Siang itu setelah selesai cuci piring dan masak, akhirnya seluruh pekerjaanku kelar juga. Kulanjut mandi sebelum menjemput Nindy dan Hamdi dari rumah Teh Lina, rumah mantan pacarku. Kalau aku kesana sebelum mandi, bisa-bisa Teh Lina ngomel-ngomel lagi nanti.
Semenjak tinggal berdekatan dengan Teh Lina, pekerjaanku lebih cepat selesai. Dia akan dengan senang hati menawarkan diri mengajak kedua anakku bermain di rumahnya.
Selain suka anak kecil, Teh Lina juga tidak mengerjakan apa-apa lagi. Karena dia memiliki ART yang pulang pergi untuk membantu tugas berat seperti mencuci dan yang lainnya.
Pejerjaan Teh Lina hanya masak di pagi dan sore hari.Selesai mandi, segera aku bergegas ke rumahnya untuk menjemput anakku. Tapi baru sampai teras, dia keluar sendiri dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Hamdi sama Nindy tidur Neng, sini masuk dulu ...!" ajak Teh Lina.
Aku mau masuk tapi ragu. Meski sudah akrab dan Teh Lina sering bolak-balik, tapi belum sekalipun aku masuk ke dalam rumah ini, kecuali anak-anakku.
"Di sini aja Teh, enggak enak!"
"Masuk aja, Papinya anak-anak kerja, kok Neng! Lagian mereka lagi tidur, kasihan kalau diangkat!"
Akhirnya kulangkahkan kaki ke dalam rumah berlantai dua itu. Rumah yang sangat rapi tanpa debu sedikitpun. Pantas saja, Teh Lina sering menyuruhku membereskan rumah agar terlihat nyaman, katanya.
"Sini Neng!" Teh Lina mengajakku untuk duduk di sofa-nya yang empuk itu.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh isi rumah. Tidak sopan memang, tapi aku begitu kagum. Rumah yang terlihat biasa dari luar, ternyata sangat mewah dan nyaman di dalamnya. Pantas saja kedua anakku betah disini. Bagaimana tidak? Di ruangan ini saja, AC terpasang. Bukan hanya di dalam kamar.
"Teteh seneng sekarang punya temen ngobrol," katanya membuka percakapan.
"Sama Teh, Jani juga. Oya, Teteh udah lama tinggal di sini?"
"Belum Neng, dulu mah Teteh di kampung sama anak-anak, Papinya yang tinggal di sini."
"Oooo ...."
Aku mulai celingukan sebelum mengutarakan pertanyaan sensitif satu ini.Takut Teh Lina bohong kalau suaminya kerja dan tiba-tiba muncul di sini.
"Teteh sama Pak Hadi mesra terus ya. Kasih tips atuh Teh, buat pasangan muda kaya Jani sama Mas Pras yang masih labil ini," tanyaku kepo.
"Deuh, Teteh juga bingung itu mah! Namanya pernikahan mah pasang surut Neng, ujian mah ada aja. Nih ya, dulu kan Teteh itu dijodohin, makanya si Papi jarang pulang ke kampung, di sini juga jarang. Maunya di Jakarta terus. Kalau kata ponakan Teteh mah, bilangnya dia punya pacar waktu itu!"
Glekk
Ucapan Teh Lina lagi-lagi membuatku mati kutu. Itu artinya, Aa Hadi enggak bohong soal perjodohan itu. Tapi, apa ponakan Teh Lina tahu, kalau selingkuhannya itu adalah aku?
Bagaimana kalau tiba-tiba dia berkunjung ke rumah bibinya dan mengenaliku?"Terus, Teh?" Walau takut, aku penasaran juga.
"Ya Teteh juga disaranin sama orangtuanya, biar ikut Papi ke sini, nemenin dia biar nggak kegoda cewek gatel lagi!"
Glekk
"Terus, Teh?"
"Terus terus mulu. Ya ini mungkin buah dari kesabaran Teteh selama ini, Jan! Rumah tangga Teteh adem ayem aja sampai sekarang. Alhamdulillah ...."
Hatiku kembali teriris mendengarnya. Bagaimana kalau dia sampai tahu bahwa suaminya masih memberi perhatian lebih pada mantan pacarnya, yaitu aku?
Kupandangi potret besar keluarga mereka yang terpajang di dinding. Aa Hadi, Teh Lina, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan.
"Itu anak Teteh ya? Siapa namanya?"
Tinggal seminggu lebih di sini, tapi belum sempat bertemu langsung dengan kedua anaknya.
"Iya, Neng. Yang kuliah Ranti, yang SMA namanya Rasyid. Kalau satunya lagi, namanya Dini."
Dini? Apa enggak salah itu nama?
Jangan-jangan nama anak terakhir mereka adalah gabungan namaku sama dia?
Jangan-jangan dia belum bisa move-on, bahkan saat kelahiran anak ketiganya. Duh, atau hanya aku yang kegeeran?
Ah, sudahlah ... aku enggak mau ambil pusing. Lebih baik mikirin rumah Teh Lina yang terlalu rapi buatku.Aku yakin Aa Hadi yang rajin membereskan rumah ini.
Dulu saja waktu pacaran sama aku, dia ini memang apik orangnya. Pintar benerin apa saja yang dia bisa, terus rajin bersih-bersih pula. Makanya, Ibu sayang banget sama dia. Dan waktu tahu kalau dia sudah membohongi kami sekeluarga, Ibu sangat menyayangkan. Bapak pun begitu, dia seperti kehilangan teman. Apalagi, keduanya sama-sama punya hobi mancing.Kalau Mas Pras mana mau? Kalau libur, yang ada dia hanya akan tidur seharian. Sama Ibu dan Bapak pun, dia tidak terlalu dekat. Tidak bisa mengambil hati Ibu dan Bapak.
Ah, seandainya saja waktu bisa kuputar kembali. Mungkin aku akan lebih selektif memilih pasangan hidup. Tidak seperti Mas Pras yang cuek dan pelit.
Astaghfirullah ... kenapa sekarang aku malah kufur nikmat?
Kenapa sekarang aku mempermasalahkan sikap Mas Pras?Apa karena sekarang melihat Aa Hadi lagi dan kehidupannya?
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa