Morenmor adalah sebuah kota terpencil di negara Pecunia. Hampir semua penduduknya adalah keluarga-keluarga kaya yang memiliki pengaruh sangat besar, bahkan hingga ke luar negeri.
Hukum dan pemerintahan hanyalah formalitas di kota ini.
Tidak jarang, pejabat tinggi pemerintahan, bahkan yang berasal dari pemerintah pusat, harus kehilangan wibawa dan kekuasaannya ketika menginjakkan kaki di kota ini.
Tanpa dukungan dan persetujuan keluarga-keluarga teratas, tidak akan ada peraturan atau kebijakan yang dapat diterapkan. UANG dan SENJATA adalah satu-satunya peraturan dan kebijakan yang berlaku dan diakui di kota ini!
Akan tetapi, uang dan senjata justru merupakan dua hal yang paling sulit didapatkan di Morenmor.
Bukan karena keduanya tidak ada di sana!
Sebaliknya, ada terlalu banyak uang dan senjata yang beredar di Morenmor.
Akan tetapi, semua uang dan senjata itu hanya berputar di kalangan keluarga-keluarga terkaya saja. Sepertinya, para pemimpin keluarga teratas Morenmor memang telah sepakat bahwa hanya uang milik mereka saja yang boleh beredar di Morenmor!
Siapapun boleh saja bekerja dan berkarir dengan gaji puluhan juta per bulan. Namun, jangan pernah bermimpi untuk memiliki dan membangun perusahaan sendiri.
Siapapun juga bebas membeli dan memamerkan senjata paling canggih dan mematikan di mana saja. Akan tetapi, dewa kematian akan langsung bertamu ke rumah siapapun yang berani meletuskan senjatanya di luar kehendak dan kepentingan keluarga-keluarga teratas Morenmor!
Keluarga Sanjaya adalah salah satu keluarga teratas yang paling berpengaruh di kota Morenmor.
Beberapa rumor dan kabar burung bahkan menyebutkan bahwa keluarga itulah yang terkaya. Jaringan bisnis dan harta kekayaan keluarga itu tersebar di seluruh pelosok Negara Pecunia, bahkan di seluruh dunia.
Dari generasi ke generasi, semua urusan yang terkait dengan keluarga itu senantiasa dikendalikan dan diawasi langsung oleh Kepala Keluarga Sanjaya sendiri.
Saat ini, yang menjadi Kepala Keluarga Sanjaya adalah Wilson Sanjaya.
Lelaki tua yang biasa dipanggil Kakek Sanjaya itu adalah Kepala Keluarga Sanjaya dari generasi kedelapan. Saat ini usianya hampir menginjak 60 tahun.
Kakek Sanjaya hanya mempunyai seorang anak laki-laki.
Namanya Charles Sanjaya.
Charles adalah seorang Jenderal muda dengan karir yang sangat cemerlang.
Dia adalah Panglima Pasukan Khusus yang sering menjalankan misi rahasia di sekitar perbatasan Negara Pecunia.
Charles memiliki seorang istri yang cantik jelita, bernama Pamela Atmaja.
Pamela baru saja melahirkan anaknya yang kedua.
“Anak kita perempuan lagi! Sepertinya, aku terpaksa memenuhi janjiku pada Ayah,” ucap Charles pada istrinya seraya menggendong putri kedua mereka.
Pamela tidak menyahut.
Dia malah menangis.
Bukan tangis bahagia, tapi tangis kehancuran.
“Tolonglah, Charles. Memohonlah pada Ayah, minta tambahan waktu tiga tahun lagi. Aku akan memberinya cucu laki-laki!” pinta Pamela, meratap di antara isak tangisnya.
Charles menggeleng lemah.
Sebelum Pamela meminta, sebenarnya Charles sudah berkali-kali memohon pada ayahnya.
Namun, usahanya tak membuahkan hasil sama sekali. Kakek Sanjaya tetap bersikeras menyuruhnya agar segera mencari istri lagi. Lebih dari itu, Pemimpin Keluarga Sanjaya itu bahkan sudah menyiapkan seorang gadis muda untuk menjadi istri kedua Charles!
