Share

Bab 2 

“Gawat, bayi Nyonya Soraya hilang!”

Medicamento Hospital langsung dilanda kepanikan.

Bukan kepanikan yang gaduh, akan tetapi kepanikan yang senyap. Merambat tanpa kendali menembus benak dan hati hampir setiap dokter dan perawat, terutama mereka yang berada di lantai delapan.

Beberapa orang dokter dan perawat terlihat berjalan cepat setengah berlari di sepanjang koridor, bercampur dengan puluhan petugas keamanan yang melangkah tergesa-gesa dengan raut wajah cemas dan bingung.

Semua bergerak menuju ke ruang perawatan VVIP, tempat seorang wanita cantik berkulit putih yang belum genap berusia 22 tahun sedang menjalani perawatan pasca melahirkan.

Wanita muda itu adalah Soraya Clint, istri kedua Charles Sanjaya.

Beberapa jam yang lalu, dia baru saja melahirkan putra pertamanya. Dia baru melahirkan seorang bayi gemuk dan sehat yang merupakan cucu laki-laki satu-satunya dari Kakak Sanjaya, orang paling kaya dan paling berpengaruh di seantero negeri.

Bayi laki-laki itu adalah calon tunggal penerus dan pewaris tahta keluarga terkuat Morenmor!

Namun bayi itu hilang!

Bayi laki-laki itu diculik bahkan sebelum diberi nama!

Bayi kaya raya itu hilang tanpa sempat menyandang nama besar Keluarga Sanjaya sama sekali. Hanya sebuah tanda lahir berbentuk dua segitiga unik berwarna kecoklatan di bahu kirinya – yang menandakan bahwa dia adalah anggota Keluarga Sanjaya dari garis keturunan asli dan lurus.

“Maafkan saya, Nyonya!”

Seorang lelaki setengah baya bertubuh kekar berlutut memohon belas kasihan.

Dia adalah Roni, seorang pengawal Keluarga Sanjaya yang bertanggung-jawab menjaga keamanan Soraya dan bayinya. Terlihat sekali gurat ketakutan dan kepanikan menghiasi wajahnya yang masih menyisakan garis-garis ketampanan masa muda.

Soraya melirik Roni sekilas lalu bergumam pelan, “Cari sampai dapat! Temukan bayiku dan habisi penculiknya berikut seluruh keluarganya. Aku mau putraku sudah kembali sebelum matahari terbenam, atau – kamu dan seluruh keluargamu akan kehilangan kepala saat matahari terbit besok pagi!”

“Siap, Nyonya!”

Sesaat kemudian, lebih dari 80 orang pria bertubuh tegap yang mengenakan pakaian serba hitam dengan model potongan rambut pendek seperti tentara mulai bekerja.

Para pengawal yang semuanya mengenakan kacamata hitam dan perangkat komunikasi canggih seperti headset yang melingkar di kepala mereka itu terlihat memasuki dan menggeledah setiap ruangan tanpa kecuali.

Mereka memeriksa siapapun yang berada di gedung rumah sakit.

Semua dokter dan perawat dikumpulkan di aula dan ditanyai satu persatu. Beberapa di antaranya bahkan dipaksa meninggalkan pasien yang sedang ditangani.

Seperti kehilangan empati dan prikemanusiaan, para pengawal Keluarga Sanjaya itu bergerak tanpa peduli bahwa tindakan mereka sebenarnya terlalu berlebihan, hingga bahkan membuat pasien yang sebenarnya hampir sembuh – akhirnya kembali mengalami gejala yang justru lebih parah daripada sebelumnya!

Senyap dan rapi, akan tetapi brutal dan tanpa ampun!

Semua cara mereka lakukan untuk menemukan jejak sang pewaris yang hilang.

Namun, bayi Soraya tetap tak dapat diketemukan. Bayi itu hilang begitu saja, seolah memang tak diizinkan untuk mewarisi kekayaan dan kejayaan leluhurnya.

