Sebagai orang tua selalu menginginkan terbaik untuk anaknya. Masa depan cerah dan karir yang sukses. Demikian dengan ayah Nova, dia mempunyai satu anak yang pemalas. Siapa lagi kalau bukan Nova? Presdir Dika menunggu Nova pulang, dia duduk di ruang keluarga, menonton televisi untuk menghilangkan bosan. Sudah malam, Nova belum pulang ke rumah. Dika mulai marah dan kesal karena terlalu lama. menunggu Nova pulang. Kemana Nova pergi? Sebenarnya Presdir Dika mengikuti kebiasaan Ibunya, menunggu sang anak pulang ke rumah. Dika akan meminta maaf kepada Nova, karena sikap Dika kepada Nova terlalu keras dan sering memukul, mendidik terlalu keras hingga Nova tumbuh menjadi anak bandel dan nakal. Dika mengakui kesalahan, akhirnya setelah menunggu satu jam—Nova kembali ke rumah.“Nova," panggil Dika, suaranya lembut."Ya, Ayah? Ada apa?" Kaki Nova berhenti berjalan dengan keadaan setengah mabuk, tetapi Novaa masih sadar. Aneh, Nova tidak berani melihat Dika yang sedang duduk di sofa."Dari mana
Di televisi ada berita tentang seorang anak pemilik perusahaan AD (Andromeda Company) berita itu sudah menyebar luas. Kejadian perkelahian dan pertengkaran di club malam menarik sorotan media, mulai dari TV, koran dan radio.Siapa yang tidak malu? Melihat wajah anak Presdir Dika di layar televisi dan koran?“Astaga! Ada apa ini?” tanya Presdir Dika pada diri sendiri, melihat wajah Nova di televisi. Dika langsung mematikan televisi. Suasana pagi telah buruk. Sekretaris Andra datang ke rumah Dika membawa koran. "Selamat pagi, Presdir. Saya membawa koran terbaru hari ini. Berita buruk! Berita buruk! Liatlah ini." Sekretaris Andra menyodorkan koran kepada Dika.Dika semakin marah. Nama Nova dan wajah Nova ada di koran tersebut. Terlibat kejadian di club malan. “Anak nakal itu!” Dika menggertakkan gigi dengan kesal. Lalu Dika merobek koran menjadi serpihan kertas tidak terbentuk.Wajah Dika bertambah garang melihat sang anak keluar dari kamar, turun dari tangga dengan ekspresi tidak bersal
"Ah...." Nova tidak mempunyai energi. Direktur Nova mendesah berkali-kali, memikirkan kenapa setiap hari mendapatkan kesialan atau sudah takdir Nova? Hari yang buruk. "Apa yang semalam aku lakukan? Apa aku sudah gila?" "Direktur kenapa?"Nova tidak menjawab.Nova melangkahkan kaki masuk ke perusahaan pimpinan ayahnya. Sekretaris baru—Liana—siap taat dengan perintah dari Direktur dan sungguh melakukan pekerjaan. Sesuai janji, datang ke kantor tidak terlambat lagi seperti kemarin.Wanita itu menggunakan rok ketat pink muda dengan blouse putih serta rambut diikat satu, wajah Liana lebih anggun dan menarik. Sedangkan, Nova? Tidak rapih, penampilan tidak rapih. Hihi rambutnya, seperti sarang burung, dan dia tidak memakai dasi. Liana melihat Nova dari ekor matanya, melihat luka lebam di wajah Nova. Dia merasa bersalah dengan kejadian di club dan Liana ingin meminta maaf. “Direktur. A—aku—”“Berhenti! Kamu jangan bertanya tentang lukaku," kata Nova cepat. “Aku tahu. Kamu sudah melihat be
Menghapus nama keluarga? Nova menggeleng tidak mau. Lelaki itu sudah membayangkan betapa menderitanya ketika namanya dihapus oleh sang Ayah. Lagian ada-ada saja Presdir Dika ingin penghapusan nama Nova di kartu keluarga. ***Pintu lift terbuka dan Liana sadar dari lamunan. Liana masuk ke dalam lift, telinganya mendengar suara familiar, menyapa Liana . Suara itu .... Liana tahu pemilik suara tidak asing baginya.“Hai, kita satu lift lagi. Mungkin kita berjodoh dengan lift ini.”Gombalan? Ah, kenapa Evan selalu membuat Liana tertawa.Tanpa melihat, Liana tahu suara yang menyapa malam ini dari dalam lift adalah Direktur Evan. Lelaki yang terjebak di lift bersama Liana tempo hari lalu.Deg ... deg ... deg. Om my god, jantung Liana berdebar kencang melihat senyuman manis Evan. Dia tidak pernah lagi merasakan debaran jantung berpacu cepat, kecuali ketika bersama Revan. "Hai." Liana menyapa Evan dengan canggung dan gugup. Satu lift lagi bersama Evan? Ah... Seperti mimpi. "Oke, Lian. Ayolah
