Lelaki jenius pendiri dan pemilik Gaster Tech. Corporation yang juga seorang hacker incaran badan inteligen dunia bangga di cap sebagai seorang playboy pecinta one inght stand. Sampai ia bertemu dengan seorang wanita yang menatapnya datar tanpa ketertarikan sedikitpun di pesta topeng sahabatnya di London. Padahal ia sudah membayangkan melempar wanita itu ke atas ranjangnya. Kecupan singkat disela senyuman mengejek yang ditinggalkannya sebelum pergi membuat Zafier terusik. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa menemukan wanita itu lagi dan membuat perhitungan. Namun nyatanya,nasib malah membuatnya sibuk menarik perhatiwn wanita cantik serupa serigala berbulu domba yang ia temui jauh dari negara asalnya,tepatnya Indonesia. Wanita yang siap mencakar wajahnya jika dia nekat mendekat. Martabatnya sebagai seorang playboy jelas dipertaruhkan. Hingga takdir mengungkapkan benang merah yang terjalin di antara wanita bertopeng dan wanita srigala berbulu domba yang membuat Zaf menyadari bahwa karmanya telah tiba.
View MoreDesember, 2017
Emirates Indonesia, Jakarta - London
"Excusme Sir, do you need something else?"
Zafier menurunkan kaca mata hitam yang dikenakannya saat pramugari cantik berambut coklat yang sejak awal dia masuk ke dalam pesawat komersil yang akan membawanya ke London melancarkan kode minta di belai sampai akhirnya wanita itu nekat mendekat.
"Your phone number, please?" Jawab Zafier to the point seraya melepas kacamata agar bebas mengagumi kecantikan wanita itu tanpa terhalang oleh lensa diiringi senyuman menawan hingga membuatnya blushing seketika. Matanya mengerling ke arah name tag yang tersemat di dadanya. "You have a beautifull name, Cantika, like your face. Your phone number and i will contact you later. "
"Thanks sir for your praise. Please, wait a second for your request. I'll come back."
"Sure honey. I'm here for you."
Wanita itu kembali ke cabin crew sembari tersenyum. Semudah itu Zafier mendapatkan wanita yang rela melemparkan dirinya sendiri meski tahu kalau Zaf dengan sikapnya terlihat bukan lelaki yang baik dalam relationship bahkan cenderung mengarah ke playboy brengsek.
Zafier mencoba duduk nyaman. Kalau saja pesawat pribadinya sedang tidak mengalami gangguan mesin mendadak maka dia tidak perlu serepot ini membaur dengan puluhan penumpang dalam satu pesawat dan harus pasrah menerima nasib duduk di Economy Class karena pemesanan mendadak di saat musim liburan Natal tiba.
"Belum juga terbang jauh meninggalkan Indonesia, aku sudah rindu dengan apa yang aku tinggalkan." Suara resah itu membuatnya menoleh ke sisi samping, di mana ada dua wanita teman seperjalanannya sedang berbincang. Rambut hitam bergelombangnya menghalangi rasa ingin tahu Zaf akan wajahnya. "Aku benci harus jauh dari rumah.”
"Jangan menggerutu terus!" Teman yang dia ajak bicara terdengar kesal, seakan-akan wanita itu sudah mengatakannya ratusan kali dalam beberapa menit.
Saat Zaf masih berusaha melihat wajahnya, wanita itu tiba-tiba menoleh dan bertatapan mata dengannya.
"What's wrong?!" Tanyanya dengan nada ketus.
"What?!" tanya Zaf balik.
Wanita itu tidak menjawab, hanya memutar bola mata dan memalingkan wajah kembali berbicara dengan temannya. Zaf melongo, mencoba mengingat, kapan sekiranya seorang wanita tidak tertarik padanya saat pertemuan pertama. Jawabannya hanya satu, sama sekali tidak pernah ada fenomena langka seperti itu.
"Gantengnya maksimal tapi kelakuannya setan banget," bisiknya, mengabaikan kenyataan Zaf bisa mendengarnya.
"Hei, dia masih memandangimu dan bisa mendengar omonganmu tadi!" tegur temannya, sekilas meliriknya."Nanti dia tersinggung."
"Apa kamu tidak melihat tingkahnya yang bajingan itu?" bisiknya lagi.
Zaf mengalihkan tatapannya ke depan dengan senyuman miring sembari mengagumi keberanian wanita itu mencibir tingkah laku seseorang tepat di depan wajahnya saat Cantika kembali mendatanginya.
Cantika menyerahkan sesuatu di telapak tangannya seraya mengedip lalu mengucapkan kalimat 'call me later' dengan bahasa bibir.
"Sure," balas Zaf seraya memasukkan kartu nama itu ke dalam saku coatnya dan pramugari itu berlalu pergi.
“Taruhan lagi kalau nanti mereka pasti akan bertemu di bandara, di dalam toilet dan melakukan entah apa—Euuhhh,” Wanita itu kembali berbicara dengan nada jijik.
"Tutup mulutmu rapat-rapat dan tidur saja! Perjalanan kita masih panjang dan banyak yang harus kita lakukan sesampainya di London. Aku tidak mau lama-lama menemanimu di sana."
"Sama. Aku harap kita bisa segera menemukannya dan pulang," desahnya.
Pulang?
Bagi Zaf, kalimat itu tidak memiliki efek berlebih karena memang dia belum menemukan rumah untuk tempatnya kembali setelah semua perjalanannya yang menguras emosi.
Untuk sebagian orang, pasti memiliki tempat yang menjadi persinggahan terakhir. Tempat ternyaman yang dipenuhi dengan orang-orang terkasih yang menunggu dengan senyuman sejauh apapun jarak tempuhnya dan lamanya waktu untuk sampai di sana.Tapi untuk sebagian yang lain, mereka belum seberuntung itu. Makna pulang yang mereka miliki berbeda karena belum benar-benar menemukan rumah sebagai persinggahan terakhir. Mereka diharuskan berjuang lebih dulu untuk sampai di titik di mana mereka bahagia berada di satu tempat.
Atau,
Bahagia bersama seseorang yang menjadi tujuan untuk apa sebenarnya kehidupan menciptakannya.
Selama tiga puluh tahun Zafier hidup, dia tidak pernah merasa seemosional ini saat berada di pesawat. Padahal separuh hidupnya dia habiskan untuk terbang ke sana ke mari. Meski memiliki semua hal yang diimpikan laki-laki di dunia tapi hal itu tidak membuat Zaf mendapatkan hidup yang sempurna karena sungguh, tidak memiliki wanita yang bisa melihatnya apa adanya bukan tentang apa yang diperlihatkannya membuatnya belum memiliki persinggahan yang tepat.
Suara dengkuran halus terdengar membuat Zaf reflek menoleh dan melihat wanita di sampingnya yang sejak tadi mengoceh ternyata sudah tertidur dengan posisi tidak enak. Kepalanya tertunduk-tunduk ke depan sedangkan temannya yang lain sibuk menatap ke luar jendela. Tanpa sengaja saat lengannya menyenggol lengan wanita itu, badannya terjatuh ke samping dan kepalanya bersandar di bahunya.
"Ah, sorry sir."
Wanita itu langsung menarik temannya menjauh tapi dia malah menggeliat, melepas cekalannya dan kembali lagi ke posisinya, bersandar di bahu Zaf.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja dia tidur seperti ini—" Wanita itu melongo, Zaf buru-buru menambahkan. "Tenang saja, aku tidak akan macam-macam. Temanmu ini jelas tahu di mana tempat yang nyaman untuk tidur. Di bahu lelaki yang dikatainya setan."
Wanita itu ternganga sesaat dengan sindirannya, “Ah, maafkan semua perkataan temanku tadi—”
“Tidak apa-apa. Apa yang dikatakannya memang benar. Aku sama sekali tidak tersinggung,” Sela Zaf.
“Terima kasih atas pengertianmu.”
Zaf memperhatikan wanita yang tidur di sampingnya mengerang tertahan, memeluk sebelah lengannya dan memiringkan duduknya lalu membenamkan wajahnya dilekukan lehernya. Holly shit!!