Matahari akhirnya terbenam dan tenggat waktu yang ditetapkan Soraya pun berakhir.

Roni pun pasrah.

Dengan langkah gontai, dia kembali ke ruang perawatan Soraya, lalu berlutut di hadapan nyonya kaya itu. Kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan wajahnya yang kini tak lagi berwarna.

Badannya yang kekar terlihat gemetar dilanda ketakutan dan rasa bersalah tanpa batas. Sementara keringat dingin sebesar-besar jagung tampak berlomba-lomba membasahi kening dan sekujur tubuhnya yang berotot.

“Maafkan saya, Nyonya. Saya telah gagal. Saya mohon ijin, pamit undur diri. Besok pagi sebelum matahari terbit, saya beserta seluruh keluarga saya akan menghadap Tuan Besar untuk menerima hukuman!” ujar Roni lemah.

Soraya mendengus kesal.

Dia sebenarnya sudah memperkirakan bahwa Roni akan gagal.

Bagaimanapun, hanya kekuatan dan kekuasaan tanpa batas sajalah yang bisa melangkahi otoritas keamanan rumah sakit Medicamento Hospital. Apalagi, sampai berhasil menculik cucu orang paling berpengaruh di Morenmor.

Tentu itu akan berada jauh di luar jangkauan Roni yang cuma pengawal pribadi Soraya!

“Bukan salahmu!” desis Soraya datar dan dingin, mulai bisa menduga siapa sesungguhnya dalang penculikan ini.

Sebagai seorang istri kedua yang dinikahi karena istri pertama tidak mampu memberi keturunan laki-laki yang dapat menjadi penerus trah Keluarga Sanjaya, dia tentu menyadari maksud dan tujuan di balik tindakan gila penculik bernyawa seribu ini.

Soraya tahu, satu-satunya alasan peculikan bayinya adalah karena status bayi itu sebagai calon tunggal pewaris tahta Keluarga Sanjaya.

Bagaimanapun juga, pernikahannya dengan Charles baru diakui secara resmi lima bulan yang lalu. Dia baru diakui sebagai Nyonya Muda Keluarga Sanjaya ketika hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa dia tengah mengandung seorang bayi laki-laki.

Akan tetapi, sekarang … bayi itu hilang!

Tanpa bayi itu, Soraya hanya akan dianggap sebagai wanita pelakor yang tak tahu malu. Bukan tidak mungkin, dia juga akan segera diceraikan tanpa belas kasihan.

Soraya mengembuskan napas berat beberapa kali.

Sebuah rencana gila tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam benaknya.

Dia adalah Nyonya Muda Keluarga Sanjaya, tak mungkin akan membiarkan diri dipecundangi begitu saja tanpa melawan. Jika pihak lain ingin bermain, maka dia pun siap untuk bermain. Untuk kekayaan dan kekuasaan yang meliputi hampir sepertiga dunia, maka tidak akan ada kata menyerah!

“Ini bukan salahmu! Kamu tidak perlu menghadap Tuan Besar. Bahkan sebaliknya, Tuan Besar tidak boleh sampai tahu bahwa cucunya hilang. Peristiwa ini harus dirahasiakan. Perintahkan setiap orang untuk menutup mulut mereka rapat-rapat. Siapapun yang melanggar akan dihukum mati dan seluruh keluarganya juga akan dimusnahkan!” lanjut Soraya, dingin dan bengis tanpa kompromi.

Roni terperangah.

Dia hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri. Kepalanya mendongak begitu saja, langsung menampakkan sepasang matanya yang memandang bingung ke arah Soraya.

Sekilas, dia dapat melihat kilatan jahat yang misterius memancar dari wajah nyonya muda Keluarga Sanjaya itu.

“Tapi bagaimana jika Tuan Besar ingin menengok cucunya?” tanya Roni, cemas.

