"Aisyah." Sintya memanggil Aisyah sembari mendekatinya. "Aku kira, kamu tak akan datang. Kamu tahu, kamu sudah sangat-sangat telat."
"Bukankah acara belum dimulai?" Aisyah melihat ke sekeliling pelataran villa yang telah disulap dengan dekorasi lampu-lampu gantung kecil yang terpasang indah. Nampak hoop dari rotan yang terbungkus tanaman merambat dengan lampu tirai yang telah menyala. Standing vase dengan bunga yang terangkai menambahkan aksen romantis."Acara memang belum dimulai. Tapi aku juga tak ingin melihat kamu seperti ini." Sintya melihat Aisyah dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas. "Kamu juga harus dandan dong.""Oh. Tidak…. tidak…. tidak… " Aisyah menggelengkan-gelengkan kepalanya, sambil memundurkan badan. "Kamu tahu kan, aku paling anti dengan make up?""Untuk kali ini aku ingin kamu mau. No debat, ok." Sintya menarik Aisyah masuk kedalam villa dan masuk ke dalam kamar, dengan sedikit perlawanan dari Aisyah. "Ngomong-ngomong kamu udah pernah ketemu sama calon tunangan kamu?" Aisyah memandang lekat ke arah Sintya."Menurut, kamu?" Sintya balik bertanya.Aisyah mengedikkan bahu. "Entahlah, tapi apa mungkin seorang Sintya mau dijodohkan kalau belum ketemu dengan pria yang akan menjadi pendamping hidup nya? Itu sangat mustahil." Aisyah tersenyum sambil menggelengkan kepala."Itu kamu, tahu jawabannya." Sintya tersenyum simpul."Mau tau dong, kaya apa si pria yang dipilihkan om Adam untuk Si Cantik ini." Aisyah sedikit menggoda Sintya."Sayang, kamu sudah siap?" Tiba-tiba Pak Adam masuk ke dalam kamar Sintya. "Aisyah sudah datang juga rupanya.""Iya, Om Adam." Aisyah menjabat tangan dan mencium takzim punggung tangannya. "Om, apa kabar?""Om, baik Sayang." Om Adam memeluk erat tubuh mungil Aisyah, setelah melepaskan tangannya. "Kamu, sendiri bagaimana kabar?""Aku, kabar baik, Om." Aisyah melepas pelukan Om Adam, meski berada dalam dekapan Om nya sebenarnya membuatnya merasa aman, seperti dalam pelukan ayah nya."Syukurlah, kalau begitu." Pak Adam mengusap kepala Aisyah yang terbungkus jilbab coklat susu. "Cepatlah turun, keluarga calon tunanganmu hampir sampai," ucap Pak Adam sambil menatap wajah Sintya."Baik, Pa. Papa turin saja dulu nanti aku nyusul," jawab Sintya bersemangat, wajahnya nampak berbunga-bunga."Cepatlah, Papa tunggu di bawah," ucap Pak Adam cepat. "Maaf Om, tinggal dulu ya, Aisyah."Aisyah tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Om."Sintya menoleh ke arah Aisya setelah Papa nya menutup pintu. "Ingat, kamu juga harus dirias. Kamu dengar kan, Papa sudah menyuruhku turun? Jadi kamu juga harus cepat bersiap. Aku akan turun kalau kamu sudah mulai dirias." Sintya memberondong, tak memberi celah untuk Aisyah berkata sepatah katapun. "Cepat mandi, jangan sampai aku kena marah Papa gara-gara kamu.""Iya, iya," jawab Aisyah pasrah. Yang kemudian masuk ke kamar mandi.Tak berselang lama Aisyah keluar dari kamar mandi. "Aku kira kamu tadi benar-benar sudah siap, Sin," ujar Aisyah sambil mendekati Sintya yang rambutnya tengah disanggul sederhana."Enak aja, ini acara penting, masa iya aku cuma pake dress midi." Sintya berucap sambil melihat Aisyah dari ekor matanya.Sintya beranjak dari tempat duduk, dan merapikan sedikit kebayanya. Ia sudah siap dengan baju model kebaya warna lilac dengan sentuhan payet dan renda, yang dipadukan dengan songket warna ungu dengan kilauan perak yang terlihat mewah. Tak begitu glamour tapi sangat elegan."Sekarang giliran kamu, sayang." Sintya merengkuh bahu Aisyah dan mendudukkannya di depan meja rias. "Bajumu sudah aku, siapkan. Jadi, harus kamu pakai. Aku gak mau kamu tampil seenaknya di foto ku nanti," ucap Sintya sambil menahan senyum."Siap, sesuai perintah," jawab Aisyah dengan senyum manisnya, sambil memandang Sintya. "Aku turun dulu." Sintya melangkah menuju ambang pintu. "Aku tunggu kamu di bawah." Sintya kembali menghentikan langkahnya. "Dan satu lagi, cepat.""Iya," ucap Aisyah singkat sambil menatap punggung Sintya yang menghilang di balik pintu. "Oh ya, Sin. Kamu belum jawab pertanyaan ku tentang calon suamimu."Sintya menoleh ke arah Aisyah sambil melempar senyum simpul. "Yang pasti dia tampan.""Dan kamu jatuh cinta pada pandangan pertama?" Aisyah memotong kalimat Sintya."Bukan aku yang jatuh cinta, tapi dia yang akan tergila-gila padaku," jawab Sintya sambil tersenyum nakal, dan pergi meninggalkan Aisyah."Dan dia masih tetap seperti dulu," gumam Aisyah sambil tersenyum simpul.Tanpa waktu lama Aisyah sudah siap. Make up natural dengan gaun biru pastel dan jilbab putih yang menutup kepalanya. Sederhana, namun begitu mempesona.Aisyah keluar dari kamar Sintya. Berjalan menyusuri ruangan menuju taman depan villa.Semua mata menatap ke arahnya, dan membuat Aisyah sedikit tidak nyaman."Aku merasa seperti hantu yang menampakkan wujud," gumam Aisyah. "Lihat bahkan mereka melotot melihatku," ucap Aisyah sambil melihat orang sekitar dengan ekor matanya.Aisyah cepat ke taman tempat acara berlangsung.Ternyata acara sudah berlangsung dari tadi karena MC mengumumkan untuk acara tukar cincin. Aisyah terus memandang wajah Sintya, dengan rasa penasaran yang mendalam seperti apa wajah calon suami Sintya.Aisyah hanya dapat melihat punggung sang pria. Hingga keduanya berbalik dan menatap ke depan. Tepat ke arah Aisyah."Mas Haikal?!" bisik Aisyah. Jantung nya tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Aliran darahnya seolah tak mengalir lancar. Gemerlap lampu tak lagi nampak dalam pandangannya. Semua terlihat gelap."Aku tidak salah lihat kan? Atau mungkin ada dua orang yang begitu mirip di dunia ini?" bisik hati Aisyah menenangkan diri. "Apa ini? Apa semua ini nyata? Yang ada di depanku?"Aisyah masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dalam hati masih berharap jika pandangannya itu salah. Hanya mimpi, yang ketika dia bangun semua akan kembali baik-baik saja.Matanya mulai berkaca-kaca. Ada sakit yang teramat dalam di hatinya. "Akan ku sematkan cincin yang kamu pilih di jari manismu, dan disaksikan oleh semua anggota keluarga kita." Semua kalimat manis yang Haikal ucapkan masih terdengar nyata di telinga Aisyah.Aisyah mundur perlahan, dia tak tahu apa yang sedang dia rasa kali ini. Meninggalkan tempat itu mungkin lebih baik untuknya kali ini."Aisyah!"Aisyah terus berjalan, sambil menahan air matanya. Sesekali ia menengadahkan kepalanya agar cairan bening dari matanya tak membanjiri pipi."Aisyah!?" Suara yang sangat lembut namun berhasil membuatnya sangat terkejut.Seketika Aisyah menengadahkan wajahnya, memandang wajah teduh yang memanggilnya. "Ibu," ucap Aisyah gugup."Kamu baik-baik, saja?" Ibu Laila menggenggam erat bahu Aisyah, sambil memandang lekat wajah putrinya."Aku baik, Bu." Aisyah mencoba membuat dirinya tampak baik, dengan memaksa senyuman mengembang di bibirnya."Kamu mau kemana? Bukan Sintya ada di sana?" ucap Ibu Laila sambil memandang ke arah Sintya. Aisyah pun mengikuti pandangan ibunya dengan lemas. "Kamu sudah mengucapkan selamat pada Sintya, dan calon suaminya?"Ucapan ibunya berhasil membuat denyut nadinya kembali terhenti, seperti teekena sengatan listrik. Aisyah mencoba untuk menutupi keterkejutannya. Membuat dirinya tampak tenang.Aisyah hanya menggelengkan kepalanya dengan senyuman yang dipaksanya tetap
