Pujian itu tidak mampu membuat Liana melayang, malahan terdengar jijik di telinga.Liana tersenyum sinis. Lelaki itu sepertinya harus mendapatkan pukulan darinya.Lelaki itu mengendus-endus tubuh Liana dan menyentuh kulit mulus Liana. “Aku sangat menyukai harum parfummu,” katanya. Dia membisikan lagi sambil mengikuti gerakan Liana berjoget. “Kamu memakai parfum apa?”Liana menggeleng kepala lalu menjawab, “Aku tidak pernah menggunakan parfum, itu bau jeruk dari sampo rambutku.”Lelaki itu tersenyum. "Benarkah?" Liana mengangguk.Di tengah malam dengan cahaya lampu bekelap kelip. Kedua mata Liana melihat lelaki dan wanita berjoget setengah sadar, karena efek terlalu banyak meminum alkohol. Bahkan ada yang bercumbu mesra, berciuman penuh napsu tanpa ada rasa malu, lalu kedua pasangan itu berlanjut menaiki lantai atas—menyewa kamar.Perut Liana seketika mual, setelah melihat adegan mesum yang tidak pantas dilakukan di depan publik seperti ini. Tetapi wajar bagi mereka. Di sini adalah clu
“BERHENTI, HEI! WANITA JALANG!”Teriakan dari David seperdetik membuat Liana langsung menolehkan kepala. David mengejar Liana dengan keadaan sudah sedikit mabuk efek alkohol. Dengan tenaga yang tersisa—Liana berlari, menelusuri lorong club, dia mencari pintu utama.Liana mendengar dia memanggilnya jalang? Liana tersenyum sinis. Berani sekali David memanggil Liana sebutan jalang, jajaran wanita kurang belaian dan sentuhan? Oh, No. Liana bukan wanita jalang. Dia hanya wanita pengecut karena menerima phobia sex, tetapi terus menghindar dari phobia sex. Liana berharap, suatu saat nanti. Yeah. Liana yakin, ada lelaki yang bisa menyembuhkan phobia sexnya.“Hey! Tangkap gadis wanita itu!” teriak David menggema lorong. “Jangan biarkan dia kabur!” kata David kepada lelaki penjaga club malam. Lelaki itu berdiri tepat di depan pintu masuk.Liana menghentikan langkah kaki, dia terdiam. Di sana dengan jarak tidak cukup jauh, ada dua lelaki bertubuh besar tengah bersiap-siap menangkap Liana. Dua le
“Ya! Bagaimana bisa kalian kalah!” David berteriak marah. David kembali ke masuk club—Dia tidak peduli lagi, target wanita sudah kabur. “Sialan kau, Liana.” Sepanjang jalan David menggerutu.“Anda bilang tidak kenal dengan wanita jalang itu. Lantas kenapa membantu dia untuk kabur?” sinis lelaki itu kepada Nova. Kedua lelaki itu sama-sama menyentuh hidung yang berdarah. "Anda harus bertanggung jawab."Jika wanita bisa mengalahkan dua lelaki berbadan besar, tentunya dia laki-laki—Nova—dapat mengalahkan mereka berdua bukan?“Dua lawan satu wanita? Banci kalian!” kata Nova mengejek. “Maju! Lawan aku!”Nova sudah bersiap, mamasang kuda-kuda dan berniat memukul salah satu dari mereka.... Hanya saja, Nova memukul udara karena tidak mengenai salah satu tubuh lelaki itu ...Dua lelaki itu hanya tertawa remeh melihat kehebatan pukulan Nova. Saking hebat hingga tidak mengenai tubuh salah satu lelaki itu. Nova tidak putus asa, dia kembali memukul tapi tetap saja tidak mengenai mereka.Pada akhirn
Sebagai orang tua selalu menginginkan terbaik untuk anaknya. Masa depan cerah dan karir yang sukses. Demikian dengan ayah Nova, dia mempunyai satu anak yang pemalas. Siapa lagi kalau bukan Nova? Presdir Dika menunggu Nova pulang, dia duduk di ruang keluarga, menonton televisi untuk menghilangkan bosan. Sudah malam, Nova belum pulang ke rumah. Dika mulai marah dan kesal karena terlalu lama. menunggu Nova pulang. Kemana Nova pergi? Sebenarnya Presdir Dika mengikuti kebiasaan Ibunya, menunggu sang anak pulang ke rumah. Dika akan meminta maaf kepada Nova, karena sikap Dika kepada Nova terlalu keras dan sering memukul, mendidik terlalu keras hingga Nova tumbuh menjadi anak bandel dan nakal. Dika mengakui kesalahan, akhirnya setelah menunggu satu jam—Nova kembali ke rumah.“Nova," panggil Dika, suaranya lembut."Ya, Ayah? Ada apa?" Kaki Nova berhenti berjalan dengan keadaan setengah mabuk, tetapi Novaa masih sadar. Aneh, Nova tidak berani melihat Dika yang sedang duduk di sofa."Dari mana