“Kamu pasti tahu apa yang harus dilakukan!” jawab Soraya, ambigu.

“Baik – saya mengerti, Nyonya!” sahut Roni patuh.

Selanjutnya, pengawal pribadi Soraya itu segera beranjak meninggalkan ruangan.

Tak lama berselang, dia sudah kembali sambil menggendong seorang bayi merah berjenis kelamin laki-laki. Sementara di belakangnya, dua orang anak buahnya mengikuti sambil menyeret seorang wanita muda yang terlihat sekarat.

Sekujur tubuh wanita malang itu penuh dengan luka lebam, sementara wajahnya rusak dan tak dapat dikenali lagi karena dipukuli habis-habisan. Wanita itu meninggal dunia beberapa jam kemudian, tanpa pernah tahu kenapa dia harus bernasib semalang itu.

Roni kemudian menyerahkan bayi yang digendongnya kepada Soraya dan berkata, “Bayinya sudah ada, Nyonya!”

Bayi itu kemudian diberi nama Edward Sanjaya!

Tujuh tahun kemudian, Edward tumbuh menjadi seorang anak manja yang sulit di atur.

Semua keinginannya harus dipenuhi. Kalau tidak, dia akan menghancurkan apapun yang berada dalam jangkauannya. Jika sudah begitu, maka hanya Kakek Sanjaya yang dapat membujuknya.

Hari ini, Edward mengamuk lagi dan Kakek Sanjaya pun kembali harus membujuknya.

Kakek Sanjaya mengajak Edward berkeliling kota menggunakan sebuah mobil sedan klasik mewah berukuran besar warna putih yang ada hiasan patung perempuan bersayap di kap depan.

Mereka berkeliling Morenmor, memanjakan mata dengan beragam keindahan dan kemewahan yang ditampilkan di sepanjang jalan.

Orang-orang saling berpapasan tanpa saling menyapa. Sementara mobil-mobil meluncur tertib dalam pengaturan yang aneh. Tidak ada lampu merah atau rambu lalu lintas, namun mobil-mobil yang lebih murah akan selalu memberikan prioritas jalan pada mereka yang lebih mewah dan mahal.

Sepertinya, semua orang memang tahu persis mobil mana yang paling berhak untuk melaju tanpa hambatan!

Di sebuah perempatan, mobil mereka terpaksa berhenti.

Bukan karena ada mobil lain yang lebih mewah. Mereka berhenti karena ada sekelompok barisan tentara yang melintas.

Bagaimanapun, uang dan senjata adalah hukum satu-satunya di Morenmor. Walaupun uang dan senjata bisa membawa kemewahan, namun tak semua kemewahan mewakili uang dan senjata. Sudah sewajarnya jika kemewahan akan selalu tunduk pada senjata!

Edward sungguh terpesona melihat penampilan para tentara itu.

Seluruh tentara itu membawa senjata otomatis, namun tidak seorangpun yang mengenakan baju. Mereka hanya mengenakan celana loreng hitam, seakan ingin memamerkan dada bidang mereka yang berotot kepada seluruh penduduk kota.

Para tentara berlari sambil bernyanyi dalam barisan yang rapi dengan iringan suara derap sepatu boots yang mengalunkan irama penindasan tanpa batas.

“Aku mau jadi tentara!” Edward tiba-tiba berseru dengan antusias.

Kakek Sanjaya tersenyum, “Itu tidak masalah. Kamu bisa bergabung dengan militer kalau sudah besar nanti. Sejak dulu, keluarga kita memang banyak yang menjadi tentara. Bahkan, ayahmu sendiri adalah seorang Jenderal. Tapi untuk bisa menjadi tentara, kamu harus sehat dan kuat. Kamu juga harus rajin berlatih ilmu beladiri. Apa kamu siap?”

“Aku siap, Kek!” kata Edward cepat, bahkan tanpa berpikir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status