Share

JALAN PANJANG DI UJUNG DESA
JALAN PANJANG DI UJUNG DESA
Author: W. Bahtiar

Jalan Terdekat 1

1

Pupil matanya terlihat membesar dan bersinar, beda dengan beberapa menit sebelumnya, matanya susah dibuka dan bahkan akan tertutup selamanya, nyawanya hampir terengut. Beruntung saja, tanganya sigap dan masih lihai menghindar. Rasa kaget dan hampir celaka mengaburkan kantuknya, tapi yang membuat kantuknya benar-benar hilang yaitu perempuan yang juga berhenti di minimarket tidak jauh dari Kebun Raya Purwodadi. Kopi di tangan kananya tidak lagi Tama butuhkan, dia hanya perlu berlama-lama mengobrol dengan perempuan itu.

 “Ke arah Probolinggo juga Mbak?” Tama seakan mendapat energi baru dan membuatnya begitu percaya diri. Sedangkan perempuan itu menyambut heran, Tama yang baru keluar dari minimarket bak peramal, dapat menebak arah tujuannya.

 “Iya, Mas.” Ponselnya diletakan. Terlihat begitu menghormati lawan bicaranya dan menunggu lanjutan dari Tama.

“Tuh, plat motormu.” Pendar mata Tama mengarah pada motor matic yang tepat parkir di depan mereka.

Tersenyum lepas.

“Mas dari Leces ya?” Perempuan itu tidak mau kalah.

Tama memperhatikan yang menempel di badannya, mencari lambang atau atribut yang bertuliskan Leces. Tama tidak sabar dan ingin segera mendapatkan jawaban perempuan itu. “Kok, tahu?”

“Oh, iya.” Tama menemukan stiker itu.

“Tuh, helemnya.” Disambut senyuman, hati Tama semakin girang.

Jika diibaratkan sebuah pertandingan, mereka dalam posisi imbang walaupun akan terus berlanjut. Ada jeda, Tama menenggak kopinya dan perempuan itu meraih ponselnya yang layarnya menyala.  Lalu lalang kendaran lumayan ramai, silih berganti berhenti menuju minimarket, tapi bagi Tama seakan tidak terdengar, degup jantungnya lebih riuh.

“Nama kamu Yuzu ya?” Tama kembali melanjutkan, walaupun sedikit ngawur tapi ini upayanya mencairkan suasana.

“Mas bisa aja.” Timpal perempuan itu, masih hemat bicara tapi suarnya begitu meneduhkan.

“Ali Naratama.” Tama menggeser minumannya dekat dengan perempuan yang ingin segera dia ketahui namanya.

Perempuan itu melihat botol dan beralih menuju wajah Tama. “Tidak ada nama Ali Naratama di botol ini Mas.” Mereka seakan bersaing ketat dengan leluconnya masing-masing, tentunya Tama makin senang.

“Terus, kamu gak punya nama?” Gugat Tama karena belum juga tahu nama perempuan itu.

“Sekar Maudina Rahma” Menyodorkan tangan kanannya.

Tama menyambut. “Ali Naratama.”

“Sudah tahu.” Sekar benar-benar menguasai Tama, dia tersimpuh mendapatkan perlakuan seperti itu.

 “Bentar, anaknya Pak Tenggi?”

Tama menganga, heran Sekar mengetahui banyak tentangnya. Sejenak Tama terdiam, lalu tersenyum dan mengangguk-anguk, salut kepada Sekar.

“Warga Desa Tigasan Wetan juga?”

Sekar tidak hanya tahu tentang siapa Tama tapi juga kisah panjang diantara keluarga mereka. Tapi Sekar tidak ingin jauh menyingkap masa lalu itu, dia kembali berseloroh.

“Kalau semua tanya, terus siapa yang akan jawab.” 

2

Tali yang sudah melilit pada kaki sapi ditarik dari sela kaki belakang. Sapi roboh perlahan, dua orang sigap mengencangkan ikatan tali di setiap kaki, namun hampir saja mereka merasakan hempasan kaki sapi beruntungnya mereka lebih sigap dan yang lain juga langsung menuduki badan sapi yang mulai meronta. Takut kalah, sekitar lima orang menopangkan badannya juga ke sapi. Sapi dipastikan tidakan akan berontak, tali sudah terikat kuat. Kiai Manaf tanpa dikasi aba-aba langsung mendekat, bibirnya berkebik melafatkan doa. Sebelum golok Kiai manaf menyayat leher sapi, Sarupi muncul mengibaskan aneka bumbu yang diawadahi nampan anyaman bambu, masyarakat percaya dengan begitu daginnya tidak akan alot dan lebih enak. Goloknya Kiai Manaf menempel pada leher sapi dan daun pisang juga di atasnya, sekali sayatan urat nadi sapi putus, terdengar erangan dan darah mengalir deras hampir memenuhi lubang. Kiai Manaf tetap menempelkan goloknya di leher sapi, memastikan darahnya tidak lagi mengalir deras sedangka yang lain bersiap dengan pisau masing-masing untuk menguliti.

Toreh Pon” dengan bahasa Madura Kiai Manaf mempersilahkan Pak Amat disampingnya untuk mulai mengkuliti dan yang lain mengikuti.

Kulit pada bagian paha tersingkap dan menyeruak warna merah segar. Sapi dikerubuni bak buruan, dicabik-cabik dengan pisau menjadi beberapa potongan. Pak Hakim tidak perlu khawatir, kebutuhan daging akan cukup sampai hajatan selesai. Daging dibawa ke dalam rumah dengan wadah keranjang dari bambu yang dipikul oleh dua orang, bagian sampilnya begitu mengkilat merah. Bagian  kaki sengaja dipotong besar dan digantung di kamar tempat penyimpanan beras-beras yang dibawa oleh tamu undangan.

Bu Aiysah tanya keberadaan anaknya ke Pak Hakim dengan Bahasa sehari-hari mereka, Madura.

“Tama sudah dimana?” Kabar terbaru daru Naratama sekitar dua jam yang lalu sudah di Pasuruan.

Tenang, bentar lagi muncul

Bu Aisyah berlalu, Pak Hakim juga sudah melayangkan W* untuk Tama akan keberadaanya. Tepat jam dua siang musik giroan diputar, menandakan dimulainya hajatan Pak Hakim dalam rangka seribu hari Bu Anom nenek dari Naratama dan sekaligus selametan desa. Kekhawatiran akan posisi anaknya mereda, Bu Aisyah disibukan dengan mulai banyaknya tamu yang berdatangan.

Nanggek apah Bu?” Memang hajatan akan begitu dinilai meriah dengan hiburannya dan tamu juga bertanya apa hiburan hajatannya Bu Aisyah.

Tayub, dek.” Bu Aisyah duduk disampignnya. Hiburannya yaitu Tayub, tabuhan pengiring sudah punya sendiri hanya perlu mengundang empat atau enam tandek. Tandek itu sebutan penari tayub.

Warga desa menilai kemewahan dan meriahnya sebuah hajatan dari besar dan banyaknya sapi yang disembelih serta juga hiburan yang disajikan. Meskipun Pak Hakim sudah menyembelih sapi besar dan ada hiburan tayub tidak akan terlepas dari cibiran orang. Masih ada yang mencibir, dana yang digunakan dari desa dan sapi yang di sembeleg beli dari bajingan.

Para senoman semakin sibuk di dapur. Senoman sendiri sebutan untuk warga sekitar atau sanak saudara yang membantu atau bergotong royong di sebuah hajatan. Mereka tanpa diupah tapi tuan rumah punya kewajiban untuk membantu juga ketika para senoman punya hajatan. Tradisi seperti ini turut mempertahkan kebersamaan dan kerukukan antar masyarakat sekitar.

