Masuk
Prolog.
**
Hujan jatuh seperti doa yang tak pernah sampai. Di luar jendela, langit berwarna kelabu, seakan ikut merasakan kesedihan yang membuncah dalam dada Alma. Ia berdiri mematung di depan meja makan, tangannya menggenggam ujung celemek yang masih melekat di tubuhnya. Aroma gulai ayam yang baru saja ia masak masih menggantung di udara, tapi kini semuanya terasa hambar.
Di hadapannya, seorang pria berdiri dengan wajah datar. Mata tajamnya menatap Alma tanpa sedikit pun ragu. Di balik tubuh pria itu, seorang wanita berperut buncit berdiri dengan dagu terangkat tinggi. Wajahnya cantik, senyumannya penuh kemenangan. Sarah.
Lingga Laksono menghela napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang meremukkan seluruh dunia Alma.
"Aku menceraikanmu, Alma." Suaranya dingin, tak bergetar sedikit pun.
Seakan waktu berhenti, suara hujan yang jatuh di genting menjadi latar bagi hati yang luruh dalam kepedihan. Alma menggigit bibirnya, menahan gemetar di dadanya. Matanya menatap suaminya, mencari jawaban dalam sorot mata pria yang pernah ia cintai sepenuh jiwa.
"Kenapa?" Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam isak yang tertahan. Bahkan sendok yang sup yang dipegangnya, jatuh bergerincing di atas lantai.
Lingga menghembuskan napas kasar, matanya sedikit berkilat, tapi bibirnya tetap membentuk garis tegas. "Aku butuh keturunan, Alma. Aku ingin menjadi seorang ayah, dan kau… kau tidak bisa memberikannya padaku."
Alma tersentak. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada tamparan tangan yang pernah ia bayangkan. Hatinya seakan diremas-remas tanpa ampun.
"Dua tahun ini… kamu menunggu hanya untuk mengatakan ini padaku?" suara Alma bergetar, matanya mulai berkabut.
Sarah yang sejak tadi diam akhirnya melangkah mendekat, tangannya membelai perut buncitnya dengan angkuh. "Kami tidak ingin menyakitimu, Alma. Tapi aku mengandung anak Lingga. Ini adalah takdir. Aku bisa memberikan apa yang tidak bisa kau berikan padanya. Bukankah lebih baik kau merelakan?"
Alma merasakan dadanya sesak. Air mata yang selama ini ia tahan mengalir perlahan di pipinya. Sejak kapan? Sejak kapan suaminya mulai berpaling? Sejak kapan ia menjadi orang asing di rumahnya sendiri?
"Jadi… selama ini kamu mengkhianatiku?" suara Alma hampir seperti bisikan. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Lingga tidak menjawab, hanya membuang muka ke arah lain. Dan itu lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun yang bisa ia berikan.
"Dua tahun, Mas Lingga… Dua tahun aku mencintaimu tanpa syarat. Aku menunggu keajaiban yang mungkin tak akan pernah datang. Aku berdoa setiap malam agar kau tetap di sisiku, agar kita bisa tetap bersama meski tanpa seorang anak. Tapi rupanya… kau memilih jalan lain." Alma tertawa kecil, getir. "Kamu memilihnya."
Lingga akhirnya menatapnya. Ada sedikit bayangan ragu di matanya, tapi detik berikutnya, Sarah meraih tangannya, menggenggamnya erat. Kemudian ragu itu sirna.
"Alma, aku tidak ingin menyakitimu lebih lama lagi. Aku hanya ingin bahagia. Aku ingin menjadi ayah. Kumohon, pergilah dengan tenang. Aku akan memberimu kompensasi, rumah, dan uang…"
PLAK!
Tamparan itu datang begitu cepat, begitu keras, membuat Lingga terdiam. Pipinya memerah, dan matanya melebar karena terkejut. Sarah tersentak, mundur beberapa langkah.
"Kamu pikir aku ini apa, Mas?" suara Alma rendah, tapi tajam. "Aku mencintaimu dengan segenap hati, tapi kau menginjak-injak kesetiaanku seperti ini. Kamu menghancurkan pernikahan kita hanya demi wanita ini? Hanya demi alasan yang begitu dangkal?"
Tatapan Alma tajam menembus kepengohan selingkuhan suaminya. Wanita itu terlihat gentar sebentar.
Sarah mendengus, melipat tangan di depan dada. "Kau tidak bisa memberinya keturunan, Alma. Itu bukan kesalahan Lingga."
Alma menoleh padanya, mata penuh luka dan amarah. "Dan kau memilih untuk merebut suami orang demi itu?"
Sarah tersenyum miring. "Bukan salahku jika Lingga mencintaiku lebih dari dia mencintaimu."
Alma menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski hatinya hancur berantakan. Ia menatap Lingga untuk terakhir kalinya. Pria yang dulu ia kenal telah berubah menjadi seseorang yang tak lagi memiliki hati.
"Baiklah," kata Alma akhirnya, suaranya terdengar rapuh. "Jika ini yang mas inginkan, aku akan pergi."
Sarah tersenyum puas, sementara Lingga tampak sedikit tegang. Alma menoleh ke sekeliling rumah yang selama ini ia rawat dengan cinta, rumah yang menjadi saksi bisu dari impiannya yang kini telah hancur.
Tanpa kata lagi, Alma berbalik, melangkah keluar dari rumah itu. Hujan deras menyambutnya, membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan setiap tetes air mencuci luka yang baru saja digoreskan begitu dalam.
Diusapnya perut yang tak pernah terisi benih yang diinginkan oleh suaminya
Langit menangis bersamanya. Hatinya porak-poranda, tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan ini.
Alma berjalan, menapaki hidupnya. Walau terombanga ambing saat itu, namun pada akhirnya hidup wanita ini berwajah teduh ini bermuara di sebuah rumah berlantai dua, milik seorang juragan tembakau berumur hampir setengah abad.
***
“Nggak tahu,” jawabnya pelan. “Mas juga belum tanya,” lanjutnya sambil mengajak Alma duduk di ruang tamu.Tentu saja juragan Darsa berbohong. Ia tahu dan kenal betul calon istri Rahadi.Lelaki ini pernah brutal di masa lalu. Dan Renata menjadi salah satu perempuan yang menjadi korban brutal lelaki ini. Mereka bukan hanya pernah bercinta, tapi juga juragan Darsa pernah melakukan kekerasan pada Renata.Kalau diingat-ingat, lelaki ini juga merasa bersalah.Alma mengangguk, percaya. Ia memeluk lengan suaminya dengan manja sebelum beranjak masuk ke dapur menyusul ibunya dan Asha disana. Tapi dada Juragan Darsa terasa sesak.Tentu saja ia tahu.Ia tahu terlalu baik.Renata—perempuan yang dulu pernah jadi pelampiasan kebrutalannya, perempuan yang bertahun-tahun ia kira sudah hilang dari hidupnya, perempuan yang diam-diam ia anggap sebagai luka yang seharusnya tak pernah kembali.Dan kini… Rahadi, akan menikahinya. Rasanya jodoh ini memang lucu. Seperti dia dan Alma. Bagaimana ia bisa jatuh
"Ngaco!"Rahadi menggertak geram. Ia ingat perempuan pucat ini adalah Sarah. Salah satu spg yang pernah menemani malam-malamnya. Mungkin ada dua atau tiga kali mereka menghabiskan waktu di kamar hotel, lalu setelahnya Rahadi mendengar kabar bila wanita ini sudah menikah. "Aku hamil dan menikah dengan orang lain. Itu anak kamu, Mas!"Rahadi membawa Sarah ke ujung luar minimarket itu, sebab ia tak ingin menjadi perhatian pengunjung yang lainnya. "Sarah, saya ingat kita pernah menghabiskan malam dua atau tiga kali.. Tapi jangan lupa, laki-laki yang mengenalkanmu padaku juga pernah menidurimu berkali-kali.. Jadi, bisa saja anak yang kau kandung itu adalah anak si brengsek itu!""Tapi, Mas, ... ""Sekali lagi kau berani mengatakan kalau saya punya anak denganmu, saya tidak segan-segan melaporkanmu ke polisi!"Rahadi benar-benar tak memberi kesempatan pada Sarah untuk merecoki hidupnya. Melihat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat malah membuat lelaki ini berfikir yang tidak-tidak.
---Renata bersemu malu saat mengingat betapa liarnya ia semalam di atas sofa ini. Bahkan Rahadi sengaja tak pulang, lelaki itu menginap dan mengulang lagi rindu birahi mereka hingga dua kali. Sepagi tadi bahkan keduanya mengulang sekali lagi di atas pembaringan Renata sebelum lelaki itu pamit untuk ke kantor dulu. Renata tersenyum lagi, perasaannya pada juragan Darsa sepertinya memang sudah habis, terkikis dengan hadirnya Rahadi. "Istirahatlah, sore baru mas datang lagi."Begitu ucapan pamit Rahadi tadi sebelum jalan. Kecupan dalam di keningnya yang lelaki itu berikan membuat Renata merasa nyaman. Rasanya ini seperti hidup yang baru setelah kesepian dan lara hati melanda hidupnya. Lalu gerimis halus di luar sana membuat Renata benar-benar memejam mata. Lelah melanda raganya, setelah pertempuran yang membuatnya menjerit bahagia. Senyum tipis bahkan terukir di bibir tak bergincunya hingga netranya memejam. ***Hujan mulai menepi dari musim ini, orang-orang mulai keluar mencari
Tidak menunggu waktu lama, setelah gegas membersihkan diri dan berpakaian lagi, juragan Darsa langsung memanggil mbok Karti agar membantu mengurus Alma yang tadi sempat pingsan. “Kita ke rumah sakit, Sayang.” Sedikit panik lelaki ini, saat istrinya pingsan tadi setelah baru saja ia mencapai puncak gairahnya. Alma sudah siuman, maka rumah sakit daerah di pinggir kota menjadi tempat yang dituju juragan Darsa, dalam perjalanannya tadi, lelaki ini sempat menghubung mertuanya, bila istrinya pingsan. Rasa khawatir jelas tergambar di wajah tegas itu. mungkin ia terlalu brutal. Rasanya setelah menikah hampir tiap malam kebutuhan libidonya ia tuntut. Perawat di UGD tampak sigap menangani Alma, belum apa-apa, juragan Darsa bahkan minta rujukan ke rumah sakit yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Seorang dokter berhijab dan berkacatama masuk memeriksa kondisi Alma yang tampak lemah. Setelah diperiksa, dokter itu tersenyum kecil. “Bu Alma… selamat ya. Ibu hamil. Istrinya
Sebelumnya ... ***Sarah begitu percaya diri menemui tamunya kali ini. Ada rasa berdebar yang tak biasa dalam dada. Namun ia yakin tamu terakhirnya malam ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya untuk makan dan membeli kebutuhan bayinya. Hatinya miris, diguris sedih. Sebulan ini, ibunya benar-benar tak mencarinya, meski hanya bertanya kabarnya. Pun dengan Lingga.Cinta membara yang pernah hadir di antara mereka, seolah pupus terbakar amarah. Sarah mengakui dirinya salah, tapi kali ini ia benar-benar kecewa juga dendam. Pada Lingga, juga pada ibunya sendiri. Alam selalu adil, meski pada sang pendosa. Bagaimana semesta mengirimkan mbok Pik untuk membantunya menjaga bayinya. Sarah menarik napas panjang, sebelum turun dari taksi online dan menuju motel sederhana menemui tamu terakhirnya malam ini. Gincu merah sudah ia poleskan. Senyum palsu pun siap ia tebarkan. Disinilah dia di kamar yang cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup untuk mengurai kegugupannya malam ini. Kam
Riuh celoteh antara Asha dan Alma di depan Tv itu. gerimis halus di luar belum juga enggan beranjak di punghujung bulan ini.Tadi sore mereka tiba dengan banyak oleh-oleh untuk Asha dan untuk ibunya Alma. Setibanya di rumah sesore tadi, Alma menjadi milik putri kecil mereka.“Asha kangen sama bunda,”“Bunda juga kangen, Nak.”Alma tadi menyempatkan diri menelpon ibunya, bila esok pagi baru bisa berkunjung membawakan ole-oleh.Tentu saja bu Darmi tak keberatan, sebab beliau mengerti anaknya harus mendahulukan suami dan keluarganya sekarang.Suara lucu itu mengukir haru di hati Alma. Gegas dipeluknya sang putri lalu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.Alma tak pernah membalas rasa sakit yang dulu ia dapatkan dari mantan suaminya. Ia pergi dalam ketabahannya.Lalu ia pun tabah menerima perlakuan juragan Darsa padanya, sebelum lelaki itu memberikan balasan manis untuknya.Kebahagiaan yang dulu Alma impikan, kini hadir dalam celotehan putri sambungn







