Aisyah terus berjalan, sambil menahan air matanya. Sesekali ia menengadahkan kepalanya agar cairan bening dari matanya tak membanjiri pipi.
"Aisyah!?" Suara yang sangat lembut namun berhasil membuatnya sangat terkejut.Seketika Aisyah menengadahkan wajahnya, memandang wajah teduh yang memanggilnya. "Ibu," ucap Aisyah gugup."Kamu baik-baik, saja?" Ibu Laila menggenggam erat bahu Aisyah, sambil memandang lekat wajah putrinya."Aku baik, Bu." Aisyah mencoba membuat dirinya tampak baik, dengan memaksa senyuman mengembang di bibirnya."Kamu mau kemana? Bukan Sintya ada di sana?" ucap Ibu Laila sambil memandang ke arah Sintya. Aisyah pun mengikuti pandangan ibunya dengan lemas. "Kamu sudah mengucapkan selamat pada Sintya, dan calon suaminya?"Ucapan ibunya berhasil membuat denyut nadinya kembali terhenti, seperti teekena sengatan listrik. Aisyah mencoba untuk menutupi keterkejutannya. Membuat dirinya tampak tenang.Aisyah hanya menggelengkan kepalanya dengan senyuman yang dipaksanya tetap mengembang di bibir. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut, demi menjawab pertanyaan ibunya."Kalau begitu ayo, kita naik untuk mengucapkannya bersama," ucap Ibu Laila sambil tersenyum, dan memberikan buket bunga pada Aisyah.Aisyah kini benar-benar berada di posisi yang terjepit. Tak mungkin untuk menolak keinginan ibunya, dan mengiyakannya membuat luka hatinya semakin melebar. Tak mungkin ia membiarkan air matanya berderai di pipi di depan ibunya dan orang banyak. Namun menahan semuanya membuat dadanya begitu sesak.Aisyah berulang kali mengatur nafas. Membuat dirinya setenang mungkin dalam luka hati yang semakin menganga."Aisyah?" Ibu Laila mengerutkan kening nya. "Bukan itu supir kantor yang sering menjemputmu?" tanya ibu Laila tiba-tiba.Aisyah terperanjat, namun masih dapat sedikit menyembunyikannya. "Ah…. Ibu salah lihat, mungkin hanya sedikit mirip. Masa iya, Om Adam jodohin Sintya dengan seorang supir. Ibu ini ngacok." Aisya mencoba sedikit terkekeh di akhir kalimatnya. Benar-benar mengontrol semua emosi yang campur aduk dalam hatinya."Mungkin benar. Mereka hanya mirip." Ibu Laila menganggukan kepala, meski masih ada sedikit keraguan di hatinya. "Tapi…..," Ibu Laila tak menyelesaikan kalimatnya. Sedang Aisyah tak ingin membahasnya lebih dalam.Tak mungkin penglihatannya salah, beliau tak hanya sekali dua kali bertemu. Beliau yakin itu adalah orang yang sama.Ibu Laila memeluk erat tubuh Sintya, sedang mata Aisyah dan Haikal bertemu di satu titik yang sama, memandang lekat satu sama lain. "Aisyah?!" batin Haikal terkejut. Matanya enggan berkedip, terus menatap lekat ke arah Aisyah. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Entah apa yang kini ia rasa, mungkin hatinya masih tak percaya Aisyah yang ia lihat."Selamat ya, Sintya. Semoga semua berjalan lancar hingga acara akad nikahmu nanti." Aisya mengembangkan senyum yang dibuat semanis mungkin, sambil memberikan buket yang ibunya bawa."Terima kasih, Aisyah," jawab Sintya dengan senyum yang merekah bahagia, sambil merengkuh tubuh Aisyah. Silau cincin sempat masuk ke retina Aisyah, memaksa matanya sedikit melirik ke arah jari manis Sintya. Cincin yang sama seperti yang ia pilih tempi hari dengan Haikal. Air matanya tak mampu ditahan."Kamu menangis?" Sintya memperhatikan pipi Aisyah yang membentuk aliran sungai."Ah...ini," Aisyah cepat menyekanya. "Aku hanya terharu melihat kalian berdua," jawab Aisyah dengan tersenyum "Uhm… so sweet." Sintya membalas senyuman Aisyah sambil kembali memeluknya."Pak Haikal." Aisyah menyodorkan tangan nya ke arah Haikal, sambil sekali menatap wajahnya. "Selamat ya, Pak."Haikal tak mampu berucap, hanya menganggukan kepala dan membalas jabat tangan Aisyah.Aisyah cepat turun dari podium tempat Sintya dan Haikal bertukar cincin."Maaf, Bu. Aku ke dalam dulu sebentar," ucap Aisyah sambil memegang pundak ibunya dan melempar senyum.Aisyah bergegas pergi setelah anggukan dari ibunya. Air matanya tak mampu lagi ia tahan. Aisyah berjalan dengan air mata mengiringi langkahnya.Aisyah menangis sesegukan di dekat kolam renang, tempat yang sepi dari kerumunan orang yang tengah berbahagia."Ternyata aku memang bodoh. Hanya pemimpi bodoh yang tak sadar diri. Mana mungkin Mas Haikal serius dengan ucapannya tempo lalu. Aku terlalu berharap. Mana mungkin seorang pengusaha sukses mau menikahi upik abu seperti ku. Mimpi." Aisyah mencaci dirinya sendiri, dengan air mata yang terus membanjir."Itu bukan mimpi Aisyah!"Aisyah terperanjat, menoleh ke arah sumber suara sambil menyeka air matanya."Ada perlu apa Bapak ke sini?" ucap Aisyah ketus."Aku bisa jelaskan semuanya, semua ini tak seperti yang kamu….""Dan aku tak perlu penjelasan itu!" Aisyah memotong cepat kalimat Haikal, dengan nada tegas. "Tapi aku tak pernah menginginkan perjodohan ini, Aisyah!""Dan aku tak pernah butuh penjelasan itu, Pak!" Aisyah kembali menjawab cepat, sambil menatap ke arah Haikal."Aisyah. Tolong dengarkan penjelasan ku. Aku tahu kamu juga punya rasa yang sama, kita punya rasa yang sama!" Haikal memegang kedua pundak Aisyah. "Percayalah ini tak seperti yang kamu pikir.""Lepaskan tanganmu, Pak!" ucap Aisyah tegas, sambil memandang kedua bahunya bergantian. "Sudah cukup Bapak menciptakan mimpi di kehidupan saya, sudah cukup Bapak membawa saya dalam semua fatamorgana ini. Tolong tinggalkan, saya sendiri."Aisyah memalingkan muka, menghadap ke arah lain yang mencari fokus yang membuatnya sedikit nyaman."Itu bukan mimpi Aisyah, itu impian yang akan ku wujudkan?" Haikal menepis semua pendapat Aisyah. "Pertunangan ini bisa aku gagalkan, malam ini juga. Karena aku juga tak pernah menginginkannya."Aisyah tersentak, otak nya tak mampu bekerja dengan benar kali ini. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tak tahu juga apa yang harus diucapkan."Kamu masih tidak percaya?" Haikal menatap wajah Aisyah. "Akan ku buktikan."Haikal menggenggam erat pergelangan tangan Aisyah, dan menariknya. Aisyah masih tak mengerti apa yang harus diperbuat, ia hanya mengekor pasrah dengan apa yang akan Haikal lakukan pada dirinya."Apa yang akan Bapak lakukan." Aisyah mulai mendapatkan kata-kata dalam otaknya. "Akan mewujudkan impian yang pernah ku lukis beberapa hari lalu dengan seorang gadis yang pernah kuberi janji." Haikal terus memandang ke depan, berjalan tanpa ragu. "Akan ku sematkan cincin yang kamu pilih di jari manismu, dan disaksikan oleh semua anggota keluarga kita. Dan satu lagi, aku tidak suka kamu memanggilku Bapak, kamu tau itu."Aisyah benar-benar dibuat tidak percaya dengan apa yang akan Haikal lakukan kini. Membatalkan pertunangan yang baru beberapa menit terjadi. Bukankah ini sangat konyol.Haikal terus menarik Aisyah, berjalan tanpa ragu. Pandangannya lurus ke depan, sepertinya ia sangat yakin dengan apa yang dilakukannya."Apa ini, tidak berlebihan?" Aisyah mulai membuka mulutnya, rangkain kalimat mulai muncul dalam otaknya."Tidak ada yang berlebihan, semua ini memang harus dilakukan." Haikal menjawab tanpa menoleh. "Aku tak ingin menyakiti diriku dan gadis yang ku cintai."Jleb, kalimat Haikal kali ini benar-benar membuatnya kembali kehilangan semua kalimat yang telah terangkai dalam kewarasannya.Entahlah, benarkah apa Aisyah lakukan sekarang, dirinya pun tak tahu dia hanya mengikuti apa yang Haikal mau, dan mimpinya yang mungkin akan menjadi nyata sebentar lagi.Mungkinkah ini bahagia yang ia mimpikan? Mungkinkah semua ini mimpi indah yang benar-benar akan membuat pesona dalam hidupnya? Semua pertanyaan berkecamuk dalam benak Aisyah."Berhenti!" ucap Aisyah tegas. Dengan pandangan yang menurun dan kepala sedikit menunduk.Aisyah menghela nafas panjang, begitupun H
Aisyah menengadah cepat menatap seseorang yang kini duduk setengah berjongkok di depannya."Aydan?!" ucap Aisyah sambil mengerutkan kening. "Kamu?"Aydan tersenyum manis sambil menatap wajah Aisyah yang masih menyisakan jejak aliran sungai di pipinya. Aydan menyekanya kedua pipi Aisyah perlahan dengan senyum yang masih mengembang. "Kamu jelek kalau menangis." Aydan berdiri sambil mengulurkan tangannya.Aisyah meraih tangan Aydan, beranjak dari keterpurukannya. Seolah kekuatannya kembali."Kamu ada disini? Sintya mengundangmu?" Aisyah memberondong. Dirinya masih tak yakin pandangannya benar."Bersihkan air matamu, aku tidak suka kamu menangis." Aydan memberikan tisu mini, yang dia ambil dari saku kemejanya."Kapan kamu datang, dan kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" tanya Aisyah penasaran, dengan suara yang sedikit serak."Aku pernah bilang, aku akan ada di sisimu ketika kamu sedih." Aydan mengingatkan kalimat yang telah begitu lama diucap. Tepat sebelum Aydan berangkat ke luar kota, u
Aydan menatap lekat wajah Aisyah. Menunggu barang kali ada kalimat yang akan Aisyah ucapkan. Namun sepertinya, semua telah jelas."Huh." Aydan menghela nafas panjan. "Jadi, kalau begitu tepatkan bukan kesimpulanku?" Aydan menutup kembali jalan yang diberikan untuk Aisyah.Aisyah memandang Aydan dari ujung kelopak mata, dengan menyunggingkan senyum"Aku ada hubungan dengan Bapak Haikal tunangan Sintya, iya itu betul. Tapi sebagai atasan dan bawahan, hanya sebatas itu." Aisyah menggeser tubuh Aydan dengan telapak tangannya. Melangkah mantap menuju tempat Haikal dan Sintya berdiri.Aydan hanya bergeming. Dan minggir seraya tangan Aisyah menyentuh lengan tangannya. Membiarkan Aisyah berjalan sendiri."Aku tahu kamu akan melakukan hal ini, meski entah apa yang sebenarnya ada di hatimu," batin Aydan dengan mata yang mengikuti pergerakan Aisyah.Aisyah terus melangkah meski dengan semua rasa yang berbaur menjadi satu. Rasa sakit hatinya justru dipakai menjadi senjata.Haikal berjalan mendekat
Aisyah pergi meninggalkan Haikal dan Sintya, untuk membaca surat yang ia terima, entah dari siapa. Dan mencari sosok Aydan yang tak tiba-tiba tak tampak batang hidungnya. "Ada perlu apa kamu di sini?" Seseorang tiba-tiba berdiri di samping Aisyah berucap dengan nada rendah, dan terdengar menghakiminya. Aisyah menoleh ke arah laki-laki setengah baya, kedua tangan yang dimasukkan dalam saku celana."Pak Wijaya?!" Aisyah sedikit terkejut mendapati Ayah Haikal yang berdiri di sampingnya. Pergi meninggalkan satu masalah, tapi justru sepertinya ia akan dapat masalah baru, dengan bertemu Pak Wijaya."Perempuan tak tahu diri. Bukan aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anak ku!" Pak Wijaya fokus menatap ke arah depan. Sepertinya enggan melihat Aisyah. Nada bicaranya lirih namun penuh penekanan. "Apa kamu yakin untuk kehilangan pekerjaanmu?"Entah angin apa yang tiba-tiba membawa Pak Wijaya beberapa bulan mengajak Aisyah bertemu dengan menitipkan surat pada teman sekantor Aisyah. Padah
