Share

PERHATIAN ATAU KEGEERAN?

Gegas aku beranjak dan membuka pintu. Aku sengaja tidak menyahut lebih dulu agar Hamdi tidak terbangun.

"Wa'alaikumusalam, ada apa Teh?" tanyaku pada Teh Lina yang datang dengan kantong plastik berwarna putih di tangannya.

"Ini, Papinya anak-anak bawa anggur hijau banyak, Teteh bagi dua sama kamu. Kamu doyan nggak?"

Mataku berbinar-binar mendengarnya. Setelah kresek itu berpindah tangan, kuperkirakan ada sekitar dua kilogram anggur di dalamnya. Sudah lama sekali tidak makan buah kesukaanku itu. Selain mahal, tidak ada yang suka selain aku di rumah.

"Ya ampun Teh, Jani doyan banget. Ternyata A—"

"Apa, Neng?" Teh Lina memicing.

Duh, hampir aja keceplosan!

"Anu Teh, kok bisa banyak begini? Kan harganya mahal?" Aku mencoba mengalihkan.

"Katanya sih, temennya lagi panen anggur. Makanya Papi dikasih banyak, bukan beli!" jelasnya.

"Alhamdulillah ya Teh, Jani kebagian rezekynya Teteh!" kataku dengan mata berbinar.

Ah, aku jadi merasa bersalah sama Teh Lina. Ini pasti ulah Aa Hadi yang sengaja beli anggur banyak buat kasih ke aku. Dulu kan, dia tahu betul kalau aku suka banget makan anggur hijau.

Atau hanya aku yang kegeeran?

Setelah mengucap terima kasih, Teh Lina langsung pulang. Tak lupa juga, sempat-sempatnya dia mengomentari dasterku yang sudah robek ini sebelum pergi.

Meski sedikit kesal, sekarang aku mulai mengenal setiap maksud ucapan Teh Lina. 

Setelah satu minggu tinggal di sini, aku mulai memahami karakter Teh Lina. Dia itu sebenarnya sangat perhatian sama orang lain. Hanya saja cara dia bicara suka enggak disaring dulu. Ceplas-ceplos begitu.

Misal saja saat dia bilang aku bau belum mandi, dia akan bawa anak-anakku main di rumahnya supaya aku bisa melanjutkan tugas dan cepat mandi.

Atau dia yang selalu pamer masakan enaknya, padahal niatnya dia itu mau kasih sayur supaya aku enggak usah masak.

Ah, Teh ... seandainya kamu tahu yang sebenarnya, apakah kamu akan tetap bersikap baik padaku?

"Siapa Ma?" tanya Mas Pras yang melihatku datang dengan kantong plastik berisi anggur. Segera kukeluarkan buah kecil yang kulitnya tampak berkilau dan menggodaku untuk segera memakannya itu.

"Teh Lina nganterin ini, katanya suaminya bawa banyak, Pa!"

"Duh bahagia banget kayaknya. Udah lama Papa enggak beliin anggur ya, Ma!" 

Mas Pras malah basa-basi.

"Iya udah lama banget. Terakhir pas hamil Nindy, itupun karena Papa takut anak pertama kita ileran. Hamil Hamdi aja Papa udah nggak mau beliin!" dengusku kesal.

"Ekh kok jadi nge-gas? Kita kan, harus nabung Ma, biar punya rumah sendiri. Jadi kalau Papa tugasnya dipindahin lagi ke tempat lain, kalian nggak usah ikut Papa."

"Iya, iya ...." Aku manut saja. Urusan keuangan memang Mas Pras yang pegang. Aku hanya pegang untuk belanja sehari-hari. Karena itu aku enggak bisa beli peralatan pribadi sesuka hatiku seperti Teh Lina. Dan Mas Pras itu, termasuk orang yang pintar menyimpan uang. Bagaimana ya? Maksudnya sih, aku mau bilang pelit gitu!

Dia itu terlalu terobsesi memiliki rumah tanpa mau ambil KPR. Makanya, dia rajin sekali menabung hampir lima puluh persen dari gajinya.

Mas Pras yang tahu aku boros dan suka jajan, dia tidak mau memercayakan lagi gajinya padaku. Dulu waktu awal menikah, aku sempat pegang seluruh gajinya, tapi belum pertengahan bulan, malah sudah habis.

Sekarang, Mas Pras kasih jatah harian. Kalau ada sisa, baru bisa kutabung untuk skin care atau beli daster. Tapi lebih sering, uang yang kukumpulkan itu, jatuhnya untuk kebutuhan anak-anak.

 

Seperti saat uang sudah terkumpul. Eh, pas mau beli skin care malah minyak telon dan diapers anakku habis. Ya sudahlah kutunda dulu beli skin care dan lebih memilih minyak telon.

Atau saat ada uang untuk beli piyama kekinian, Nindy nangis kelojotan karena temannya beli mainan baru. Ya sudah, daripada nangis enggak berhenti, uang untuk beli piyama kualihkan untuk mainan Nindy.

"Enak ya?" tanya Mas Pras yang memperhatikan aku makan anggur dan nggak berhenti sejak tadi.

Dia menatap wajahku tanpa berpaling. Kupikir, mungkin dia merasa tidak enak hati, karena istrinya bisa sampai seperti orang kelaparan saat mendapatkan anggur hijau. 

"Enak, kan aku emang suka!" jawabku santai.

"Kok bisa pas banget ya, Pak Hadi bawanya anggur hijau?"

"Uhuk!"

Glekk

"Makannya pelan-pelan, Ma! Tuh, jadi keselek kan? Udah ah, Papa mau tidur, ngantuk!" kata  Mas Pras sambil beranjak pergi meninggalkanku yang masih keselek biji anggur. 

Duh, Mas kenapa enggak ambilin minum dulu, gitu?

***

Besoknya saat aku tengah sibuk di dapur, terdengar suara dari luar.

"Permisi pakeeeetttt!!!"

Segera kuintip dari jendela, kalau-kalau dia bukan kesini, melainkan ke rumah Teh Lina. Tapi abang kurir memang berdiri di depan pagar kontrakan.

Segera kuambil mukena supaya cepat, sambil terus berpikir.

Paket? Paket apa? Siapa yang pesan paket? Aplikasinya saja sudah kuhapus karena membuat RAM ponselku yang penuh itu lemot.

Mas Pras? Rasanya tidak mungkin. Mas Pras pemegang teguh tidak mau belanja online. Selain takut khilaf, lebih baik beli langsung. Walau harga beda sedikit, kalau tidak puas bisa ditukar lagi katanya.

"Ya Pak?" tanyaku enggak yakin.

"Ibu Anjani?" 

"Iya?" Kuterima paket sebesar kardus mie instan itu. Besar sekali, apa isinya?

"Sudah dibayar, Pak?"

 "Sudah Bu!"

"Terima kasih ya, Pak!"

Segera kututup pintu, karena khawatir si abang kurir berubah pikiran dan mengambil paketku lagi. 

Seumur-umur, ini kali ketiga ku dapat paket. Makanya, takkan ku biarkan barang ini berpindah tangan lagi.  

Mataku lalu tertuju pada nama si pengirim.

"Elvy Sukaesih?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status