"Kakang....kakang...., bangun." Kata Rukma perlahan. "Ya Rukma, ada apa?" Tanya Jentra dengan mata yang masih terasa berat. Kenangan yang telah mengganggunya selama tiga tahun terakhir belum terhapuskan, membuatnya susah tidur. Apalagi saat ia kembali dari medan perang, ia tidak menemukan Candrakanti di rumah yang diberikannya. Kata Amasu, Candrakanti memilih untuk tinggal bersama kerabatnya entah dimana bersama dengan anak di dalam kandungannya. Ia menolak semua kebaikan yang diberikan Jentra. Setengah sadar Jentra mengerjapkan matanya. Rukma menunggu Jentra benar-benar telah bangun baru menjawab pertanyaan Jentra. " Kang Jentra, ada tamu di depan." Jawab Rukma. "Baik. Mintalah mereka menunggu. Aku akan mencuci muka dulu."Kata Jentra. Rukma mengangguk. Ia kemudian menemui kedua tamu Jentra dan mempersilahkan mereka untuk duduk. Rukma yang telah terbiasa dengan pekerjaan rumah di desanya, dengan mudah beradaptasi di rumah Jentra. Tanpa diperintah-pun ia juga menyiapkan air minu
"Mengapa Pangeran Balaputeradewa begitu berkeras ingin mendapatkan Mustika itu, Amasu?"Tanya Jentra"Aku juga tidak tahu, Jentra. Tapi sepertinya Pangeran ingin mengusai tanah Walaing di Kewu Selatan (Daerah perbukitan Bokoharjo Saat ini). Jika beliau berhasil menguasinya, tempat itu adalah pijakan bagus untuk menyerang Kedu. Tapi ini hanya perkiraanku saja, ya. Aku tidak berani berspekulasi lebih jauh. Namun membayangkan menjadi Chakrawartin yang dihormati raja-raja di seluruh wilayah bahkan dunia tentu bukan cita-cita yang kecil, mengingat Yang Mulia Maharaja tidak memiliki seorang putra." Kata Amasu"Hhhhmmm.....,itu menjadi hal yang mempersulit kedudukan kita. Di satu sisi kita mengabdi pada negara yang artinya tunduk pada Maharaja Rakai Garung, tapi sebagai Panglima pasukan Sandi harus tunduk kepada Pangeran Balaputeradewa. Jika keduanya harus berhadapan di medan tempur, kita akan memilih siapa? Aku juga kesulitan di dalam penugasan kali ini. Mengikuti perintah Pangeran Balaputer
Mpu Pugat Liwung murka ketika mendengar lontar milik leluhurnya tergadai oleh brahmana yang dipercaya menyimpannya. Bertahun-tahun keluarga Rakai Walaing menjaganya sebagai warisan rahasia yang kelak akan diberikan pada penguasa Medang yang sah dari keturunan Sanjaya, Rakai Panaraban. "Ranuhmaya bagaimana kita bisa kebobolan? Kau tahu betapa berharganya lontar itu bagi kebesaran Medang dan wangsa kita? Sekarang kita harus diam dan menahan diri diperintah oleh Rakai Garung, keturunan tidak sah wangsa Sanjaya. Sekarang dengan segala tipu daya, mereka mengambil milik kita yang paling berharga yaitu Lontar Anarghya." Kata Pugat Liwung. "Maafkan keteledoran saya, ayahanda. Karena tidak setiap kali saya memeriksa keadaan lontar itu. Saya pikir semuanya beres dan tertata seperti lontar-lontar lainnya." Jawab Ranuhmaya dengan wajah tegang dan sedih. "Kakek, apa isi lontar Anarghya itu? Mengapa semua orang begitu panik?" Tanya Mpu Kumbhayoni yang sedikit tidak terima ketika kakeknya memarah
Kerajaan Pengging memiliki Raja muda yang tampan dan adik perempuan yang sangat cantik. Raja Pengging bernama Basundra Naranata, seorang Raja yang adil dan sangat bijaksana. Sedikit berbeda dengan Raja Medang yang pemarah dan ambisius. Perang yang kadang terjadi diantara kedua negara ini dipicu banyak hal, dari masalah batas wilayah, agama dan yang terakhir adalah pernikahan. Rakai Garung merasa marah ketika akhirnya Basundra lebih memilih menikahkan adik cantiknya yang bernama Meitala Padmi dengan Rakai Panaraban dengan alasan seagama, daripada menerima keinginannya untuk menikahkan adik Raja Pengging itu dengan Pangeran Balaputeradewa. Basundra sendiri mencium keserakahan Rakai Garung atas tanah perbatasan Pengging yang akan dijadikannya sebagai perluasan ibu kota baru yang tengah digagasnya. Oleh karena itu perang-perang kecil sering terjadi di wilayah mereka. "Bagaimana hasilnya Cayapata? Adakah berita yang kau dengar dari Kanjuruhan mengenai Mustika itu?"Tanya Basundra. "Belu
Amasu memandangi batu Mustika dihadapannya. Sebuah batu yang bahkan tidak memiliki warna yang indah atau pendar tertentu. Berbeda dengan Jentera milik Jentra yang memang berfungsi dan memiliki energitas yang membantu pemiliknya memiliki kesaktian atau daya linuwih. "Jadi sebenarnya kau ini apa? Dan mengapa kau masuk tubuhku?" Tanya Amasu saat sendirian. Jentra kadang merasa kasihan kepada Amasu mengenai anugerah berbeda yang mereka terima di perut Sadara. Jentra bahkan sering merasa seharusnya Amasu-lah yang lebih berhak atas Jenteranya, namun takdir memang menentukan dengan caranya sendiri. "Amasu." Panggil Wiku Sasodara "Iya, Guru." Jawabnya kurang bersemangat "Masih bertanya mengenai batu gunung yang kau temukan? Amasu....Amasu, bertahun-tahun kau belajar di bawah bimbinganku, masihkah kau melekat pada benda-benda seperti itu? Kita bahkan dilarang melekat dengan tubuh, energi spiritual atau yang sering disebut kesaktian oleh orang-orang dan juga kepandaian kita. Mengapa kau
Jentra membuka gulungan lontar keramat yang katanya berasal dari tanah Walaing. Ia begitu gelisah karena memegang sebuah benda, yang saat ini begitu dibutuhkan orang. Peta yang menuju Mustika di puncak Udarati. Namun ketika gulungan itu dibuka, tidak ada satupun tulisan atau tanda yang menunjukan sebuah wilayah atau hal-hal yang berkaitan dengan petunjuk menuju Mustika itu selain garis panjang dan pendek seperti rumput."Peta seperti ini, bagaimana membacanya? Seorang jendral hebat seperti Nagarjuna saja, belum tentu bisa mencapai puncak Udarati jika petanya seperti ini. Garis panjang pendek.....apa maksudnya?"Kata Jentra sambil menjatuhkan dirinya di tempat tidur."Kau bicara dengan siapa, Kakang Jentra?"Tanya Rukma dari luar sambil membuka pintu.Jentra sedikit terkejut. Namun karena pintunya dikunci, pintu itu tidak terbuka. Ia segera memasukan gulungan lontar itu ke bawah ranjangnya dan menutupinya dengan sebuah peti. Jentra kemudian membuka pintu."Wow...apa-apaan ini, Rukma? Kau
Jentra membawa Amasu ke kamar pribadinya. Bermacam-macam hadiah yang diberikan Maharaja Rakai Garung sebagai upaya halus membujuk Jentra memihak kepadanya, banyak tergeletak di meja dan lantai. Namun Jentra belum menyentuh satu-pun. "Wah banyak sekali hadiah yang diberikan tuanku Maharaja kepadamu. Sepertinya kau sudah menjadi kesayangannya yang baru." Komentar Amasu "Justru itu yang membuatku terbebani saat ini, Amasu. Aku merasa tidak enak karena bagaimana-pun secara hirarki, Pangeran Balaputeradewa adalah atasanku secara langsung. Semua perintah langsung dari beliau adalah hukum yang tidak bisa kuingkari atau kutolak. Namun Maharaja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, mana berani aku menentangnya juga." Kata Jentra. "Yah. Aku mengerti posisimu saat ini, Jentra. Memang serba sulit jika para penguasa mulai berselisih paham dan cita-cita. Mau di bawa kemana negara ini? Lalu kita yang rakyat jelata harus mengikuti yang mana?" Amasu menjawab sedih. "Mana tuanku Maharaja mengirimkan
Pasukan Sanditaraparan yang sebenarnya beranggotakan pria saja. Namun atas bujukan Pangeran Aswangga dan Ghek Sang, Rakai Garung membentuk devisi wanita, dan tidak di bawah Mahamentri I Halu melainkan di bawah Sri Kahulunan langsung sebagai pengawal permaisuri dan Mahamenteri I Hino atau putri mahkota. Bagi para Sanditaraparan pria, keberadaan para wanita ini lebih menjadi pengganggu tugas mereka daripada membantu apa yang seharusnya dilakukan. Pendapat ini tidak salah karena perekrutan yang tergesa-gesa. Pelatihan yang tidak intensif dan prilaku manja dari para anggotanya yang sebagian terdiri dari dayang istana dan putri-putri pejabat rendahan yang tidak terlatih. Ketahanan mereka-pun buruk apalagi jika berkaitan dengan tugas-tugas di alam liar. Mereka takut serangga, binatang melata dan hal-hal menjijikan lainnya.Dari banyaknya Sanditaraparan yang direkrut hanya enam orang saja yang sebenarnya memiliki kualifikasi untuk dapat benar-benar dilatih menjadi pasukan khusus mata-mata i