Share

Bab 2

Aisyah terus berjalan, sambil menahan air matanya. Sesekali ia menengadahkan kepalanya agar cairan bening dari matanya tak membanjiri pipi.

"Aisyah!?" Suara yang sangat lembut namun berhasil membuatnya sangat terkejut.

Seketika Aisyah menengadahkan wajahnya, memandang wajah teduh yang memanggilnya. "Ibu," ucap Aisyah gugup.

"Kamu baik-baik, saja?" Ibu Laila menggenggam erat bahu Aisyah, sambil memandang lekat wajah putrinya.

"Aku baik, Bu." Aisyah mencoba membuat dirinya tampak baik, dengan memaksa senyuman mengembang di bibirnya.

"Kamu mau kemana? Bukan Sintya ada di sana?" ucap Ibu Laila sambil memandang ke arah Sintya. Aisyah pun mengikuti pandangan ibunya dengan lemas. "Kamu sudah mengucapkan selamat pada Sintya, dan calon suaminya?"

Ucapan ibunya berhasil membuat denyut nadinya kembali terhenti, seperti teekena sengatan listrik. Aisyah mencoba untuk menutupi keterkejutannya. Membuat dirinya tampak tenang.

Aisyah hanya menggelengkan kepalanya dengan senyuman yang dipaksanya tetap mengembang di bibir. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut, demi menjawab pertanyaan ibunya.

"Kalau begitu ayo, kita naik untuk mengucapkannya bersama," ucap Ibu Laila sambil tersenyum, dan memberikan buket bunga pada Aisyah.

Aisyah kini benar-benar berada di posisi yang terjepit. Tak mungkin untuk menolak keinginan ibunya, dan mengiyakannya membuat luka hatinya semakin melebar. Tak mungkin ia membiarkan air matanya berderai di pipi di depan ibunya dan orang banyak. Namun menahan semuanya membuat dadanya begitu sesak.

Aisyah berulang kali mengatur nafas. Membuat dirinya setenang mungkin dalam luka hati yang semakin menganga.

"Aisyah?" Ibu Laila mengerutkan kening nya. "Bukan itu supir kantor yang sering menjemputmu?" tanya ibu Laila tiba-tiba.

Aisyah terperanjat, namun masih dapat sedikit menyembunyikannya. "Ah…. Ibu salah lihat, mungkin hanya sedikit mirip. Masa iya, Om Adam jodohin Sintya dengan seorang supir. Ibu ini ngacok." 

Aisya mencoba sedikit terkekeh di akhir kalimatnya. Benar-benar mengontrol semua emosi yang campur aduk dalam hatinya.

"Mungkin benar. Mereka hanya mirip." Ibu Laila menganggukan kepala, meski masih ada sedikit keraguan di hatinya. "Tapi…..," Ibu Laila tak menyelesaikan kalimatnya. Sedang Aisyah tak ingin membahasnya lebih dalam.

Tak mungkin penglihatannya salah, beliau tak hanya sekali dua kali bertemu. Beliau yakin itu adalah orang yang sama.

Ibu Laila memeluk erat tubuh Sintya, sedang mata Aisyah dan Haikal bertemu di satu titik yang sama, memandang lekat satu sama lain. 

"Aisyah?!" batin Haikal terkejut. Matanya enggan berkedip, terus menatap lekat ke arah Aisyah. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Entah apa yang kini ia rasa, mungkin hatinya masih tak percaya Aisyah yang ia lihat.

"Selamat ya, Sintya. Semoga semua berjalan lancar hingga acara akad nikahmu nanti." Aisya mengembangkan senyum yang dibuat semanis mungkin, sambil memberikan buket yang ibunya bawa.

"Terima kasih, Aisyah," jawab Sintya dengan senyum yang merekah bahagia, sambil merengkuh tubuh Aisyah. 

Silau cincin sempat masuk ke retina Aisyah, memaksa matanya sedikit melirik ke arah jari manis Sintya. Cincin yang sama seperti yang ia pilih tempi hari dengan Haikal. Air matanya tak mampu ditahan.

"Kamu menangis?" Sintya memperhatikan pipi Aisyah yang membentuk aliran sungai.

