Hah, ternyata pria ini adalah orang-orang yang sangat licik. Dia mau menggenggam kedua hati dalam hati tangannya dengan niat membuat keduanya tetap utuh, padahal tidak. Justru keduanya akan ikut hancur.
Jadi, sebelum hal itu terjadi, aku akan menarik batasku dan mundur. Karena kita sudah berjuang bersama-sama dari nol, maka tidak ada yang lebih berhak atas semua yang kita punya selain anak-anak.Aku mendekat ke arah Via. "Tugas kita sudah selesai! Sekarang aku sudah tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui semuanya. Kita tidak punya banyak waktu," bisikku dengan pandangan tetap ke depan.Via tidak mengatakan apa pun sampai kami tiba di mobil dan menjalankannya hingga ke rumah tempat Giska dan dokter anak itu berada."Bersiaplah, kita pulang sekarang!"Setelah mengucapkan itu kepada dokter dan Via, segera aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Tentu dengan topeng baru yang harus digunakan. Aku tidak ingin rencana yang sudah susah payah dibuat hancur karena keteledoranku.Ketika semuanya sudah siap, aku langsung keluar menemui keduanya."Apa tidak akan ada yang mencurigai kami?" tanya Via dan dokter itu bersamaan."Ada apa? Bukankah barusan kalian baik-baik saja?" Aku menatap mereka heran."Itu karena aku baru dengar dari dokter, kalau sejak tadi ada orang yang mondar-mandir di depan pintu gerbang perumahan ini. Aku takut setiap orang diperiksa," jelas Via membuatku tersenyum kecut.Ternyata Mas Rayan sangat ketakutan perihal aku tahu tentang kelakuannya ini. Kenapa? Bukankah beberapa menit yang lalu dia baru saja berkata di hadapan semua orang kalau dia tidak mencintaiku? Lantas untuk apa dia melakukan hal-hal berlebihan seperti itu?Sungguh terlalu banyak drama dan merasa paling hebat karena memiliki segalanya.Sebentar lagi, aku akan membuatmu sadar, Mas, kalau pengkhianatan akan menghancurkan semuanya. Aku ingin kamu tahu tidak semuanya bisa dibeli dengan uang."Mas, aku sedang ada di wilayah Jalan Sirsak, bisakah datang ke sini untuk membereskan sesuatu?" tanyaku kepada seorang kenalan di telepon.Rumahnya tidak jauh dari sini, jadi aku yakin dia juga tahu kalau Mas Rayan menikah dengan salah satu warga sini."Apa itu?""Aku ingin Mas memastikan jalanku dari sini sampai ke rumah aman tanpa diketahui oleh orang-orang Mas Rayan. Baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan," pintaku tanpa basa-basi."Baiklah. Nanti Mas kirimkan lewat pesan. Sekarang kalian bersiap dulu di dalam rumah, tunggu lima menit," sahutnya cepat.Aku segera mematikan sambungan telepon dan langsung mendapati tatapan penasaran Via."Ada apa?""Sekarang aku jadi paham kenapa kamu menjadi istri Rayan, ternyata sikap kalian sangat mirip," ucapnya melantur."Jangan katakan yang tidak-tidak. Terlebih, aku tidak mau disamakan dengan pria yang tidak setia itu.""Baiklah. Jadi, orang yang barusan itu siapa?""Seorang kenalan, namun dia juga tahu ciri orang-orang yang bekerja untuk Mas Rayan. Dulu, aku pikir kenal dengannya tidak berguna. Namun sekarang aku paham, tidak ada hal yang tidak berguna di dunia ini." Aku menjelaskan singkat.Mereka langsung menatapku dengan berbinar. Sementara aku hanya fokus ke arah ponsel dan baru bisa tersenyum lebar setelah satu pesan kuterima."Pulanglah! Jalanmu sudah aman. Aku sudah memastikan tidak ada orang Rayan di area jalan yang akan kamu lewati. Jangan lama-lama, takutnya orang-orangnya kembali menyebar.""Ayo, masuk mobil!" seruku sambil memberikan Gisya kembali ke dokter anak dan aku yang menyetir.Aku lebih terbiasa membawa mobil atau motor dengan kecepatan tinggi, beda dengan Via yang banyak takutnya karena terlalu sayang padaku juga anak-anak. Di saat genting seperti ini, aku tidak bisa cuek dan menyerahkan banyak hal.Karena pada akhirnya, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri agar bisa terus hidup di dunia ini. Walau tidak selalu, tetapi saat itu pasti ada menghampiri setiap manusia.Hanya dalam hitungan menit, kita sudah sampai di rumah orang tua Via. Lalu, aku membawa anak-anak ke supermarket dan makan di taman."Abang mau seperti ini lagi nanti kalau Papa sudah enggak sibuk," ucap Gibran tiba-tiba membuatku tanpa sadar menitikan air mata."Abang laki-laki dan Abang punya dua adik, Mama ingin Abang enggak begitu tergantung dengan Papa, ya. Apalagi selama ini Abang sendiri tahu kalau Papa suka sibuk," jelasku berusaha memberikan pengertian."Iya juga, sih. Cuman kan enggak mungkin kalau Papa sibuk terus. Kecuali kalau semua pekerjaan Papa yang kerjakan.""Bang, kita jangan bergantung kepada orang lain.""Papa bukan orang lain, kok."Aku kembali diam. Inilah suasana yang paling kutakutkan kalau berpisah dari Mas Rayan. Aku pasti kewalahan menghadapi mereka, karena selama ini yang mereka tahu papa mereka adalah pahlawan hebat yang baik hati.Ditambah anak-anak juga lumayan dekat dengan suamiku kalau dia ada di rumah. Takutnya Mas Rayan menolak untuk berpisah denganku, lalu dia memanfaatkan anak-anak untuk membuatku bertahan.Di saat hatiku bimbang, ponselku berdering keras, dan ternyata telepon dari Mas Rayan."Halo, Sayang!" sapanya lebih dulu dengan nada seperti biasa. Penuh semangat."Iya, Mas. Kamu pulang kapan?""Minggu depan. Kenapa? Kamu sudah kangen sama aku, ya?" tanyanya membuat tangan kiriku mengepal."Iyalah, Mas. Anak-anak juga. Oh iya, dari sejak lama aku kepikiran tentang sertifikat rumah, Mas. Bagaimana kalau kita ubah atas nama Gibran?" tanyaku memberanikan diri."Terserah kamu saja," sahutnya santai."Kamu enggak marah?""Untuk apa? Dia anak kita dan kita orang tuanya.""Makasih, Mas.""Boleh aku bicara dengan Gisya?" pintanya yang aku tahu dia sedang mencari tahu apa yang kita lakukan seharian ini.Dia tahu kalau anak kecil tidak pernah berbohong, terutama Gisya. Anak berusia mau lima tahun itu selalu mengatakan apa yang dilihatnya.Aku memberikan ponsel itu pada anak keduaku setelah menyentuh pengeras suara agar aku tahu apa yang akan dia tanyakan."Hai, Sayang. Sedang apa?" tanyanya dengan kalimat yang sama kalau dia hendak mencari tahu sesuatu.Dulu, aku pikir sikapnya ini adalah bentuk perhatian. Nyatanya aku salah dan selama ini aku sudah menikah dengan orang yang tidak normal, karena tidak pernah mempercayai istrinya."Sedang makan sama Mama ... sama Abang ... Adek."Anak keduaku menjawab dengan jujur dan jangka waktu yang cukup lama, namun seperti biasa Mas Rayan selalu menunggu dengan sabar.Dulu, aku pun berpikir itu karena dia perhatian sama kami, sama sekali tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh. Ternyata semuanya benar-benar tidak seperti yang aku duga.Aku mengartikan semua sikapnya merupakan bentuk perhatian, namun sebenarnya karena dia takut aku melakukan sesuatu yang membuat rencananya terbongkar. Lalu, aku dan anak-anak menjauh darinya."Dari tadi ngapain aja, Sayang?" Mas Rayan bertanya sampai ke intinya.Hah, aku sudah tahu kalau pada akhirnya inilah yang ingin dia tanyakan. Dia berusaha mencari tahu apa saja yang aku dan anak-anak lakukan seharian ini, apalagi tanpa pengawalan, supir atau pekerja yang berada di bawah pengawasannya."Kakak sama Abang, Ade, Mama, pergi ke rumah Tante Via. Kita main bersama di taman, lalu tidur. Ini bangun tidur kembali bermain," jelas anak itu membuat
Aku dan anak-anak pulang dengan sangat bahagia. Meski hati tengah terluka, aku berusaha untuk bersikap seperti biasa dan menikmati semua kekayaan yang bisa dinikmati.Bukankah sangat disayangkan kalau aku melewati semuanya hanya karena suamiku menikah lagi?Lucu sekali.Bersedih boleh, berkepanjangan jangan. Kejadian ini membuatku sadar kalau di dunia ini tidak ada sandaran yang abadi selain yang Mahakuasa. Cukup sandarkan semuanya pada-Nya, maka hati ini akan merasa tenang.Jika tidak, tentu akan seperti aku yang sekarang karena selalu bergantung kepada suami atau orang lain. Jadi, di saat orang yang kita percaya itu bertingkah, rasa sakit pun datang menggantikan kebahagiaan dan kenyamanan yang sebelumnya.Akan tetapi, jika sejak awal sudah kita gantungkan kepada yang Mahakuasa, hatiku tidak akan sesakit ini."Bell, mandikan anak-anak," pintaku pada tepat setelah anak-anak turun dari mobil.Para satpam dan semua pekerja langsung tertawa kecil ketika mendengar permintaanku. Mungkin m
"Hah, jadi Anda sedang mengancam saya? Atas dasar apa? Saya dan Anda tidak punya hubungan yang membuat saya harus patuh atau menjawab pertanyaan Anda dengan benar. Jadi, kenapa Anda malah mengucapkan kata-kata yang begitu menakutkan seperti itu?" cecar Via dengan suara yang mulai tegas membuatku kembali sadar dan mendekat ke arah ponsel.Untung saja aku sudah menyentuh pengeras suaranya. Jadi meski ponsel ada di bawah, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Setelah benda pipih ini ada di tangan, aku kembali mematikan pengeras suaranya dan berbaring di tempat tidur dengan kepala dan tubuh ditutupi selimut.Jangan sampai suara dari ponsel ini terdengar oleh orang-orang yang ada di luar. Ditambah aku sendiri tidak tahu siapa saja orang yang ditugaskan untuk memata-matai aku dan jumlahnya berapa.Jadi, aku harus berhati-hati agar semuanya tidak tampak mencurigakan. Meskipun aku benar-benar terkejut dengan sikap Mas Rayan yang berani menghalalkan segala cara, tetap saja aku tidak bol
Hah, ternyata dugaanku benar. Hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini. Teganya kalian berkhianat setelah apa yang kulakukan selama ini.Sepertinya aku harus merekrut beberapa orang lagi yang kesetiannya tidak diragukan lagi, karena aku benar-benar lelah kalau harus mengamati orang-orang ini sendiri.Setelah beberapa detik, tanpa sengaja aku melihat wajah Bella yang ketakutan. Aku pun mendekat padanya."Ah, Bu, ini tidak seperti yang Ibu duga," ucapnya panik seolah dia tahu apa yang ada di pikiranku. Padahal, dia tidak tahu apa-apa."Memangnya apa? Kenapa kamu mendadak panik seperti ini?" Aku menatapnya sambil memasang tampang heran dan mengamatinya.Ternyata dia terlihat lebih gugup dari yang aku duga. Yah, memang sudah seharusnya seperti itu. Siapa suruh dia menjadi pencuri di rumah tuannya sendiri. Padahal, aku selalu membela mereka kalau dimarahi Mas Rayan.Pantesan beberapa waktu ini aku tidak pernah melihat ataupun mendengar salah satu dari para pekerja dimarahi, ternyata suda
"Benar, kan, kau menguping?" Wanita itu kembali bertanya sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku dan tatapannya benar-benar merendahkan. "Mereka memang pasangan yang serasi, namun aku sungguh tidak tahu kalau di mini market secuil ini pun masih bertemu dengan orang yang menjadi penggemar mereka. Seperti selalu mengikutinya ke mana pun," lanjutnya sambil memuji fisik, wajah, dan kekayaan mereka berulang-ulang.Hal itu sungguh tidak bisa membuatku menahan tawa, jadi aku tertawa kecil."Kenapa kau begitu? Apa kau tidak terima dengan apa yang baru saja aku katakan? Kenapa?" cecarnya tak terima. "Hah, padahal kau hanya tinggal duduk manis, sambil melihat keduanya dari jarak dekat. Mereka orang-orang baik, jadi tidak akan pernah melarangmu untuk melihatnya."Jadi dia pikir aku aku adalah penggemar mereka? Benar-benar di luar dugaan."Oh ya? Maaf, Anda siapa? Kenapa Anda begitu yakin kalau saya adalah penggemar mereka?" tanyaku mulai bersikap seperti biasa karena melihat pasangan itu sud
"Kalau bisa jangan hanya ditanyakan, Mas. Langsung beli saja kalau uangnya ada. Soalnya sayang, kapan lagi bisa beli kontrakan banyak pintu," lirihku meracuni.Setelah mengatakan itu, aku masuk ke dapur untuk membawa makanan kesukaannya."Wah, kapan buatnya?" tanyanya semringah."Tadi pagi. Bella dan yang lainnya juga tahu. Kebetulan tadi aku mau makan yang anget dan manis, terus bikin. Ini barusan sudah aku hangatkan di microwave." Aku mengambil satu potong dan menyuapinya.Seperti biasa dia makan dengan lahap tanpa mengatakan apa pun lagi. Kali ini giliran aku yang banyak bicara."Niatku ingin beli kontrakan agar nanti kita enak, Mas. Di masa tua akan terus menerima uang meski tidak bekerja, terus aku bisa membuat martabak cokelat ini tanpa harus bekerja panas-panasan di luar. Ditambah kalau atas nama anak, dia juga jadi belajar caranya mengelola keuangan," jelasku pelan, namun pasti.Mas Rayan mengangguk cepat. "Kamu benar. Hanya di depanmu aku berani mengatakan banyak makanan kes
Untuk menghilangkan segala kegelisahan tadi malam, kini aku memilih untuk menemui ibunya Via terlebih dahulu. Selama ini beliau selalu menjadi orang yang bijak dan membuatku lebih berani dalam menjalani hidup, aku rasa sekarang juga merupakan solusi yang tepat jika aku datang ke rumahnya.Yah, benar. Sebelum bertemu ustazah, alangkah baiknya aku memantapkan hati terlebih dahulu. Jadi, pagi menjelang siang aku kembali meminta Bella untuk memandikan anak-anak."Kamu dan yang lainnya tidak perlu ikut, ini adalah momen aku dan anak-anak sebelum nanti aku kembali disibukkan dengan kepulangan Bapak," pintaku padanya.Kali ini dia mengangguk cepat tanpa ragu, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin sekarang dia sudah percaya bahwa aku tidak akan melakukan apa pun yang membuat Mas Rayan marah.Sejujurnya aku lebih benci diriku goyah seperti ini daripada langsung pergi meninggalkan semua kemewahan. Hanya saja kalau dirinya masih memiliki banyak uang, aku rasa dia akan bisa menemukan aku den
"Siapa, Mas?" Belum juga Mas Rayan mendekat ke arahku, wanita itu sudah memanggilnya dengan mesra. Sementara anak-anak langsung berlari ke arah pria yang ada di hadapanku ini dan mempertanyakan apa dirinya sudah pulang dinas, lalu menginap di sini.Sekarang Mas Rayan terlihat sangat tertekan. Di satu sisi ada aku yang minta penjelasan, di sisi lain ada wanita itu yang tengah mendekat ke arah dini. Ditambah anak-anak juga kau diperhatikan.Rasakan, Mas. Ibu belum seberapa dan akan aku pastikan nanti kamu berada di posisi yang bahkan membuatmu tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun.Wanita itu mendekat ke arah kami dan kedua matanya tidak lepas dariku. Bisa saja dia sudah tahu sejak lama kalau aku adalah istri dari suaminya, namun sangat disayangkan aku justru baru tahu tentang dirinya."Mas," panggil wanita itu lagi. Namun kali ini nada bicaranya agak rendah.Kami sama-sama terdiam dan kalau aku masih tetap seperti ini, justru akan membuat mereka curiga."Mas apa yang kamu lakuk