Share

Bab 4. Diusir

Author: Any Anthika
last update Last Updated: 2025-08-28 08:34:55

“Ah,.. em… Sayang, aku mencintaimu.”

“Aku juga sayang… tolong jangan tinggalkan aku.”

Suara desahan dan ucapan cinta dari sepasang kekasih yang sedang bercinta saling bersahutan di dalam sana.

Mutia yang baru saja melewati kamar itu menegang dan berdiri di tempat.

Suara itu…

Sebenarnya dia sudah sering mendengar suara mereka saat bercinta. Tapi biar bagaimanapun juga, pria yang sedang bercinta di dalam kamar itu adalah suaminya sendiri. Tiap kali mendengar suara mereka, dia tetap merasa tidak nyaman.

Tadi, saat melihat Rendra terlelap tidur, dia dengan hati-hati keluar. Mutia menguatkan diri untuk pulang ke rumah karena takut suaminya marah kalau dia sampai tidak pulang.

Sesampainya dirumah, dia justru mendengar hal yang menyakitkan.

Dia memutar tubuhnya dan pergi ke kamarnya sendiri yang ada di dekat dapur.

Kamar itu seharusnya milik pembantu. Namun semenjak dia dibawa masuk ke dalam rumah ini, kamar itu menjadi kamarnya. Dion memecat pembantu rumah dan menyuruh Mutia untuk menggantikan semua tugas pembantu.

Sebagai seorang istri, Mutia hanya bisa patuh.

Sampai di kamar, Mutia langsung membersihkan dirinya. Setelah menyelesaikan mandinya, dia berdiri di depan cermin lemari yang usang. Dia melihat di setiap inci tubuhnya tidak ada yang luput dari tanda merah.

Dia meraba tubuhnya. Air mata kembali menetes di pipinya.

Bukan hanya mengingat kejadian beberapa jam tadi.

Tapi, kenapa nasibnya begitu malang?

Dia berpikir setelah menikah, dia akan menjalani hidup yang lebih baik. Mendapatkan seorang suami yang bertanggung jawab terhadapnya juga terhadap ayahnya.

Mutia bukan secara kebetulan menikah dengan Dion.

Para orang tua mereka telah mengatur perjodohan mereka sejak mereka masih kecil.

Dion sengaja datang ke kampung Mutia untuk menepati janji orang tuanya.

Ayahnya selalu mengkhawatirkan dirinya.

Ibunya telah meninggal dan ayahnya menjadi lumpuh karena sebuah kecelakaan. Mutia tidak ingin membuat orangtua tunggalnya itu terus merasa sedih. Jadi dia menurut dengan perjodohan ini agar ayahnya bisa tenang menjalani masa tuanya.

Hari itu juga setelah pernikahan selesai, Dion membawanya ke kota.

Dion berjanji akan menjaganya dengan baik, dan mengurus semua biaya hidup serta biaya berobat ayahnya.

Namun saat sampai di kota, Dion ternyata sudah memiliki tunangan. Dan Dion sangat membencinya.

Selalu mengatakan jika Mutia adalah sebuah kesialan.

Mutia hanya bisa berjualan di taman untuk biaya hidupnya. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk ayahnya.

Di taman itulah awal pertemuan pertamanya dengan Rendra.

Baru saja dia ingin memejamkan matanya, tiba-tiba pintunya terbuka dengan kasar.

“Kamu dari mana saja?! Sudah lewat tengah malam baru pulang hah?” Dion sudah berdiri menatapnya dengan marah.

Mutia terkejut dan langsung bangun. “Maaf Mas, tadi aku banyak kerjaan di rumah majikan.”

Dion menatapnya dengan curiga. “Sampai malam begini? Kerja apa memangnya?”

“Benar, Mas. Sungguh. Pekerjaan menumpuk.”

“Terus, kenapa kamu tidak masak malah langsung tidur?”