“Awas gosong” Canda Bu Masra yang memperhatikan Bu Rahma sedang asik mengobrol dengan Bu No dan Nik Sutik yang juga sedang membuat kue cucur.

Patenang yu.” Bu Rahma menjawab, meminta Bu Masra tenang dan mereka pun terkekeh.

3

Mereka sudah di atas motor masing-masing, siap bergegas.

“Aku mampir rumah temenku dulu Mas, di Grati.” 

“Yaudah, kita bareng aja.” Tama masih belum rela berpisah dengan Sekar. Dia akan membuntuti Sekar, setidaknya itu juga bentuk rasa pedulinya. 

Sekar dipersilahkan memacu motornya lebih dahulu, setelah ban motor Sekar melewati garis tepi jalan Tama lalu mengikutinya. Jalan Raya menuju Kota Pasuruan masih saja padat. Baru sekian putaran roda, ada yang Tama lupakan dan dia baru menyadarinya belum punya kontak W* Sekar. Padahal itu kunci untuk lebih dekat dengan Sekar. Obrolan yang sebelumya sudah begitu berkesan akan sia-sia jika tidak berlanjut.

Tama bimbang untuk memacu motornya lebih kencang, sejajar dengan Sekar. Dia mencari momentum, setidaknya sebelum Sekar belok kanan menuju rumah temannya yang tidak jauh dari Banyu Biru kontak W*-nya harus sudah dia dapatkan. Sekar beberapa kesempatan melihat ke spion kananya, memperhatikan Tama dibelakangnya. Beberapa kali Tama juga tertangkap kedapatan melihat raut muka Sekar dari pantulan kaca spion.

Mereka melewati kawasan kota begitu lancar, tidak perlu menunggu lama lampu sudah hijau. Bagi Sekar ini sebuah keberuntungan yang berentetan namun Tama malah semakin terdesak, karena mereka sudah mendekati Terminal Untung Soeropati yang berarti tidak lama lagi akan berpisah dengan Sekar.

Lampur Merah dekat terminal, Tama akan mengambil kesempatan, dia juga sudah menjajal kalimat untuk disampaikan ke Sekar. “Oh, iya untuk kita komunikasi lebih lanjut. Aku minta W* mu ya?” Terdengar terlalu panjang dan bertele-tele, tapi tetap Tama sampaikan. Bukan hanya Sekar yang mendengar tapi pengendara di belakang mereka juga menyimak dan termasuk kernet truk yang menyeringai ke arah mereka.

Sekar belum sempat menanggapi, lampu marka sudah hijau. Sekar dibuat semakin jauh berfikir terkait hubungan orang tua mereka. Tama berdengus dan berucap dalam hatinya, “sabar Tama.” Menenangkan hati.

“Tit, tit….” Suara klakson Tama dari belakang, Sekar heran kenapa cowok ini begitu mendesak dan seakan tidak paham kalau mereka kondisi berkendara.

“Lampu sen nya Mbak.” Tama setengah berteriak, berusaha mengimbangi suara aungan truk dan kendaraan besar yang melaju kencang.

Sekar memeriksa pada spido meternya, benar dia lupa mematikan lampu sen kananya setelah belok kanan di terminal. Dia jadi tidak enak hati ke Tama.

“Lampu depanmu juga mati.” Tama detail memperhatikan motor Sekar.

“Lupa tidak dihidupkan.” Sudah meyala dan Tama merepon dengan mengacungkan jempol kirinya.

“Sudah dekat ya?” Teriak Tama membuyarkan ingatan Sekar akan kejadian waktu itu.

“Hampir.” Sekar menhidupkan lampu sen kananya mendekati Pasar Ngopak.

“Aku lurus ya.” Diikuti bunyi klakson dan tidak berselang lama Sekar membalas bunyi klakson.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status