Share

Awal kenangan

Author: Atiexbhawell
last update Huling Na-update: 2025-01-11 10:41:44

Luna berdiri cemas di dekat jendela, tak menyangka Adrian akan begitu nekat mengikutinya sampai ke rumah.

Dia mondar-mandir dengan detak jantung yang menggila, dia takut jika laki-laki itu akan nekat masuk dan bertemu dengan Hendri.

Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adrian, tetapi Luna tetap merasa khawatir terlebih hubungannya dengab Hendri akhir-akhir ini memang sedang kurang baik.

Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuatnya tersentak dari lamunan. Kali ini tanda panggilan masuk.

Adrian!

Laki-laki yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menghubungi.

"Halo--" jawab Luna dengan segera.

"Jangan khawatir. Aku hanya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat." ujar Adrian seolah dapat membaca kekhawatiran yang dirasakan Luna.

"Astaga, Adrian." geram Luna tertahan. Seluruh tulang belulangnya terasa lemas. Terdengar kekehan kecil di seberang sana, kemudian panggilan segera berakhir.

Luna menatap layar ponselnya yang kembali gelap setelah Adrian memutuskan panggilan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih berpacu.

Tangan yang menggenggam ponsel sedikit bergetar. Ia tahu, pembicaraan di acara reuni tadi seharusnya tak pernah terjadi. Namun, apa ia bisa mengabaikan perasaan yang menyeruak tanpa kendali?

Ketukan keras di pintu memutus lamunannya. "Luna!" suara berat Hendri terdengar memanggilnya dari luar kamar.

"Sebentar," jawab Luna terbata, buru-buru menyimpan ponselnya di laci meja rias. Ia berdiri sejenak di depan cermin, memastikan ekspresinya tak menunjukkan kegelisahan.

Begitu pintu dibuka, Hendri langsung masuk begitu saja. Tak seberapa lama, Hendri kembali keluar dengan membawa ponsel serta laptopnya. Luna mengabaikan suaminya itu, dia memilih untuk duduk di tepi kasur.

"Besok aku keluar kota sampai seminggu. Aku harap, kau tidak macam-macam selama aku pergi." Hendri mendekat, menatap wajah Luna tajam. "Ibu dan Mbak Siska akan mengawasimu selama aku pergi."

"Lakukan apa yang menurutmu baik." jawab Luna datar. Hendri menghela nafas besar, lalu keluar dengan sedikit menyentak pintu hingga berdentum.

Luna merenung, dia lupa kapan kali terakhir dia dan Hendri saling bicara selayaknya suami istri pada umumnya.

Di awal pernikahan mereka, semua berjalan normal. Meski tak romantis, tetapi Hendri cukup perhatian. Terlebih sejak kehamilan Luna, Hendri sangat protektif dan sangat menjaganya. Setelah kelahiran anak mereka pun Hendri menjadi sosok ayah yang baik dan bertanggung jawab untuk putranya. Sampai usia Rafi menginjak tiga tahun.

Namun semenjak dia mendapat promosi jabatan di perusahaannya, dia menjadi semakin sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak lagi ada waktu untuk keluarga kecilnya.

Dari segi keuangan, sejak awal menikah Luna memang tidak bergantung pada Hendri karena dia pun juga bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Sampai lama kelamaan, Hendri lalai akan tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Luna memejamkan mata, mengingat kembali masa manis pernikahan yang pernah mereka lewati. Sayangnya, hanya secuil saja kenangan itu ada. Karena seiring berjalannya waktu, hanya kehampaan dan kesakitan yang selalu dia tutupi oleh senyum palsunya.

Malam itu, Luna terjaga meski tubuhnya terasa lelah. Sementara Hendri tenggelam dalam dunianya sendiri. Luna bahkan tak ingat kapan mereka memadu kasih sekedar untuk meghangatkan ranjang mereka. Luna benar-benar tak lagi mendapat nafkah lahir dan batin.

Luna meraih ponselnya, mencoba menghubungi Sita. Ia ingin sekali bicara, tetapi ragu. Apa ia akan menjadi beban lagi? Sudah berapa kali ia mencurahkan keluhannya pada sahabatnya itu tanpa menemukan solusi, karena Luna tetap bertahan pada pendiriannya yang berharap suatu hari nanti pernikahannya akan kembali normal seperti keinginannya.

Ia menutup aplikasi pesan dan mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan Adrian justru muncul begitu saja. Wajah pria itu, dengan tatapan dan senyum tulus yang membuatnya merasa aman, menghantui pikirannya. Hatinya berdebar lagi, tetapi kali ini bukan karena takut.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Luna melirik layar. Adrian. Namanya muncul di layar, membuat Luna tercekat.

“Tidak, aku tidak boleh,” bisiknya pada diri sendiri. Ia membiarkan panggilan itu berakhir tanpa jawaban. Tetapi tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

[Kalau kau butuh sesuatu, jangan ragu menghubungiku, Luna.]

Luna menatap pesan itu dengan nafas tertahan. Hatinya ingin membalas, ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tahu ini tak pantas. Dengan gerakan tegas, ia meletakkan ponselnya kembali di atas meja tanpa membalas pesan Adrian.

"Aku gak boleh melakukan ini. Ini salah, Luna," gumamnya pada dirinya sendiri.

***

Pagi harinya, Luna dikejutkan oleh suara keras dari dapur. Denting piring pecah menggema, membuatnya tergesa turun dari ranjang. Ia berlari ke dapur dan mendapati Hendri berdiri di tengah lantai yang dipenuhi pecahan kaca.

Luna menatap lantai dengan amarah yang mulai menggelitik, sedangkan pelaku kekacauan sudah berlarian kesana-kemari.

"Bereskan, jangan sampai pecahannya mengenai anak-anak!" titah Hendri sebelum ikut bergabung dengan ibunya di meja makan.

Kekacauan ini harusnya menjadi tanggung jawab Siska, karena pelakunya adalah anak-anak Siska. Tetapi malah dirinya yang harus menjadi babu sepagi ini. Sementara Siska tak terlihat batang hidungnya, pastilah masih terbuai oleh mimpinya yang begitu melenakan.

Luna menahan napas, menekan air mata yang menggenang di sudut matanya. Dengan hati-hati, ia memungut pecahan kaca yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar dan beberapa kali pecahan itu melukai jari-jarinya, tetapi ia tidak peduli. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa terjepit yang ia rasakan di dalam rumah ini.

Hendri sudah bersiap untuk pergi ke luar kota, entah untuk urusan pekerjaan atau hal lain, Luna tak begitu peduli. Karena pernikahan mereka benar-benar sudah hambar.

Luna segegera membawa beling pecahan piring itu ke halaman belakang untuk dia kubur bersama pecahan yang lain.

Namun saat ia kembali ke dalam rumah untuk mengambil sekop, samar dia mendengar pembicaraan antara Hendri dan ibunya.

"Salam buat Ratna, ya, bilang Ibu kangen sekali sama dia." Suara Ibu mertuanya terdengar sangat riang.

Luna memasang pendengarannya dengan lebar di balik pintu dapur, untuk mastikan pembicaraan ibu dan anak itu.

"Iya, Bu, nanti kusampaikan. Ratna pasti senang dapat oleh-oleh dari Ibu." kini suara Hendri yang terdengar tak kalah riang dari ibunya.

Tidak salah lagi, Luna mendengar nama wanita lain.

"Ratna? Siapa dia? Kenapa aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya?" gumamnya dalam hati sembari terus mencuri dengar obrolan Hendri dan ibunya.

"Apa jangan-jangan, Hendri memiliki wanita lain?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Familly time

    Adrian mengajak Luna dan Rafi ke pusat perbelanjaan besar yang agak jauh dari rumah, alasannya mencari playground yang lebih besar dan lengkap untuk Rafi. Meaki harus ditempuh dengan 1 jam lebih perjalanan.Namun begitu, pilihan Adrian benar-benar membuat Rafi bahagia karena hampir semua permainan yang dia idamkan ada di sana.Rafi segera menjajal satu persatu wahana permainan di sana, tak lupa bersorak riang setiap kali ia berhasil menaklukkan permainan yang ia coba. Matanya berbinar-binar penuh semangat, dan tawa kecilnya terus mengalun, membuat Luna tak henti-hentinya tersenyum.“Mama, lihat! Aku bisa naik ini sendiri!” seru Rafi sambil memanjat dinding panjat mini dengan penuh percaya diri. Tangannya yang mungil menggenggam erat pegangan demi pegangan, sementara kakinya dengan cekatan mencari pijakan."Hati-hati, Sayang!" seru Luna dari pinggir arena sementara Adrian berdiri di bawah, siap siaga jika sewaktu-waktu Rafi kehilangan keseimbangan. “Hati-hati, Boy. Pegang yang kuat, ya

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Semakin dekat

    "Kami belum menemukan keberadaan Pak Hendri, Bu." Luna dan Bu Septi saling berpandangan dengan tatapan khawatir. Sedangkan Pak Pramono menyandarkan punggungnya disertai helaan nafas panjang.Setelah hampir dua minggu lamanya menanti, akhirnya Luna mendapatkan kabar dari pengacaranya. Sayangnya, kabar yang dia terima tidak seperti yang dia inginkan."Jadi Hendri benar-benar kabur?" ulamg Pak Pramono lagi. Memastikan apa yang dia dengar tidaklah salah."Betul, Pak. Sejak kejadian hari itu, sampai hari ini tidak ada yang tahu keberadaan Pak Hendri. Menurut informasi, Pak Hendri sudah hengkang dari perusahaan tempatnya bekerja sehari sebelum hari kejadian dan beliau juga tidak perbah terlihat pulang ke kediaman Bu Luna." tambah Pak Sandy selaku pengacara Luna."Jadi, siapa yang tinggal di rumah saya?" tanya Luna penasaran."Hanya Bu Marni dan Bu Siska saja. Itu pun hanya sekitar satu minggu. Setelahnya rumah Ibu kosong." Kenyataan ini membuat Luna terkejut luar biasa. Pasalnya dia mengi

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Baper

    "Terimakasih," kata Luna setelah mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Pak Pramono."Sama-sama ... salam buat Rafi, Ayah dan Ibu, ya ... maaf gak bisa mampir." balas Adrian tersenyum begitu lebar.Luna mengangguk, lalu bersiap untuk turun. Akan tetapi Adrian lebih dulu turun dan memutari mobil kemudian membukakan pintu untuknya.Perlakuan sederhana yang membuat wanita berbunga-bunga, tapi tidak semua laki-laki mau melakukannya. Namun, Adrian melakukannya. Membuat hati Luna tak karuan rasanya. Antara senang, bahagia tetapi juga malu yang mendera sebab mereka tak hanya berdua saja, tetapi ada Angga yang ikut serta.Ia bahkan bisa melihat raut keheranan dari asisten pribadi Adrian itu ketika melihat atasannya membukakan pintu untuknya."Terimakasih sekali lagi, malah jadi ngerepotin." ungkap Luna setelah turun dari mobil."Iya, Aluna ... aku senang melakukannya." balas Adrian menatap lekat wajah Luna, namun buru-buru dia sudahi mengagumi wajah ayu itu. Bisa-bisa, dia tidak j

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Mati kutu

    Luna melangkah terburu meninggalkan basement setelah mengambil tasnya dari dalam mobil Adrian. Jam masuk masih tersisa 5 menit lagi tetapi dia harus buru-buru sebab perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya setelah kejadian beberapa saat lalu.Luna memejamkan mata sesaat di samping mesin fingerprint, jantungnya masih berdetak tak karuan. Teringat lagi kejadian di taman tadi, bisa-bisanya dia ikut terbuai dan menikmati moment bersama Adrian."Ngapain, Lu?" Sakit?" tepukan Alya di bahunya sontak membuatnya membuka mata lebar-lebar.Luna gugup mendapat tatapan seintens itu dari Alya. "E-enggak ... gue baik-baik aja, kok." "Ya, terus ngapain di sini? Muka Lu merah gitu?" tanya Alya semakin keheranan, ia berniat menyentuh kening Luna tetapi Luna segera menghindar."Lu baru dateng juga?" tanya Luna mengalihkan perhatian Alya. Alya mengangguk, lalu melakukan absensi dengan tatapan mata tetap tertuju pada Luna yang masih berdiri di sebelah mesin fingerprint."Yuk!" ajaknya setelah absen be

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Takut nyaman

    Beberapa hari setelah Luna merasa benar-benar sehat, ia kembali masuk ke kantor. Tentu saja dengan persiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari teman-temannya.Luna tak membawa mobil sendiri, melainkan dijemput oleh Adrian. Awalnya Luna menolak, tetapi Adrian meyakinkan kalau hanya untuk hari ini saja. Akhirnya Luna mengalah dan pergi bersama Adrian.Sampai di loby utama, Adrian tak menurunkan Luna tetapi membawanya serta ke basement."Masih terlalu pagi, aku mau ajak kamu sebentar." Ucap Adrian sembari melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya."Ke mana?" tanya Luna menatapnya heran."Ikut aja!" Kata Adrian lalu membuka pintu mobil dan segera turun diikuti Luna kemudian.Adrian menarik pelan lengan Luna agar mengikutinya melangkah menuju basement paling ujung lalu berhenti tepat di depan sebuah motor sport berwarna merah."Ini ...?" "Kamu masih mengingatnya 'kan?" kata Adrian tak lepas menatap wajah cantik Luna yang sudah membaik dari lu

  • JEJAK RINDU YANG TERLARANG   Ancaman

    Ketenangan malam yang sempat menyelimuti rumah keluarga Luna mendadak terusik oleh ketukan pintu yang keras dan tergesa-gesa. Bu Septi yang tengah memangku Rafi sontak menoleh ke arah suaminya."Siapa malam-malam begini?" bisik Bu Septi cemas.Pak Pramono yang juga terkejut segera bangkit dan membuka pintu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan nafas tersengal."Luna! Keluar kamu!" suara melengking itu menggema, membuat Luna yang tengah berbincang dengan Adrian di ruang tengah langsung menegang."Ibu ...." gumam Luna pelan, menyadari siapa tamu tak diundang itu.Bu Ratih, ibu Hendri, melangkah masuk dengan tatapan tajam penuh amarah. Ia menatap Luna seolah hendak menerkamnya."Bagus, ya! Kamu benar-benar sudah gil4, Luna! Kalau mau pisah, ya, pisah aja gak usah kamu laporkan anakku ke polisi?!" bentaknya tanpa peduli bahwa ia adalah tamu di rumah itu.Luna menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya."Bu, tolong tenang dulu. Kita bisa bic

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status