Share

Bab 4

Aset? Tentu saja. Hanya anak-anakku yang berhak mendapatkan semua yang sudah dia dapatkan selama ini. Mengurus anak adalah tanggung jawabnya meski dia menikah lagi, jadi wanita yang akan menjadi istrinya nanti tidak akan pernah mendapatkan apa pun.

Akan aku pastikan itu terjadi tanpa membuat anak-anakku terluka ataupun membuat Mas Rayan curiga.

Aku mendekat ke arah Gibran dan memeluknya.

"Mama mohon kerja samanya, ya," ucapku sambil membisikkan beberapa kata yang tadi sudah disepakati.

"Iya, Ma. InsyaAllah Abang enggak akan lupa," ucapnya bersemangat.

"Oke, Mama percayakan semuanya sama Abang. Mama juga enggak akan lama dan akan ganti baju dulu," ucapku menegaskan setelah melihat matanya menatap pakaianku dengan tajam.

Dia pun mengangguk dan aku kembali masuk ke kamar Via, lalu keluar setelah berganti dress.

"Nah, ini cantik banget. Seperti bukan Mama yang biasanya. Abang yakin kalau Papa bertemu Mama juga akan sadar kalau istrinya ada di hadapannya," pujinya berlebihan.

"Anak kecil enggak boleh mengucapkan kata-kata orang dewasa. Abang lupa?"

"Ah, iya. Maaf, Ma. Abang janji enggak akan mengulanginya lagi."

"Iya, Mama pergi dulu, ya?" pamitku, lalu kembali memeluknya, dan melihat Gisya. Sementara Giska, aku bawa.

Ada teman yang bisa diajak kerja sama selain Via, dia adalah seorang dokter anak. Jadi, dia yang akan menjaga buah hati yang baru berusia satu tahun di rumah yang sudah aku sewa. Tempat itu dekat dengan tempat pernikahan suamiku.

Kami langsung berangkat dengan mobil yang disewa dari rental. Yah, aku punya rencana besar dan akan memakan waktu yang cukup lama, jadi tidak bisa sembarangan bertindak.

Aku tidak mau Mas Rayan mengetahui kalau aku sudah tahu semuanya. Apalagi kalau rencanaku belum ada yang berhasil.

Di perjalanan, aku sama sekali tidak bisa tenang. Memikirkan pria yang selama ini hanya menjadi milikku seorang, sekarang dia akan terbagi. Ah, tidak ... mungkin sejak dulu kita memang sudah berbagi.

Memikirkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak. Kehidupan bahagia yang aku pikir akan berlangsung selamanya, ternyata hanya sampai sepuluh tahun pernikahan.

Padahal, aku sudah memberinya tiga buah hati. Ternyata kesetiaan juga tidak bisa diukur dari banyaknya anak yang kita lahirkan atau kecantikan sang istri dan sifat kesetiaan itu tetaplah gaib.

Dari fisik, tubuhku jauh lebih bagus daripada kebanyakan wanita. Aku juga termasuk wanita yang cerdas karena selalu membantu dia menyelesaikan pekerjaannya dan aku juga cantik. Aku melakukan banyak perawatan agar suamiku tidak berpaling.

Yah, banyak hal aku pertaruhkan agar dia selalu ada di sisiku. Menjadi suamiku dan aku menjadi satu-satunya wanita yang ada di kehidupannya. Ternyata ... lagi-lagi aku salah dan kalah. Bahkan aku harus menelan pil pahit setelah melakukan banyak hal.

"Jangan terlalu banyak pikiran, sebentar lagi kita sampai," ucap Via mengingatkan.

"Ya." Aku hanya menjawab singkat.

Kami masuk ke pintu gerbang rumah yang sudah disewa lebih dulu. Lalu, turun dan kembali pergi dengan mobil yang berbeda setelah memastikan tidak ada yang melihat dan Gisya masuk ke rumah itu dengan aman.