Di televisi ada berita tentang seorang anak pemilik perusahaan AD (Andromeda Company) berita itu sudah menyebar luas. Kejadian perkelahian dan pertengkaran di club malam menarik sorotan media, mulai dari TV, koran dan radio.Siapa yang tidak malu? Melihat wajah anak Presdir Dika di layar televisi dan koran?“Astaga! Ada apa ini?” tanya Presdir Dika pada diri sendiri, melihat wajah Nova di televisi. Dika langsung mematikan televisi. Suasana pagi telah buruk. Sekretaris Andra datang ke rumah Dika membawa koran. "Selamat pagi, Presdir. Saya membawa koran terbaru hari ini. Berita buruk! Berita buruk! Liatlah ini." Sekretaris Andra menyodorkan koran kepada Dika.Dika semakin marah. Nama Nova dan wajah Nova ada di koran tersebut. Terlibat kejadian di club malan. “Anak nakal itu!” Dika menggertakkan gigi dengan kesal. Lalu Dika merobek koran menjadi serpihan kertas tidak terbentuk.Wajah Dika bertambah garang melihat sang anak keluar dari kamar, turun dari tangga dengan ekspresi tidak bersal
"Ah...." Nova tidak mempunyai energi. Direktur Nova mendesah berkali-kali, memikirkan kenapa setiap hari mendapatkan kesialan atau sudah takdir Nova? Hari yang buruk. "Apa yang semalam aku lakukan? Apa aku sudah gila?" "Direktur kenapa?"Nova tidak menjawab.Nova melangkahkan kaki masuk ke perusahaan pimpinan ayahnya. Sekretaris baru—Liana—siap taat dengan perintah dari Direktur dan sungguh melakukan pekerjaan. Sesuai janji, datang ke kantor tidak terlambat lagi seperti kemarin.Wanita itu menggunakan rok ketat pink muda dengan blouse putih serta rambut diikat satu, wajah Liana lebih anggun dan menarik. Sedangkan, Nova? Tidak rapih, penampilan tidak rapih. Hihi rambutnya, seperti sarang burung, dan dia tidak memakai dasi. Liana melihat Nova dari ekor matanya, melihat luka lebam di wajah Nova. Dia merasa bersalah dengan kejadian di club dan Liana ingin meminta maaf. “Direktur. A—aku—”“Berhenti! Kamu jangan bertanya tentang lukaku," kata Nova cepat. “Aku tahu. Kamu sudah melihat be
Menghapus nama keluarga? Nova menggeleng tidak mau. Lelaki itu sudah membayangkan betapa menderitanya ketika namanya dihapus oleh sang Ayah. Lagian ada-ada saja Presdir Dika ingin penghapusan nama Nova di kartu keluarga. ***Pintu lift terbuka dan Liana sadar dari lamunan. Liana masuk ke dalam lift, telinganya mendengar suara familiar, menyapa Liana . Suara itu .... Liana tahu pemilik suara tidak asing baginya.“Hai, kita satu lift lagi. Mungkin kita berjodoh dengan lift ini.”Gombalan? Ah, kenapa Evan selalu membuat Liana tertawa.Tanpa melihat, Liana tahu suara yang menyapa malam ini dari dalam lift adalah Direktur Evan. Lelaki yang terjebak di lift bersama Liana tempo hari lalu.Deg ... deg ... deg. Om my god, jantung Liana berdebar kencang melihat senyuman manis Evan. Dia tidak pernah lagi merasakan debaran jantung berpacu cepat, kecuali ketika bersama Revan. "Hai." Liana menyapa Evan dengan canggung dan gugup. Satu lift lagi bersama Evan? Ah... Seperti mimpi. "Oke, Lian. Ayolah
“Selamat pagi, Presdir Dika,” sapa Liana sopan ketika bertemu dengan Dika di halaman kantor. “Semoga hari Presdir menyenangkan.” Liana tersenyum manis.Presdir Dika juga menyapa Liana dengan mengangguk sopan lalu melanjutkan langkah kaki di ikuti sekretaris Andra dari belakang. Langkah kaki Presdir Dika berhenti, dia baru saja mengingat sesuatu. Lelaki tua itu berbalik badan memanggil Liana. Liana segera berlari kecil menghampiri Presdir.“Ya? Presdir? Ada yang bisa Liana bantu?"“Sekretaris Liana, kenapa kamu berada di sini?” tanya Presdir Dika ke Liana lalu beralih ke sekretaris Andra. “Tolong bilang ke supir saya supaya mengantarkan sekretaris Liana.”Liana bingung, dahi berkerut. “Apa? Maksud dari Presdir apa?” tanya Liana.“Pergilah ke rumah saya, menjemput Nova. Jangan membuat dia bermalasan. Menggunakan kekuatan fisik tidak apa, saya sudah mencoba menggunakan kekuatan kekerasan. Tidak bisa merubah sikap dan sifat Nova. Jadi, jika tidak bisa menggunakan kekuatan pendidikan, pukul