Share

Berawal dari Teori Yang Salah

“Jadi, Mbak nggak mau makan siang denganku hari ini?” tanya Juki memastikan lagi.

“Ya, begitulah!” jawabku sambil melihat ponselku yang mendapat panggilan dari teman kuliahku dulu.

Sudah lama aku tidak berhubungan dengan teman sekampusku dulu. Dikarenakan aku sudah tidak lagi masuk ke dunia penelitian sains. Dulunya, aku adalah lulusan biologi yang sering terjun ke banyak penelitian. Sampai pada akhirnya, aku mengalami tragedi yang membuatku sulit untuk tetap berada di sana sehingga aku memiliih menjadi penulis seperti sekarang.

“Ya, Halo!” jawabku sambil keluar dari ruangan latihan mereka agar suaraku tidak mengganggu mereka.

“Halo! Eh, bantuin dong!” katanya tiba-tiba meminta bantuanku.

“Astaga, baru juga nelpon! Ada apa?” tanyaku.

Aku memang paling tidak bisa menolak seseorang yang membutuhkan bantuanku. Menurutku, selama aku bisa membantu pasti akan kubantu. Padahal disetiap aku susah, seingatku aku tidak pernah kedatangan temanku untuk membantuku.

“Aku butuh penjelasanmu tentang teori yang kamu temukan waktu itu!”

“Teori? Teori yang mana?” tanyaku bingung.

“Penjelasan tentang bagian anatomi manusia yang waktu itu!”

“Ah, mana aku ingat! Lagian kamu cari sendiri juga banyak kok di internet!” kataku malas membuka teori-teori lama itu.

“Duh, aku butuh yang punyamu! Please, tolong carikan ya!” katanya memohon padaku.

“Ok! Nanti ya!” jawabku.

“Sekarang! Aku butuh sekarang!”

Temanku yang satu ini memang begini. Dia tidak pernah tahu kondisi temannya, yang jelas keinginannya harus segera terpenuhi. Aku pun tidak enak hati untuk tidak membantunya karena aku paling tidak bisa mendengar suara seseorang yang terus memohon padaku. Jadi, terpaksa aku mencoba mencarinya sambil melihat koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan gedung agensi ini,

Setelah kutelusuri isi perpustakaan, aku tidak menyangka koleksi buku tentang kedokteran juga ada di sini. Bahkan menurutku ini lebih lengkap daripada perpustakaan di kampusku. Aku tidak ingat teori yang waktu itu dari buku yang mana, tetapi aku bisa mencari jawaban lain dari buku koleksi di sini. Karena kondisi perpustakaan harus hening, jadi aku berusaha sekecil mungkin menjelaskan pada temanku.

“Heh, aku tidak bisa mendengar suaramu!”

“Ya memang tidak boleh keras-keras! Aku sedang di perpustakaan!” jawabku sambil berbisik.

“Bisakah keluar dulu lalu jelaskan padaku lagi?” katanya masih memaksa.

“Astaga! Sebentar!”

Aku menemukan satu ruangan lagi di dalam perpustakaan yang kukira itu tempat lebih sepi jadi aku bisa menjelaskan dengan sedikit keras pada temanku.

“Nah gitu, dong! Kamu yakin itu benar?” tanya dia memastikan.

“Kalau salah, berarti salahmu! Salahmu bertanya pada seseorang yang sudah lama meninggalkan biologi!” jawabku sambil mengakhiri panggilannya.

“Teorimu memang salah!” kata seseorang yang tiba-tiba muncul di depanku sambil memberikanku catatan selembar kertas berisi penjelasan yang benar.

Seketika aku diam tidak bisa mengatakan apapun setelah melihat seseorang yang muncul tepat di depanku. Dia adalah Dokter Azmi yang selama ini aku ingin lihat. Aku tidak menyangka pertemuan pertamaku berada di ruangan sempit seperti ini.

“Ah, maaf! Kalau begitu kujelaskan lagi pada temanku!” kataku yang kembali menelepon temanku dan mengatakan kebenarannya.

Setelah menelepon, aku kembali untuk berterima kasih padanya. Dengan sangat pelan aku melangkah karena aku berada di posisi yang sangat gugup saat ini.

“Terima kasih, Pak Dokter!” jawabku mendekatinya yang sedang duduk tenang sambil membaca buku.

“Iya, sama-sama! Tidak kusangka juga koleksi bukuku di sini ada yang mau membacanya selain aku!” jawabnya.

“Ah, jadi koleksi di sini punya Pak Dokter?” kataku memulai percakapan dengannya.

“Betul! Aku suka mengoleksi buku medis di sini, karena kupikir kalau kukoleksi sendiri, mungkin tidak akan berguna! Tapi, kalau kukoleksi di sini, bisa berguna seperti sekarang!” jawabnya.

