"Bang, kayaknya … aku telat."Bahtiar butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan istrinya. Ia ikut menatap layar ponsel Ayu yang menampilkan aplikasi kalender.“Telat? Kamu punya cicilan?”Ayu tak menjawab. Matanya hanya terpaku pada kalender bulan ini dan membandingkannya dengan bulan kemarin.“Kamu kenapa?” tanya Bahtiar tak sabaran.“Aku telat datang bulan, Bang.”Lelaki itu tertegun. Kalau diingat-ingat lagi, terakhir Ayu haid memang saat mereka menikah. Usia pernikahan itu sendiri sekarang sudah sekitar 6 minggu. Mungkinkah?“Jadi, sekarang kamu hamil?” Bahtiar menatap istrinya lekat.Ayu tak yakin. “Harus dipastikan dulu.”Bahtiar langsung bangkit dan meraih kunci motornya kembali. Tanpa pikir panjang ia berkata, "Tunggu di sini. Saya beli test pack sekarang juga."Ayu belum sempat menahan ketika Bahtiar sudah melesat keluar. Sepuluh menit kemudian, ia kembali lagi dengan kantong plastik dari apotek. Tiga test pack berbeda merek ia sodorkan pada Ayu.Dengan perasaan campur aduk,
Bahtiar jadi sering kedatangan tamu setelah menghadiri acara buka bersama di rumah Pak Barata. Ada yang berdasi dan memakai jas rapi. Ada yang berkaus polo biasa, tapi ternyata naik mobil sport. Dari sekian banyak tamu, ada satu yang paling mengganggu bagi Ayu. Silvia.Ayu sebenarnya tidak ingin terlalu kepo. Dia sedang sibuk mengerjakan pesanan kue kering dari para pelanggan. Namun, sulit sekali menahan rasa penasaran.Menurut Bahtiar, Silvia hanyalah seorang teman lama. Orang tua mereka sudah berteman baik sejak mereka masih kecil. Bahtiar dan Silvia juga berkuliah di kampung yang sama. Dua tahun belakangan, mereka tidak pernah bertemu sebab Silvia sempat mengikuti mantan suaminya tinggal di Australia.“Bang Tiar nggak tertarik sama dia? Kak Ivy kan cantik. Sekarang single pula,” tanya Ayu saat dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Elly, beberapa hari lalu.Bahtiar tersenyum tipis. “Ogah banget! Saya kenal dia dari zaman masih ingusan. Bobrok-bobroknya udah tahu semua. Memangnya kam
Lagi-lagi Ayu sahur sendirian. Baik di rumah sendiri maupun di rumah mertua, tidak ada yang menjalankan ibadah puasa. Untung saja masih ada sisa sambal goreng udang di dapur. Ayu menghangatkannya saat semua orang terbuai mimpi.Ayu tidak betah berada di sana. Tak ada gunanya kasur empuk dan AC sejuk. Wanita itu agak kerepotan melaksanakan salat karena tidak dipinjami mukena. Untuk saja pakaiannya menutup aurat.“Lain kali, kalau Bang Tiar ngajak pergi, aku akan membawa mukena travel,” batinnya.Bahtiar bangun pukul setengah delapan seperti biasa. Tubuhnya seakan punya alarm sendiri. Namun, pagi itu mukanya masam kala melihat Ayu menyiapkan sarapan.“Abang berangkat kerja dari sini?” tanya Ayu memastikan. Bahtiar sudah mandi dan memakai baju lama yang ditinggal di rumah mamanya.“Hmm ….”Sejak pulang dari acara buka bersama, Bahtiar mendiamkan Ayu. Biasanya memang tidak banyak bicara, tapi kali ini Ayu yakin ada sesuatu yang berbeda. Maka ketika lelaki itu selesai sarapan dan kembali k
“Yu, saya boleh minta satu hal?”Ayu mengangguk seraya menatap Bahtiar yang sedang melepas jam tangan. Dia sudah berniat akan memenuhi apa pun permintaan suaminya selama tidak melanggar syariat.“Sudahi kerjasama dengan pihak pesantren. Kamu boleh jualan apa pun. Kalau butuh tambahan modal, saya bersedia memberi suntikan dana. Tapi, jangan pernah lagi terlibat dengan orang-orang dan kegiatan pesantren.”"Jadi … Abang mau aku berhenti jualan takjil dari pesantren?" tanya Ayu pelan, memastikan apakah dia tidak salah dengar.Bahtiar menatap Ayu serius. "Ya. Kamu bisa produksi sendiri, ambil dari suplier lain, atau apa pun sistemnya asal bukan ambil jualan dari pesantren."Ayu terdiam sejenak mencerna permintaan itu. Sebenarnya, permintaan Bahtiar tidak sulit untuk dituruti. Dia juga ingin usahanya berkembang lebih mandiri, hanya saja keterampilannya memang masih terbatas.Mungkin ini memang yang terbaik untuk semua. Bahtiar tidak perlu cemburu lagi kepada Zen. Ayu pun bisa lebih menjaga
Bahtiar duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton. Piring bekas makan malam masih tergeletak di meja. Puntung rokok berceceran sehingga debunya mengotori taplak meja.Lelaki itu kemudian tersenyum kecut. Biasanya, akan ada seseorang yang mengomel jika melihat pemandangan tersebut.“Abang ini sudah besar, tapi nggak bisa rapihan dikit buang sampahnya. Noda kayak gini susah dicuci!”“Kenapa kamu yang sewot? Yang nyuci kan Bibi, bukan kamu.”“Justru itu, Bang. Bibi udah berumur, kasihan kalau keluar tenaga ekstra buat ngucek taplak.”Ada saja hal-hal yang menurutnya sepele, tapi mengganggu bagi Ayu. Terkadang Bahtiar tidak bisa memahami jalan pikiran istrinya. Bi Sanih memang digaji untuk melakukan pekerjaan rumah, tapi dia sering tidak tega ketika melihat pembantu mereka mulai kelelahan.Bahtiar juga tidak tahu mengapa Ayu begitu kukuh memegang prinsip agama. Di saat wanita lain berlomba-lomba memakai baju seksi
Laras langsung berlari dan memeluk erat begitu melihat Ayu turun dari taksi online. Gadis cilik kelas 4 SD tersebut gembira bukan main. Baru kemarin minta dibelikan baju lebaran, kakaknya tiba-tiba datang membawa sebuah tas besar."Teh Ayu bawain baju lebaran, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.Ayu tersenyum canggung. Dia sebenarnya lupa akan permintaan adiknya. Kemarin pikirannya terlalu sibuk mencerna semua fakta terkait rahasia mertua serta trauma masa lalu Bahtiar.“Baju barunya nanti kita beli bareng aja, gimana?” Ayu berkelit.“Beneran, ya? Asik!”“ Iya, janji. Nanti kita beli mukena princess juga seperti yang kamu pengin.”Laras meloncat girang. Karena suaranya yang berisik, Bu Ratna yang tengah menggendong si bungsu pun ikut keluar. Galuh dan Sekar menyusul kemudian.Ayu mengucap salam dan mencium tangan sang ibu. Setelah itu, bergantian adik-adik yang menyalaminya. Meskipun baru-baru ini Ayu sempat mampir ke rumah untuk mengantar kue kering, pulang dalam keadaan bertengkar d