Share

Bab. 2

last update Dernière mise à jour: 2025-07-16 16:13:46

Hujan mengguyur deras malam itu. Angin menampar jendela-jendela tua rumah besar milik Juragan Darsa. Suara gemuruhnya menelan malam dalam kebisuan mencekam. Di balik bilik dapur yang remang, Alma masih membereskan piring kotor. Tubuhnya yang ramping dibalut daster panjang sederhana, rambutnya dijepit rapi, menyisakan poni yang sedikit melengkung di keningnya. Wajahnya ayu, teduh—terlampau ayu untuk seorang janda muda yang bekerja sebagai pembantu. Meski lelah jelas tergambar di wajahnya. Namun ayunya juga terukir tegas.

Langit mulai menggantungkan mendungnya sejak siang. Awan kelabu berkumpul, menciptakan nuansa murung yang menggantung di seluruh penjuru rumah Darsa Wijaya.

Alma berdiri di dapur, menatap jendela yang mulai dihiasi tetes air hujan. Di luar sana, pohon-pohon bergoyang pelan diterpa angin. Aroma tanah basah menyusup masuk lewat celah-celah kusen kayu.

Tangannya sibuk mencuci beras, tapi pikirannya entah ke mana. Masih terngiang kejadian malam tadi. Sentuhan yang tidak sengaja. Tatapan mata juragan tua itu yang membuat napasnya sesak.

"Kenapa hatiku jadi seperti ini?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Dia majikanku... bukan siapa-siapaku."

Hujan turun makin deras. Dan dari kejauhan, suara langkah sepatu terdengar masuk dari depan rumah.

“Tuan Darsa?” panggil Alma sambil buru-buru mengeringkan tangannya.

Ternyata benar. Lelaki itu masuk dengan jas hujan basah kuyup dan setangkai bunga liar di tangannya. Bunga kecil warna ungu muda yang terlihat kontras dengan sosok maskulinnya.

“Maaf,” katanya pelan, menyerahkan bunga itu, membuat Alma membeku. “Aku lihat ini di jalan. Entah kenapa, aku ingin memberikannya padamu.”

Alma menatapnya, antara bingung dan nyaris tak percaya.

“Untuk… saya?”

Darsa mengangguk, sedikit kikuk. “Bunga liar… mungkin tak indah. Tapi dia tumbuh di tempat yang sulit, seperti kamu.” Lelaki ini merayu dengan caranya sendiri.

Alma menggigit bibirnya. Hatinya menghangat oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia menerima bunga itu dengan tangan gemetar.

“Terima kasih, Tuan…” takut-takut Alma menerima rangkaian bunga yang begitu cantik dimatanya. Ini pertama kalinya ia diberi kejutan. Ya, ini kejutan bagi Alma. Kejutan yang sangat mengejutkan. Bahkan dalam angannya pun tak pernah terbayang bila akan diberi Bunga oleh lelaki yang berstatus sebagai juragan rumah tempatnya bekerja.

Juragan Darsa menatapnya dalam, lalu berbalik.

Namun sebelum ia benar-benar pergi, ia berkata tanpa menoleh:

“Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Tuan’ bila kita hanya berdua. Itu membuatku terasa terlalu jauh darimu…”

Deg.

Langkahnya menghilang di balik koridor rumah. Sementara Alma masih berdiri mematung, memeluk bunga itu seolah sedang memeluk sesuatu yang lebih rapuh dari cinta—harapan.

Kalimat juragan Darsa barusan, seperti membawa Alma pada kendang singa setelah keluar dari lubang buaya.

*

Pagi harinya, mbok Karti menyodorkan sepiring nasi goreng pada Alma.

"Kamu hati-hati. Juragan itu... kadang kalau malam suka keluar bawa botol. Pulangnya bisa tak sadar diri."

"Apa dia sering begitu?" tanya Alma, menahan rasa ingin tahu.

"Sejak istrinya pergi, dia berubah. Tapi jangan tanya lebih jauh. Di rumah ini, diam itu emas."

