Share

Bab 6

Hah, ternyata pria ini adalah orang-orang yang sangat licik. Dia mau menggenggam kedua hati dalam hati tangannya dengan niat membuat keduanya tetap utuh, padahal tidak. Justru keduanya akan ikut hancur.

Jadi, sebelum hal itu terjadi, aku akan menarik batasku dan mundur. Karena kita sudah berjuang bersama-sama dari nol, maka tidak ada yang lebih berhak atas semua yang kita punya selain anak-anak.

Aku mendekat ke arah Via. "Tugas kita sudah selesai! Sekarang aku sudah tahu apa yang harus dilakukan setelah mengetahui semuanya. Kita tidak punya banyak waktu," bisikku dengan pandangan tetap ke depan.

Via tidak mengatakan apa pun sampai kami tiba di mobil dan menjalankannya hingga ke rumah tempat Giska dan dokter anak itu berada.

"Bersiaplah, kita pulang sekarang!"

Setelah mengucapkan itu kepada dokter dan Via, segera aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Tentu dengan topeng baru yang harus digunakan. Aku tidak ingin rencana yang sudah susah payah dibuat hancur karena keteledoranku.

Ketika semuanya sudah siap, aku langsung keluar menemui keduanya.

"Apa tidak akan ada yang mencurigai kami?" tanya Via dan dokter itu bersamaan.

"Ada apa? Bukankah barusan kalian baik-baik saja?" Aku menatap mereka heran.

"Itu karena aku baru dengar dari dokter, kalau sejak tadi ada orang yang mondar-mandir di depan pintu gerbang perumahan ini. Aku takut setiap orang diperiksa," jelas Via membuatku tersenyum kecut.

Ternyata Mas Rayan sangat ketakutan perihal aku tahu tentang kelakuannya ini. Kenapa? Bukankah beberapa menit yang lalu dia baru saja berkata di hadapan semua orang kalau dia tidak mencintaiku? Lantas untuk apa dia melakukan hal-hal berlebihan seperti itu?

Sungguh terlalu banyak drama dan merasa paling hebat karena memiliki segalanya.

Sebentar lagi, aku akan membuatmu sadar, Mas, kalau pengkhianatan akan menghancurkan semuanya. Aku ingin kamu tahu tidak semuanya bisa dibeli dengan uang.

"Mas, aku sedang ada di wilayah Jalan Sirsak, bisakah datang ke sini untuk membereskan sesuatu?" tanyaku kepada seorang kenalan di telepon.

Rumahnya tidak jauh dari sini, jadi aku yakin dia juga tahu kalau Mas Rayan menikah dengan salah satu warga sini.

"Apa itu?"

"Aku ingin Mas memastikan jalanku dari sini sampai ke rumah aman tanpa diketahui oleh orang-orang Mas Rayan. Baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan," pintaku tanpa basa-basi.

"Baiklah. Nanti Mas kirimkan lewat pesan. Sekarang kalian bersiap dulu di dalam rumah, tunggu lima menit," sahutnya cepat.

Aku segera mematikan sambungan telepon dan langsung mendapati tatapan penasaran Via.

"Ada apa?"

"Sekarang aku jadi paham kenapa kamu menjadi istri Rayan, ternyata sikap kalian sangat mirip," ucapnya melantur.

"Jangan katakan yang tidak-tidak. Terlebih, aku tidak mau disamakan dengan pria yang tidak setia itu."

"Baiklah. Jadi, orang yang barusan itu siapa?"

"Seorang kenalan, namun dia juga tahu ciri orang-orang yang bekerja untuk Mas Rayan. Dulu, aku pikir kenal dengannya tidak berguna. Namun sekarang aku paham, tidak ada hal yang tidak berguna di dunia ini." Aku menjelaskan singkat.

Mereka langsung menatapku dengan berbinar. Sementara aku hanya fokus ke arah ponsel dan baru bisa tersenyum lebar setelah satu pesan kuterima.

"Pulanglah! Jalanmu sudah aman. Aku sudah memastikan tidak ada orang Rayan di area jalan yang akan kamu lewati. Jangan lama-lama, takutnya orang-orangnya kembali menyebar."

"Ayo, masuk mobil!" seruku sambil memberikan Gisya kembali ke dokter anak dan aku yang menyetir.

Aku lebih terbiasa membawa mobil atau motor dengan kecepatan tinggi, beda dengan Via yang banyak takutnya karena terlalu sayang padaku juga anak-anak. Di saat genting seperti ini, aku tidak bisa cuek dan menyerahkan banyak hal.

Karena pada akhirnya, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri agar bisa terus hidup di dunia ini. Walau tidak selalu, tetapi saat itu pasti ada menghampiri setiap manusia.

Hanya dalam hitungan menit, kita sudah sampai di rumah orang tua Via. Lalu, aku membawa anak-anak ke supermarket dan makan di taman.

"Abang mau seperti ini lagi nanti kalau Papa sudah enggak sibuk," ucap Gibran tiba-tiba membuatku tanpa sadar menitikan air mata.

"Abang laki-laki dan Abang punya dua adik, Mama ingin Abang enggak begitu tergantung dengan Papa, ya. Apalagi selama ini Abang sendiri tahu kalau Papa suka sibuk," jelasku berusaha memberikan pengertian.

"Iya juga, sih. Cuman kan enggak mungkin kalau Papa sibuk terus. Kecuali kalau semua pekerjaan Papa yang kerjakan."

"Bang, kita jangan bergantung kepada orang lain."

"Papa bukan orang lain, kok."

Aku kembali diam. Inilah suasana yang paling kutakutkan kalau berpisah dari Mas Rayan. Aku pasti kewalahan menghadapi mereka, karena selama ini yang mereka tahu papa mereka adalah pahlawan hebat yang baik hati.

Ditambah anak-anak juga lumayan dekat dengan suamiku kalau dia ada di rumah. Takutnya Mas Rayan menolak untuk berpisah denganku, lalu dia memanfaatkan anak-anak untuk membuatku bertahan.

Di saat hatiku bimbang, ponselku berdering keras, dan ternyata telepon dari Mas Rayan.

"Halo, Sayang!" sapanya lebih dulu dengan nada seperti biasa. Penuh semangat.

"Iya, Mas. Kamu pulang kapan?"

"Minggu depan. Kenapa? Kamu sudah kangen sama aku, ya?" tanyanya membuat tangan kiriku mengepal.

"Iyalah, Mas. Anak-anak juga. Oh iya, dari sejak lama aku kepikiran tentang sertifikat rumah, Mas. Bagaimana kalau kita ubah atas nama Gibran?" tanyaku memberanikan diri.

"Terserah kamu saja," sahutnya santai.

"Kamu enggak marah?"

"Untuk apa? Dia anak kita dan kita orang tuanya."

"Makasih, Mas."

"Boleh aku bicara dengan Gisya?" pintanya yang aku tahu dia sedang mencari tahu apa yang kita lakukan seharian ini.

Dia tahu kalau anak kecil tidak pernah berbohong, terutama Gisya. Anak berusia mau lima tahun itu selalu mengatakan apa yang dilihatnya.

Aku memberikan ponsel itu pada anak keduaku setelah menyentuh pengeras suara agar aku tahu apa yang akan dia tanyakan.

"Hai, Sayang. Sedang apa?" tanyanya dengan kalimat yang sama kalau dia hendak mencari tahu sesuatu.

Dulu, aku pikir sikapnya ini adalah bentuk perhatian. Nyatanya aku salah dan selama ini aku sudah menikah dengan orang yang tidak normal, karena tidak pernah mempercayai istrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status