Mutia menunduk, dia benar-benar takut Dion melihat bekas merah-merah di lehernya. “Maaf, Mas. Aku belum belanja karena belum punya uang untuk belanja.”

“Kamu kerja setiap hari, tapi tidak punya uang?! Kamu mulai berani membohongiku, ya? Kamu mau aku pulangkan ke rumah ayahmu?!”

“Jangan, Mas… jangan pulangkan aku.”

“Kalau begitu, cepat masak nasi goreng! Aku lapar! Dari sore tadi aku belum makan!”

Mutia menggeleng. “Tapi tidak ada bahan untuk membuatnya, Mas.”

“Kamu! Hanya nasi goreng saja tidak ada bahan? Dasar sialan!”

Plak!

Dion menampar Mutia dan menyeretnya keluar dari kamar dan terus menyeretnya sampai ke pintu depan.

“Pergi dari rumah ini dan jangan pulang, kalau kamu tidak membawa uang! Atau aku akan mengembalikan kamu ke ayahmu di kampung!” Dion membuka pintu dan mendorong Mutia keluar dari rumah.

Mutia memang sering diperlakukan seperti itu. Dion akan marah jika dia pulang tanpa membawa bahan makanan. Biasanya, Mutia akan menyisihkan uang untuk membeli bahan masak untuk membuat nasi goreng. Hanya saja, uang bulanan yang ia dapat dari bekerja di rumah Rendra sudah ia kirim Minggu lalu untuk ayahnya.

“Malam ini kamu tidur di luar! Jangan masuk ke dalam rumah ini!”

Langit di atas menggelap. Angin mulai berhembus dingin dan petir berkilat samar tanda akan turun hujan.

“Mas, tolong…” suara Mutia gemetar. “Aku tidak punya tempat lain. Aku takut…”

“Bagus! Biar kamu tahu rasanya. Ini pelajaran buat kamu supaya tidak bertingkah seenaknya lagi!”

“Aku janji tidak akan melakukan kesalahan apa pun lagi, Mas… aku mohon, biarkan aku masuk.” Mutia masih berusaha bertahan.

Dion menatapnya dengan muak, lalu menutup pintu dengan kasar dan menguncinya rapat-rapat.

Mutia berdiri di depan pintu.

Angin terasa sangat dingin. Merayap ke seluruh tubuhnya, tapi dia belum bergerak. Menatap kosong ke arah pintu yang tertutup itu.

Lalu, perlahan dia melangkah meninggalkan halaman rumah itu.

Untungnya masih ada sebuah angkot. Mutia menaiki angkot dengan perasaan kacau. Dia tidak tahu harus kemana.

Saat melihat Taman tempat dia berjualan dulu sebelum bekerja di rumah Rendra, dia turun. Berharap menemukan salah satu kenalan.

Tapi ini sudah hampir subuh. Taman sudah sangat sepi, dia tidak terlihat seorang pun disana.

Rintik kecil sudah mulai turun, lalu beberapa menit berubah menjadi hujan deras. Angin mengacak-acak rambut Mutia yang berdiri di bawah lampu taman yang meredup.

Mutia menangis sesenggukan. Kakinya basah. Baju lusuh yang melekat di tubuh sudah berat karena air. Suara petir bergulung, membuat Mutia mundur pelan ke bawah kanopi kecil taman yang nyaris tidak bisa untuk berteduh.

Mutia memeluk tubuhnya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah Maybach berhenti mendadak di pinggir jalan. Dari dalam, seorang pria turun tergesa. Dia berlari menerobos hujan, menatap tak percaya ke arah sosok yang duduk terbungkuk di sudut taman.

“Mutia?”

Mutia menoleh. Dia hampir tidak percaya dengan siapa yang datang.

“Tuan Rendra?” suaranya bergetar karena kedinginan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 76. Natali Hamil

    “Tuan, kenapa?”Rimbun menoleh, merasa Ken tampak gelisah karena terus bergerak di tempat.“Tidak apa-apa. Jangan menoleh.” Ken menahan wajah Rimbun agar tetap menghadap ke depan.“Tuan, kamu terus bergerak. Apa kamu tidak nyaman?” Rimbun kembali menoleh dengan polos.“Jangan menatapku, Rimbun. Kamu ini…” Ken kembali mendorong wajahnya dengan sedikit jengkel.“Aku bisa menerkammu, tahu!” desis Ken dengan nada tertahan.“Menerkam? Maksudnya apa?” Rimbun mengerutkan kening bingung.“Ah, sudah diam! Jangan banyak bergerak!” Ken mendekatkan tubuhnya lebih rapat, membuat Rimbun tak bisa bergerak sama sekali.Sesaat, suasana menjadi hening. Hanya suara napas mereka yang terdengar, terasa begitu dekat dan menegangkan. Tangan Ken bergerak, tanpa sadar meremas lengan Rimbun.“Arg…!” tiba-tiba Ken berteriak kecil, membuat Rimbun terkejut.“Tuan, kenapa?” tanya Rimbun cepat.“Tidak… tidak apa-apa,” jawab Ken gugup, sama terkejutnya dengan suaranya sendiri.“Rimbun, sebaiknya kamu ke ranjang saja

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 75. Otong yang terusik

    Masih di tempat dan waktu yang sama.Rimbun sudah selesai mengelap tubuh bagian bawahnya. Ia kemudian berganti pakaian—setelan tidur yang baru dibeli Ken, lengkap dengan pakaian dalamnya yang juga dibelikan oleh pria itu. Sambil melirik ke arah Ken yang hanya tampak ujung kepalanya dari balik sofa, bibirnya tersenyum kecil.“Hihi…” Rimbun terkikik melihat pantulan dirinya di cermin. Lucu dan imut, seperti boneka Barbie versi sederhana, dengan pakaian tidur ala anak konglomerat.“Lucu banget aku. Jadi gemes sendiri. Gemes sama yang beliin bajunya,” gumamnya geli.Ia lalu melangkah ke kamar mandi untuk menggosok gigi, mencuci muka, dan melakukan ritual kecil khas perempuan. Namun, baru sebentar menyentuh air, tubuhnya sudah menggigil.“Heh, ternyata aku belum sembuh,” keluhnya sambil mendekap tubuh sendiri. Ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampiri Ken.“Tuan!” panggilnya.Ken menoleh. Wajah gadis di depannya itu tersenyum manis—senyum yang sukses membuat detak jantungnya mela

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 74. Badannya penuh setrum!

    “Kamu pernah membeli ini? Artinya aku bukan wanita pertama yang kamu perhatikan?” tanya Rimbun dengan tatapan tajam.“Memang bukan. Astaga! Maksudnya—”“Dasar pria murahan! Playboy!” potong Rimbun ketus.“Eh, Rimbun, bukan begitu maksudku. Dengar dulu,” ucap Ken panik. “Wanita pertama yang aku perhatikan itu Nona Mutia. Aku harus menjaganya kalau Tuan Rendra sedang tidak bersamanya. Soal barang-barang wanita, aku memang pernah membelinya… maksudku, menemani Tuan Rendra membeli untuk Nona Mutia. Begitu.”“Aku tidak percaya!”“Sungguh, Rimbun. Kalau tidak percaya, kamu bisa tanya langsung ke mereka. Saat itu pertemuan pertama mereka. Tuan Rendra membawa Nona Mutia dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Karena dia tidak punya baju ganti, kami berdua terpaksa mencarikannya. Kami bahkan sempat berdebat di toko soal ukuran itu.”Ken menarik napas panjang. “Sejak saat itu, aku berpikir kalau suatu hari aku punya istri, aku harus tahu ukuran tubuhnya. Supaya tidak bingung kalau nanti har

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 73. Aku cintai kamu, Jelek!

    “Tidak mungkin. Tuan Rendra itu bos paling pengertian. Jadi kamu tidak perlu cemas. Cepat sembuh, supaya bisa kembali membantuku di kantor,” ucap Ken lembut sambil menggenggam jemarinya.Rimbun tersenyum tipis. “Terima kasih, Tuan Ken. Kamu sudah sangat baik padaku.”“Sudah kubilang, aku ini baik. Kamu saja yang belum mengenalku dengan benar,” jawab Ken sambil tersenyum hangat.“Iya, Tuan. Maafkan aku,” sahut Rimbun lirih.“Sekarang tidurlah. Kamu perlu banyak istirahat. Maafkan aku, mungkin kamu kelelahan karena terlalu sibuk membantuku,” ucap Ken lembut.“Tidak juga. Penyakit ini memang sering kambuh kok,” jawab Rimbun santai.“Kalau bisa, mulai sekarang jangan kambuh lagi. Asal kamu mau menjaga pola hidup yang sehat dan bersih, penyakit ini akan menjauh darimu. Jadi setelah sembuh nanti, kamu harus pindah dari kos kumuh itu. Aku akan bantu carikan tempat tinggal yang lebih layak. Atau kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini sesuka hatimu. Bagaimana?”Rimbun tersenyum kecil. “Kala

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 72. Membawa pulang ke rumah

    “Ke tempatku dulu.”“Rumah yang kemarin? Aku tidak mau, Tuan. Tidak enak dengan Nona Mutia dan Tuan Rendra. Aku takut merepotkan mereka. Lagipula Nona sedang sakit juga,” sahut Rimbun pelan, menolak.“Kamu benar. Tapi kamu ini sedang sakit, Rimbun. Tempat tinggalmu itu tidak baik untuk kesehatanmu saat ini.”“Tidak apa-apa, Tuan. Itu sudah cukup bagiku. Aku tidak mau merepotkan orang lain.”“Aku tidak akan tenang kalau kamu di sana. Siapa yang akan memperhatikan dan merawatmu? Aku tidak mungkin datang terus ke kostmu, sumpek di kamarmu itu. Belum lagi ibu kostmu yang galak,” ucap Ken dengan nada kesal tapi penuh khawatir.“Ya sudah, tidak perlu datang, aku biasa sendiri kok,” jawab Rimbun.“Tidak bisa, Rimbun. Aku khawatir.”Akhirnya Ken memutar kemudi, tidak jadi membawa Rimbun ke rumah Rendra, juga tidak mengantarnya ke kost. Ia melajukan mobil menuju tempat lain yang dianggap paling tepat untuk merawat Rimbun.Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah bangunan luas bergaya modern. K

  • JANGAN SALAHKAN AKU SELINGKUH (Hasrat Panas Musuh Suamiku)   Bab 71. Sakit

    “Apa Rimbun tidak ada?”“Bun...!” Ken memanggil cukup keras sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban. Ia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci. Dengan hati-hati, Ken mengintip ke dalam. Ia mendapati Rimbun sedang meringkuk di kasur, masih terbungkus selimut tebal.“Astaga! Dia masih tidur?” gumam Ken, lalu masuk dan mendekat.“Rimbun?” Ia menarik selimut itu dengan kasar.Gadis itu terlonjak kaget, segera duduk dan mendekap tubuhnya sendiri sambil menatap Ken dengan panik.“Tuan... Tuan Ken! Selimutnya! Kembalikan selimutnya, aku... aku kedinginan,” ucap Rimbun terbata, tubuhnya bergetar menahan dingin.“Selimutnya, Tuan... tolong kembalikan,” pintanya lemah.Ken sempat terdiam. Tapi sesaat kemudian, ekspresinya berubah cemas. Ia baru menyadari sesuatu yang tidak beres.“Bun, kamu kenapa? Kamu sakit?” tanyanya, kini menunduk dan mendekat.Rimbun melirik sekilas, masih mendekap dirinya erat.“Dingin, Tuan. Dingin sekali. Maaf... aku tidak bisa berangkat bekerja hari ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status