Alma mengangguk. Tapi dalam hatinya, rasa penasaran mulai tumbuh. Siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa wajahnya selalu tampak luka meski tak ada goresan?

Di luar sana, hujan masih turun. Dan di dalam hati Alma, badai baru saja dimulai.

                *

Hujan belum berhenti. Derasnya seperti menolak segala kehangatan yang mungkin singgah di rumah tua itu. Dinding hijau pudar makin tampak suram, seperti menyimpan cerita yang belum selesai. Bau tembakau dan kayu tua menyesakkan dada. Suasana rumah Juragan Darsa begitu hening, bahkan suara tetesan air dari ujung genting terdengar nyaring memecah malam.

Di dapur belakang, Alma tengah mencuci gelas dengan tangan gemetar. Uap panas dari air rebusan teh melesat ke wajahnya yang mulai pucat. Suara langkah kaki terdengar mendekat, berat dan lambat. Itu suara yang sudah dikenalnya. Suara lelaki itu.

"Masih belum tidur?" suara berat juragan Darsa terdengar dari balik pilar dapur yang kokoh,seolah mengurung keduanya.

Alma menoleh cepat. "Saya baru saja selesai, Tuan. Mau membuatkan teh untuk Asha, dia ingin minum teh susu sebelum tidur."

“Apa dia belum tidur?” tanyanya sambil berjalan pelan ke arah meja makan. Tempat Dimana Alma menata cangkir teh dan sepiring kue bolu.

“Belum, Tuan”, jawab Alma. Jemarinya sibuk menata gelas, mencoba tidak panik.

"Bikin satu teh lagi. Untukku," perintah Darsa. Matanya menatap tajam, tapi nadanya terdengar lebih dalam. Lebih pelan. Lebih...

“Baik, Tuan.”

“Bawakan ke kamarku setelah kau tidurkan Asha.”

Dengan gugup Alma menuangkan air panas, menambahkan daun teh dan gula secukupnya.

"Maaf, Tuan?"

"Antarkan ke kamar saya setelah kau tidurkan putriku!”

“Ba-baik, Tuan.” Kali ini rasanya Alma tak punya alasan  untuk menolak. Namun, debaran khawatir itu seolah mengguncang dadanya. Rasanya ini seprti keluar dari lubang buaya tapi masuk dalam kandang singa.

Oh, apakah hidup tak berpihak padanya.

Alma menelan ludah, kasar dan tawar. Ia berusaha tenangkan hatinya yang bergumuruh khawatir. Ini hujan dan juragan Darsa meminta di antarkan susu panas ke kamarnya. Hanya susu, tak pakai teh.

Kemudian, waktu terasa bergulir begitu cepat. Asha pun sudah terlelap seolah mendukung semesta mempertemukan ayahnya dan Alma dalam kamar utama di rumah ini.

“Kok, tidur cepat toh, Nduk.” Sedikit mengomel, tapi Alma tetap menyelimuti anak manis ini. Asha bahkan terlalu manis untuk dimarahi karna permintaan ayahnya yang minta di antarkan susu ke kamarnya.

Jarum jam berdetak cepat seolah mengejar Alma untuk segera membawa gelas susu itu kedalam kamar besar di lantai bawah. Sementara petir seolah memberi peringatan padanya, bila posisinya tak akan aman malam ini.

Kemudian dengan berat hati, Alma melangkah dengan nampan susu dan sepiring kue bolu di tangannya.

Tok! Tok!

“Masuk!”

Suara berat juragan Darsa seolah perintah yang tak bisa ditawar maunya. Alma berusaha menepikan debaran takutnya. Ini hanya mengantarkan minum untuk sang tuan saja. Tentu tak akan macam-macam seperti tempo hari.

“Permisi tuan. Ini susunya.”

“Letak disitu!”

Kemudian Alma meletakkan susu dan kue bolu itu di meja yang terletak di sudut dekat pintu. Lalu bergegas ingin keluar kamar. Rasanya tak tahan ia berlama-lama di dalam kamar tuan besar ini. Namun saat kakinya baru akan melangkah keluar, tiba-tiba saja tangan besar juragan Darsa mencekal pergelangannya.

“Tu-tuan ada apa?”

“Duduklah dulu. saya butuh teman bicara, Alma. Temani saya sebentar.”

“Apa yang ingin dibicarakan, Tuan?”

Akhirnya Alma berusaha akur. Meski debaran di dadanya juga menggila

"Kau sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba.

Alma terkejut. "Sudah. Tapi... sudah berakhir."

"Dicerai?"

"Iya, Tuan. Karena saya tak bisa memberinya keturunan. Atau... mungkin karena saya terlalu setia."

Darsa tertawa kecil. "Setia itu barang langka. Tapi tak laku di dunia kita sekarang."

Alma tak membalas. Matanya memandangi tangan majikannya yang tengah menggenggam gelas susu. Ada goresan luka lama di wajah lelaki itu. Luka sepi. Sama seperti Alma.

    luka yang menbawa keduanya pada kesepian yang mendalam.

   

"Saya tak bisa tidur kalau hujan," gumam Darsa pelan. "Terlalu banyak suara dalam kepala."

"Setelah minum susu tidurlah, Tuan."

   

Juragan Darsa menatapnya dalam. Lalu perlahan, pria itu berjalan mendekat. Langkahnya berat, tapi pasti. Sampai akhirnya ia berdiri di dekat Alma.

   

"Kau takut padaku, Alma?"

Alma diam. Lalu mengangguk pelan. "Sedikit."

   

"Kenapa?"

   

"Karena... tatapan anda seperti api yang diam. Tapi bisa membakar siapa saja yang mendekat."

   

Juragan Darsa tersenyum. Senyum yang tak bisa dibaca. Lalu tangannya, dengan perlahan, menyentuh helai rambut Alma yang jatuh di pipi.

.

   

Alma tersentak. "Tuan..."

   

"Tenang saja. Aku hanya ingin tahu... kenapa kau bisa membuatku lupa rasa pahit malam ini."

   

"Saya hanya pembantu, Tuan. Tolong ja ..."

   

"Bukan. Kau lebih dari itu. Dari semua wanita yang pernah singgah di rumah ini... hanya kau yang bisa membuat rasa dingin di rungan ini menghilang."

   

Alma berdiri mematung. Jantungnya berdegup tak karuan. "Saya harus kembali ke kamar Asha, Tuan. Dia mungkin butuh saya kalau terbangun."

   

"Alma."

   

Langkah Alma terhenti.

   

"Kau tahu kenapa aku menyuruhmu duduk malam ini?"

   

"Saya tak tahu, Tuan."

Darsa menatapnya dalam.

     "Karena aku ingin tahu... apakah wanita sepertimu, yang hatinya penuh luka... bisa mencintai lelaki sepertiku yang jiwanya busuk."

Alma menahan napas. "Saya... maaf tuan, ini sudah larut.”

Alma pun  pergi, meninggalkan majikannya yang berdiri di antara cahaya remang dan aroma susu yang mendingin.

Di luar, hujan belum reda. Tapi ada badai lain yang pelan-pelan mulai tumbuh di dalam hati masing-masing. Badai yang bisa saja menghapus luka lama kedinya, atau bahkan lebih menghancurkan lagi dari rasa sakit yang pertama.

“Selamat ya Allah.”

Alma mengelus pergelangannya yang tadi sempat dicekal oleh juragan Darsa. Rasanya telapak berbuku besar itu masih mencengkramnya di ujung sana.

Bahkan sentuhan kulit lelaki berhidung bangir itu seolah membuat bulu kuduk Alma meremang. Ada takut dan debaran aneh yang menyatu.

Lantunan hujan masih jatuh di atas genting tua, berkejaran seperti langkah-langkah kecil kenangan. Rumah itu makin sepi. Lampu di ruang tengah remang, hanya sesekali berkedip seperti ikut gelisah.

Alma terduduk di tepian ranjang kecil itu. Badai pernikahannya yang kemarin belumlah sepenuhnya usai, kini datang lagi badai yang mengganggu hatinya.

Meski tak dipungkirinya, sesekali rasa ingin dimiliki juga mengintip nuraninya. Namun, Rasa takut juga mengambil perananya.

Lantunan hujan masih jatuh di atas genting tua, berkejaran seperti langkah-langkah kecil yang membawa kenangan masa silam. Rumah itu makin sepi. Lampu di ruang tengah remang, hanya sesekali berkedip seperti ikut gelisah. Seperti ikut merasakan kegelisahan sang empunya yang tak bisa tidur dan tak bisa mengenyahkan bayangan Alma tadi.

Asha sudah terlelap di kamar, memeluk boneka beruang lusuhnya. Sementara  di ruang sebelah, Alma duduk di tepi ranjang sempit yang menghadap jendela. Ia masih mengenakan daster polos warna hijau tua miliknya yang hampir pudar warnanya.

Tiba-tiba... suara langkah. Berat. Tidak beraturan datang mendekat ke arah pintu kamar itu.

Bodohnya, saking gugupnya Alma bahkan lupa untuk mengunci pintu berpelitur warna coklat itu.

Pintu terdorong dari luar dan itu membuat Alma terjengkit dari pembaringan sederhana itu.

"Tuan Darsa...?" suara Alma tercekat.

Juragan Darsa berdiri di ambang pintu. Kemejanya terbuka sebagian, persis seprti tadi saat Alma membawakan gelas susu ke kamarnya.

"Alma... kau belum tidur?"

Alma bangkit dengan cepat. "Maaf, Tuan. Saya... saya baru saja mau tidur."

"Kenapa harus minta maaf? Rumah ini juga rumahmu... kan?"

Alma melangkah mundur. "Tuan, mungkin sebaiknya Tuan istirahat. Tuan terlihat lelah."

"Aku memang lelah... dengan semua ini. Tapi tidak denganmu," ucap juragan Darsa, suaranya lirih namun tajam. Seolah ingin menjadikan Alma sebagai mangsanya malam ini.

Langkah Darsa maju. Mata Alma melebar. "Tuan, tolong jangan seperti ini."

"Saya tidak bisa berhenti memikirkanmu, Alma. Saya jujur kau masuk ke hidupku... dan membuat semuanya jadi berantakan."

"Saya tidak berniat merusak apa pun... Saya hanya bekerja di sini," ucap Alma sambil mundur hingga punggungnya menyentuh lemari kayu tua.

Darsa mengangkat tangannya, tapi tidak menyentuh. Matanya bergetar, seperti menahan sesuatu yang ingin diluapkan.

"Kau tahu... aku bisa menghancurkanmu sekarang juga. Tapi kenapa malah aku yang takut melihat matamu?"

Air mata Alma menetes. "Tuan... mohon, jangan seperti ini..."

Beberapa detik hening. Hanya suara hujan dan degup jantung mereka yang memenuhi ruang sempit itu.

Darsa mundur perlahan. Ia menunduk, lalu menutup matanya.

"Maaf... aku sudah terlalu lama hidup sendiri."

Ia pun berbalik, meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata lagi.

Alma menjatuhkan diri di lantai. Napasnya tercekat. Lututnya gemetar. Tapi di balik rasa takut itu, ada rasa lain yang merayap... iba, dan perasaan aneh yang tak ingin ia namai.

Mungkin rindu.

Ia menangis, berusaha menghalau rasa tak pantas yang timbul di hatinya.

BRAK!

“Tu-tuan?”

“Kenapa menangis?”

“Tuan, saya pikir tuan sudah pergi.”

Juragan Darsa kembali dalam hening dan mendengar isakan tertahan Alma.

“Kita sama, Alma. Kita sama merindu. Kali ini jangan menolak!”

“Tuan, jangan. Saya mohon.”

“Saya tak bisa melihatmu menangis begini Alma. Ini rasa yang sama. Rasa ingin memilikimu. Pun kau sama denganku.”

Juragan Darsa sudah mendekat, mengurung Alma di antara dinding kamar dan pergelangan kekarnya. Napasnya memburu, mengejar Alma seperti buruan yang harus ia dapatkan malam ini. sentuhan alcohol juga mengambil bagiannya pada buncahan hasrat lelaki ini.

Bahkan gelas susu yang Alma bawa tadi, tak disentuhnya sama sekali. Ia ingin susu yang lain.

“Tuan, jangan.”

Sungguh Alma semakin takut.

Namun sentuhan jemari berbuku besar itu, sebentar saja sudah menyingkap daster hijau itu.

“Tuan, jangan. Saya mohon.”

“Jadilah istriku malam ini, Alma.”

“Jangan, Tuan.”

Namun, …

“Aku menginginkanmu, Alma …”

“Tidaaaak. Sakittt, Tuan…”

*****

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab. 20

    “Nggak tahu,” jawabnya pelan. “Mas juga belum tanya,” lanjutnya sambil mengajak Alma duduk di ruang tamu.Tentu saja juragan Darsa berbohong. Ia tahu dan kenal betul calon istri Rahadi.Lelaki ini pernah brutal di masa lalu. Dan Renata menjadi salah satu perempuan yang menjadi korban brutal lelaki ini. Mereka bukan hanya pernah bercinta, tapi juga juragan Darsa pernah melakukan kekerasan pada Renata.Kalau diingat-ingat, lelaki ini juga merasa bersalah.Alma mengangguk, percaya. Ia memeluk lengan suaminya dengan manja sebelum beranjak masuk ke dapur menyusul ibunya dan Asha disana. Tapi dada Juragan Darsa terasa sesak.Tentu saja ia tahu.Ia tahu terlalu baik.Renata—perempuan yang dulu pernah jadi pelampiasan kebrutalannya, perempuan yang bertahun-tahun ia kira sudah hilang dari hidupnya, perempuan yang diam-diam ia anggap sebagai luka yang seharusnya tak pernah kembali.Dan kini… Rahadi, akan menikahinya. Rasanya jodoh ini memang lucu. Seperti dia dan Alma. Bagaimana ia bisa jatuh

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab. 19

    "Ngaco!"Rahadi menggertak geram. Ia ingat perempuan pucat ini adalah Sarah. Salah satu spg yang pernah menemani malam-malamnya. Mungkin ada dua atau tiga kali mereka menghabiskan waktu di kamar hotel, lalu setelahnya Rahadi mendengar kabar bila wanita ini sudah menikah. "Aku hamil dan menikah dengan orang lain. Itu anak kamu, Mas!"Rahadi membawa Sarah ke ujung luar minimarket itu, sebab ia tak ingin menjadi perhatian pengunjung yang lainnya. "Sarah, saya ingat kita pernah menghabiskan malam dua atau tiga kali.. Tapi jangan lupa, laki-laki yang mengenalkanmu padaku juga pernah menidurimu berkali-kali.. Jadi, bisa saja anak yang kau kandung itu adalah anak si brengsek itu!""Tapi, Mas, ... ""Sekali lagi kau berani mengatakan kalau saya punya anak denganmu, saya tidak segan-segan melaporkanmu ke polisi!"Rahadi benar-benar tak memberi kesempatan pada Sarah untuk merecoki hidupnya. Melihat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat malah membuat lelaki ini berfikir yang tidak-tidak.

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab. 18

    ---Renata bersemu malu saat mengingat betapa liarnya ia semalam di atas sofa ini. Bahkan Rahadi sengaja tak pulang, lelaki itu menginap dan mengulang lagi rindu birahi mereka hingga dua kali. Sepagi tadi bahkan keduanya mengulang sekali lagi di atas pembaringan Renata sebelum lelaki itu pamit untuk ke kantor dulu. Renata tersenyum lagi, perasaannya pada juragan Darsa sepertinya memang sudah habis, terkikis dengan hadirnya Rahadi. "Istirahatlah, sore baru mas datang lagi."Begitu ucapan pamit Rahadi tadi sebelum jalan. Kecupan dalam di keningnya yang lelaki itu berikan membuat Renata merasa nyaman. Rasanya ini seperti hidup yang baru setelah kesepian dan lara hati melanda hidupnya. Lalu gerimis halus di luar sana membuat Renata benar-benar memejam mata. Lelah melanda raganya, setelah pertempuran yang membuatnya menjerit bahagia. Senyum tipis bahkan terukir di bibir tak bergincunya hingga netranya memejam. ***Hujan mulai menepi dari musim ini, orang-orang mulai keluar mencari

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab, 17

    Tidak menunggu waktu lama, setelah gegas membersihkan diri dan berpakaian lagi, juragan Darsa langsung memanggil mbok Karti agar membantu mengurus Alma yang tadi sempat pingsan. “Kita ke rumah sakit, Sayang.” Sedikit panik lelaki ini, saat istrinya pingsan tadi setelah baru saja ia mencapai puncak gairahnya. Alma sudah siuman, maka rumah sakit daerah di pinggir kota menjadi tempat yang dituju juragan Darsa, dalam perjalanannya tadi, lelaki ini sempat menghubung mertuanya, bila istrinya pingsan. Rasa khawatir jelas tergambar di wajah tegas itu. mungkin ia terlalu brutal. Rasanya setelah menikah hampir tiap malam kebutuhan libidonya ia tuntut. Perawat di UGD tampak sigap menangani Alma, belum apa-apa, juragan Darsa bahkan minta rujukan ke rumah sakit yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Seorang dokter berhijab dan berkacatama masuk memeriksa kondisi Alma yang tampak lemah. Setelah diperiksa, dokter itu tersenyum kecil. “Bu Alma… selamat ya. Ibu hamil. Istrinya

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab. 16

    Sebelumnya ... ***Sarah begitu percaya diri menemui tamunya kali ini. Ada rasa berdebar yang tak biasa dalam dada. Namun ia yakin tamu terakhirnya malam ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya untuk makan dan membeli kebutuhan bayinya. Hatinya miris, diguris sedih. Sebulan ini, ibunya benar-benar tak mencarinya, meski hanya bertanya kabarnya. Pun dengan Lingga.Cinta membara yang pernah hadir di antara mereka, seolah pupus terbakar amarah. Sarah mengakui dirinya salah, tapi kali ini ia benar-benar kecewa juga dendam. Pada Lingga, juga pada ibunya sendiri. Alam selalu adil, meski pada sang pendosa. Bagaimana semesta mengirimkan mbok Pik untuk membantunya menjaga bayinya. Sarah menarik napas panjang, sebelum turun dari taksi online dan menuju motel sederhana menemui tamu terakhirnya malam ini. Gincu merah sudah ia poleskan. Senyum palsu pun siap ia tebarkan. Disinilah dia di kamar yang cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup untuk mengurai kegugupannya malam ini. Kam

  • JERAT CINTA JURAGAN TUA   Bab. 15

    Riuh celoteh antara Asha dan Alma di depan Tv itu. gerimis halus di luar belum juga enggan beranjak di punghujung bulan ini.Tadi sore mereka tiba dengan banyak oleh-oleh untuk Asha dan untuk ibunya Alma. Setibanya di rumah sesore tadi, Alma menjadi milik putri kecil mereka.“Asha kangen sama bunda,”“Bunda juga kangen, Nak.”Alma tadi menyempatkan diri menelpon ibunya, bila esok pagi baru bisa berkunjung membawakan ole-oleh.Tentu saja bu Darmi tak keberatan, sebab beliau mengerti anaknya harus mendahulukan suami dan keluarganya sekarang.Suara lucu itu mengukir haru di hati Alma. Gegas dipeluknya sang putri lalu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.Alma tak pernah membalas rasa sakit yang dulu ia dapatkan dari mantan suaminya. Ia pergi dalam ketabahannya.Lalu ia pun tabah menerima perlakuan juragan Darsa padanya, sebelum lelaki itu memberikan balasan manis untuknya.Kebahagiaan yang dulu Alma impikan, kini hadir dalam celotehan putri sambungn

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status