“Pantas saja!” jawabku pelan.

“Oh ya, bagaimana kamu bisa tau namaku?” tanya dia penasaran.

“Adakah yang tidak kenal dengan dokter terkenal seperti Pak Dokter?” kataku yang menjawabnya dengan pertanyaan.

“Apakah kamu punya masalah dengan hidupmu sampai harus menontonku berulang hingga hapal namaku?” kata dia yang lagi-lagi menjawab dengan pertanyaan.

“Benar! Aku adalah pasien dokter yang secara online sudah dokter sembuhkan!” jawabku jujur.

“Kalau begitu mari kenalan secara langsung! Aku Azmi! Siapa namamu?” tanya dia mengulurkan tangannya untuk berkenalan denganku.

“Sheyki!” jawabku singkat sambil berjabat tangan dengannya.

“Kamu hebat Sheyki sudah mampu menyembuhkan hidupmu! Terima kasih sudah berjuang!” jawabnya dengan lembut sampai terdengar manis sekali di telingaku.

Benar kata orang, mendengarkan suara seseorang yang disukai memang berbeda. Aku bahkan tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.

“Kalau begitu sampai ketemu lagi ya!” katanya menyampaikan salam perpisahannya.

“Emm...tunggu, Pak Dokter!” kataku menghentikannya.

Aku tidak tahu harus bicara tentang apalagi, tetapi aku tidak ingin melihatnya secepat itu meninggalkanku. Seolah aku tidak rela percakapan pertamaku dengannya terjadi sesingkat ini.

“Aku tahu kamu banyak pertanyaan, tapi simpan dulu pertanyaanmu! Sampai ketemu lagi!” katanya sambil tersenyum padaku.

“Akankah kita ketemu lagi?” tanyaku ragu-ragu.

“Kenapa tidak?” kata dia.

“Haruskah aku datang ke rumah sakit tempat Pak Dokter?” tanyaku lagi.

“Emm...aku tidak akan melarangmu untuk mendapatkan pertolonganku! Tapi, aku lebih suka pertemuann yang seperti ini!” jawabnya sambil tersenyum lalu pergi meninggalkanku di ruangan itu sendirian.

Dia seperti telah mengisi penuh hormon bahagiaku sampai-sampai aku dibuatnya sedikit mabuk. Aku berjalan dengan semangat sampai aku salah ruangan saat menuju ke ruangan kerjaku. Aku memencet password pada pintu yang salah dan membuat pintu itu tidak terbuka.

“Ada perlu denganku?” tanya Mas Yogi yang datang dan berada di belakangku.

“Ah, enggak kok, Mas!” jawabku sambil tersenyum dan masih belum menyadari kesalahanku.

“Kalau begitu kenapa kamu mau membuka pintu ruanganku?” tanya dia dengan sikap dinginnya.

“Loh, ini...” aku terkejut dengan pintu yang ternyata bukan pintuku.

“Kurasa hanya aku yang punya nama ruangan ‘Genius Lab’ di sini” katanya sambil menunjuk nama ruangannya yang dia tempel di pintunya.

“Ii..iya maaf!” kataku sedikit malu dan langsung ke dalam ruanganku.

Aku tidak percaya dua kesalahan hari ini bisa membuatku sangat senang sekaligus sangat malu. Dua pria yang berbeda itu membuatku bahagia sekaligus malu dalam satu hari bersamaan. Di tambah lagi, aku tidak bisa menyalakan komputerku yang ada di dalam ruanganku. Aku terbiasa menggunakan laptop bukan seperangkat elektronik bagus seperti yang ada di sini.

Akhirnya, karena tidak mau membuat kesalahan, aku terpaksa meminta bantuan kepada Mas Yogi. Maksudku sekalian saja aku membuat alasan yang mengharuskan aku ada perlu dengan dirinya.

“Mas Yo...” aku membuka pintunya tanpa mengetuk dan aku melihat dirinya sedang merebah di sofa sambil memegang pundaknya.

“Maaf, kurasa aku telah mengganggumu!” kataku hendak keluar dari ruangannya.

“Tapi, kamu sudah terlanjur menerobos pintuku!” jawabnya sedikit lemas.

“Iya juga, sih! Aku ingin meminta bantuanmu untuk menyalakan komputerku, tapi sepertinya Mas sedang capek!” kataku merasa tidak enak karena sudah mengganggunya.

Dia mengumpulkan energinya kembali dan beranjak dari sofanya untuk menuju ke ruanganku. Dia juga tidak bicara banyak saat membantuku dan melakukan apa yang dia tahu untuk menyalakan komputerku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status