Gegas aku beranjak dan membuka pintu. Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu agar Hamdi tidak terbangun.
"Wa'alaikumusalam, ada apa Teh?" tanyaku pada Teh Lina yang datang dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya.
"Ini, Papinya anak-anak bawa anggur hijau banyak, Teteh bagi dua sama kamu. Kamu doyan nggak?"
Mataku berbinar-binar mendengarnya. Setelah kresek itu berpindah tangan, kuperkirakan ada sekitar dua kilogram anggur di dalamnya. Sudah lama sekali tidak makan buah kesukaanku itu. Selain mahal, tidak ada yang suka selain aku di rumah.
"Ya ampun Teh, Jani doyan banget. Ternyata A—"
"Apa, Neng?" Teh Lina memicing.
Duh, hampir aja keceplosan!
"Anu Teh, kok bisa banyak begini? Kan harganya mahal?" Aku mencoba mengalihkan.
"Katanya sih, temennya lagi panen anggur. Makanya Papi dikasih banyak, bukan beli!" jelasnya.
"Alhamdulillah ya Teh, Jani kebagian rezekynya Teteh!" kataku dengan mata berbinar.
Ah, aku jadi merasa bersalah sama Teh Lina. Ini pasti ulah Aa Hadi yang sengaja beli anggur banyak buat kasih ke aku. Dulu kan, dia tahu betul kalau aku suka banget makan anggur hijau.
Atau hanya aku yang kegeeran?Setelah mengucap terima kasih, Teh Lina langsung pulang. Tak lupa juga, sempat-sempatnya dia mengomentari dasterku yang sudah robek ini sebelum pergi.
Meski sedikit kesal, sekarang aku mulai mengenal setiap maksud ucapan Teh Lina.
Setelah satu minggu tinggal di sini, aku mulai memahami karakter Teh Lina. Dia itu sebenarnya sangat perhatian sama orang lain. Hanya saja cara dia bicara suka enggak disaring dulu. Ceplas-ceplos begitu.
Misal saja saat dia bilang aku bau belum mandi, dia akan bawa anak-anakku main di rumahnya supaya aku bisa melanjutkan tugas dan cepat mandi.
Atau dia yang selalu pamer masakan enaknya, padahal niatnya dia itu mau kasih sayur supaya aku enggak usah masak.
Ah, Teh ... seandainya kamu tahu yang sebenarnya, apakah kamu akan tetap bersikap baik padaku?
"Siapa Ma?" tanya Mas Pras yang melihatku datang dengan kantong plastik berisi anggur. Segera kukeluarkan buah kecil yang kulitnya tampak berkilau dan menggodaku untuk segera memakannya itu.
"Teh Lina nganterin ini, katanya suaminya bawa banyak, Pa!"
"Duh bahagia banget kayaknya. Udah lama Papa enggak beliin anggur ya, Ma!"
Mas Pras malah basa-basi.
"Iya udah lama banget. Terakhir pas hamil Nindy, itupun karena Papa takut anak pertama kita ileran. Hamil Hamdi aja Papa udah nggak mau beliin!" dengusku kesal.
"Ekh kok jadi nge-gas? Kita kan, harus nabung Ma, biar punya rumah sendiri. Jadi kalau Papa tugasnya dipindahin lagi ke tempat lain, kalian nggak usah ikut Papa."
"Iya, iya ...." Aku manut saja. Urusan keuangan memang Mas Pras yang pegang. Aku hanya pegang untuk belanja sehari-hari. Karena itu aku enggak bisa beli peralatan pribadi sesuka hatiku seperti Teh Lina. Dan Mas Pras itu, termasuk orang yang pintar menyimpan uang. Bagaimana ya? Maksudnya sih, aku mau bilang pelit gitu!
Dia itu terlalu terobsesi memiliki rumah tanpa mau ambil KPR. Makanya, dia rajin sekali menabung hampir lima puluh persen dari gajinya.
Mas Pras yang tahu aku boros dan suka jajan, dia tidak mau memercayakan lagi gajinya padaku. Dulu waktu awal menikah, aku sempat pegang seluruh gajinya, tapi belum pertengahan bulan, malah sudah habis.
Sekarang, Mas Pras kasih jatah harian. Kalau ada sisa, baru bisa kutabung untuk skin care atau beli daster. Tapi lebih sering, uang yang kukumpulkan itu, jatuhnya untuk kebutuhan anak-anak.
Seperti saat uang sudah terkumpul. Eh, pas mau beli skin care malah minyak telon dan diapers anakku habis. Ya sudahlah kutunda dulu beli skin care dan lebih memilih minyak telon.Atau saat ada uang untuk beli piyama kekinian, Nindy nangis kelojotan karena temannya beli mainan baru. Ya sudah, daripada nangis enggak berhenti, uang untuk beli piyama kualihkan untuk mainan Nindy.
"Enak ya?" tanya Mas Pras yang memperhatikan aku makan anggur dan nggak berhenti sejak tadi.
Dia menatap wajahku tanpa berpaling. Kupikir, mungkin dia merasa tidak enak hati, karena istrinya bisa sampai seperti orang kelaparan saat mendapatkan anggur hijau.
"Enak, kan aku emang suka!" jawabku santai.
"Kok bisa pas banget ya, Pak Hadi bawanya anggur hijau?"
"Uhuk!"
Glekk
"Makannya pelan-pelan, Ma! Tuh, jadi keselek kan? Udah ah, Papa mau tidur, ngantuk!" kata Mas Pras sambil beranjak pergi meninggalkanku yang masih keselek biji anggur.
Duh, Mas kenapa enggak ambilin minum dulu, gitu?
***
Besoknya saat aku tengah sibuk di dapur, terdengar suara dari luar.
"Permisi pakeeeetttt!!!"Segera kuintip dari jendela, kalau-kalau dia bukan kesini, melainkan ke rumah Teh Lina. Tapi abang kurir memang berdiri di depan pagar kontrakan.
Segera kuambil mukena supaya cepat, sambil terus berpikir.
Paket? Paket apa? Siapa yang pesan paket? Aplikasinya saja sudah kuhapus karena membuat RAM ponselku yang penuh itu lemot.
Mas Pras? Rasanya tidak mungkin. Mas Pras pemegang teguh tidak mau belanja online. Selain takut khilaf, lebih baik beli langsung. Walau harga beda sedikit, kalau tidak puas bisa ditukar lagi katanya.
"Ya Pak?" tanyaku enggak yakin.
"Ibu Anjani?"
"Iya?" Kuterima paket sebesar kardus mie instan itu. Besar sekali, apa isinya?
"Sudah dibayar, Pak?"
"Sudah Bu!"
"Terima kasih ya, Pak!"
Segera kututup pintu, karena khawatir si abang kurir berubah pikiran dan mengambil paketku lagi.
Seumur-umur, ini kali ketiga ku dapat paket. Makanya, takkan ku biarkan barang ini berpindah tangan lagi.Mataku lalu tertuju pada nama si pengirim.
"Elvy Sukaesih?"
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa