Share

Bagaimana Malam Pertamanya?

Dengan kesal, Melody kembali ke kamar mereka. Kamar yang dihias indah untuk pengantin baru, sambil menggerutu gadis itu memilih untuk tidur di sofa yang ada di kamar tersebut.

"Tidak boleh menyentuh kecuali pihak pertama yang menginginkannya, ciih. Dia pikir dia itu siapa? Dasar bapak-bapak," gerutu Melody sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan menyelimuti tubuh hingga menutupi seluruh tubuhnya tidak terkecuali wajah.

Erlan meyebut dirinya pihak pertama dan Melody pihak ke dua di dalam kertas yang tadi gadis itu tanda tangani.

"Kalau tahu aku harus membayar biaya kuliah dengan menikahinya lebih baik aku mencari beasiswa di kampus lain. Ah, apa semua mahasiswa yang lolos seleksi penerima beasiswa itu akan memiliki nasib yang sama denganku." Melody masih bergumam di balik selimut, sebelum akhirnya matanya semakin berat dan terpejam.

Di tempat lain, lebih tepatnya di ruang kerja Erlan. Pria itu duduk bersandar pada sofa di ruang kerjanya dengan pandangan menerawang. Menatap langit-langit ruangan itu. Teringat pesan istrinya sebelum meninggal empat tahun lalu karena penyakit kanker yang sudah parah dan membuatnya harus kehilangan nyawanya.

"Gadis itu cerdas, hangat dan ceria. Senyumnya manis dan penuh percaya diri. Dia juga bukan berasal dari keluarga sembarangan. Meskipun bukan keluarga kaya tapi dari keluarga baik-baik, dan sangat peduli pada pendidikan. Saat gadis-gadis lain memilih kuliah dengan santai dan bersenang-senang dia fokus dengan studynya. Kamu tahu apa cita-citanya, dia ingin menjadi dosen muda yang mencerdaskan mahasiswanya," tutur Liliana, istri Erlan sambil memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan video wawancara untuk mendapatkan beasiswa di kampus milik keluarga Erlangga.

Kakek Erlangga dulu mengawali bisnisnya dengan mendirikan sebuah bank, lalu merambah ke industri makanan, kemudian saat usaha itu diwariskan pada ayahnya, sang ayah merambah ke dunia pendidikan dengan mendirikan sebuah universitas. Sejak berdiri hingga kini, Universitas tersebut menyediakan beasiswa untuk mahasiswa berprestasi. Siapapun bisa mencoba untuk mendapatkannya.

"Kenapa kamu peduli dengan gadis ini?" tanya Erlangga sambil memeluk istrinya.

Dia tidak ingin kehilangan moment-moment berharga dengan sang istri. Wanita yang sangat dicintainya itu mengidap kanker stadium empat. Segala upaya sudah dilakukan, namun Tuhan jugalah yang berkuasa atas segalanya. Dokter mengatakan jika usianya mungkin tak lagi lama.

"Aku mau dia menggantikanku setelah aku tiada. Dan setelah aku ikut mewawancarainya aku mencari tahu latar belakang keluarganya. Aku suka padanya sejak pertama kali melihatnya disesi wawancara itu," jawab Liliana tanpa mengalihkan pandangan dari tablet yang masih menampilkan sosok Melody.

"Jangan membual, tidak ada yang bisa menggantikan dirimu," geram Erlan.

"Kamu masih muda, Mas. Anak-anak butuh sosok ibu, Mama butuh teman untuk berbincang, gadis ini akan cocok untuk mengisi kekosongan yang ada di rumah ini jika aku tiada."

"Anak-anak sudah dewasa, mereka tidak butuh sosok ibu, Mama ada banyak pembantu yang akan bisa diajak berbicara, dan aku, tak butuh siapapun untuk mengurusku." Erlan menyela.

"Jika ingin mencari penggantimu, kenapa tidak kau cari wanita matang dan sama kayanya sepertiku, malah kau cari gadis kecil begitu."

"Sebagian ibu sambung, gadis itu akan menjadi sahabat bagi dua putrimu karena usianya tidak jauh berbeda. Lalu jika aku memilih wanita kaya, aku takut kalian akan bersaing dalam karir dan mengabaikan semua yang ada di rumah ini," sahut Liliana sambil tertawa.

Erlan memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Mengenang kembali awal mula dia mengenal gadis bernama Melody yang baru saja dia nikahi.

Setelah kepergian istrinya menghadap Sang Pencipta, beberapa kali Erlan bertemu dengan Melody saat ada acara di kampus yang mengharuskan dia datang. Setiap kali berjumpa, tidak ada rasa apapun yang melintas di benaknya. Di hati pria itu hanya ada mendiang istrinya seorang.

Setelah beberapa hari gadis itu wisuda, orang tua Erlan malah membawanya ke rumah orang tua Melody tanpa mengatakan apapun yang ternyata itu bukan acara berkunjung biasa. Tapi melamar anak gadis mereka, tak mau mempermalukan orang tuanya, Erlan hanya bisa pasrah.

Ternyata mamanya juga mendapatkan pesan dari mendiang istrinya agar menikahkan mereka berdua setelah gadis itu selesai kuliah strata satu.

***

Dengan badan terasa pegal semua, Melody bangun dari tidur. Dia menatap ke ranjang yang kosong dan masih rapi seperti semalam, jadi pria yang sudah menjadi suaminya itu tidak tidur di kamar ini. Dia tidur di ruang kerjanya.

"Dia pikir dia itu siapa? Duda keren yang akan aku sosor kapan saja," geramnya sembari melipat selimut yang dia pakai semalam.

Melody lantas membereskan tempat tidur dari kelopak bunga mawar yang berserakan, setelah itu Melody membersihkan diri.

Selesai dengan semua kegiatannya di dalam kamar, gadis itu hendak keluar dari kamar saat pintu bercat putih itu terbuka.

"Mau ke mana?" tanya Erlan.

"Keluar kamar, aku tidak sedang dijadikan tawanan di kamar ini, kan," sahut Melody ketus.

"Kamu ingat peraturan ke dua?"

"Ingat! Harus terlihat baik-baik saja di depan mama," balas Melody.

"Tunggu aku, kita keluar bersama," cegah Erlan.

Melody memutar bola matanya. Malas berdebat, dia memilih untuk duduk kembali di sofa tempat dia tidur semalam. Menunggu pria itu mandi kemudian mengganti bajunya di walk in closet.

Keduanya berjalan beriringan menuju ke ruang makan, pembantu rumah tangga mereka sudah memanggil keduanya sejak tadi.

Sampai di ruang makan, hanya ada Mama Erlan yang merupakan mama mertua bagi Melody. Anak-anak Erlan dari istri pertamanya tidak ada di sana.

"Wah pengantin baru lama banget di dalam kamar," goda Santika, mama Erlan.

Melody hanya tersenyum simpul mendengar godaan mertuanya. Mereka cukup dekat saat Melody masih kuliah dulu. Penerima beasiswa berprestasi pernah diundang untuk bertemu dengan para petinggi dan orang penting di universitas itu. Tak terkecuali pemilik group tempat bernaungnya universitas tempat Melody kuliah. Dan Santika secara khusus sering meminta Melody datang padanya.

Sejak Liliana mengenalkan sosok Melody pada Santika, sejak saat itu juga wanita yang tidak lagi muda itu mengawasi sepak terjang Melody, pantas atau tidak gadis itu menjadi bagian dari keluarganya.

Mereka bertiga sudah duduk di kursi masing-masing, siap menikmati sarapan bersama.

"Gimana Melody," tanya Santika disela-sela suapannya.

"Bagaimana apanya, Ma?" tanya Melody tidak mengerti.

"Malam pertamanya."

Melody melirik pada suaminya bingung hendak mengatakan apa, tapi pria yang dilirik sepertinya tidak peduli. Malah asyik menyuap makanan ke mulutnya.

"Oh itu, coba tanya langsung pada Mas Erlan. Puber kedua seperti membuatnya panas dan menggelora!"

Erlan langsung tersedak mendengar pengakuan istrinya.

🍁 🍁 🍁

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur rahmah
cerdas melody...... baru bab 2 udh pan*s
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status