Home / Romansa / JERAT CINTA RENTENIR MUDA / Sebatas Pengagum Rahasia

Share

Sebatas Pengagum Rahasia

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2025-06-23 15:39:21

“Itu muka apa belimbing wuluh, Yu? Pagi-pagi udah asem bener!” celetuk Uri, teman Ayu sesama penjual gerobak pinggir jalan.

Ayu tersenyum kecil mendengar gurauan itu. “Ada-ada aja kamu, Ri. Tumben baru datang.”

“Iya, nih. Tadi nganterin adikku dulu ke sekolah.”

“Ooh … emang Emak ke mana?”

“Lagi nggak enak badan. Kamu sendiri kenapa? Sakit juga?” Uri sengaja mengalihkan topik obrolan.

“Nggak, kok. Nggak kenapa-napa.”

“Jangan bohong. Mukamu itu jelas-jelas kayak orang yang lagi mikirin hal berat. Mau curhat?" Mulut Uri menyerocos, tapi tangannya sibuk menata kontainer kecil berisi sosis dan jajanan bakar lainnya.

Ayu tersenyum kecil. "Nanti aja, Ri. Sekarang masih bisa kutangani sendiri.”

Uri mengangkat bahu. "Ya udah, asal jangan kepikiran terus sampai sakit. Hidup ini nggak bisa lepas dari masalah, tapi Insyaa Allah setiap masalah itu datang sepaket sama solusinya.”

Ayu mengangguk. Dia mencoba melupakan rencana pernikahannya dengan memperhatikan pemandangan sekitar. Matanya lantas tertuju pada sebuah toko sepatu di seberang jalan.

Sudah lama Ayu mengumpulkan uang untuk membelikan adik-adiknya sepatu. Namun, niat itu tak kunjung terlaksana sebab pemasukannya juga tidak seberapa. Kalau hanya membeli sepasang, adik yang lain pasti iri.

“Beli ….”

Saking asyiknya membayangkan aneka model sepatu yang ingin dibeli, Ayu sampai tidak sadar ada sepasang anak kecil di depan gerobaknya. Ayu melihat penampilan mereka dari ujung kelapa sampai ujung kaki. Yang besar laki-laki, menenteng tape pemutar kaset. Yang kecil perempuan membawa plastik bekas kemasan permen.

“Beli apa, Dik?”

“Aku mau yang ini, Kak.” Si bocah perempuan menunjuk gambar es teh susu cincau kemasan jumbo.

“ Jangan! Itu harganya sepuluh ribu. Kita baru dapat uang lima ribu.”

“Terus kalau lima ribu dapatnya yang mana?”

Si anak lelaki menunjuk gambar es teh original. Sang adik terdiam dengan wajah murung.

“Mau nggak? Ayo cepetan, kakaknya nungguin.”

Ayu tersenyum memandang gadis cilik yang tak kunjung menjawab itu. “Adik mau yang ini?”

Anak itu mengangguk. Namun, kakaknya menyela cepat.

“Jangan, Kak. Yang original aja.” Dia menyerahkan dua lembar dua ribuan lusuh dan sekeping koin seribuan.

“Sebentar, Kakak buatkan dulu.”

Ayu lantas membeli tiga buah sosis bakar di tempat Uri. Setelah itu, dirinya cekatan meracik es teh cincau di dalam cup besar.

“Pesanan kalian sudah jadi.”

Gadis cilik itu menerima es tehnya dengan senyum semringah. Sementara sang kakak menatap Ayu keheranan.

“Pesanan saya bukan yang itu, Kak.”

“Nggak apa-apa. Itu rezeki dari Allah. Tunggu sebentar, ya, kakak itu lagi bikinin sosis buat kalian.”

“Wah, beneran?” Mata si adik kian berbinar.

“Beneran.” Senyum tak lekang dari bibir Ayu sejak tadi.

Tak berapa lama kemudian, dua mika kecil berisi sosis bakar sudah berpindah tangan. Mereka berulang kali mengucapkan terima kasih. Ayu sampai tak kuasa menahan air mata ketika dua anak itu meninggalkan gerobak dagangannya sambil melompat dan bernyanyi riang.

“Ayu, Ayu … gimana mau cepet kaya? Baru punya duit dikit langsung traktir anak jalanan,” seloroh Uri. Tangannya mengulurkan sosis pesanan Ayu yang satu lagi.

“Itu buat kamu, Ri. Makan, gih. Masak penjual sosis nggak pernah makan sosis bikinannya sendiri?” balas Ayu dengan nada bercanda.