Haikal terus menarik Aisyah, berjalan tanpa ragu. Pandangannya lurus ke depan, sepertinya ia sangat yakin dengan apa yang dilakukannya."Apa ini, tidak berlebihan?" Aisyah mulai membuka mulutnya, rangkain kalimat mulai muncul dalam otaknya."Tidak ada yang berlebihan, semua ini memang harus dilakukan." Haikal menjawab tanpa menoleh. "Aku tak ingin menyakiti diriku dan gadis yang ku cintai."Jleb, kalimat Haikal kali ini benar-benar membuatnya kembali kehilangan semua kalimat yang telah terangkai dalam kewarasannya.Entahlah, benarkah apa Aisyah lakukan sekarang, dirinya pun tak tahu dia hanya mengikuti apa yang Haikal mau, dan mimpinya yang mungkin akan menjadi nyata sebentar lagi.Mungkinkah ini bahagia yang ia mimpikan? Mungkinkah semua ini mimpi indah yang benar-benar akan membuat pesona dalam hidupnya? Semua pertanyaan berkecamuk dalam benak Aisyah."Berhenti!" ucap Aisyah tegas. Dengan pandangan yang menurun dan kepala sedikit menunduk.Aisyah menghela nafas panjang, begitupun H
Aisyah menengadah cepat menatap seseorang yang kini duduk setengah berjongkok di depannya."Aydan?!" ucap Aisyah sambil mengerutkan kening. "Kamu?"Aydan tersenyum manis sambil menatap wajah Aisyah yang masih menyisakan jejak aliran sungai di pipinya. Aydan menyekanya kedua pipi Aisyah perlahan dengan senyum yang masih mengembang. "Kamu jelek kalau menangis." Aydan berdiri sambil mengulurkan tangannya.Aisyah meraih tangan Aydan, beranjak dari keterpurukannya. Seolah kekuatannya kembali."Kamu ada disini? Sintya mengundangmu?" Aisyah memberondong. Dirinya masih tak yakin pandangannya benar."Bersihkan air matamu, aku tidak suka kamu menangis." Aydan memberikan tisu mini, yang dia ambil dari saku kemejanya."Kapan kamu datang, dan kenapa kamu tiba-tiba ada di sini?" tanya Aisyah penasaran, dengan suara yang sedikit serak."Aku pernah bilang, aku akan ada di sisimu ketika kamu sedih." Aydan mengingatkan kalimat yang telah begitu lama diucap. Tepat sebelum Aydan berangkat ke luar kota, u
Aydan menatap lekat wajah Aisyah. Menunggu barang kali ada kalimat yang akan Aisyah ucapkan. Namun sepertinya, semua telah jelas."Huh." Aydan menghela nafas panjan. "Jadi, kalau begitu tepatkan bukan kesimpulanku?" Aydan menutup kembali jalan yang diberikan untuk Aisyah.Aisyah memandang Aydan dari ujung kelopak mata, dengan menyunggingkan senyum"Aku ada hubungan dengan Bapak Haikal tunangan Sintya, iya itu betul. Tapi sebagai atasan dan bawahan, hanya sebatas itu." Aisyah menggeser tubuh Aydan dengan telapak tangannya. Melangkah mantap menuju tempat Haikal dan Sintya berdiri.Aydan hanya bergeming. Dan minggir seraya tangan Aisyah menyentuh lengan tangannya. Membiarkan Aisyah berjalan sendiri."Aku tahu kamu akan melakukan hal ini, meski entah apa yang sebenarnya ada di hatimu," batin Aydan dengan mata yang mengikuti pergerakan Aisyah.Aisyah terus melangkah meski dengan semua rasa yang berbaur menjadi satu. Rasa sakit hatinya justru dipakai menjadi senjata.Haikal berjalan mendekat