"Abi—" Samar-samar gumaman juga dengkurannya kembali terdengar hingga tanpa terasa berlangsung selama satu jam sampai kehebohan itu terjadi.
"Aaaaaakkhhhh!!"
Zaf tersentak kaget saat suara memekakkan telinga itu menggema di dekatnya seraya memandangi wanita di sampingnya yang sedang melotot seperti melihat setan.
"What!!!" Desis Zaf.
"Dasar b*jingan G*la!!" Pekiknya penuh kekesalan. "Curi-curi kesempatan!”
Plak!!
Tamparannya tepat mengenai pipi Zaf yang terkesiap kaget, berusaha keras menahan tawanya lolos dari mulut, memilih berdiri dari kursinya, menatap sekilas wanita cantik yang memiliki manik mata hitam itu yang memalingkan wajah ke luar jendela dan berjalan ke toilet mengabaikan banyaknya pasang mata yang memperhatikan.
Wanita yang sangat menarik.
Setelah hari itu, hidup Lize sepenuhnya berubah. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan suatu saat nanti, dia akan merindukan sinar matahari yang menyengat seperti panasnya Florida. Yang bisa dia lakukan saat ini ketika melihat sinar matahari hanyalah tersenyum tanpa ekspresi, berdiri di balik kaca transparan kamarnya yang tidak bisa ditembus matahari dan mencoba menerima keadaannya dengan lapang dada. Hari itu, saat mereka pergi liburan ke Florida yang seharusnya dua minggu menjadi dua hari, Lize divonis menderita penyakit langka Polymorphous light eruption (PMLE) yang menyebabkan kulit seperti terbakar jika terkena sinar matahari. Intinya, hidupnya terancam bahaya jika dia berada di bawah sinar matahari terlalu lama. Bahkan sekarang, sedikit saja bersentuhan langsung dengan sinar matahari, kulitnya akan mulai melepuh seperti terbakar. Sungguh ironis hidupnya saat ini. Terkurung dalam dinding kaca saat siang dan melakukan semua kegiatan di luar rumah saat malam. Selama setahun d
Florida, Amerika SerikatLize mengangkat pandangannya ke atas, satu tangannya memegangi topi pantai yang menghalau pandangannya dari teriknya matahari yang menyengat meski angin pantai di sekitarnya mengibarkan rambut hitam panjangnya.“Lize—”Lize berbalik saat mendengar panggilan itu, menemukan Papinya yang sudah siap membaur bersama laut yang membentang luas tidak jauh di depannya.“Ya Pap?”“Apa yang kau pandangin sayang?”Lize menunjuk ke ujung cakrawala, ke arah matahari yang bersinar teriķ.“Terlalu panas.”Papinya tersenyum, “Sebaiknya kau bersenang-senang sementara kita berada di sini.”Lize menggelengkan kepala, “Meskipun ingin tapi aku tidak tertarik. Mana Mami?”“Berjemur.”Lize menoleh ke belakang, melihat Maminya yang sedang hamil adik kembarnya memasuki usia kandungan tujuh bulan menikmati teriknya matahari yang langsung menyengat kulitnya. Di sampingnya, Omanya melakukan hal yang sama sembari bermain pasir dengan Lucia.“Pap—”Entah kenapa, Lize merasa tubuhnya tidak e
Semenjak memiliki keluarga, Shine mendedikasikan seluruh perhatiannya untuk merawat kedua putrinya meski sesekali dia menerima tawaran iklan juga model. Meskipun Zafier dengan gaya angkuhnya berulang kali mengatakan kalau uangnya tidak akan habis sekalipun dia membelanjakannya terus menerus tapi Shine ingin tetap bisa melakukan sesuatu yang disukainya. Meski berat namun Zaf menyetujuinya dengan syarat dan ketentuan yang telah disepakati. Suaminya itu bahkan membelikannya pesawat pribadi yang bisa dia gunakan sesuka hati. Meski terlihat agak berlebihan namun Shine mengalah dan menerimanya dari pada Zaf melarangnya menjadi model lagi. Lelah selama perjalanan panjang dari Indonesia akan menghilang saat dia sampai di rumah seperti saat ini. Alih-alih menggunakan mobil untuk menjemputnya, Zaf malah mengirim helikopter yang saat ini mendarat sempurna di belakang mansion keluarga Gaster tidak jauh dari tamannya yang asri. Melintasi kebun mawar merah, Shine berjalan mengarah ke gazebo yang
“Kenapa kalian tidak bisa akur?”“Kenapa kami harus akur?” Zaf bertanya balik.Shine mendengkus, melipat lengan di dada sembari rebahan di tempat tidur saat Zaf bergabung dengannya.“Kalian sudah sama-sama tua dan seharusnya bisa berdamai.”“Kau terlalu berlebihan mengkhawatirkannya.”Shine menghela napas, memiringkan tubuhnya ke arah Zaf dan menatapnya serius. “Dia seharusnya sudah memiliki kehidupan yang lebih baik. Memiliki istri dan anak lalu hidup bahagia bukannya malah menjadi orang tua tunggal karena kesalahan satu malam seperti ini. Aku benar-benar sedih Zaf.” “Seperti yang kau katakan, dia sudah tua dan pastinya tahu bagaimana harus bersikap. Aku yakin dia sedang menata hidupnya lagi jadi kau harus mempercayainya.”“Semoga saja.”Shine membiarkan saja Zaf menariknya dalam pelukan dan membisikkan sesuatu.“Aku juga berharap dia bisa bahagia.” Shine tersenyum. “Agar berhenti mengangguku seperti ini.”Shine melotot membuat Zaf sontak tertawa. Sikap menyebalkan suaminya memang s
“Kau sengaja melakukannya ya,” desis Zaf saat menemukan Arsen sedang menjaga Lize yang asyik dengan es krimnya sementara Lucia tidur di kereta dorongnya di salah satu restoran yang ada di Seattle. Duduk di samping Lize yang langsung tersenyum menyambutnya dan mendaratkan kecupan di pipi. “Tetap tidak berubah,” jawab Arsen entang, mengelus rambut Lize yang tertiup angin. “Tidak bisa membiarkan kami sedikit saja menghabiskan waktu bersama.” “Tidak akan!” ujar Zaf datar, mengalihkan tatapan ke Lize dengan ekspresi berbeda, tersenyum lembut. “Lize, mau Papi suapin makan es krimnya?” Lize sontak menggelengkan kepala membuat Arsen menahan senyumannya di sudut bibir. “Sama uncle Arsen aja.” “Good girl,” ujar Arsen, menyuapi sesendok besar es krim strawberry ke Lize di bawah tatapan kesal Zaf yang melipat lengannya di dada, kalah telak. “Shine bilang kau sedang meeting dan tidak bisa diganggu.” “Karena itu kau sengaja melakukan hal ini kan?” “Tidak. Aku hanya ingin kau tahu kalau ak
“Berapa lama kau akan meeting?”Zaf berjalan ke ruang rapat bersama Nick, sekretarisnya dan beberapa orang penting di perusahaannya yang mengikuti di belakang sembari mengangkat panggilan telepon dari Shine.“Mungkin tiga jam. Ada banyak hal yang harus dibicarakan.”“Oke baiklah. Kami sedang berbelanja saat ini jadi mungkin setelah selesai kau bisa menemui kami untuk makan siang bersama. Lize bilang dia ingin es krim pisang.”Zaf menghentikan langkah kakinya dan semua bawahannya ikut berhenti.“Bagaimana kalau aku tunda rapatnya dan menemani kalian?”Nick ingin menyahut namun terhenti saat Zaf melotot membuatnya langsung mengatupkan bibir.“Tidak perlu!” tolak Shine. “Kau tidak boleh mempermainkan bawahanmu seenaknya.”“Mereka tidak akan protes.” Zaf menoleh ke belakang, menatap satu persatu bawahannya yang hanya diam saja. “Begitulah enaknya jadi bos.”“Dasar bos setan memang!” umpat Shine. “Kau selesaikan saja pekerjaanmu lalu susul kami. Jangan membuatku marah!”Zaf mendesah, kemba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments