Home / Romansa / JERAT CINTA RENTENIR MUDA / Perjanjian Pernikahan

Share

Perjanjian Pernikahan

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2025-06-23 15:39:56

“Ada apa sebenarnya, Kar?” tanya Ayu dalam perjalanan pulang. Napasnya agak ngos-ngosan karena harus mengayuh sepeda sambil membonceng adiknya.

“Bang Tiar datang, Teh.”

Ayu mengerem mendadak. Kepala Sekar sampai terantuk punggungnya karena refleks.

“Apa? Dia ke rumah? Untuk apa?” tanya Ayu seraya menoleh ke belakang.

“Katanya, kalian harus menandatangani surat kesepakatan pernikahan. Dia sudah memenuhi dua syarat yang Teteh ajukan.”

Mulut Ayu menganga. “Demi apa?”

“Lihat aja sendiri kalau nggak percaya!”

Gadis itu mencengkeram setangnya kuat-kuat. Dia kembali melajukan sepeda dengan kayuhan yang lebih cepat. Baru lima hari berlalu dan Bahtiar sudah mendapatkan uang itu?

“Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan!” ucap Ayu dalam hati.

Begitu tiba di halaman rumah, Ayu melihat sebuah mobil hitam terparkir rapi. Nafasnya tercekat. Tidak salah lagi, itu mobil Bahtiar.

Sekar meremas ujung bajunya. "Teteh masuk aja, aku tunggu di luar."

Ayu menelan ludah dan menguatkan hati. Dengan langkah hati-hati, dia mendorong pintu kayu yang sedikit terbuka. Di dalam, Pak Seno dan Bu Ratna duduk tegang di ruang tamu. Mereka berhadapan dengan sosok yang selama ini menjadi momok dalam pikirannya dan seorang pria berjas yang tidak dia kenal.

Bahtiar tersenyum tipis. "Akhirnya pulang juga. Saya sudah menunggumu dari tadi."

Ada sebuah map tebal dan sebuah tas kecil yang diletakkan di meja. Ayu menatap benda-benda itu dengan perasaan campur aduk. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Omong kosong macam apa ini?"

“Pelankan suaramu, Nak. Sini duduk dulu, kita bicarakan baik-baik,” pinta Bu Ratna.

Meski dongkol bukan main, Ayu akhirnya menurut. Dia mengambil posisi di sebelah ibunya, tepat berhadapan dengan Bahtiar.

Bahtiar mengambil map lalu mengeluarkan beberapa lembar dokumen. Sambil melakukan itu, dia memperkenalkan seorang pengacara yang datang bersamanya.

“Sesuai permintaanmu, mari kita tandatangani surat perjanjian. Pengacara ini yang akan menjadi saksi bahwa saya tidak akan ikut campur maupun mengatur soal aktivitas ibadahmu setelah menikah,” ucap Bahtiar tenang, tapi tegas.

“Bagaimana dengan syarat kedua?” Meski sudah berusaha setenang mungkin, suara Ayu tetap terdengar bergetar.

Bahtiar meraih tas kecil di meja lalu membukanya. Segepok lembaran merah tertata rapi di dalamnya.

"Sepuluh juta, sesuai permintaanmu."

“Apa buktinya kalau uang itu berasal dari harta yang halal?” Ayu pantang mundur.

Bahtiar terkekeh. Dia sudah menduga, perempuan pintar seperti Ayu pasti akan menanyakan hal itu. Jadi, dia pun sudah menyiapkan amunisi.

Bahtiar kembali mengeluarkan satu bundel kertas dari dalam map. Lelaki itu menjejerkannya di atas meja agar keluarga Ayu bisa memeriksa isinya.

“Sepertinya kamu terlalu meremehkan saya, Ayu. Ini bukti bahwa uang maharmu berasal dari uang sewa kontrakan yang diwariskan oleh nenek saya. Tidak ada satu rupiah pun yang berasal dari koperasi simpan pinjam atau usaha lain yang kamu anggap haram.”

Ruangan terasa semakin sempit bagi Ayu. Tenggorokannya tercekat. Dia pikir Bahtiar akan kesulitan memenuhi syarat itu. Dia pikir pernikahan ini masih bisa ditunda. Namun, sekarang kenyataan menamparnya telak.

Pak Seno kemudian angkat bicara. “Nak Bahtiar sudah memenuhi permintaan kamu, Yu. Sekarang tidak ada lagi alasan untuk menolak keinginannya."

Ayu menggigit bibir. Dia ingin membantah dan berkata bahwa dia belum siap. Namun, melihat wajah ibunya yang penuh harapan, melihat Sekar mengintip dari balik pintu dengan ekspresi bersalah, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.

Bahtiar menatap penuh kemenangan saat akhirnya Ayu membubuhkan tanda tangan di atas materai. Mereka resmi terikat perjanjian. Barangkali, hanya kematian yang dapat membatalkannya.

“Persiapkan dirimu, Sayang. Kita akan menikah satu pekan dari sekarang.”

Bola mata Ayu hampir-hampir mencelat dari rongganya. Satu pekan untuk persiapan pernikahan? Yang benar saja!

Setelah kepergian Bahtiar, Ayu mengurung diri di kamar sampai sore. Hatinya sakit membayangkan harus bermakmum kepada seseorang yang jauh dari agama. Jangankan mencari nafkah dari jalan halal, mendirikan salat pun hanya Bahtiar lakukan setahun dua kali saat hari raya.

“Teh Ayu, ada Teh Uri di depan.” Suara Sekar terdengar dari balik pintu diiringi ketukan.

“Maaf, Neng, tolong bilang ke Uri kalau Teteh lagi kurang enak badan,” sahut Ayu tanpa seinci pun beranjak dari tempatnya.

“Mau kamu yang buka atau aku yang dobrak?” Tiba-tiba saja Uri sudah berdiri di sebelah Sekar.

Tidak ada jawaban. Selang satu menit kemudian, Ayu akhirnya muncul dari balik pintu dengan wajah sembab dan mata merah.

Uri langsung memeluk sahabatnya tersebut. Dia mengusap punggung Ayu pelan dan berulang kali. Kian lama, usapan itu diiringi oleh suara tangis tertahan dari bibir Ayu.

“Kamu ngapain ke sini?” tanya Ayu setelah tangisnya mereda.

“Tadinya cuma mau antar sisa teh dan es batu. Eh, malah dapat kabar yang bikin syok. Jadi, ini yang bikin kamu murung seharian?”

Ayu mengangguk. Dia lantas mengajak Uri mengobrol di belakang rumah. Gadis itu butuh bertukar pendapat dengan kepala dingin bersama seseorang.

*

[H-2 pernikahan]

Ayu melangkah pelan memasuki halaman pesantren. Suasana sore itu terasa syahdu. Hembusan angin membawa aroma tanah basah sisa hujan tadi siang. Santri-santri berbondong-bondong menuju tempat kajian dengan semangat.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Ayu merasa hatinya sedikit lebih ringan. Ini adalah tempat yang ia dambakan. Dunia yang ia impikan. Seandainya kehidupannya berjalan berbeda, mungkinkah ia bisa menjadi bagian dari lingkungan seperti ini?

Uri menepuk pundaknya pelan. "Sabar ya, Yu. Aku cuma bisa bilang sabar. Kalau mengalami sendiri, belum tentu juga aku bakalan kuat.”

Ayu tersenyum tipis. "Iya, Ri. Aku cuma … apa ya? Ingin menikmati momen ini sebentar aja. Belum tentu aku masih bisa ikut kajian setelah menikah dengan Bang Tiar.”

“Bukannya kalian menandatangani surat perjanjian? Berdasarkan surat itu, seharusnya kamu masih bisa menghadiri kajian di luar selama bersama mahram.”

Ayu mengedikkan bahu karena tak yakin. “Siapa yang bisa jamin? Kamu tahu sendiri, Bang Tiar itu selicik apa.”

Uri hanya mengangguk. Tentu saja dia sangat tahu. Keluarganya pun pernah menjadi nasabah koperasi yang dikelola Bahtiar. Kalau bukan karena ibunya yang nekat menjadi TKW untuk melunasi utang, entah bagaimana nasibnya kini.

Saat sedang mencari tempat duduk yang masih kosong, pandangan keduanya tidak sengaja tertuju pada sosok Zen yang sedang membagikan selebaran. Ayu spontan menahan napas sebab sosok itu sangat berwibawa dalam balutan koko dan sorban.

“Astaghfirullahal'adzim,” gumamnya kemudian. Kepalanya menunduk begitu menyadari bahwa dia melihat Zen dengan tatapan kagum.

Mereka berdua duduk di barisan belakang. Ustaz Umar mulai menyampaikan ceramahnya yang–entah mengapa bisa–pas sekali dengan kondisi Ayu saat ini.

"Pernikahan adalah ibadah seumur hidup. Tidak selalu berjalan mudah, tapi dengan niat yang benar dan ridha Allah, rumah tangga bisa menjadi ladang pahala yang tak terputus."

Ayu menunduk. Tangannya meremas ujung jilbab. Kata-kata itu membekas di relung hatinya.

Bagaimana jika seseorang menikah bukan atas dasar cinta dan keridhaan, melainkan keterpaksaan? Masihkah bisa disebut ibadah jika berbakti kepada suami yang bahkan tidak pernah belajar Quran dan sunnah?

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Ulah Peretas

    Dua orang anak buah Bahtiar mulai menyerah menghadapi serangan hackers. Satu di antaranya terduduk lemas sambil memegangi kepala. Yang lainnya menatap layar kosong tanpa kata.Bahtiar berdiri di tengah ruangan dengan tangan terkepal, berusaha menahan amarah sekaligus frustrasi. Bukan kepada timnya, tapi kepada orang tidak bertanggung jawab di balik kekacauan ini.“Bos .…” Suara Gugun memecah keheningan. Pria pemilik cambang tipis itu mendekat dengan langkah sedikit ragu.“Anak-anak kayaknya udah kecapekan banget. Kita harus gimana?”Bahtiar mengangguk pelan. Dia bisa melihat, tim IT-nya yang lulusan SMK itu sudah mengerahkan semua kemampuan. Namun, tampaknya mereka sudah mencapai batas.Ada sesuatu yang mengganjal. Nama Ardan mengusik pikirannya. Akan tetapi, Bahtiar tidak mau buru-buru mengungkapkan kecurigaan tersebut. Menyebut nama tanpa bukti sama saja dengan membuka konflik baru yang lebih rumit.“Bos, apa akhir-akhir ini kita punya musuh baru? Mungkin ada orang yang tersinggung

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Teman Baru

    Aplikasi jadwal salat di ponsel Ayu otomatis memutar azan ketika waktu Zuhur telah tiba. Ketiga wanita yang semula asyik mengobrol itu serentak diam.“Teh Ayu sama Teh Uri lagi pada shalat, nggak?” tanya Sora. “Kebetulan aku sedang berhalangan.”“Uri juga sedang datang bulan, Teh. Aku ke mushalla sendiri saja,” ujar Ayu.Sekilas, Uri melihat tatapan enggan dari Sora. Alangkah terkejut dirinya ketika kemudian Sora berkata, “Gini aja, Teh Ayu ke musholla, kami ke restoran duluan buat pesan makanan. Gimana?”Ayu dan Uri saling melempar pandang. Uri sudah memberi isyarat agar tidak meninggalkan mereka berdua. Namun, Ayu mengangguk setuju.“Biar kalian cepet akrab,” bisik Ayu sambil tersenyum jahil. Uri hanya bisa menghela napas pasrah.Ketiganya lantas berjalan beriringan dan berpisah di dekat eskalator. Uri dan Sora menuju lantai lima sementara Ayu ke musholla yang terletak di lantai dasar.Berjalan bersama Sora membuat Uri merasa seperti langit dan bumi. Sora itu tinggi semampai, punya

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Teman Baru

    “Semalam pulang jam berapa, Bang? Maaf aku ketiduran,” tanya Ayu ketika Bahtiar kembali dari masjid untuk salat Subuh.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia meraih cangkir teh melati di meja, menghidu aroma wanginya, lalu meneguk sedikit dengan mata terpejam.“Sekitar jam 12 kalau nggak salah. Kamu kayaknya capek banget, jadi Abang nggak tega bangunin.”Ayu tersenyum malu-malu. Kemarin dirinya memang sibuk di butik karena ada stok yang baru tiba dari suplier. Badannya sangat letih sebab baru kembali ke rumah menjelang pukul sembilan malam.Rasa penasaran membuatnya bertanya lagi.“Gimana pertemuan keluarga dengan Ardan? Lancar?”“Ya … lancar-lancar saja. Dia jawab semua pertanyaan Papa sama Mama dengan tenang. Tapi Abang belum bisa ambil kesimpulan sekarang. Butuh waktu buat lihat lebih jauh,” ujar Bahtiar diplomatis.Tatapan Ayu menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. Nanti Bahtiar akan cerita sendiri kalau memang perlu.“Semoga dia benera

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Interogasi Ardan

    Deru mesin mobil sedan keluaran 90an terdengar memasuki halaman rumah, berbarengan dengan cahaya lampu yang menerobos sela-sela pagar besi bercat hitam. Catnya berwarna abu-abu kusam dengan sedikit baret di sisi pintu kanan.Belinda, yang duduk di ruang tamu bersama abang dan kedua orang tua, buru-buru berdiri sambil merapikan kerudung. Senyum di wajahnya merekah seketika. Dia bergegas menghampiri Ardan yang baru turun dari mobil dan langsung mengajaknya masuk rumah.Pandangan Bahtiar tak lepas dari mobil itu. Alisnya terangkat sedikit.“Anak seorang Herman Tarigan datang dengan mengendarai mobil tua? Dia sedang berpura-pura miskin atau apa?” gumamnya dalam hati.Mesin manual, bodi sedikit bergetar saat mesin dimatikan, jauh dari kesan mewah. Herman Tarigan diketahui memiliki usaha ekspedisi pengiriman dan gerai minimarket. Tadinya Bahtiar pikir lelaki itu akan mengendarai–minimal–mobil MPV.Sosok Ardan Pratama muncul dengan setelan kemeja putih polos yang digulung rapi hingga siku se

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Pejuang Garis Dua

    “Ardan ternyata adalah anak bungsu Herman Tarigan!” ucap Gugun hati-hati.“Herman Tarigan?” Bahtiar mencoba mengingat-ingat. Nama itu tidak asing di telinganya.“Herman yang rekrut Aboy dan buka konter jasa ekspedisi di dekat kantor kita itu, Bos!”Hening sejenak. Bahtiar merasa darahnya berhenti mengalir. Nama itu menyeruak, membawa ingatan pahit yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam.Pak Herman adalah orang yang pernah mencoba menjatuhkannya lewat cara kotor. Dia merebut pelanggan dengan iming-iming potongan harga dan menyebarkan gosip murahan atas informasi dari Aboy.“Kamu yakin, Gun?” suaranya nyaris serak.“Seratus persen yakin, Bang. Menurut informan gue, Herman ini memang pebisnis yang licik. Makanya banyak yang nggak suka dan mencoba mengumpulkan informasi soal keluarganya.”Bahtiar mengusap wajahnya pelan. Dada terasa sesak seakan ruangan menyempit. “Oke. Makasih, Gun. Jangan cerita ke siapa pun soal ini.”“Siap, Bos.”Sambungan terputus. Bahtiar menatap layar ponselnya

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Menyelidiki Calon Adik Ipar

    “Siapa dia?” tanya Bahtiar akhirnya. Nadanya datar, tapi sarat rasa ingin tahu.Belinda menegakkan punggung. Sorot matanya mantap meski kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.“Namanya Ardan Pratama, teman sefakultas waktu kuliah dulu. Orang tuanya asli Minang, tapi dia lahir dan besar di Karawang.”Juragan Manan terbatuk kecil. “Sepertinya Papa belum pernah dengar nama itu.”“Ya, karena dulu kami cuma sebatas kenal. Baru belakangan ini komunikasi lagi,” jawab Belinda pelan.Bahtiar mencondongkan tubuh. “Kerjanya apa?”“Dia mengelola usaha parfum isi ulang, Bang. Alhamdulillah lancar dan sudah punya dua cabang.”Sejenak, tak ada yang bersuara. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan latar belakang suku maupun status sosial. Hanya saja, kabar ini terlalu mendadak.Bu Ely bertanya, “Orangnya baik? Keluarganya gimana?”Belinda menarik napas panjang. Dia tahu bagian ini akan sulit. Setali tiga uang dengan dirinya, Ardan juga pernah punya masa lalu yang kelam.“Dia dulu semp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status