"Ah...ini," Aisyah cepat menyekanya. "Aku hanya terharu melihat kalian berdua," jawab Aisyah dengan tersenyum 

"Uhm… so sweet." Sintya membalas senyuman Aisyah sambil kembali memeluknya.

"Pak Haikal." Aisyah menyodorkan tangan nya ke arah Haikal, sambil sekali menatap wajahnya. "Selamat ya, Pak."

Haikal tak mampu berucap, hanya menganggukan kepala dan membalas jabat tangan Aisyah.

Aisyah cepat turun dari podium tempat Sintya dan Haikal bertukar cincin.

"Maaf, Bu. Aku ke dalam dulu sebentar," ucap Aisyah sambil memegang pundak ibunya dan melempar senyum.

Aisyah bergegas pergi setelah anggukan dari ibunya. Air matanya tak mampu lagi ia tahan. Aisyah berjalan dengan air mata mengiringi langkahnya.

Aisyah menangis sesegukan di dekat kolam renang, tempat yang sepi dari kerumunan orang yang tengah berbahagia.

"Ternyata aku memang bodoh. Hanya pemimpi bodoh yang tak sadar diri. Mana mungkin Mas Haikal serius dengan ucapannya tempo lalu. Aku terlalu berharap. Mana mungkin seorang pengusaha sukses mau menikahi upik abu seperti ku. Mimpi." Aisyah  mencaci dirinya sendiri, dengan air mata yang terus membanjir.

"Itu bukan mimpi Aisyah!"

Aisyah terperanjat, menoleh ke arah sumber suara sambil menyeka air matanya.

"Ada perlu apa Bapak ke sini?" ucap Aisyah ketus.

"Aku bisa jelaskan semuanya, semua ini tak seperti yang kamu…."

"Dan aku tak perlu penjelasan itu!" Aisyah memotong cepat kalimat Haikal, dengan nada tegas. 

"Tapi aku tak pernah menginginkan perjodohan ini, Aisyah!"

"Dan aku tak pernah butuh penjelasan itu, Pak!" Aisyah kembali menjawab cepat, sambil menatap ke arah Haikal.

"Aisyah. Tolong dengarkan penjelasan ku. Aku tahu kamu juga punya rasa yang sama, kita punya rasa yang sama!" Haikal memegang kedua pundak Aisyah. "Percayalah ini tak seperti yang kamu pikir."

"Lepaskan tanganmu, Pak!" ucap Aisyah tegas, sambil memandang kedua bahunya  bergantian. "Sudah cukup Bapak menciptakan mimpi di kehidupan saya, sudah cukup Bapak membawa saya dalam semua fatamorgana ini. Tolong tinggalkan, saya sendiri."

Aisyah memalingkan muka, menghadap ke arah lain yang mencari fokus yang membuatnya sedikit nyaman.

"Itu bukan mimpi Aisyah, itu impian yang akan ku wujudkan?" Haikal menepis semua pendapat Aisyah. "Pertunangan ini bisa aku gagalkan, malam ini juga. Karena aku juga tak pernah menginginkannya."

Aisyah tersentak, otak nya tak mampu bekerja dengan benar kali ini. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tak tahu juga apa yang harus diucapkan.

"Kamu masih tidak percaya?" Haikal menatap wajah Aisyah. "Akan ku buktikan."

Haikal menggenggam erat pergelangan tangan Aisyah, dan menariknya. Aisyah masih tak mengerti apa yang harus diperbuat, ia hanya mengekor pasrah dengan apa yang akan Haikal lakukan pada dirinya.

"Apa yang akan Bapak lakukan." Aisyah mulai mendapatkan kata-kata dalam otaknya. 

"Akan mewujudkan impian yang pernah ku lukis beberapa hari lalu dengan seorang gadis yang pernah kuberi janji." Haikal terus memandang ke depan, berjalan tanpa ragu. "Akan ku sematkan cincin yang kamu pilih di jari manismu, dan disaksikan oleh semua anggota keluarga kita. Dan satu lagi, aku tidak suka kamu memanggilku Bapak, kamu tau itu."

Aisyah benar-benar dibuat tidak percaya dengan apa yang akan Haikal lakukan kini. Membatalkan pertunangan yang baru beberapa menit terjadi. Bukankah ini sangat konyol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status