Share

KIRIMAN PAKET

"Elvy Sukaesih?" bisikku.

Sukaesih itu nama ibuku di kampung. Tapi yang suka menambahkan nama Elvy di depannya ....?

Aa Hadi???

Mataku sampai melotot, saat ingat kalau dialah yang sering menambahkan nama belakang ibu. Jadi, apa benar paket kiriman paket ini dari Aa Hadi?

Segera kubuka paket itu karena penasaran sekali dengan isinya. Setelah dibuka, isinya adalah daster model kekinian. Ada sekitar delapan stel daster terusan dengan bau khas pakaian baru dari plastik pembungkusnya.

"Daster? Banyak banget?" gumamku sambil terus melihat isi di dalamnya.

Kucari lagi data pengirim pada plastik pembungkus paket. Di sana tertera nomor handphone-nya.

Aku mulai curiga lagi. Kalau benar ibuku yang mengirim, mana ada dia punya handphone? Karena dia tetap tidak bisa menggunakannya meski telah diajari adikku, Anjeli berkali-kali. 

Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor itu.

"Halo?" tanyaku sedikit ragu.

"Halo, ini pasti Anjani. Sudah terima paket dari Aa?" sahut suara di ujung telepon.

Glekk

Benar, kan? Aa Hadi yang telah mengirimkan paket ini. Tapi untuk apa?

"Aa apa-apaan sih?" tanyaku kesal sambil sedikit berteriak. 

Assalamualaikum ...!"

Suara Teh Lina yang terdengar mengucap salam dari luar benar-benar mengagetkanku. Hingga reflek,  kulempar ponsel ke atas kasur dan membentur tembok saking terkejutnya.

Sebelum membuka pintu, aku mendorong kardus paket itu dan segera disembunyikan ke dalam kamar.

"Ya, Teh?" sahutku gugup. Sambil melirik tangan yang membawa pakaian.

"Teteh punya daster yang sudah kekecilan Neng, ini pasti muat sama kamu!" Setumpuk pakaian itu berpindah dari tangannya ke tanganku.

Duh, lagi-lagi aku jadi enggak enak hati! Perhatian Teh Lina semakin membuatku merasa bersalah.

"Jangan dipakai lagi daster robek yang kamu pakai beberapa hari yang lalu itu, ya Neng. Masih muda penampilan harus dijaga, jangan seperti itu. Nanti suami kamu yang malu!" pesan Teh Lina.

Nggak mungkin Teh! Mas Pras mana mungkin mikir malu. Yang penting, tabungannya aman dan tidak diganggu gugat, batinku dalam hati.

"Teteh waktu itu langsung cerita sama Papi kalau daster Neng udah robek, tapi masih dipake. Terus si Papi ngingetin, beberapa waktu yang lalu dia pernah ngebeliin Teteh daster, tapi kekecilan. Teteh simpen aja. Jadi ini bukan bekas ya, Jan! Teteh baru sempat bongkar tadi," jelasnya.

Oh, jadi begitu ceritanya mantan semprul itu bisa kirim daster? Ya Allah ...

Di balik semua itu, aku bisa mengambil kesimpulan. Berarti, perhatian juga dia sama istrinya sampai ngebeliin si Teteh daster begitu! Sedangkan, Mas Pras ... ah sudahlah! Jangan diharapakan dia mah!

"Teh ini banyak banget lho, Jani jadi enggak enak!"

Lebih enggak enak lagi karena paket yang dikirim suaminya untukku.

"Enggak apa-apa Neng, sayang enggak dipakai. Anak Teteh, mana mau pakai daster!"

Bum

Bum

Bum

Kulihat Nindy mendorong kardus paket keluar dari dalam kamar, seperti main mobil-mobilan. Haduh!

"Nin!" tegurku gemetar. Mana plastik pembungkus berisi data pengirim belum kulepas. Bagaimana kalau Teh Lina kepo, terus sadar kalau nomor handphone suaminya tertera di sana?

"Paket yang tadi dateng ya, Neng?" tanyanya.

"Iya teh."

"Ini daster?" Dia mengangkat salah satu plastik transparan berisi baju.

"Iya, dari Ibu di kampung," kataku tanpa dia tanya. Daripada dia lihat data pengirim dan menyadari nomor ponsel itu adalah milik suaminya, bisa gawat!

"Eh, kok bisa pas ya? Tuh, Jan, naluri ibu enggak bisa dibohongin. Dia juga sedih liat kamu pakai daster robek begitu!"

"Iya Teh, karena itu Jani ngerasa enggak enak sama Teteh ...."

"Enggak enak kenapa?"

Duh, salah ngomong!

"Enggg--- ini Teh, dapet daster lagi dari Teteh, padahal udah dikirim Ibu!"

"Ya udah enggak apa-apa, biar salinan kamu banyak kaya Teteh. Udah ah, Teteh mau masak dulu!" katanya sambil ngeloyor pergi.

Begitu Teh Lina hilang dari pandangan, kuraih ponselku kembali dan menekan nomor tadi.

"Untuk apa Aa kirim beginian? Aa enggak takut ketahuan sama istrinya?" tanyaku khawatir dengan penuh rasa marah. Sungguh, aku merasa tidak enak hati sama Teh Lina.

"Seneng Jan, denger kamu manggil Aa lagi?"

Glekk

Astaghfirullah, kenapa aku bisa keceplosan?

"Ini gimana Pak, saya takut ketahuan. Enggak enak sama Teteh!"

"Kan, di situ namanya Ibu, bilang aja dari Ibu!" jawabnya santai.

"Tapi—"

"Udah ya, Aa kerja dulu. Aa enggak mau kamu ngomongin daster lagi. Yang jelas Aa seneng bisa lihat kamu lagi dan tinggal di sini!"'

Tut Tut Tut

Panggilan telepon terputus. 

Deuh, dasar mantan semprul! Waktu itu anggur hijau, sekarang daster. Duh ... kalau dia terus-terusan memberi perhatian seperti ini, bagaimana kalau nantinya Mas Pras atau Teh Lina sampai curiga dan mengetahui kalau kami pernah punya hubungan dulu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status