“Selamat pagi, Presdir Dika,” sapa Liana sopan ketika bertemu dengan Dika di halaman kantor. “Semoga hari Presdir menyenangkan.” Liana tersenyum manis.Presdir Dika juga menyapa Liana dengan mengangguk sopan lalu melanjutkan langkah kaki di ikuti sekretaris Andra dari belakang. Langkah kaki Presdir Dika berhenti, dia baru saja mengingat sesuatu. Lelaki tua itu berbalik badan memanggil Liana. Liana segera berlari kecil menghampiri Presdir.“Ya? Presdir? Ada yang bisa Liana bantu?"“Sekretaris Liana, kenapa kamu berada di sini?” tanya Presdir Dika ke Liana lalu beralih ke sekretaris Andra. “Tolong bilang ke supir saya supaya mengantarkan sekretaris Liana.”Liana bingung, dahi berkerut. “Apa? Maksud dari Presdir apa?” tanya Liana.“Pergilah ke rumah saya, menjemput Nova. Jangan membuat dia bermalasan. Menggunakan kekuatan fisik tidak apa, saya sudah mencoba menggunakan kekuatan kekerasan. Tidak bisa merubah sikap dan sifat Nova. Jadi, jika tidak bisa menggunakan kekuatan pendidikan, pukul
Nova bingung dengan reaksi Liana."Kenapa? Ada apa sekretaris Liana?" Nova mulai mencari sesuatu kesalahan dalam dirinya, sedetik kemudian dia baru sadar. Dia memakai celana dalam bergambar Naruto di pantat Nova. Nova langsung terlonjak dan berteriak heboh, tangan Nova mengambil alih selimut—selimut di tangan Liana dan terjatuh ke lantai—lelaki itu langsung menutupi tubuhnya.Nova terkejut dan malu, dia sadar di dalam kamarnya ada Liana. “Kamu gila?! Mengapa kamu masuk ke kamar aku?!” tanya Nova tidak terima. “Wah, sekretaris Liana. Berani sekali kamu masuk ke kamar bossmu tanpa mengetuk pintu.” Nova menggerutu kesal, kepalanya menggeleng tidak percaya."Tidak, Direktur. Aku sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Aku datang ke rumahmu karena perintah dari Presdir Dika,” jawab Liana gugup. “Maaf, aku minta maaf Direktur,” kata Liana canggung. Dia mengintip Nova dari celah jari."Apa yang kamu lihat? Aku sudah menutupi dengan selimut," ujar Nova dengan nada lirih.Liana membuka
Liana berusaha menahan cengkraman tangan yang semakin kuat di area leher. Liana menggeleng kepala, matanya tersorot memohon. Permohonan Liana acuhkan Revan. Hingga wajahnya beberapa kali menghindar tidak beraturan, walaupun dipaksa untuk diam dan menikmati. Liana tidak mau.Langkah kaki Liana perlahan memundur, menghindari dari lelaki yang sedang dikendalikan oleh napsu. Sial, punggung Liana mengenai dinding, itu artinya posisi sedang terkunci.Dia marah.Lelaki itu menatap Liana dengan sorot mata elang yang tajam. “Kenapa kamu tidak mau. Kenapa kamu selalu menghindari! Lyn Liana! Bukalah mulutmu, balaslah lumatan bibirku. Ayolah, sayang. Jangan membuatku marah!” gertak Revan tidak sabar.Menjijikkan.Lagi-lagi Liana menggeleng tidak.“Kenapa?! Liana! Kita sudah berpacaran lima tahun, salahkah aku meminta ciuman walaupun cuma kecupan di bibirmu?”Lelaki itu, pacar Liana. Seharusnya Liana yang marah padanya, kenapa jadi dia yang marah-marah. Memang, sejak mereka pacaran tidak pernah m
Sepanjang perjalanan pulang guyuran hujan. Liana terus menangis terisak, meraung-raung membuat orang-orang yang melihatnya tertawa atau sedikit merasa iba dan kasihan.Tanpa tahu malu, Liana manangis. Jujur, dalam hatinya masih mencintai Revan. Dia berharap hubungan langgeng sampai ke pelamian dan Revan bersedia menyembuhkan phobianya. Tetapi, tidak sesuai keinginan Liana. Liana mengutuk mantan kekasih yang akan meraih kebahagiaanya, tetapi lelaki itu mempunyai niat merusak masa depan dan kehidupan Liana.“Revan! Brengsek!” Liana memaki menyebut Revan dengan kata brengsek. Dada Liana semakin bergemuruh tidak karuan dan sesak.“Aku kutuk, Revan menderita selamanya. Tidak punya anak, mandul sekalian baru tahu rasa,” kutuk Liana. “Kalau tidak, menjadi bujang lapuk. Tidak ada yang mau sama dia untuk menjadi suami, mampus!”Semakin tidak jelas berkata, Liana semakin tidak waras.Liana tidak sadar, ada seorang lelaki berdiri di belakangnya dengan memegang sebuah payung kuning. Lelaki itu ter