“Aku sudah mencobanya berkali-kali, tapi Ayah tetap pada keputusannya. Dia tak mau menunggu lagi. Dia bahkan sudah memepersiapkan calon untukku. Dia sudah mengatur semuanya. Paling lambat, minggu depan – aku harus menikah dengan Soraya Clint,” jawab Charles gundah.
Soraya Clint adalah calon istri yang disiapkan oleh Kakek Sanjaya untuk Charles.
Gadis itu berasal dari Keluarga Clint, salah satu keluarga terkaya Morenmor yang lain. Dia berusia tiga tahun lebih muda daripada Pamela. Wajahnya sangat cantik, walaupun memang tak secantik Pamela.
“Cobalah sekali lagi, Chares! Aku yakin, anak kita yang ketiga nanti pasti laki-laki!” pinta Pamela sekali lagi, tak mau menyerah.
Charles menggeleng lagi dan berkata, “Aku tak bisa, tapi tidak ada salahnya jika kamu mau mencobanya sendiri. Sebentar lagi Ayah akan datang menjengukmu. Mungkin dia akan luluh jika kamu yang bicara.”
Raut wajah Pamela langsung berubah.
Dia tahu persis watak Kakek Sanjaya.
Selama hampir lima tahun menjadi menantu lelaki paling kaya di Morenmor itu, dia tak pernah mendengar ayah mertuanya itu menjilat ludah sendiri – apalagi jika sudah menyangkut kelangsungan trah Keluarga Sanjaya di masa depan!
Namun, Pamela juga tahu bahwa itu adalah peluang terakhirnya.
Suaranya terdengar pasrah saat dia bertanya, “Baiklah, aku akan mencobanya. Kapan Ayah akan datang?”
Charles menjawab, “Mungkin sekarang dia sudah di bawah.”
Pamela langsung panik.
Rasa percaya dirinya pupus begitu saja ketika pintu ruangan tempatnya dirawat pasca melahirkan tiba-tiba terbuka lebar.
Kakek Sanjaya masuk dengan langkah gagah penuh wibawa.
Setengah lusin pengawal berbadan tegap yang mengenakan pakaian dan kacamata serba hitam tampak mengiringi di belakangnya. Semuanya terlihat menjinjing beberapa paper bag beraneka warna dan ukuran pada kedua tangannya.
“Selamat untuk kalian berdua! Kudengar cucuku sudah lahir, aku bawa banyak hadiah untuknya!” ujar Kakek Sanjaya sambil tertawa lebar.
Dia memberi isyarat pada keenam orang pengawalnya agar segera meletakkan semua hadiah di atas sebuah meja, tak jauh dari ranjang Pamela.
Selanjutnya dia mendekati Pamela dan berkata, “Aku juga punya hadiah untukmu! Mulai hari ini, mansion paling mewah di Bukit Desperato adalah milikmu. Kamu boleh tinggal di sana bersama kedua putrimu sesuka hatimu.”
Pamela langsung terhenyak.
Dia sadar, Kakek Sanjaya ingin menyingkirkannya!
Walaupun Kakek Sanjaya memang mengatakan ‘boleh tinggal di sana’, tapi Pamela tahu persis bahwa itu maknanya ‘harus tinggal di sana’!
Pamela langsung membatalkan niatnya untuk memohon lalu berkata, “Terima kasih, Ayah. Mansion itu sangat mewah, saya tidak menyangka Ayah akan menghadiahkannya pada saya. Besok saya akan langsung pindah ke sana.”
“Tidak masalah, kamu layak mendapatkannya. Mansion itu bahkan masih belum sebanding dengan pengorbananmu,” kata Kakek Sanjaya, menyatakan maksudnya secara tersirat.
Pamela menjawab sinis, “Tidak apa-apa, Ayah. Bagaimanapun, Keluarga Sanjaya membutuhkan keturunan laki-laki untuk meneruskan trah Keluarga.”
“Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menyuruh Charles menceraikan Soraya jika tahun depan mereka tidak mampu memberiku cucu lelaki!” sahut Kakek Sanjaya penuh keangkuhan.
Pamela terhenyak sekali lagi.
“Jadi … Charles sudah menikah lagi?” tanya Pamela, marah campur sedih.
Kakek Sanjaya menggeleng dan menjawab, “Belum. Mereka baru akan menikah tiga hari lagi. Kamu tak perlu hadir jika kondisimu masih belum pulih sepenuhnya. Bagimanapun, kamu baru melahirkan.”
Sekali lagi, Pamela tahu persis maksud Kakek Sanjaya.
‘Tak perlu hadir’ artinya adalah ‘tak boleh hadir’!
Tiga hari kemudian, pesta pernikahan Charles Sanjaya dengan Soraya Clint benar-benar digelar secara besar-besaran di atas penderitaan tak bertepi Pamela Atmaja!
“Jangan pernah berharap untuk bahagia! Aku sendiri yang akan memastikan penderitaan kalian!” desis Pamela, bersumpah penuh dendam. Dia mengucapkan sumpahnya, tepat pada saat Charles dan Soraya mengangkat sumpah setia sebagai suami istri – jauh di tengah Kota Morenmor!
Dua bulan kemudian, Pamela mendengar bahwa Soraya telah hamil.
Malam itu, Pleton-A pimpinan Letnan Murad dan Pleton-C pimpinan Letnan Mahmud benar-benar menunjukkan taringnya. Hanya dalam waktu kurang dari dua menit, mereka berhasil membuat ratusan monster haus darah yang sebenarnya adalah sisa-sisa gerombolan preman dan bandit anak buah Rudolf Subrata itu bertumbangan satu per satu – hingga habis seluruhnya!Kedua pleton itu benar-benar menghabisi semuanya, tidak satu pun disisakan untuk rekan-rekan mereka dari tiga pleton lainnya yang datang belakangan.“Periksa!” teriak Mayor Marlon Baruna.“Siap, laksanakan!” sahut lima komandan pleton hampir serempak.Selanjutnya, kelima komandan pleton itu segera mengatur anggotanya masing-masing untuk mengumpulkan dan memeriksa seluruh jenazah korban pertempuran malam itu. Jenazah yang terlihat mengenakan seragam tentara milisi dipindahkan dan diletakkan berjajar di sisi kanan jalan, sementara yang tidak mengenakan atribut militer apa pun – ditumpuk begitu saja di sisi sebelah kiri.Tak butuh waktu lama, p
Asap hitam membumbung tinggi, menambah suram suasana malam.Empat sosok tubuh tampak bergelimpangan tak jauh dari sebuah bangkai truk militer yang masih terus terbakar. Tiga di antaranya terlihat menggeliat-geliat tak berdaya seperti sedang meregang nyawa, sementara yang satu lagi – terlihat sedikit lebih baik, bahkan cukup baik untuk bisa kembali berdiri.Sosok yang kembali berdiri itu adalah Beta-1, komandan tentara milisi Tim Beta.Nama asli Beta-1 adalah Theo Baruna.Sebelum bergabung dengan pasukan aliansi, Theo Baruna dikenal sebagai seorang tuan muda kaya dari sebuah keluarga besar kelas dua Morenmor. Dia bergabung dengan pasukan aliansi dan kemudian diangkat menjadi komandan muda tentara milisi karena pengaruh dan dukungan ayahnya, Mayor Marlon Baruna, yang merupakan seorang perwira di benteng perbatasan.Dulu, Mayor Marlon Baruna pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro.Malam ini, Mayor Marlon mendapat tugas untuk ikut melakukan inspeksi menyeluruh atas seluruh asrama pen
Terlalu percaya diri!Mungkin, itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tindakan Rudolf Subrata yang nekat mengejar Beta-1 sendirian!Dia mengejar hanya dengan ditemani seorang sopir, tanpa pengawal atau anak buah sama sekali. Kendaraan yang digunakannya pun hanya sebuah SUV mewah, bukan kendaraan militer atau kendaraan tempur yang dilengkapi persenjataan canggih atau fitur perlindungan yang mumpuni.Amarah dan dendam tampaknya telah benar-benar melumpuhkan akal sehatnya. Bayangan ratusan anak buahnya yang tewas dibantai pasukan milisi beberapa saat lalu, membuatnya tak lagi peduli pada keselamatan diri sendiri. Sepertinya, dia telah bertekad untuk mengantarkan sendiri nyawa komandan tentara milisi yang dikejarnya itu – ke hadapan dewa penjaga neraka!“Kejar terus, jangan sampai lolos!” perintah pemimpin gerombolan preman paling ditakuti di seantero Morenmor itu penuh tekad.Sopir yang mengemudikan mobil Rudolf tidak menjawab.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kaki kananny
Komandan senior pasukan dari benteng perbatasan tidak salah!Pada malam itu, sejak beberapa jam yang lalu – ternyata memang ada lebih dari 200 orang tentara milisi bersenjata lengkap yang tengah bergerak untuk menjalankan suatu misi rahasia.Ratusan tentara milisi bersenjata lengkap itu adalah anggota Tim Beta, kelompok terbesar dari 300 orang tentara milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor yang sedang menggelar operasi senyap dalam rangka membasmi Keluarga Desplazado berikut seluruh kekuatan pendukungnya. Malam itu, misi rahasia yang dijalankan oleh para tentara milisi tersebut adalah menyerbu dan menghancurkan basis utama kekuatan Rudolf Subrata di suatu kawasan terpencil di luar kota Morenmor.Kawasan terpencil itu dikenal dengan sebutan Distrik Silentium.Semua orang tahu, Distrik Silentium adalah sarang preman terbesar di Morenmor. Hampir seluruh penduduk kawasan tersebut adalah adalah bandit kambuhan yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara.Rudolf Subrata ada
Bruk …!Brukk …!Brukkk ...!Satu per satu anggota Tim Alfa menjatuhkan diri, berlutut sambil meletakkan senjata lalu melipat tangan dengan jari-jari saling bertautan di belakang kepala yang tertunduk dalam.Tanpa dikomando, sepuluh orang prajurit benteng perbatasan segera bertindak.Tiga orang langsung mengumpulkan dan mengamankan senjata-senjata milik tentara milisi anggota Tim Alfa, sedangkan tujuh lainnya bergerak cepat melumpuhkan para tentara milisi itu dengan cara yang sedikit ektrim – yaitu memukul tengkuk mereka hingga jatuh pingsan.Selanjutnya, tubuh-tubuh tak sadarkan diri itu dimasukkan ke dalam sebuah truk besar lalu dibawa entah ke mana.Setelah itu, para serdadu yang hampir semuanya pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro itu mulai menyisir seluruh gedung Hotel Preatorium. Setiap kamar diperiksa tanpa kecuali, memastikan bahwa tidak ada sisa-sisa tentara milisi anggota Tim Alfa yang masih bersembunyi.Di luar dugaan, saat hendak memeriksa salah satu kamar di lantai
Ramos bukan ragu karena takut mati.Bandit tua itu hanya merasa tak percaya diri.Dia hanya sendirian dan harus melawan banyak orang yang bahkan belum diketahui jumlah dan posisi pastinya. Lebih dari itu, dia hanya berbekal dua pucuk senjata otomatis yang pelurunya pun sudah banyak terpakai – saat menembaki lampu tadi.“Harus minta bantuan secepatnya,” gumam Ramos pelan, mencoba berpikir jernih.Dia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Rudolf. Tanpa meninggalkan detil apa pun, dia melaporkan seluruh situasi yang dihadapinya.“Semua anggota kita mungkin sudah tewas, Ketua!” ujar Ramos menutup laporannya.“Bertahanlah, jangan mati sebelum aku datang. Bakar beberapa kamar di lantai atas untuk menarik perhatian dan bantuan pihak lain di luar gedung!” sahut Rudolf tegas, langsung memberi perintah setelah memahami situasi di Hotel Preatorium.“Siap, Ketua!” jawab Ramos girang, mulai percaya diri lagi.Selanjutnya, dia langsung membakar sebuah tempat tidur besar yang terdapat di