Akan tetapi betapa kagetnya si Tuan Arogan, dengan gerak refleks si pemuda menahan kepalan tangannya dengan punggung tangannya, lalu...
Bughh...!! Dengan cepat pula tangan si pemuda menghantam ke samping, mendarat keras di perut bagian sampingnya.
Tubuh si Tuan Arogan langsung hilang keseimbangannya. Namun sebelum tubuh besarnya itu jatuh, dengan cepat Jasman menangkap pergelangan tangannya dan memelintirnya ke samping disusul oleh dengan sentakan kaki si pemuda menghantam bagian lipat pahanya si Tuan Arogan. Si Tuan Arogan langsung menjerit keras. Rasa nyeri yang luar biasa terasa di sendi lengan kanannya.
“Kalau sampeyan tak menyerah dan tak meminta maaf kepada Mbaknya ini, saya dengan sangat mudah untuk melepaskan tangan sampeyan ini dari sendinya!” ancam Jasman.
Saat ekor matanya melihat gelagat kedua body guard yang hendak menyerangnya kembali, Jasman langsung menoleh dan memandangi kedua laki-laki itu dengan tajam dan, “Kalian diam di situ! Jika tidak, tangan bos kalian ini akan lepas dari sendirinya!”
“Iya, iya...,”ucap keduannya sembari memperlihatkan kedua belah tapak tangan mereka, meminta agar Jasman tidak semakin memelintir tangan bos mereka.
Tapi pelintiran Jasman justri makin dikuatkan sehingga membuat si Tuan Arogan tambah menyerit kesakitan.“Oke, oke...aku menyerah,” ucapnya dengan wajah meringis.“Tolong lepaskan tangan saya.”
“Bukan saja menyerah, tapi sampeyan harus meminta maaf kepada Mbaknya ini!”bentak Jasman.
“Iya, iya...saya minta maaf...!”
Melihat wajah si Tuan Arogan yang memandanginya dengan memelas, Jasman jadi iba juga. Dia pun melepaskan pelintiran dan injakannya pada lipat pahanya. “Sampeyan tolong segera pergi dari sini! Bawa pergi kedua pengawal bancimu itu dari sini! Mau muntah saya melihat tampang mereka!”
Tanpa banyak bicara, si Tuan Arogan langsung mengajak pergi kedua body guard-nya dengan membawa rasa malu yang sangat, tentunya.
***
Sepeninggal ketiga laki-laki yang mendatanginya itu, si wanita cantik tiba-tiba memeluk lengan kiri Jasman dan mengucapkan terima kasih yang sangat. "Saya takut sekali, Mas. Dia laki-laki gila. Dia tak segan-segan untuk menyakiti kapan dan di mana pun."
Mungkin karena beban batinnya terasa demikian berat, si wanita cantik pun terisak sembari menempelkan wajahnya di lengan Jasman, anak muda yang baru saja dikenalnya dan telah menolongnya.
"Mbak silakan menangislah agar berkurang beban di batinnya Mbak," ucap Jasman dan tanpa sungkan-sungkan untuk membiarkan lengan kekarnya untuk menjadi muaranya air mata si wanita. "Tapi saya jamin, selama saya masih berada di dekatnya Mbak, insha Allah akan aman."
"Iya Mas, sekali lagi saya berterima kasih kepada Mas." sahut si wanita sembari mengusap air matanya dengan menggunakan tisu dalam genggamannya.
"Iya, sama-sama, Mbak. Mbak nggak usah takut lagi, mereka sudah pergi."
Si wanita memandang kepada Jasman dan disambut dengan sebuah anggukan pelan dari Jasman.
Namun, dari mimik yang ditampakkannya, Jasman dapat menangkap bahwa si wanita cantik masih takut dan gugup, atau bahkan mungkin tengah mengalami semacam trauma psikis.
Lalu dengan sikap yang sopan Jasman bertanya, "Mbak mau pulang atau di sini dulu."
"Saya mau pulang saja, Mas. Kalau saya boleh minta tolong lagi, Mas temani saya pulang, ya?"
Itu sebuah permohonan yang tulus dari seorang yang benar-benar sedang membutuhkan pertolongan. Jasman pun tersenyum santun yang disertai anggukan. " Baiklah, Mbak, saya akan menemani Mbak pulang."
Keduanya pun dari kedai sate, lalu melangkah menuju areal parkir, di mana mobil Baleno merah si wanita diparkir.
"Maaf ya Mas karena saya sudah merepotkan Mas," ucap si wanita sambil menoleh kepada Jasman. Saat itu ia sedang menyetir. Lampu hijau berganti merah.
"Iya Mbak, santai aja. Saya senang bisa membantu Mbak."
"Oh ya, maaf, kita belum kenalan," si wanita mengulurkan tangannya ke samping,"Nama saya Widyanti. Biasa dipanggil Widya atau Mbak Widya. Eng..."
"Saya Jasman," sahut Jasman, sembari sedikit menyentuhkan sedikit ujung jemari tangan kanannya dengan ujung jemari tangan kanannya Widya.
"Jas-man. Nama yang terdengar unik," ucap Widya. "Mas... saya harus manggil apa, ya? Mas Jasman atau Mas Jas, nih?"
"Teman-teman kampus suka memanggil saya dengan Jas atau Jasman, sama saja," jawab Jasman sambil tersenyum.
Lampu merah beralih ke hijau. Widya kembali menjalankan kendaraannya. "Saya panggil dengan Dik Jas saja, ya?"
"Iya Mbak, monggo. Usia saya memang lebih muda dari Mbak Widya, hehehe..."
Wanita cantik yang bernama Widya itu pun ikut tersenyum, "Benar, Dik. Baiklah...Mas, eh...Dik Jas. Maaf, kayaknya, Dik Jas bukan orang Jawa, ya? Dari segi nama dan logatnya Dik Jas terdengar beda."
"Benar, Mbak, saya orang dari wilayah timur.”
“Di mana? Makassar? Ambon...? Atau dari Lmbok?”
"Sebelah timurnya Lombok,”ucap Jasman.
"Oh, Sumbawa, ya?”
“Iya, tepatnya di Bima.”
"Oh, Bima...."
"Mbak Widya pernah ke daerah saya juga?" tanya Jasman. Sesaat ia melihat samping wajah wanita di sampingnya. Dalam keadaan normal ternyata Mbak Widya memiliki wajah yang benar-benar cantik.
"Oh belum pernah, tapi nama daerahnya Dik Jas sudah akrab di telinga saya. Dulu waktu kerja di Jakarta Mbak punya beberapa teman dari Bima juga. Kalau di pulkam, dia suka bawakan saya oleh-oleh Madu dan asam yang diasinkan itu. Madu dan asam dari Bima sangat awet jika disimpan. Bisa bertahun-tahun."
“Benar, Mbak, karena biji asamnya dibuang baru dipak,” tanggap Jasman.
“Hm, iya benar! Apalagi yang terkenal dari Bima? Susu kuda liar itu ya?”
“Oh iya benar, Mbak Widya.”
“Benar nggak sih ada kuda liar?”tanya Widya.
“Nggak ada, Mbak, Cuma istilah saja,” sahut Jasman.
“Kok disebut liar gimana ceritanya?”
“Ceritanya, karena cara pelihara kudanya diumbar begitu saja. Dilepas liar. Nggak dikandangkan, gitu.”
“Ooh begitu? Memangnya pemilik kuda nggak takut kudanya dicuri orang?”
“Nggaklah, Mbak. Buat apa juga dicuri. Nyatanya sejak zaman dahulu kudanya aman-aman saja dipelihara umbar begitu. Dagingnya juga jarang dimakan orang. Mungkin karena faktor kasihan.”
“Jalan-jalanlah sekali-kali ke daerah timur Mbak Widya,”ucap Jasman, “Di sana banyak destinasi wisata yang indah-indah.”
"Iya saya dengar dan lihat juga di YouTube, tempatnya indah-indah,” Widya menghentikan laju kendaraannya di depan traffic light. "Dulu saya pernah juga berkunjung ke NTB, tapi hanya sampai di Pulau Lombok dan Pulau Moyo. Wuih, Pulau Moyo itu benar-benar indah, romantis, dan berkesan tempatnya.”
"Benar sekali, Mbak. Almarhumah Putri Diana juga pernah berkunjung ke sana," ucap Jasman tanpa bermaksud mempromosikan salah satu destinasi wisata kebanggaan daerahnya itu.
"Benar sekali, Dik Jas...," Widya kembali menjalankan kendaraannya, diarahluruskan ke Jl. KHA Dahlan, "Tapi maaf, Dik Jas. Dik Jas ini asli orang NTB atau campuran? Mbak lihat..."
"Oh, bukan, Mbak," potong Jasman. "Saya campuran Arab dan Bima, Mbak. Hehehe."
"Oh pantes. Mbak juga feeling-nya begitu." Mereka melewati Jl. Senopati, Benteng Vredeburg, lalu kemudian membelokkan arah kendaraannya ke kiri, ke Jl. Gajah Mada. Ada banyak hal dan cerita ringan yang mereka bahas di sepanjang jalan itu.
Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman. Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya. Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya. Jasman manggut-manggut. Namun
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sangbodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik. Benar. Secaraphysical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilanbodyguardsejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Seminggu kemudian Widya memutuskan untuk keluar dari hotel, dan kembali ke rumahnya yang di kawasan Jakal. Dia ingin kembali ke kehidupan normalnya, dan menjalankan rutinitasnya sebagai manusia yang bersosialisasi dan berkarya. Toh tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sudah sangat yakin bahwa ia akan aman selama Jasman selalu ada di dekatnya. Rumah Widya berada di sebuah komplek perumahan elit di kawasan Jakal (Jalan Kaliurang). Suasananya sangat tenang dengan udara kiriman dari Gunung Merapi yang sejuk. Rumah itu berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. Pada bagian samping selatan rumah induk ada sebuah bangunan tambahan berupa sebuah kamar tidur yang cukup luas berikut kamar mandi di dalamnya, yang disebut paviliun oleh sang pemiliknya, Widya. Di paviliun itu Jasman disuruh tempati.  
Entah mengapa, tiba-tiba Ningrum merasa sangat merindukan laki-laki itu. Kenangan-kenangan indah yang pernah ia lalui bersama laki-laki itu sontak mengusik kembali jiwa dan nuraninya. Lalu, tanpa sadar, saat sang mantannya itu masuk ke dalam kantin, ia memutuskan untuk melangkah hendak menyusulnya. Akan tetapi, belum beberapa langkah ia berjalan, ia terpaksa harus segera membalikkan badannya dan berdiri diam di tempatnya. Ternyata laki-laki itu hanya membeli beberapa kaleng minuman ringan dingin, lalu keluar lagi dan berjalan melewati koridor yang ke arah selatan, menuju areal parkir. Ningrum memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu secara diam-diam dan hati-hati, setengah mengendap-endap. Pada sebatang pohon palem ia berdiri berlindung, matanya terus mengikuti Jasman. Saat mantan kekasihnya itu membuka pintu sebuah m
Jasman senyam-senyum ingat wajah Fadli.Fadel, Fadel, lukadang lucu juga.Sangat suka kalau bahasa wanita cantik, tapi ketika ada cewek cantik mau mendekat eh malah ngacir. “Kok Dik Jas senyam-senyum? Hayo...lagimikirinapa?” Pertanyaan Widyanti membuyarkan lamunan Jasman, dan dengan cepat ia menjawab, “Ah, itu, ada teman kuliah saya. Tadi waktu di kos dia tanya macam-macam ke saya pas saya cerita bahwa saya bekerja sebagai bodyguard-nya seorang wanita, istri seorang CEO.” “Lantas yang membuat Dik Jas senyam-senyum, apa?” “Iya, hal pertama yang dia tanyakan adalah: pasti bos lu itu wanita yang
Segala sesuatu terkadang tidak sejalan dengan angan, harapan, dan rencana. Tanpa sebuah argumen yang bisa Jasman pegang, kedua orang tua Ningrum tidak mendukung hubungannya dengan putri tunggal mereka itu. Ortu Ningrum tidak menginginkan putrinya itu untuk berhubungan, apalagi menikah, dengan laki-laki dari pulau seberang. Tetapi menurutfeelingJasman, itu hanyalah alasan yang mengada-ada saja. Kalau alasan penolakan itu hanya karena dia seorang pemuda dari pulau seberang, tentu semuanya bisa dimusyawarahkan. Namun Jasman tak perlu mempertanyakan alasan yang aneh itu kepada ortunya kekasihnya itu. Lagipula, orang tua mana pun bebas milih dan berhak untumenolak atau menerima siapa pun untuk menjadi menantunya. Dia cukup memakluminya saja. Bahwa kekasihnya itu berasal dari keluarga bangsawa dan terpandang, mungkin dari segi ekonomi juga, adalah memang sebuah kenyataan. O
Keduanya pun langsung meluncur ke tempat tujuan. Jarak antara Jl. Jend. Sudirman dengan Alun-Alun Selatan agak sedikit jauh. Namun karena kondisi jalan saat itu tidaklah padat, maka tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di tempat tujuan. Malam itu suasana kawasan wisata malam itu tidaklah terlalu padat, sehingga areal untuk duduk-duduknya masih sangat luas. Hal pertama yang dilakukan oleh Jasman dan Widya di tempat itu adalah naik odong-odong (mobil gowes yang dihias dengan lampu warna-warni). Widya begitu senang menaiki mobil itu, duduk di jog bagian belakang berdua dengan sang pengawal gantengnya. Ia merasa seperti sepasang pengantin baru. Ia menyandarkan tubuhnya di lengan Jasman. Jasman membiarkannya, dan sekali-kali ia menoleh dan tersenyum kepada Widya. Pada