Share

Bab 5

Air mata hendak jatuh ketika mendengarnya mengatakan itu, namun aku tidak mau air mata itu sia-sia. Jadi, aku segera kembali menghapusnya dan tersenyum lebar.

"Jadi, siapa yang paling penting untuk Anda?" tanya pembawa acara lagi membuatku ikut menatap ke arah mereka.

Jujur saja, aku juga sangat penasaran dengan jawabannya.

"Dia ibu dari anak-anakku," jawabnya cepat dan benar-benar tanpa perasaan.

Tak pernah kusangka dan kuduga, ternyata dia adalah pria yang sangat kejam.

"Bukankah dia juga istri Anda? Jadi, sudah pasti kalau Anda sangat mencintainya bukan?"

Aku menatap mereka semakin lekat dan memasang kedua telinga dengan sebaik-baiknya.

Aku sungguh penasaran dengan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Ya, dulu memang seperti itu. Namun sejak Tiara kembali, cinta itu langsung hilang. Lalu, aku pun sadar kalau ternyata selama ini aku mencintai istriku bukan cinta seperti pria dan wanita, namun cinta karena dia adalah ibu dari anak-anakku," jelasnya membuat napasku langsung tersengal.

Dadaku terasa sakit, sangat sakit, seperti baru ditembak beberapa peluru.

"Kenapa baru kau katakan sekarang, Mas? Kenapa? Kenapa tidak kau katakan saja sejak dulu, ketika kau meminta restu orang tuaku? Kenapa baru sekarang di saat mereka sudah tidak ada? Kenapa harus sekarang?" jeritku dalam hati.

Karena tubuhku hendak jatuh, Via segera membantuku. Namun, ada seseorang juga yang ikut membantu. Dia adalah seorang pria.

Aku segera menepis tangan pria itu setelah bisa berdiri kembali dengan seimbang, lalu mengucapkan terima kasih karena dia sudah membantu di waktu yang tepat.

"Sama-sama. Saya tidak salah menilai, Anda adalah wanita yang cantik. Bahkan suara Anda juga sama-sama cantik," ucapnya ngaco.

Kenapa aku bilang ngaco, karena dia bisa memberikan penilaian di saat aku memakai topeng yang menutupi seluruh wajah seperti ini.

Aku mendekat ke arah Via yang tengah duduk di pojokan. Tepat di dekatnya, ada beberapa anggota keluarga Mas Rayan. Dari sini, aku bisa memperhatikan raut wajah mereka.

Apa mereka benar-benar setuju dengan pernikahan ini tanpa mempedulikan perasaanku, atau malah sebaliknya.

Karena apa, aku bukan wanita baik hati yang bersikap seolah tidak ada apa pun kalau memang nanti mereka bekerja sama. Mungkin saja aku akan pergi menjauh, bahkan memutuskan hubungan. Namun kalau mereka juga ternyata terpaksa, setidaknya aku masih bisa menjaga hubungan.

Hanya dengan Mas Rayan aku akan menjaga jarak, namun aku juga tidak akan membuat anak-anak ikut menjauh. Mereka akan aku izinkan untuk bertemu dengan papanya kalau mereka mau. Aku tidak akan melibatkan anak-anak untuk masalah orang dewasa.

Meski mereka menggunakan topeng, namun hanya wajah yang ditutupi, dan aku masih mengenali semuanya dengan jelas.

"Dia yang mendekat ke arah sini adalah istrinya," bisik Via membuatku melihat ke arah yang dia maksud.

Seorang wanita bertubuh agak gemuk mendekat ke arah kami. Yah, dia memang cantik, namun sayang dia malah mau menikah dengan pria beristri. Sungguh miris.

"Ma, Pa, makan dulu! Aku dan Mas Rayan sudah menyiapkan semua yang terbaik untuk kalian," ucapnya ramah dan lembut.

"Dia memang suka sok baik seperti itu, namun aku tidak yakin dia tetap akan bersikap baik kalau nanti ikut ke rumah mertuaku. Aku yakin dia akan menunjukkan sisinya yang lain," bisik Via lagi membuatku tersenyum lebar.

Ternyata dia benar-benar siluman rumah. Sepertinya aku harus memperhatikan ekspresi wajah mereka dengan cermat agar tidak salah menilai. Kalau mereka bersikap tak peduli, tandanya aku harus menjaga mereka ketika nanti wanita itu masuk ke rumah yang selama ini selalu menyambutku dan anak-anak dengan hangat.

Meski nanti aku sudah tidak menjadi istri Mas Rayan, aku tidak akan mengalah dengan mudah, lalu menyerahkan ibu mertuaku begitu saja. Tidak akan pernah.

"Enggak napsu," jawab mama singkat dengan nada seolah jengkel.

"Ma, jangan begitu." Papa ikut bicara, lalu dia menatap menantu barunya dengan lembut. "Kami belum lapar, nanti kalau mau, kami juga akan langsung makan. Terima kasih atas tawarannya," tolak papa halus.

Aku tersenyum senang.

Dulu, tanpa aku minta, mereka langsung makan dengan lahap setelah aku dan Mas Rayan mengucapkan akad.

"Aku enggak punya menantu seperti dia, menantuku hanya Delisa," celetuk mama tiba-tiba membuatku hampir tersedak. "Kalau kalian mau mengakuinya, sana! Jangan ajak Mama karena sampai kapan pun Mama enggak akan mau."

"Cukup! Papa juga enggak mau, namun kita tidak punya pilihan lain."

"Aku juga, jadi beberapa saat ini kita harus pulang, lalu mampir di restoran kita," sahut adik pria bertubuh kekar yang berdiri tidak jauh di sampingku.

"Tentu saja. Kita makan besar hari ini," sahut yang lainnya.

Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Ternyata mereka hanya menganggap aku sebagai menantunya dan tidak mau menerima orang lain lagi.

MasyaAllah, aku benar-benar terharu.

Akan tetapi, beberapa menit selanjutnya, aku dan Via dikejutkan oleh langkah seseorang yang mendekat ke arah kami. Dia adalah Mas Rayan. Untuk apa dia datang ke sini?

"Aku meminta kalian datang ke sini untuk menikmati semuanya, kenapa malah memasang wajah seperti itu?" tanyanya kepada semua keluarga dengan wajah dingin.

Ekspresi itu tidak pernah ditunjukkan padaku meski setelah sepuluh tahun pernikahan. Namun sekarang dia sudah punya istri yang baru, jadi aku tidak yakin dia masih bisa menjaga sikapnya.

"Mama tidak enak badan. Sejak tadi pagi juga sudah beberapa kali muntah," jawab papa sementara yang lain masih tetap diam.

Mas Rayan langsung mendekat ke arah ibu yang sudah melahirkannya, lalu menempelkan tangan di keningnya. "Hangat, nanti aku minta dokter keluarga untuk datang," ucapnya penuh perhatian.

"Tidak perlu! Mama hanya cukup bertemu Delisa dan anak-anak, maka semuanya akan membaik," sentak mama marah.

Raut wajah Mas Rayan kembali berubah dingin. "Jangan ucapkan di sini, Ma. Aku masih harus menjaga perasaan istriku."

"Istri yang mana? Kalau memang kamu mau menyakiti perasaan Delisa dan anak-anakmu, ceraikan dia!" perintah mama membuatku dan Via membelalakkan mata.

"Aku tidak pernah menyakiti siapa pun!" Mas Rayan berucap tanpa rasa bersalah.

"Dengan menikah lagi, kamu sudah menyakiti mereka. Padahal, selama ini mereka tulus menyayangi kamu, terutama Delisa. Dia bahkan mau menerima masa lalu kita tanpa bertanya. Jadi, ceraikanlah agar dia bisa hidup bahagia," jawab mama cepat kembali menekankan kata cerai.

Mas Rayan tersenyum menyeringai. "Tidak akan pernah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status