Aset? Tentu saja. Hanya anak-anakku yang berhak mendapatkan semua yang sudah dia dapatkan selama ini. Mengurus anak adalah tanggung jawabnya meski dia menikah lagi, jadi wanita yang akan menjadi istrinya nanti tidak akan pernah mendapatkan apa pun.
Akan aku pastikan itu terjadi tanpa membuat anak-anakku terluka ataupun membuat Mas Rayan curiga.Aku mendekat ke arah Gibran dan memeluknya."Mama mohon kerja samanya, ya," ucapku sambil membisikkan beberapa kata yang tadi sudah disepakati."Iya, Ma. InsyaAllah Abang enggak akan lupa," ucapnya bersemangat."Oke, Mama percayakan semuanya sama Abang. Mama juga enggak akan lama dan akan ganti baju dulu," ucapku menegaskan setelah melihat matanya menatap pakaianku dengan tajam.Dia pun mengangguk dan aku kembali masuk ke kamar Via, lalu keluar setelah berganti dress."Nah, ini cantik banget. Seperti bukan Mama yang biasanya. Abang yakin kalau Papa bertemu Mama juga akan sadar kalau istrinya ada di hadapannya," pujinya berlebihan."Anak kecil enggak boleh mengucapkan kata-kata orang dewasa. Abang lupa?""Ah, iya. Maaf, Ma. Abang janji enggak akan mengulanginya lagi.""Iya, Mama pergi dulu, ya?" pamitku, lalu kembali memeluknya, dan melihat Gisya. Sementara Giska, aku bawa.Ada teman yang bisa diajak kerja sama selain Via, dia adalah seorang dokter anak. Jadi, dia yang akan menjaga buah hati yang baru berusia satu tahun di rumah yang sudah aku sewa. Tempat itu dekat dengan tempat pernikahan suamiku.Kami langsung berangkat dengan mobil yang disewa dari rental. Yah, aku punya rencana besar dan akan memakan waktu yang cukup lama, jadi tidak bisa sembarangan bertindak.Aku tidak mau Mas Rayan mengetahui kalau aku sudah tahu semuanya. Apalagi kalau rencanaku belum ada yang berhasil.Di perjalanan, aku sama sekali tidak bisa tenang. Memikirkan pria yang selama ini hanya menjadi milikku seorang, sekarang dia akan terbagi. Ah, tidak ... mungkin sejak dulu kita memang sudah berbagi.Memikirkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak. Kehidupan bahagia yang aku pikir akan berlangsung selamanya, ternyata hanya sampai sepuluh tahun pernikahan.Padahal, aku sudah memberinya tiga buah hati. Ternyata kesetiaan juga tidak bisa diukur dari banyaknya anak yang kita lahirkan atau kecantikan sang istri dan sifat kesetiaan itu tetaplah gaib.Dari fisik, tubuhku jauh lebih bagus daripada kebanyakan wanita. Aku juga termasuk wanita yang cerdas karena selalu membantu dia menyelesaikan pekerjaannya dan aku juga cantik. Aku melakukan banyak perawatan agar suamiku tidak berpaling.Yah, banyak hal aku pertaruhkan agar dia selalu ada di sisiku. Menjadi suamiku dan aku menjadi satu-satunya wanita yang ada di kehidupannya. Ternyata ... lagi-lagi aku salah dan kalah. Bahkan aku harus menelan pil pahit setelah melakukan banyak hal."Jangan terlalu banyak pikiran, sebentar lagi kita sampai," ucap Via mengingatkan."Ya." Aku hanya menjawab singkat.Kami masuk ke pintu gerbang rumah yang sudah disewa lebih dulu. Lalu, turun dan kembali pergi dengan mobil yang berbeda setelah memastikan tidak ada yang melihat dan Gisya masuk ke rumah itu dengan aman."Apa kamu sudah bisa melihat hal-hal mencurigakan dari orang-orang yang bekerja di rumahmu?" tanya Via terlihat penasaran."Ya, aku bahkan masih tidak percaya kalau mereka yang selama ini sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, ternyata menusukku seperti ini."Via melirik ke arahku sekilas, lalu menepuk pundakku pelan. "Tidak apa-apa, ini bukan salah kamu. Sejak awal ini memang salah pria breng**k itu. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri," ucapnya terlihat sangat emosi."Sekarang kita sudah sampai dan hanya cukup mengeluarkan undangannya ke beberapa penjaga itu, lalu masuk dan pastikan siapa yang ada di dalam," lanjutnya membuat luka hatiku semakin dalam. Bahkan tubuhku semakin gemetar.Aku sungguh tidak sanggup untuk mengetahui fakta ini.Bagaimana bisa pria yang selama ini katanya hanya mencintainya, nyatanya malah menikah lagi dengan wanita lain?Bisa dibayangkan sehancur apa aku sekarang. Aku benar-benar sudah gagal menjadi seorang istri.Menjaga seorang suami sudah aku tidak bisa, apa tidak apa-apa jika aku mengurus anak-anak sendirian?Apa mereka tidak akan pernah membenciku karena sudah memisahkan ayah dan anak?"Ayo, turun!" ajak Via setelah lama diam."Apa benar dia tidak akan mengenali aku?" tanyaku ragu."Enggak akan. Lagi pula kita tidak perlu mendekat. Kamu cukup lihat dari jarak jauh saja, pastikan, lalu pulang," tegas Via.Sayangnya ketegasan itu tidak berlangsung lama, tubuhnya kembali gemetar seperti ketika memberikan undangan pernikahan hari itu."Apalagi yang kamu takutkan, Vi?""Aku takut dia mengusik keluargaku, pekerjaanku, dan yang lainnya setelah tahu aku membocorkan rahasianya," jawabnya dengan bibir yang juga ikut gemetar. "Cuman aku juga enggak mau kamu hidup seperti ini terus. Aku mau kamu dan anak-anak bisa hidup normal."Via menangis dan air mata yang diteteskan sangat tulus hingga membuat kedua tanganku terulur untuk memeluknya."Tidak akan pernah, Vi. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Sekarang kamu sudah membantuku, jadi nanti kalau ada apa pun, jangan segan-segan untuk mengatakannya padaku. Nanti kita cari solusinya bersama," terangku berusaha membuatnya kembali kuat."Benar! Aku tidak boleh takut sama pria b*jing*an seperti itu," tegasnya, lalu menghapus air matanya dan mengajakku untuk turun.Baru saja keluar dari mobil, aku langsung melihat sederet mobil keluarga Mas Rayan. Hal itu membuat tenagaku seketika hilang, namun aku harus berusaha kuat. Setidaknya agar Via tidak lagi ketakutan.Aku kembali melanjutkan langkah ke pintu acara bersama Via, lalu menyerahkan surat undangannya.Kebetulan ketika kami datang, Mas Rayan dipanggil oleh pembawa acara untuk mengucapkan kata-katanya atas pernikahan ini.Pria yang sangat aku kenal itu naik ke atas panggung dan berdiri tegap, lalu melepas topengnya. Tanpa sadar, kedua tanganku mengepal kuat.Benar saja, dia adalah Mas Rayan. Pria yang selama ini menjadi suamiku."Bukannya ini adalah penikahan Anda yang kedua?" tanya pembaca acaranya setelah beberapa saat."Tidak!" Mas Rayan menjawab cepat. "Aku bukan menikah dengan orang lain, namun wanita yang sejak dulu aku cintai. Bahkan jauh sebelum aku bertemu dengan istri yang pertama," jelasnya tanpa rasa bersalah.Aku mengalah, tidak lagi membicarakan tentang hal itu, dan bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Namun ada yang berbeda dengan Gibran dan Gisya. Mereka seperti menjauhi aku secara tidak langsung karena aku merasa asing di antara mereka.Sama seperti yang terjadi sekarang. Mereka asik bermain berdua dan tidak menganggap aku yang ada di dekat mereka. Padahal, selama ini mereka lebih dekat denganku daripada Delisa. Apa mungkin ada orang yang bilang pada mereka untuk menjauhi aku?"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Mas. Apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai." Delisa tiba-tiba mendekat dan mengatakan sebuah kalimat yang membuatku merenungkan kembali apa yang sudah kulakukan pada mereka selama ini."Maaf, aku pikir psikis mereka tidak akan terganggu." Aku menghela napas panjang.Ingin sekali aku merasakan pelukan mereka lagi dan mendengar suara nyaringnya ketika memanggil namaku. Namun ketika aku panggil saja, mereka hanya menanggapi dengan santai dan singkat. Seolah perk
"Mas tahu hati kamu tidak akan langsung sembuh seperti dulu, namun Mas harap kamu bisa melupakan semua tentang Ratih. Terlebih sekarang dia sudah masuk ke penjara," ucapku berusaha membuatnya yakin karena Delisa terdiam cukup lama."Entahlah, Mas. Aku tidak tahu aku bisa percaya lagi sepenuhnya padamu atau justru akan hilang selamanya, yang jelas meski Ratih di penjara sekalipun, aku tetap saja cemburu. Ada luka yang tidak bisa dijelaskan dan ada kehancuran jiwa yang selalu coba aku tahan," ungkapnya membuatku terdiam.Kata-kata yang diucapkan Delisa mengandung arti yang dalam dan indah, namun menusuk. Aku tahu betul letak kesalahanku dana kalau posisinya dibalik, aku juga tidak yakin akan memaafkan Delisa dengan muda. Keputusanku sudah bulat. Dapat atau tidak maaf darinya, aku tetap akan melakukan yang terbaik sebagai seorang suami dan ayah untuk anak-anak. Aku akan menebus semua kesalahan yang pernah kulakukan dulu, termasuk waktu yang sudah aku buang sia-sia."Aku tahu semuanya b
"Sayang bangun, sudah saatnya salat malam," bisik Mas Rayan tepat di telinga membuatku agak merinding.Langka sekali dia melakukan ini, lalu sekarang kenapa tiba-tiba melakukannya? Apa dia tahu kalau aku masih marah dengan kebiasaannya yang suka berbohong itu?Tanpa membalasnya perkataannya, aku langsung bangun dan pergi ke kamar mandi. Karena masih malas melihat wajah serta mendengar suaranya, aku sengaja berlama-lama.Akan tetapi, belum ada lima menit, dia kembali mengetuk pintu kamar mandi."Sayang, jangan lama-lama kalau di kamar mandi," ucapnya dan daripada membalas dengan perkataan, aku langsung menyalakan shower saja. Agar dia tahunya aku tengah mandi, padahal enggak.Suaranya kembali tidak terdengar dan aku hanya bisa menghela napas lega. Semoga ketika aku keluar dari sini, dia sudah berubah normal seperti biasanya. Meski dia berubah menjadi lebih baik, namun tetap saja aku masih tidak terbiasa. Kek geli gitu.Dulu, aku biasa mandi di jam segini. Namun sejak dia dinas, ya mes
"Anakku punya sikap yang baik, tidak mungkin dia melakukan sesuatu hal yang membuatnya harus di penjara. Dia juga punya anak kecil!" lagi-lagi Ibunya Rina berteriak dan hal ini membuatku jengah.Sementara Dion hanya menatapku tak percaya. Untuk orang yang tidak tahu tentangnya, pasti akan berpikir kalau dia lebih baik dariku. Aslinya, justru dialah yang lebih berengsek. Aku tidak mengatakan ini untuk memuji diriku sendiri, tetapi mana ada pria baik yang menempatkan seorang wanita di rumahnya? Apa dia tidak paham ilmu agama? Padahal, di keluarga kita diajarkan tentang batas-batas dengan yang bukan mahram.Karena sebelumnya Delisa juga dihasut olehnya agar bisa menumbangkan aku dengan kedok menolongnya, jadi aku yakin dia juga yang ada di belakang layar atas pemecatanku. Sudah lama sekali dia bilang iri padaku dan ingin merebut semuanya.Sayangnya dia tidak bisa melakukan hal itu, karena aku lebih dulu sadar kalau cintaku pada Ratih tidak nyata. Justru di alam bawah sadar pun, aku hany
"Aku ingin anak-anak punya kehidupan yang layak, meskipun nanti mereka harus jauh darimu. Karena sekarang kamu bisa mengatakan akan selalu ada di sisi kami, Mas. Namun tidak dengan nanti. Siapa tahu nanti kamu juga sama seperti yang sudah, tiba-tiba punya wanita yang dicintai," tegas Delisa tanpa basa-basi.Kini, dia sadar kalau kebahagiaan anaknya sedang dipertaruhkan. Oleh karena itu, Delisa bahkan tidak memikirkan tentang perasaan dan harga dirinya. Karena bagi seorang ibu, kebahagiaan anak-anaknya merupakan hal yang paling utama.Rayan mengangkat wajahnya dan menatapnya lekat. "Aku bersedia. Asal kamu mau memaafkan aku dan kembali ke kehidupan kita seperti sebelumnya, aku akan melakukan semua yang kamu katakan.""Penuhi dulu janjimu, baru kamu boleh membatalkan sidang perceraiannya, Mas." Delisa kembali bicara dengan tajam tanpa ingin melihat cinta yang ada di mata Rayan.Hati dan jiwanya sudah membeku, hingga cinta yang sempat ia miliki juga ikut pergi. Begitupun dengan perasaa
"Mau bertemu dengan Rayan?" tanya papa mertua."Iya, Sayang. Tidak ada salahnya memberikan dia kesempatan kedua. Bukankah kamu juga tidak mau kalau papanya anak-anak ada dalam kapal yang sama dengan wanita penjahat itu?" sahut ibu mertuanya berusaha membujuk.Apa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu sudah membuatnya trauma. Dia yang bahkan enggan memikirkan tentang perusahaan, rela ikut dengan suaminya yang di tempat itu. Padahal, papanya Rayan juga sudah lama memutuskan untuk tidak ikut campur lagi. Akan tetapi, apa yang sudah Ratih lakukan benar-benar menimbulkan luka yang mendalam.Setelah kejadian itu papanya Rayan mendadak datang lagi ke perusahaan yang tengah diurus oleh anak keduanya, itu pun dengan membawa istrinya. Sang anak tentu bahagia dengan kedatangan kedua orang tuanya, ditambah rumahnya dengan orang tua juga jauh karena dia sudah punya rumah sendiri.Namun demikian, dia tetap menyelidiki apa yang menyebabkan kedua orang tuanya tiba-tiba tertarik dengan perusahaan.