Hujan mengguyur deras malam itu. Angin menampar jendela-jendela tua rumah besar milik Juragan Darsa. Suara gemuruhnya menelan malam dalam kebisuan mencekam. Di balik bilik dapur yang remang, Alma masih membereskan piring kotor. Tubuhnya yang ramping dibalut daster panjang sederhana, rambutnya dijepit rapi, menyisakan poni yang sedikit melengkung di keningnya. Wajahnya ayu, teduh—terlampau ayu untuk seorang janda muda yang bekerja sebagai pembantu. Meski lelah jelas tergambar di wajahnya. Namun ayunya juga terukir tegas.
Langit mulai menggantungkan mendungnya sejak siang. Awan kelabu berkumpul, menciptakan nuansa murung yang menggantung di seluruh penjuru rumah Darsa Wijaya.
Alma berdiri di dapur, menatap jendela yang mulai dihiasi tetes air hujan. Di luar sana, pohon-pohon bergoyang pelan diterpa angin. Aroma tanah basah menyusup masuk lewat celah-celah kusen kayu.
Tangannya sibuk mencuci beras, tapi pikirannya entah ke mana. Masih terngiang kejadian malam tadi. Sentuhan yang tidak sengaja. Tatapan mata juragan tua itu yang membuat napasnya sesak.
"Kenapa hatiku jadi seperti ini?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Dia majikanku... bukan siapa-siapaku."
Hujan turun makin deras. Dan dari kejauhan, suara langkah sepatu terdengar masuk dari depan rumah.
“Tuan Darsa?” panggil Alma sambil buru-buru mengeringkan tangannya.
Ternyata benar. Lelaki itu masuk dengan jas hujan basah kuyup dan setangkai bunga liar di tangannya. Bunga kecil warna ungu muda yang terlihat kontras dengan sosok maskulinnya.
“Maaf,” katanya pelan, menyerahkan bunga itu, membuat Alma membeku. “Aku lihat ini di jalan. Entah kenapa, aku ingin memberikannya padamu.”
Alma menatapnya, antara bingung dan nyaris tak percaya.
“Untuk… saya?”
Darsa mengangguk, sedikit kikuk. “Bunga liar… mungkin tak indah. Tapi dia tumbuh di tempat yang sulit, seperti kamu.” Lelaki ini merayu dengan caranya sendiri.
Alma menggigit bibirnya. Hatinya menghangat oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia menerima bunga itu dengan tangan gemetar.
“Terima kasih, Tuan…” takut-takut Alma menerima rangkaian bunga yang begitu cantik dimatanya. Ini pertama kalinya ia diberi kejutan. Ya, ini kejutan bagi Alma. Kejutan yang sangat mengejutkan. Bahkan dalam angannya pun tak pernah terbayang bila akan diberi Bunga oleh lelaki yang berstatus sebagai juragan rumah tempatnya bekerja.
Juragan Darsa menatapnya dalam, lalu berbalik.
Namun sebelum ia benar-benar pergi, ia berkata tanpa menoleh:
“Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Tuan’ bila kita hanya berdua. Itu membuatku terasa terlalu jauh darimu…”
Deg.
Langkahnya menghilang di balik koridor rumah. Sementara Alma masih berdiri mematung, memeluk bunga itu seolah sedang memeluk sesuatu yang lebih rapuh dari cinta—harapan.
Kalimat juragan Darsa barusan, seperti membawa Alma pada kendang singa setelah keluar dari lubang buaya.
*
Pagi harinya, mbok Karti menyodorkan sepiring nasi goreng pada Alma.
"Kamu hati-hati. Juragan itu... kadang kalau malam suka keluar bawa botol. Pulangnya bisa tak sadar diri."
"Apa dia sering begitu?" tanya Alma, menahan rasa ingin tahu.
"Sejak istrinya pergi, dia berubah. Tapi jangan tanya lebih jauh. Di rumah ini, diam itu emas."
Alma mengangguk. Tapi dalam hatinya, rasa penasaran mulai tumbuh. Siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa wajahnya selalu tampak luka meski tak ada goresan?
Di luar sana, hujan masih turun. Dan di dalam hati Alma, badai baru saja dimulai.
*
Hujan belum berhenti. Derasnya seperti menolak segala kehangatan yang mungkin singgah di rumah tua itu. Dinding hijau pudar makin tampak suram, seperti menyimpan cerita yang belum selesai. Bau tembakau dan kayu tua menyesakkan dada. Suasana rumah Juragan Darsa begitu hening, bahkan suara tetesan air dari ujung genting terdengar nyaring memecah malam.
Di dapur belakang, Alma tengah mencuci gelas dengan tangan gemetar. Uap panas dari air rebusan teh melesat ke wajahnya yang mulai pucat. Suara langkah kaki terdengar mendekat, berat dan lambat. Itu suara yang sudah dikenalnya. Suara lelaki itu.
"Masih belum tidur?" suara berat juragan Darsa terdengar dari balik pilar dapur yang kokoh,seolah mengurung keduanya.
Alma menoleh cepat. "Saya baru saja selesai, Tuan. Mau membuatkan teh untuk Asha, dia ingin minum teh susu sebelum tidur."
“Apa dia belum tidur?” tanyanya sambil berjalan pelan ke arah meja makan. Tempat Dimana Alma menata cangkir teh dan sepiring kue bolu.
“Belum, Tuan”, jawab Alma. Jemarinya sibuk menata gelas, mencoba tidak panik.
"Bikin satu teh lagi. Untukku," perintah Darsa. Matanya menatap tajam, tapi nadanya terdengar lebih dalam. Lebih pelan. Lebih...
“Baik, Tuan.”
“Bawakan ke kamarku setelah kau tidurkan Asha.”
Dengan gugup Alma menuangkan air panas, menambahkan daun teh dan gula secukupnya.
"Maaf, Tuan?"
"Antarkan ke kamar saya setelah kau tidurkan putriku!”
“Ba-baik, Tuan.” Kali ini rasanya Alma tak punya alasan untuk menolak. Namun, debaran khawatir itu seolah mengguncang dadanya. Rasanya ini seprti keluar dari lubang buaya tapi masuk dalam kandang singa.
Oh, apakah hidup tak berpihak padanya.
Alma menelan ludah, kasar dan tawar. Ia berusaha tenangkan hatinya yang bergumuruh khawatir. Ini hujan dan juragan Darsa meminta di antarkan susu panas ke kamarnya. Hanya susu, tak pakai teh.
Kemudian, waktu terasa bergulir begitu cepat. Asha pun sudah terlelap seolah mendukung semesta mempertemukan ayahnya dan Alma dalam kamar utama di rumah ini.
“Kok, tidur cepat toh, Nduk.” Sedikit mengomel, tapi Alma tetap menyelimuti anak manis ini. Asha bahkan terlalu manis untuk dimarahi karna permintaan ayahnya yang minta di antarkan susu ke kamarnya.
Jarum jam berdetak cepat seolah mengejar Alma untuk segera membawa gelas susu itu kedalam kamar besar di lantai bawah. Sementara petir seolah memberi peringatan padanya, bila posisinya tak akan aman malam ini.
Kemudian dengan berat hati, Alma melangkah dengan nampan susu dan sepiring kue bolu di tangannya.
Tok! Tok!
“Masuk!”
Suara berat juragan Darsa seolah perintah yang tak bisa ditawar maunya. Alma berusaha menepikan debaran takutnya. Ini hanya mengantarkan minum untuk sang tuan saja. Tentu tak akan macam-macam seperti tempo hari.
“Permisi tuan. Ini susunya.”
“Letak disitu!”
Kemudian Alma meletakkan susu dan kue bolu itu di meja yang terletak di sudut dekat pintu. Lalu bergegas ingin keluar kamar. Rasanya tak tahan ia berlama-lama di dalam kamar tuan besar ini. Namun saat kakinya baru akan melangkah keluar, tiba-tiba saja tangan besar juragan Darsa mencekal pergelangannya.
“Tu-tuan ada apa?”
“Duduklah dulu. saya butuh teman bicara, Alma. Temani saya sebentar.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Tuan?”
Akhirnya Alma berusaha akur. Meski debaran di dadanya juga menggila
"Kau sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.
Alma terkejut. "Sudah. Tapi... sudah berakhir."
"Dicerai?"
"Iya, Tuan. Karena saya tak bisa memberinya keturunan. Atau... mungkin karena saya terlalu setia."
Darsa tertawa kecil. "Setia itu barang langka. Tapi tak laku di dunia kita sekarang."