Ketegangan terlihat di wajah semua anggota keluarga ketika melihat Haikal menggandeng lengan Aisyah. Dengan buket bunga yang sebenarnya entah dari siapa."Aisyah? Ada hubungan apa dia dengan Haikal. Dan genggaman tangan itu?" Sintya bertanya dalam hati, sambil mengamati keduanya. Ada sedikit rasa curiga dalam hatinya.Sedang Pak Wijaya memendam amarah yang luar biasa, telapak tangannya mengepal. Mungkin jika tidak di depan calon besan, beliau akan datang menghampiri keduanya dan menampar Aisyah. Atau meninju Haikal, mungkin."Ada apa ini, Nak Haikal?" Ibu Laila yang dalam kebingungan berjalan mendekati Aisyah dan merengkuh tubuhnya. Haikal spontan melepaskan genggaman tangannya. "Ada apa dengan anak ku?"Haikal melempar senyum ke arah Ibu Laila. "Ah… tak ada apa-apa, Tante." Entah sejak kapan panggilan itu tiba-tiba berubah. Biasanya Haikal memanggil Ibu Laila dengan kata Ibu, tapi entah kenapa mulutnya kini memanggilnya tante. "Aku hanya ingin mengenalkan Aisyah. Bukankah dia juga ke
Aisyah bermalam di villa. Pak Adam tak mengijinkannya untuk pulang karena sudah terlalu malam.Aisyah masuk ke kamar yang sudah disiapkan untuk ibu dan dirinya. Aisyah duduk di tepian tempat tidur, dan meletakkan buket bunganya di atas nakas.Rasa penasarannya pada pengirim buket bunga, justru beralih pada Pak Wijaya. Entah kenapa pertanyaan tadi mengganggu dalam benaknya. "Apa mungkin benar Pak Wijaya mengenal ayah, atau mereka pernah bertemu sebelumnya? Kenapa Beliau seolah begitu perlu mendengar pengakuanku?" benak Aisyah terus berkecamuk dengan semua pertanyaan tentang hubungan ayahnya dan Pak Wijaya."Ada apa, Sayang?" Ibu Laila menutup pintu kamar, mendekati Aisyah dan duduk di sampingnya. "Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aisyah menoleh ke arah ibunya dengan menyunggingkan senyum. "Tidak, Bu. Semua baik-baik saja," jawab Aisyah.Ibu Laila merengkuh tubuh Aisyah, dan spontan Aisyah menyandarkan kepalanya dalam dekapan Ibu Laila, sambil memeluk erat tubuh ibunya. Malam ini meman
Aisyah tak menjawab pertanyaan ibunya. Dia masih memandang lekat cincin dalam genggamannya. Cincin yang beberapa hari lalu ia pilih. Saat mengantar Haikal mencari hadiah untuk ulang tahun ibunya."Ada yang kamu suka?""Meski ada yang aku suka, itu pun gak hari ini aku beli, Mas. Masih banyak yang lebih penting daripada perhiasan disini." "Aku hanya ingin, tahu seperti apa seleramu.""Ini." Aisyah menunjuk sebuah cincin yang dibalut dengan rose gold dan memiliki satu berlian di bagian tengahnya, yang didesain layaknya mahkota bunga."Aisyah, kamu yakin ini dari Haikal." Ibu Laila menyentuh pundak Aisyah, dan membuatnya terperanjat dari lamunannya.Aisyah mengangguk. "Ini cincin yang pernah aku pilih beberapa hari lalu. Saat itu Haikal bertanya desain cincin yang aku suka. Dia hanya menanyakan itu, itu yang aku ingat. Dia hanya membeli satu cincin sebagai hadiah untuk ibunya. Hanya itu yang aku ingat, Bu.""Simpan baik-baik, sebelum ada orang yang tahu. Tanyakan padanya apa maksud nya
Aisyah segera memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah cafe. Celingukan ke kanan kiri. Memastikan ia berkunjung di tempat yang tepat.Masih sangat sepi, apa mungkin ia datang terlalu awal. Aisyah mengambil handphone dan menyalakannya. Men scroll layarnya perlahan.Tempatnya benar, sesuai dengan alamat yang Haikal bagi. Tapi kemana semua orang, kenapa masih begitu sepi, pikir Aisyah bingung."Apa yang sedang kamu lakukan?" Haikal yang baru datang menegur Aisyah. "Ayo masuk.""Iya, Pak," jawab Aisyah malas. "Bapak aja, baru sampai," gerutu Aisyah."Kamu bilang apa?" ucap Haikal sambil menutup pintu mobilnya, menenteng tas laptop di tangannya. "Bisa kamu ulangi.""Em, tidak. Tidak ada apa-apa." Aisyah menjawab cepat sambil merapikan diri.Aisyah mengekor di belakang Haikal yang sudah terlebih dahulu melangkah, masuk ke dalam cafe."Ini bukan akal-akalan, Bapak saja kan?""Akal-akalan untuk?""Untuk bertemu denganku?" jawab Aisyah lugu.Haikal menghentikan langkahnya. Memutar badannya dan