"Apa kamu sudah bisa melihat hal-hal mencurigakan dari orang-orang yang bekerja di rumahmu?" tanya Via terlihat penasaran.

"Ya, aku bahkan masih tidak percaya kalau mereka yang selama ini sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, ternyata menusukku seperti ini."

Via melirik ke arahku sekilas, lalu menepuk pundakku pelan. "Tidak apa-apa, ini bukan salah kamu. Sejak awal ini memang salah pria breng**k itu. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri," ucapnya terlihat sangat emosi.

"Sekarang kita sudah sampai dan hanya cukup mengeluarkan undangannya ke beberapa penjaga itu, lalu masuk dan pastikan siapa yang ada di dalam," lanjutnya membuat luka hatiku semakin dalam. Bahkan tubuhku semakin gemetar.

Aku sungguh tidak sanggup untuk mengetahui fakta ini.

Bagaimana bisa pria yang selama ini katanya hanya mencintainya, nyatanya malah menikah lagi dengan wanita lain?

Bisa dibayangkan sehancur apa aku sekarang. Aku benar-benar sudah gagal menjadi seorang istri.

Menjaga seorang suami sudah aku tidak bisa, apa tidak apa-apa jika aku mengurus anak-anak sendirian?

Apa mereka tidak akan pernah membenciku karena sudah memisahkan ayah dan anak?

"Ayo, turun!" ajak Via setelah lama diam.

"Apa benar dia tidak akan mengenali aku?" tanyaku ragu.

"Enggak akan. Lagi pula kita tidak perlu mendekat. Kamu cukup lihat dari jarak jauh saja, pastikan, lalu pulang," tegas Via.

Sayangnya ketegasan itu tidak berlangsung lama, tubuhnya kembali gemetar seperti ketika memberikan undangan pernikahan hari itu.

"Apalagi yang kamu takutkan, Vi?"

"Aku takut dia mengusik keluargaku, pekerjaanku, dan yang lainnya setelah tahu aku membocorkan rahasianya," jawabnya dengan bibir yang juga ikut gemetar. "Cuman aku juga enggak mau kamu hidup seperti ini terus. Aku mau kamu dan anak-anak bisa hidup normal."

Via menangis dan air mata yang diteteskan sangat tulus hingga membuat kedua tanganku terulur untuk memeluknya.

"Tidak akan pernah, Vi. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Sekarang kamu sudah membantuku, jadi nanti kalau ada apa pun, jangan segan-segan untuk mengatakannya padaku. Nanti kita cari solusinya bersama," terangku berusaha membuatnya kembali kuat.

"Benar! Aku tidak boleh takut sama pria b*jing*an seperti itu," tegasnya, lalu menghapus air matanya dan mengajakku untuk turun.

Baru saja keluar dari mobil, aku langsung melihat sederet mobil keluarga Mas Rayan. Hal itu membuat tenagaku seketika hilang, namun aku harus berusaha kuat. Setidaknya agar Via tidak lagi ketakutan.

Aku kembali melanjutkan langkah ke pintu acara bersama Via, lalu menyerahkan surat undangannya.

Kebetulan ketika kami datang, Mas Rayan dipanggil oleh pembawa acara untuk mengucapkan kata-katanya atas pernikahan ini.

Pria yang sangat aku kenal itu naik ke atas panggung dan berdiri tegap, lalu melepas topengnya. Tanpa sadar, kedua tanganku mengepal kuat.

Benar saja, dia adalah Mas Rayan. Pria yang selama ini menjadi suamiku.

"Bukannya ini adalah penikahan Anda yang kedua?" tanya pembaca acaranya setelah beberapa saat.

"Tidak!" Mas Rayan menjawab cepat. "Aku bukan menikah dengan orang lain, namun wanita yang sejak dulu aku cintai. Bahkan jauh sebelum aku bertemu dengan istri yang pertama," jelasnya tanpa rasa bersalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status