraya baju bagus," oceh Mba Maya. "Iya jelas dia enggak punya. Semua Hak yang seharusnya untuk Soraya dan Adel kan di rampas paksa oleh kalian!"Soraya menatap Maya dengan senyum tipis, matanya tajam menusuk. “Mbak Maya, masih saja suka merendahkan orang lain, ya?”Maya menyilangkan tangan di dada. “Loh, salah? Memangnya kamu punya kerjaan apa sekarang? Selama ini cuma jadi ibu rumah tangga, kan?”Bu Rasyid tertawa kecil, menambahkan, “Makanya, perempuan itu harus pintar cari suami. Biar nggak nganggur kalau ditinggal.”Amalia benar-benar tidak bisa menahan amarahnya lagi. “Ibu dan Mbak ini kenapa sih masih nyinyir? Takut ya kalau Soraya ternyata lebih sukses?”Maya mencibir. “Sukses? Dia? Jangan ngelawa
Ponsel Dani berdering, sebuah panggilan dari sang ibu membuatnya sedikit heran. Apa yang membuat sang ibu menghubunginya. Jika bukan meminta uang, pasti dia meminta untuk datang ke rumah dan membahas masalah Maya."Iya, Bu. Ada apa?" Suara Dani terdengar sangat malas. "Ibu cuma mau bilang sama kamu, ajak. Vira makan malam di rumah. kan ibu mau kenalan sama dia." Suara Bu Rasyid sangat lembut hingga membuat Dani curiga. "Iya, Bu. Kapan?""Sore ini boleh. Ibu tunggu ya."Setelah sang ibu menutup telepon, dani sedikit berpikir ada apa atau apa yang sedang ibu rencanakan dengan mba Maya.Dani menghela napas berat, rasa malas menjalar di dadanya. Jika ibunya sampai mengundang Vira ke rumah, itu berarti ada sesuatu yang sedang direncanakan—dan biasanya, rencana itu tidak akan menguntungkan dirinya.Pikirannya langsung tertuju pada Maya. Sejak awal, ibunya selalu membela Maya dan menekan dirinya untuk menikahi wanita itu. Kini, setelah ia menjalin hubungan dengan Vira, kenapa tiba-tiba ib
Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar
Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo