Share

Jalan Terdekat 3

8

Tama melihat di dalam sudah ada Sekar “Wah, ada di sini juga.” Tama berhenti di meja Sekar.

Sekar menghentikan aktivitas dengan laptopnya. “Iya, Mas. Sendiri ya?” Sekar melihat ke arah pintu dan malah Tama juga ikutan.

“Iya, aku pesan dulu ya.”  Bagian kasir berdiri menyambut Tama. Tempat tongkrongan mereka ini namanya Namoi, yang diambil dari Bahasa Madura dengan arti bertamu. Lokasinya timurnya Bunderan Gladak Serang, tempatnya memang kondusif untuk nongkrong sambal mengerjakan tugas.

“Kopi filter Mas,” Tama menunjuk pada Kopi Arabika Bromo.

“Javanise apa V60 Mas?”

“V60 Mas.”

“Ada tambahan?”

“Kentang goreng” Tama menyerahkan selembaran rupiah.

Tama kembali menuju Sekar dan seorang perempuan yang baru datang juga menuju Sekar.

Perempuan yang baru datang itu jarinya menunjuk Sekar dan Tama sembari bertanya “Kalian berdua?”

Tama dan Sekar terdiam, sebenarnya Tama memang sengaja agar Sekar yang memberikan jawaban.

“Enggak” Sekar menggeleng.

“Tidak sengaja bertemu.” Tama menambahkan.

“Aku boleh gabung duduk di sini?” Tama menunjuk kursi di depan Sekar.

“Silakan Mas.” Perempuan yang sepertinya memang temanya Sekar malah yang mempersilahkan Tama duduk.

“Lagi ngerjakan apa?” Tama mengambil kesempatan melihat temannya Sekar menuju kasir memesan minuman.

“Jurnal Mas,” Sekar mengetuk-ngetuk kyboardanya dan sepertinya mempertimbangkan sesuatu. “Kalau Mas sendiri?” Sekar bertanya setelah Tama mengeluarkan laptop dari ranselnya.

“Menlanjutkan pembahasan tentang skripsiku.”

“Sudah sampai mana Kar?” Temannya Sekar yang masih belum memperkekanlkan diri Ke Tama muncul dari belakang Sekar dan turut mengecek layar laptop.

“Kenalkan, Mas Ali Naratama. Tetanggaku.” Sekar yang memperkenalkan, dia mengambil inisiatif agar temannya ini tidak berfikir kemana-mana tentang Tama.

“Oliv, Mas.” Sekar mempersilahkan temannya ini berjabat tangan dengan Tama.

“Oh iya Mas aku sedang mengerjakan sebuah penelitian tentang pekerja perempuan di Industri Batu Alam Desa sebelah.” Sekar beralih, Oliv tidak diberikan kesempatan untuk mengobrol jauh dengan Tama.

“Menarik, judulnya?” Tama menghentikan aktivitasnya dan focus untuk mendengarkan lanjutan dari Sekar.

“Pergeseran pemenuhan kebutuhan hidup oleh perempuan pekerja industri kerajinan rumah tangga batu alam (keramik): (studi kasus di Desa Banjarsawah Kecamatan Tegalsiwalan Kabupaten Probolinggo)” Sekar mengeja judul pada layar laptopnya.

“Oh di sana itu sebagian besar pekerjanya perempuan ya?” Tampak wajah penasaran dari Tama, tapi keadaan seakan menegang karena obrolan serius yang dibangun oleh Sekar.

“Iya, Mas. Untuk bidang penyortiran.” Sambar Oliv, dia tidak mau kalah terlibat dalam obrolan.

“Kalian berdua satu jurusan” Tama memastikan.

Sekar dan Oliv beradu pandang, “Iya, Sosiologi UM” Sekar mengambil alih.

Tama teringat sesuatu, Toni memberikan informasi yang salah kalau Sekar anak Fakultas Ekonomi UB, dalam hatinya. “Pancen lah Toni” mengerutu dalam Bahasa Madura.

“Kalian gak tertarik membahas tentang budaya senoman?” Tama memberikan usulan dan dia sebenarnya juga tertarik mengangkat akan budaya gotong royong mayarakat desa termasuk dalam hajatan meskipun jurusannya dia Teknik.

“Atau kaitanya Budaya Teropan dengan perekonomian masyarakat Probolinggo selatan.”  

9

Slamet meniup peluit, tepat di depan pagar Bu Am. Sebelum Bu Am keluar, Bu Evi dan Bu Yuli merapat terlebih dulu dan ditambah Sunan anaknya Saknam yang biasanya beli susu kedelai dan martabak.

Dekgik Yu, beres deteng.” Slamet membuka obrolan tentang bantuan Program keluarga Harapan (PKH) yang akan didistribusikan nanti siang. Slamet yang rumahnya tidak jauh dari Sekdes sebagai tempat pembagian bantuan pasti melihat lalu lalang truk mengangkut beras, telur dan yang lain. Serta beberapa kesempatan Slamet juga bantu membungkus kentang atau telur.

Bu Am muncul. “Mak le bantuan meloloh, se mesken gik benyak se tak ole” menyambar dengan pernyataan bahwa masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan bantuan.

Kok ajemah Bu Am, toreh.” Slamet mengalihkan, mengibas-ngibaskan kresek seolah olah mengusir lalat, padahal tidak ada.

Kakeh bileh ngonik ennah Yul?” Bu Am bertanya ke Bu Yuli dan menatap pelan ke Bu Am. Bu Yuli memang masih dapat meskipun juga terkategori orang yang sudah berkecukupan.

Paleng kol sangak Bu” Menjawab pukul sembilan tapi sedikit ragu.

Iyeh, yu. Jek gu melakguh” Slamet menyambar, memang jangan terlalu pagi karena biasanya akan begitu membeludak orang-orang. Baru sedikit lenggang sekitar pukul sembilan.     

Bu Am kembali menghidupkan ke topik penyaluran PKH yang tidak tepat sasaran.

Engkok lah mareh usul ke Pak Handika, Ki Sakur maleh olle” Bu Am menyampaikan kalau sudah mengusulkan Ki Sakur ke Pak Handika sebagai pendamping dari Kemensos.

Manteb jiah Bu” Bu Evi mengacungkan jempul dan setelah itu kembali mencari barang yang hendak dibeli.

Paleng disah telat ngusul agin” Bu Am menyoroti kalau kemungkinan pemerintah desa telat melakukan pengusulan.

Berempah riah Met?” Bu Yuli menunjukan seikat kangkung, satu bungkus cabai, tomat dan ikan laut.

Slamet mengemit, megnhitung. “Sepolo beih lah Yu.” Sepuluh harga yang disebutkan oleh Slamet.

Buh, mak larang Met.” Bu Yuli mengeluh mahal, tapi selembar uagn tetap saja dia sodorkan.

Tomat bik cabbi ongge satiah.” Slamet menerima uang Bu Yuli. “Ojen meloloh satiah Yu.” Musim hujan juga menjadi alasan kenapa harga tomat dan cabai naik.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status