Alma tak membalas. Matanya memandangi tangan majikannya yang tengah menggenggam gelas susu. Ada goresan luka lama di wajah lelaki itu. Luka sepi. Sama seperti Alma.
luka yang menbawa keduanya pada kesepian yang mendalam.
"Saya tak bisa tidur kalau hujan," gumam Darsa pelan. "Terlalu banyak suara dalam kepala."
"Setelah minum susu tidurlah, Tuan."
Juragan Darsa menatapnya dalam. Lalu perlahan, pria itu berjalan mendekat. Langkahnya berat, tapi pasti. Sampai akhirnya ia berdiri di dekat Alma.
"Kau takut padaku, Alma?"
Alma diam. Lalu mengangguk pelan. "Sedikit."
"Kenapa?"
"Karena... tatapan anda seperti api yang diam. Tapi bisa membakar siapa saja yang mendekat."
Juragan Darsa tersenyum. Senyum yang tak bisa dibaca. Lalu tangannya, dengan perlahan, menyentuh helai rambut Alma yang jatuh di pipi.
.
Alma tersentak. "Tuan..."
"Tenang saja. Aku hanya ingin tahu... kenapa kau bisa membuatku lupa rasa pahit malam ini."
"Saya hanya pembantu, Tuan. Tolong ja ..."
"Bukan. Kau lebih dari itu. Dari semua wanita yang pernah singgah di rumah ini... hanya kau yang bisa membuat rasa dingin di rungan ini menghilang."
Alma berdiri mematung. Jantungnya berdegup tak karuan. "Saya harus kembali ke kamar Asha, Tuan. Dia mungkin butuh saya kalau terbangun."
"Alma."
Langkah Alma terhenti.
"Kau tahu kenapa aku menyuruhmu duduk malam ini?"
"Saya tak tahu, Tuan."
Darsa menatapnya dalam.
"Karena aku ingin tahu... apakah wanita sepertimu, yang hatinya penuh luka... bisa mencintai lelaki sepertiku yang jiwanya busuk."
Alma menahan napas. "Saya... maaf tuan, ini sudah larut.”
Alma pun pergi, meninggalkan majikannya yang berdiri di antara cahaya remang dan aroma susu yang mendingin.
Di luar, hujan belum reda. Tapi ada badai lain yang pelan-pelan mulai tumbuh di dalam hati masing-masing. Badai yang bisa saja menghapus luka lama kedinya, atau bahkan lebih menghancurkan lagi dari rasa sakit yang pertama.
“Selamat ya Allah.”
Alma mengelus pergelangannya yang tadi sempat dicekal oleh juragan Darsa. Rasanya telapak berbuku besar itu masih mencengkramnya di ujung sana.
Bahkan sentuhan kulit lelaki berhidung bangir itu seolah membuat bulu kuduk Alma meremang. Ada takut dan debaran aneh yang menyatu.
Lantunan hujan masih jatuh di atas genting tua, berkejaran seperti langkah-langkah kecil kenangan. Rumah itu makin sepi. Lampu di ruang tengah remang, hanya sesekali berkedip seperti ikut gelisah.
Alma terduduk di tepian ranjang kecil itu. Badai pernikahannya yang kemarin belumlah sepenuhnya usai, kini datang lagi badai yang mengganggu hatinya.
Meski tak dipungkirinya, sesekali rasa ingin dimiliki juga mengintip nuraninya. Namun, Rasa takut juga mengambil perananya.
Lantunan hujan masih jatuh di atas genting tua, berkejaran seperti langkah-langkah kecil yang membawa kenangan masa silam. Rumah itu makin sepi. Lampu di ruang tengah remang, hanya sesekali berkedip seperti ikut gelisah. Seperti ikut merasakan kegelisahan sang empunya yang tak bisa tidur dan tak bisa mengenyahkan bayangan Alma tadi.
Asha sudah terlelap di kamar, memeluk boneka beruang lusuhnya. Sementara di ruang sebelah, Alma duduk di tepi ranjang sempit yang menghadap jendela. Ia masih mengenakan daster polos warna hijau tua miliknya yang hampir pudar warnanya.
Tiba-tiba... suara langkah. Berat. Tidak beraturan datang mendekat ke arah pintu kamar itu.
Bodohnya, saking gugupnya Alma bahkan lupa untuk mengunci pintu berpelitur warna coklat itu.
Pintu terdorong dari luar dan itu membuat Alma terjengkit dari pembaringan sederhana itu.
"Tuan Darsa...?" suara Alma tercekat.
Juragan Darsa berdiri di ambang pintu. Kemejanya terbuka sebagian, persis seprti tadi saat Alma membawakan gelas susu ke kamarnya.
"Alma... kau belum tidur?"
Alma bangkit dengan cepat. "Maaf, Tuan. Saya... saya baru saja mau tidur."
"Kenapa harus minta maaf? Rumah ini juga rumahmu... kan?"
Alma melangkah mundur. "Tuan, mungkin sebaiknya Tuan istirahat. Tuan terlihat lelah."
"Aku memang lelah... dengan semua ini. Tapi tidak denganmu," ucap juragan Darsa, suaranya lirih namun tajam. Seolah ingin menjadikan Alma sebagai mangsanya malam ini.
Langkah Darsa maju. Mata Alma melebar. "Tuan, tolong jangan seperti ini."
"Saya tidak bisa berhenti memikirkanmu, Alma. Saya jujur kau masuk ke hidupku... dan membuat semuanya jadi berantakan."
"Saya tidak berniat merusak apa pun... Saya hanya bekerja di sini," ucap Alma sambil mundur hingga punggungnya menyentuh lemari kayu tua.
Darsa mengangkat tangannya, tapi tidak menyentuh. Matanya bergetar, seperti menahan sesuatu yang ingin diluapkan.
"Kau tahu... aku bisa menghancurkanmu sekarang juga. Tapi kenapa malah aku yang takut melihat matamu?"
Air mata Alma menetes. "Tuan... mohon, jangan seperti ini..."
Beberapa detik hening. Hanya suara hujan dan degup jantung mereka yang memenuhi ruang sempit itu.
Darsa mundur perlahan. Ia menunduk, lalu menutup matanya.
"Maaf... aku sudah terlalu lama hidup sendiri."
Ia pun berbalik, meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata lagi.
Alma menjatuhkan diri di lantai. Napasnya tercekat. Lututnya gemetar. Tapi di balik rasa takut itu, ada rasa lain yang merayap... iba, dan perasaan aneh yang tak ingin ia namai.
Mungkin rindu.
Ia menangis, berusaha menghalau rasa tak pantas yang timbul di hatinya.BRAK!
“Tu-tuan?”
“Kenapa menangis?”
“Tuan, saya pikir tuan sudah pergi.”
Juragan Darsa kembali dalam hening dan mendengar isakan tertahan Alma.
“Kita sama, Alma. Kita sama merindu. Kali ini jangan menolak!”
“Tuan, jangan. Saya mohon.”
“Saya tak bisa melihatmu menangis begini Alma. Ini rasa yang sama. Rasa ingin memilikimu. Pun kau sama denganku.”
Juragan Darsa sudah mendekat, mengurung Alma di antara dinding kamar dan pergelangan kekarnya. Napasnya memburu, mengejar Alma seperti buruan yang harus ia dapatkan malam ini. sentuhan alcohol juga mengambil bagiannya pada buncahan hasrat lelaki ini.
Bahkan gelas susu yang Alma bawa tadi, tak disentuhnya sama sekali. Ia ingin susu yang lain.
“Tuan, jangan.”
Sungguh Alma semakin takut.
Namun sentuhan jemari berbuku besar itu, sebentar saja sudah menyingkap daster hijau itu.
“Tuan, jangan. Saya mohon.”
“Jadilah istriku malam ini, Alma.”
“Jangan, Tuan.”
Namun, …
“Aku menginginkanmu, Alma …”
“Tidaaaak. Sakittt, Tuan…”
*****Gemuruh hujan diluar sana seolah bekerja sama meredam suara kesakitan dan juga kemarahan Alma.“Sakit, Tuan. Kumohon hentikan!”Jemari Alma bahkan menarik-narik rambut cepak lelaki tinggi besar ini, namun juragan Darsa kadung birahi. Sentuhan alkohol dalam darahnya membuatnya tak mampu membendung libido birahinya yang terlanjur terbakar.“Enak, Alma.”Lelaki ini merasakan nikmat luar biasa. Ia tahu saja Alma seorang janda, namun gerakannya di bawah sana sempat kesulitan sebelum batang besarnya benar-benar tenggelam dalam palung basah milik Alma.Juragan Darsa terus bergerak. Gerakan pinggulnya yang cukup brutal menggambarkan bagaimana Alma tak mampu melawan kungkungan dahsyat lelaki ini.Dingin yang membias dari ventilasi jendela kamar itu, seolah tak mampu meredam panasnya gairah terlarang yang juragan Darsa berikan pada Alma.Sakit dan perih itu memang ada, tapi nikmat seks itu juga perlahan Alma rasakan. Ini sungguh jauh berbeda dengan pernikahan pertamanya bersama Dirman. Hampir s
Hujan mengguyur deras malam itu. Angin menampar jendela-jendela tua rumah besar milik Juragan Darsa. Suara gemuruhnya menelan malam dalam kebisuan mencekam. Di balik bilik dapur yang remang, Alma masih membereskan piring kotor. Tubuhnya yang ramping dibalut daster panjang sederhana, rambutnya dijepit rapi, menyisakan poni yang sedikit melengkung di keningnya. Wajahnya ayu, teduh—terlampau ayu untuk seorang janda muda yang bekerja sebagai pembantu. Meski lelah jelas tergambar di wajahnya. Namun ayunya juga terukir tegas.Langit mulai menggantungkan mendungnya sejak siang. Awan kelabu berkumpul, menciptakan nuansa murung yang menggantung di seluruh penjuru rumah Darsa Wijaya.Alma berdiri di dapur, menatap jendela yang mulai dihiasi tetes air hujan. Di luar sana, pohon-pohon bergoyang pelan diterpa angin. Aroma tanah basah menyusup masuk lewat celah-celah kusen kayu.Tangannya sibuk mencuci beras, tapi pikirannya entah ke mana. Masih terngiang kejadian malam tadi. Sentuhan yang tidak se
Tiga bulan berlalu. Alma hidup tanpa suami, tanpa pekerjaan tetap. Tanpa arah. Sementara bu Afifah-ibunya Alma juga semakin menua. Hasil kebun yang tak seberapa tentulah tak mencukupi kebutuhan mereka. Mungkin bisa saja hidup dari hasil kebun mereka, tapi yang kelolah adalah paman Bahri yang tentu saja hasilnya harus dibagi dengan beliau.Pekerjaan apa yang bisa didapatkan dirinya yang hanya tamatan SMA. Mungkin bisa jadi kasir di perbatasan kota, tapi Alma tak punya kendaraan untuk bolak balik. Kalau harus menyewa kost, sisa gajinya mungkin hanya bertahan dua minggu.Lalu dengan bantuan seorang tetangganya yang baik hati, Alma menerima tawaran pekerjaan sebagai pembantu di rumah milik seorang juragan tembakau.“Juragan Darsa membutuhkan pengasuh untuk putrinya dan tukang setrika untuk menggantikan saya.”“Kenapa mbak Mirna berhenti?”“Mas Rahmat ingin merantau ke Kalimantan, Al. memang juragan tak pelit memberi gaji. Tapi, mas Rahmat juga kehidupan kami berubah.”Lalu dengan setengah
Prolog.**Hujan jatuh seperti doa yang tak pernah sampai. Di luar jendela, langit berwarna kelabu, seakan ikut merasakan kesedihan yang membuncah dalam dada Alma. Ia berdiri mematung di depan meja makan, tangannya menggenggam ujung celemek yang masih melekat di tubuhnya. Aroma gulai ayam yang baru saja ia masak masih menggantung di udara, tapi kini semuanya terasa hambar.Di hadapannya, seorang pria berdiri dengan wajah datar. Mata tajamnya menatap Alma tanpa sedikit pun ragu. Di balik tubuh pria itu, seorang wanita berperut buncit berdiri dengan dagu terangkat tinggi. Wajahnya cantik, senyumannya penuh kemenangan. Sarah.Lingga Laksono menghela napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang meremukkan seluruh dunia Alma."Aku menceraikanmu, Alma." Suaranya dingin, tak bergetar sedikit pun.Seakan waktu berhenti, suara hujan yang jatuh di genting menjadi latar bagi hati yang luruh dalam kepedihan. Alma menggigit bibirnya, menahan gemetar di dadanya. Matanya menatap suaminya,