Aisyah pergi meninggalkan Haikal dan Sintya, untuk membaca surat yang ia terima, entah dari siapa. Dan mencari sosok Aydan yang tak tiba-tiba tak tampak batang hidungnya. "Ada perlu apa kamu di sini?" Seseorang tiba-tiba berdiri di samping Aisyah berucap dengan nada rendah, dan terdengar menghakiminya. Aisyah menoleh ke arah laki-laki setengah baya, kedua tangan yang dimasukkan dalam saku celana."Pak Wijaya?!" Aisyah sedikit terkejut mendapati Ayah Haikal yang berdiri di sampingnya. Pergi meninggalkan satu masalah, tapi justru sepertinya ia akan dapat masalah baru, dengan bertemu Pak Wijaya."Perempuan tak tahu diri. Bukan aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi anak ku!" Pak Wijaya fokus menatap ke arah depan. Sepertinya enggan melihat Aisyah. Nada bicaranya lirih namun penuh penekanan. "Apa kamu yakin untuk kehilangan pekerjaanmu?"Entah angin apa yang tiba-tiba membawa Pak Wijaya beberapa bulan mengajak Aisyah bertemu dengan menitipkan surat pada teman sekantor Aisyah. Padah
Ketegangan terlihat di wajah semua anggota keluarga ketika melihat Haikal menggandeng lengan Aisyah. Dengan buket bunga yang sebenarnya entah dari siapa."Aisyah? Ada hubungan apa dia dengan Haikal. Dan genggaman tangan itu?" Sintya bertanya dalam hati, sambil mengamati keduanya. Ada sedikit rasa curiga dalam hatinya.Sedang Pak Wijaya memendam amarah yang luar biasa, telapak tangannya mengepal. Mungkin jika tidak di depan calon besan, beliau akan datang menghampiri keduanya dan menampar Aisyah. Atau meninju Haikal, mungkin."Ada apa ini, Nak Haikal?" Ibu Laila yang dalam kebingungan berjalan mendekati Aisyah dan merengkuh tubuhnya. Haikal spontan melepaskan genggaman tangannya. "Ada apa dengan anak ku?"Haikal melempar senyum ke arah Ibu Laila. "Ah… tak ada apa-apa, Tante." Entah sejak kapan panggilan itu tiba-tiba berubah. Biasanya Haikal memanggil Ibu Laila dengan kata Ibu, tapi entah kenapa mulutnya kini memanggilnya tante. "Aku hanya ingin mengenalkan Aisyah. Bukankah dia juga ke
Aisyah bermalam di villa. Pak Adam tak mengijinkannya untuk pulang karena sudah terlalu malam.Aisyah masuk ke kamar yang sudah disiapkan untuk ibu dan dirinya. Aisyah duduk di tepian tempat tidur, dan meletakkan buket bunganya di atas nakas.Rasa penasarannya pada pengirim buket bunga, justru beralih pada Pak Wijaya. Entah kenapa pertanyaan tadi mengganggu dalam benaknya. "Apa mungkin benar Pak Wijaya mengenal ayah, atau mereka pernah bertemu sebelumnya? Kenapa Beliau seolah begitu perlu mendengar pengakuanku?" benak Aisyah terus berkecamuk dengan semua pertanyaan tentang hubungan ayahnya dan Pak Wijaya."Ada apa, Sayang?" Ibu Laila menutup pintu kamar, mendekati Aisyah dan duduk di sampingnya. "Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aisyah menoleh ke arah ibunya dengan menyunggingkan senyum. "Tidak, Bu. Semua baik-baik saja," jawab Aisyah.Ibu Laila merengkuh tubuh Aisyah, dan spontan Aisyah menyandarkan kepalanya dalam dekapan Ibu Laila, sambil memeluk erat tubuh ibunya. Malam ini meman
Aisyah tak menjawab pertanyaan ibunya. Dia masih memandang lekat cincin dalam genggamannya. Cincin yang beberapa hari lalu ia pilih. Saat mengantar Haikal mencari hadiah untuk ulang tahun ibunya."Ada yang kamu suka?""Meski ada yang aku suka, itu pun gak hari ini aku beli, Mas. Masih banyak yang lebih penting daripada perhiasan disini." "Aku hanya ingin, tahu seperti apa seleramu.""Ini." Aisyah menunjuk sebuah cincin yang dibalut dengan rose gold dan memiliki satu berlian di bagian tengahnya, yang didesain layaknya mahkota bunga."Aisyah, kamu yakin ini dari Haikal." Ibu Laila menyentuh pundak Aisyah, dan membuatnya terperanjat dari lamunannya.Aisyah mengangguk. "Ini cincin yang pernah aku pilih beberapa hari lalu. Saat itu Haikal bertanya desain cincin yang aku suka. Dia hanya menanyakan itu, itu yang aku ingat. Dia hanya membeli satu cincin sebagai hadiah untuk ibunya. Hanya itu yang aku ingat, Bu.""Simpan baik-baik, sebelum ada orang yang tahu. Tanyakan padanya apa maksud nya