Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing.
"Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil."
"Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?"
"Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini."
BUUK!!
Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi.
"Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!"
"Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan.
"Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya.
"Oh, siapa takut."
Shine menghunuskan pisaunya maju dengan cepat, ingin melihat apa lelaki itu bisa menghindari serangannya sekaligus ingin membuka penutup kepalanya tapi serangannya ditahan tangan laki-laki itu yang langsung memutar lengannya ke belakang, merampas pisaunya, menarik satu tangannya yang lain dan menahan kedua pergelangan tangannya di belakang punggung lalu dengan seenak jidatnya melingkarkan lengannya yang lain di pinggangnya dari belakang dan merapatkan tubuh mereka.
"Brengsek!! Lepaskan aku. Kamu mau mati ya?!" Pekiknya murka.
"Kau mengejutkanku," bisik lelaki itu dari belakang telinga. Aroma maskulinnya tercium kuat. Saat itu Shine menyadari mungkin saja lelaki yang dia lawan ini anggota sindikat mafia yang nyasar di jalanan perumahannya dan butuh wanita untuk di jual ke mucikari. "Lawan yang menyenangkan. Kita bisa adu gulat seperti ini nantinya kalau marahan."
"SIAPA YANG BILANG AKU MAU BERTEMU DENGANMU LAGI!!!" Teriaknya.
Seketika Shine langsung merinding. Dia bersumpah lebih memilih melihat sundel bolong yang paling ditakutinya sejagat dunia perhantuan dari pada harus membayangkan dirinya menyerahkan diri pada lelaki itu dan berada di dalam salah satu kamar segi empat yang hanya menyediakan ranjang dan laci penuh dengan karet balon untuk melayaninya. Oh tidak!!
"Apa maumu?!" Shine jelas memberontak tapi sialnya tenaga lelaki itu lebih besar meskipun tadi dia sudah mendapatkan tendangan cinta.
"Kau menggodaku, My lady," bisiknya lagi disertai dengan hambusan di tengkuknya membuatnya meremang seketika.
“Apa yang kamu inginkan sebenarnya?" Shine mencoba menarik cekalan tangannya tapi susah sampai di kejauhan bapak-bapak ronda komplek perumahannya terlihat mendekat sambil bercakap-cakap.
"TOL—Hmmpp."
Mulutnya dibekap, ditarik mundur ke salah satu rumah yang memiliki aneka tumbuhan asri dan pohon mangga yang bisa menenggelamkan tubuh mereka berdua dari pandangan tapi sialnya lampu rumahnya padam yang artinya pemilik rumah sedang tidak ada.
Ya Tuhan padahal dia tadi cuma berniat makan doang.
Shine dipojokkan ke dinding rumah dengan mulut dan tangan yang dipegangi erat sampai bapak-bapak yang tadi lewat dan suara mereka menghilang diujung gang.
"Tiga kali—" bisik lelaki itu lagi,melepas bekapan tangannya membuat Shine langsung mangap-mangap mencari oksigen. "Tangan dan kakimu ini melakukan tindak kekerasan terhadapku jadi jangan salahkan aku kalau saat ini aku membalasnya dengan sesuatu yang sama."
"Apa maksudmu?" desis Shine tidak mengerti.
Lelaki itu membalik tubuhnya dengan mudah agar saling berhadapan, menarik kedua tangannya ke atas, mencekalnya ke dinding dan merapatkan tubuhnya membuat Shine langsung melotot sangar.
"JANGAN MACAM-MAC—Hmmmpp."
Sialnya teriakannya langsung dibungkam dengan bibir lelaki itu yang memagutnya dengan rakus dan tanpa ampun seakan-akan ada sesuatu dalam mulutnya yang membuatnya menggila. Shine sampai kewalahan karena bibirnya sudah terlanjur terbuka dan lelaki itu dengan leluasa menjelajah di sana tanpa memberinya waktu untuk berpikir.
****
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba