LOGINTiga bulan berlalu. Alma hidup tanpa suami, tanpa pekerjaan tetap. Tanpa arah. Sementara bu Afifah-ibunya Alma juga semakin menua. Hasil kebun yang tak seberapa tentulah tak mencukupi kebutuhan mereka. Mungkin bisa saja hidup dari hasil kebun mereka, tapi yang kelolah adalah paman Bahri yang tentu saja hasilnya harus dibagi dengan beliau.
Pekerjaan apa yang bisa didapatkan dirinya yang hanya tamatan SMA. Mungkin bisa jadi kasir di perbatasan kota, tapi Alma tak punya kendaraan untuk bolak balik. Kalau harus menyewa kost, sisa gajinya mungkin hanya bertahan dua minggu.
Lalu dengan bantuan seorang tetangganya yang baik hati, Alma menerima tawaran pekerjaan sebagai pembantu di rumah milik seorang juragan tembakau.
“Juragan Darsa membutuhkan pengasuh untuk putrinya dan tukang setrika untuk menggantikan saya.”
“Kenapa mbak Mirna berhenti?”
“Mas Rahmat ingin merantau ke Kalimantan, Al. memang juragan tak pelit memberi gaji. Tapi, mas Rahmat juga kehidupan kami berubah.”
Lalu dengan setengah hati, Alma menerima tawaran itu. Inginnya bekerja di kota tapi gajinya belum tentu cukup. Kalau menjadi pembantu di rumah besar itu, pergaulannya akan terbatas dan habis di balik tembok putih itu. Belum lagi kata orang-orang bila sang juragan sedikit kejam dan … mesum!
Ah, bukankah pria berumur empat puluh tahunan seperti juragan Darsa ini memang sedang dipenuhi birahi?
Namun, Alma tak punya pilihan lain. Maka disinilah ia. Ditengah curah hujan yang seolah menggambarkan ketakutannya.
Alma menapakkan kaki di pelataran rumah besar bergaya kolonial milik Darsa Wijaya, seorang juragan tembakau yang dikenal kaya raya dan disegani di desanya. Ia mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dari perantara seorang tetangga yang iba melihat hidupnya yang terpuruk.
"Saya Alma, Tuan. Saya siap bekerja apa saja."
Darsa mengangguk tanpa banyak kata. Tatapannya tajam seperti seorang penguasa, tetapi matanya menyoroti kelembutan yang samar dalam raut wajah Alma yang tak berhias sama sekali.
"Kerja dengan saya tak mudah. Jangan baperan. Saya tidak suka pembantu yang banyak tanya," ujarnya dingin.
"Saya tak akan banyak bicara, Tuan. Saya hanya ingin tempat untuk bertahan hidup."
“Urus putri saya dan saya!”
“Ap- eh, baik, Tuan.”
Sedikit bingung rasanya, tapi Alma tak berani membantah.
Meski kemarin, Mirna mengatakan bila sang juragan membutuhkan pengasuh untuk putranya dan tukang setrika. Jadi dikiranya dirinya hanya akan jadi buruh cuci gosok disini.
Namun sudahlah. Ini takdir hidupnya, walau Alma sendiri pun masih bingung harus di urus bagaimana lelaki empat puluh lima tahun itu.
Dan sejak saat itu, hari-hari Alma diisi dengan rutinitas yang nyaris tanpa suara. Ia menyapu halaman, mencuci baju, menyiapkan sarapan untuk juragan Darsa dan putrinya yang berumur sepuluh tahun. Asha namanya. Cantik dan sangat sopan pada Alma.
Asha pun sudah kelas lima SD, jadi sudah mulai mengerti. Meski anak itu sedikit pendiam, tapi Alma berusaha menjadi teman yang baik untuknya.
“Asha mau makan apa?”
“Apa aja yang Bunda Alma masak, Asha sama papa pasti makan,” jawabnya sambil tersenyum manis.
Namun, diam-diam, Alma mulai mencuri perhatian. Bukan karena rupa atau rayuan. Tapi karena sikapnya yang sabar dan tak pernah mengeluh, bahkan saat dimarahi sekalipun.
Di rumah ini Alma cukup sibuk, sebab di sore hari bangunan berlantai dua ini akan sepi, sebab mok Sum yang bagian cuci dan sapu pel sudah pulang.
Jadi di malam hari, rumah ini hanya akan dihuni oleh juragan Darsa, putrinya dan Alma.
Suatu sore, Darsa berdiri di balkon, menatap Alma yang sedang menjemur cucian. Angin memainkan helai rambut wanita muda yang lepas dari cepolannya. Perempuan itu tampak cukup kurus, namun ada sesuatu yang kokoh dalam dirinya.
"Kenapa kau tak pernah bertanya, Alma? Tentang istri saya, atau kenapa rumah ini sunyi?"
Alma menoleh, suaranya lirih. "Maaf, itu bukan urusan saya, Tuan. Saya ke sini bukan untuk menggali masa lalu siapa-siapa. Saya benar-benar hanya ingin bekerja, Tuan."
Pagi itu, udara harum oleh wangi dari pakaian basah yang baru dijemur. Alma baru saja selesai mengepel lantai saat Asha berlari kecil dari tangga.
"Bunda Alma! Aku lapar!"
Alma tersenyum dan mengusap kepala manis itu. "Tunggu sebentar, ya. saya siapkan roti dan susu."
Rasanya canggung bagi Alma menyebut dirinya bunda. Bahkan di awal-awal, ia cukup terkejut saat Asha menghampirinya pertama kali dan langsung memanggilnya bunda.
Ada Nurani yang diam-diam membiru dalam hati wanita berhidung bangir ini. bunda dan mama adalah panggilan lain untuk ibu, dan Alma pernah merindukan panggilan itu suatu hari akan didengar untuknya.
Namun, kenyataan pahit telah mengaramkan harapannya. Pernikahannya kandas dengan tuduhan mandul dari suaminya yang telah menghamili wanita lain.
"Kamu sabar banget sama anak saya," gumam Darsa yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
Alma menunduk. "Anak-anak selalu butuh kasih sayang. Mereka tak salah lahir ke dunia, Tuan."
Kalimat itu menghantam Darsa lebih keras dari yang ia bayangkan. Alma tidak tahu, tapi Darsa sering mendengar Niko menangis pelan di malam hari, memanggil ibunya yang telah meninggal dua tahun lalu.
Semenjak hari itu, pandangan Darsa terhadap Alma berubah.
Ia memperhatikan bagaimana Alma duduk diam di pojok dapur sambil membaca buku tua milik Niko. Ia mendengar suara nyanyiannya yang lirih saat menyetrika baju. Dan setiap pagi, saat Alma menyapa dengan mata sembab tapi tetap tersenyum, Darsa merasa hatinya bergetar.
"Kau tak ingin menikah lagi?" tanya Darsa suatu malam, tanpa aba-aba.
Alma menoleh perlahan. "Hati saya belum sembuh, Pak."
"Kau perempuan baik. Jika kau jadi istri saya…”
"Tuan Darsa..." potong Alma cepat. "Saya mohon... jangan berkata seperti itu. Saya hanya pembantu di rumah ini. Dan saya tidak ingin menjadi pembicaraan orang."
"Kau pikir aku peduli omongan orang?"
"Tapi saya peduli pada harga diri saya, Pak. Saya ingin bekerja dengan tenang, tanpa rasa malu."
Darsa menghela napas. Untuk pertama kalinya, seorang perempuan menolaknya tanpa rasa takut.
Esoknya, juragan Darsa sengaja pulang lebih awal dari biasanya. Ia mendapati Alma sedang mengobrol bersama Asha di halaman belakang. Cahaya senja memeluk mereka berdua, membuatnya terlihat seperti... keluarga.
"Papa!" Asha berteriak. "Bunda Alma ngajarin aku doa sebelum tidur!"
Juragan Darsa tersenyum tipis. "Bagus. Kalau begitu, malam ini kita doa bareng, ya."
Alma memandang lelaki tinggi itu sejenak. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang berbeda. Bukan lagi dingin. Bukan juga angkuh. Tapi hangat... dan penuh harap.
Namun Alma tahu, semakin seseorang membuat kita merasa nyaman, semakin besar luka yang mungkin ditinggalkannya.
Dan Alma, yang baru belajar berdiri setelah jatuh, tak ingin jatuh untuk kedua kalinya.
Namun takdir selalu punya cara untuk mempermainkan perasaan manusia.
Dan cinta... kadang tumbuh dari tempat paling tak terduga.
Dan ketenangan itu, entah mengapa, justru membuat Juragan Darsa merasa tertantang untuk mendapatkannya.
“Nggak tahu,” jawabnya pelan. “Mas juga belum tanya,” lanjutnya sambil mengajak Alma duduk di ruang tamu.Tentu saja juragan Darsa berbohong. Ia tahu dan kenal betul calon istri Rahadi.Lelaki ini pernah brutal di masa lalu. Dan Renata menjadi salah satu perempuan yang menjadi korban brutal lelaki ini. Mereka bukan hanya pernah bercinta, tapi juga juragan Darsa pernah melakukan kekerasan pada Renata.Kalau diingat-ingat, lelaki ini juga merasa bersalah.Alma mengangguk, percaya. Ia memeluk lengan suaminya dengan manja sebelum beranjak masuk ke dapur menyusul ibunya dan Asha disana. Tapi dada Juragan Darsa terasa sesak.Tentu saja ia tahu.Ia tahu terlalu baik.Renata—perempuan yang dulu pernah jadi pelampiasan kebrutalannya, perempuan yang bertahun-tahun ia kira sudah hilang dari hidupnya, perempuan yang diam-diam ia anggap sebagai luka yang seharusnya tak pernah kembali.Dan kini… Rahadi, akan menikahinya. Rasanya jodoh ini memang lucu. Seperti dia dan Alma. Bagaimana ia bisa jatuh
"Ngaco!"Rahadi menggertak geram. Ia ingat perempuan pucat ini adalah Sarah. Salah satu spg yang pernah menemani malam-malamnya. Mungkin ada dua atau tiga kali mereka menghabiskan waktu di kamar hotel, lalu setelahnya Rahadi mendengar kabar bila wanita ini sudah menikah. "Aku hamil dan menikah dengan orang lain. Itu anak kamu, Mas!"Rahadi membawa Sarah ke ujung luar minimarket itu, sebab ia tak ingin menjadi perhatian pengunjung yang lainnya. "Sarah, saya ingat kita pernah menghabiskan malam dua atau tiga kali.. Tapi jangan lupa, laki-laki yang mengenalkanmu padaku juga pernah menidurimu berkali-kali.. Jadi, bisa saja anak yang kau kandung itu adalah anak si brengsek itu!""Tapi, Mas, ... ""Sekali lagi kau berani mengatakan kalau saya punya anak denganmu, saya tidak segan-segan melaporkanmu ke polisi!"Rahadi benar-benar tak memberi kesempatan pada Sarah untuk merecoki hidupnya. Melihat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat malah membuat lelaki ini berfikir yang tidak-tidak.
---Renata bersemu malu saat mengingat betapa liarnya ia semalam di atas sofa ini. Bahkan Rahadi sengaja tak pulang, lelaki itu menginap dan mengulang lagi rindu birahi mereka hingga dua kali. Sepagi tadi bahkan keduanya mengulang sekali lagi di atas pembaringan Renata sebelum lelaki itu pamit untuk ke kantor dulu. Renata tersenyum lagi, perasaannya pada juragan Darsa sepertinya memang sudah habis, terkikis dengan hadirnya Rahadi. "Istirahatlah, sore baru mas datang lagi."Begitu ucapan pamit Rahadi tadi sebelum jalan. Kecupan dalam di keningnya yang lelaki itu berikan membuat Renata merasa nyaman. Rasanya ini seperti hidup yang baru setelah kesepian dan lara hati melanda hidupnya. Lalu gerimis halus di luar sana membuat Renata benar-benar memejam mata. Lelah melanda raganya, setelah pertempuran yang membuatnya menjerit bahagia. Senyum tipis bahkan terukir di bibir tak bergincunya hingga netranya memejam. ***Hujan mulai menepi dari musim ini, orang-orang mulai keluar mencari
Tidak menunggu waktu lama, setelah gegas membersihkan diri dan berpakaian lagi, juragan Darsa langsung memanggil mbok Karti agar membantu mengurus Alma yang tadi sempat pingsan. “Kita ke rumah sakit, Sayang.” Sedikit panik lelaki ini, saat istrinya pingsan tadi setelah baru saja ia mencapai puncak gairahnya. Alma sudah siuman, maka rumah sakit daerah di pinggir kota menjadi tempat yang dituju juragan Darsa, dalam perjalanannya tadi, lelaki ini sempat menghubung mertuanya, bila istrinya pingsan. Rasa khawatir jelas tergambar di wajah tegas itu. mungkin ia terlalu brutal. Rasanya setelah menikah hampir tiap malam kebutuhan libidonya ia tuntut. Perawat di UGD tampak sigap menangani Alma, belum apa-apa, juragan Darsa bahkan minta rujukan ke rumah sakit yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Seorang dokter berhijab dan berkacatama masuk memeriksa kondisi Alma yang tampak lemah. Setelah diperiksa, dokter itu tersenyum kecil. “Bu Alma… selamat ya. Ibu hamil. Istrinya
Sebelumnya ... ***Sarah begitu percaya diri menemui tamunya kali ini. Ada rasa berdebar yang tak biasa dalam dada. Namun ia yakin tamu terakhirnya malam ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya untuk makan dan membeli kebutuhan bayinya. Hatinya miris, diguris sedih. Sebulan ini, ibunya benar-benar tak mencarinya, meski hanya bertanya kabarnya. Pun dengan Lingga.Cinta membara yang pernah hadir di antara mereka, seolah pupus terbakar amarah. Sarah mengakui dirinya salah, tapi kali ini ia benar-benar kecewa juga dendam. Pada Lingga, juga pada ibunya sendiri. Alam selalu adil, meski pada sang pendosa. Bagaimana semesta mengirimkan mbok Pik untuk membantunya menjaga bayinya. Sarah menarik napas panjang, sebelum turun dari taksi online dan menuju motel sederhana menemui tamu terakhirnya malam ini. Gincu merah sudah ia poleskan. Senyum palsu pun siap ia tebarkan. Disinilah dia di kamar yang cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup untuk mengurai kegugupannya malam ini. Kam
Riuh celoteh antara Asha dan Alma di depan Tv itu. gerimis halus di luar belum juga enggan beranjak di punghujung bulan ini.Tadi sore mereka tiba dengan banyak oleh-oleh untuk Asha dan untuk ibunya Alma. Setibanya di rumah sesore tadi, Alma menjadi milik putri kecil mereka.“Asha kangen sama bunda,”“Bunda juga kangen, Nak.”Alma tadi menyempatkan diri menelpon ibunya, bila esok pagi baru bisa berkunjung membawakan ole-oleh.Tentu saja bu Darmi tak keberatan, sebab beliau mengerti anaknya harus mendahulukan suami dan keluarganya sekarang.Suara lucu itu mengukir haru di hati Alma. Gegas dipeluknya sang putri lalu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.Alma tak pernah membalas rasa sakit yang dulu ia dapatkan dari mantan suaminya. Ia pergi dalam ketabahannya.Lalu ia pun tabah menerima perlakuan juragan Darsa padanya, sebelum lelaki itu memberikan balasan manis untuknya.Kebahagiaan yang dulu Alma impikan, kini hadir dalam celotehan putri sambungn