“Wuih, habis menang arisan kamu?” Tanpa basa-basi, Uri segera melahap sosis pemberian sahabatnya.

Alis Ayu naik turun. Dia tidak sedang banyak uang. Dia hanya turut bahagia ketika melihat orang lain berbahagia atas pemberiannya meski tidak seberapa. Kebahagiaan itu sedikit mengobati lara yang menyelimuti hatinya.

Mereka lanjut mengobrol. Namun, Uri kemudian bergegas mengelap mulut dan menganggukkan kepala seperti sedang menyapa seseorang. Ayu pun berbalik badan untuk memastikan siapa yang datang. Dadanya berdesir melihat pemuda berbaju koko dan berpeci putih di hadapannya.

“Assalamu'alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Ayu dan Uri menjawab hampir bersamaan.

“Ada yang bisa dibantu, Kak Zen?” Suara Ayu agak tergagap.

Uri menahan senyum. Lengannya menyenggol sementara kakinya usil menginjak kaki Ayu. Sudah sejak lama Ayu mengagumi sosok Zainul Imam atau yang biasa dipanggil Zen ini.

“Saya mau beli es teh 30 cup buat santri pondok, Teh, tapi nanti susah bawanya. Boleh nggak sekalian pinjam box termos esnya dulu, nanti saya kembalikan lagi?”

“Masyaa Allah ….” Ayu bergumam. Jarang-jarang dia bisa menjual es sebanyak itu dalam satu hari. Semakin ke sini saingan penjual es teh pinggir jalan semakin banyak.

Uri pun bergegas membantu Ayu menyiapkan pesanan. Seperti biasa, sambil bekerja pun mulutnya tak bisa diam. Dia menanya-nanyai Zen seputar kegiatan pondok pesantren milik abahnya tersebut.

“Kak, ini pesanannya nggak muat di satu termos. Ada yang di plastik juga. Ribet kalau dibawa sendiri naik sepeda. Gimana kalau Ayu bantu bawain?” usul Uri.

“Hah?” Ayu menunjuk hidungnya.

“Udah, gas aja. Rezeki nggak datang dua kali. Nanti aku yang jagain es teh selama kamu pergi,” bisik Uri.

Zen berterima kasih atas tawaran itu dan berusaha menolak karena khawatir merepotkan Ayu. Namun, Uri bersikeras membujuk. Lagi pula jarak pondok tidak terlalu jauh. Uri bisa bergantian menjaga selama Ayu pergi.

Karena tidak tega melihat Zen membawa es sebanyak itu sendirian, Ayu pun bersedia mengantar. Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih karena Zen sudah melarisi dagangan. Sisa pesanan yang tidak muat di termos ditaruh di keranjang depan sepeda Ayu.

Jantung Ayu berdegup kencang meski mereka hampir tidak bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Ayu hanya menatap punggung Zen penuh harap. Dialah yang diam-diam Ayu dambakan untuk menjadi imamnya. Sosok yang tinggi ilmu, rendah hati, dan bersahaja. Sosok yang mampu membimbing makmumnya menggapai surga.

“Terima kasih atas bantuannya, Teh Ayu,” ucap Zen tulus begitu mereka selesai menaruh semua pesanan di teras aula.

“Sama-sama, Kak. Senang bisa membantu.”

“Oh, ya, pekan depan akan ada kajian bersama Ustaz Umar di sini, Insyaa Allah. Kalau Teh Ayu senggang, silakan datang. Bawa dagangan juga boleh.”

Ayu menyambut kabar itu dengan gembira. Selain bisa menimba ilmu, Ayu juga bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Gadis berjilbab merah jambu itu kembali mengayuh sepedanya sambil bersenandung. Untuk sejenak, dia bisa melupakan kegundahan hatinya. Kalau boleh meminta, Ayu juga sangat berharap Bahtiar tidak bisa memenuhi syarat soal mahar. Dengan begitu, rencana pernikahan mereka bisa dibatalkan.

Baru sebentar merasakan kebahagiaan, Ayu harus kembali tersadar oleh realita. Sekar sudah menunggu di depan gerobak es teh sesampainya Ayu di sana.

“Ada apa, Kar?” Dia memandang Sekar dan Uri bergantian.

“Teteh disuruh pulang sekarang,” ucap Sekar lemah.

“Pulang? Ngapain? Jam kerja Teteh masih lama.”

“Pokoknya pulang dulu aja, Teh. Nanti aku ceritain sambil jalan.”

“Ya udah, iya. Tapi tunggu sebentar, Teteh kemasi dagangan dulu.”

“Buruan, Yu!” tegur Uri. “Barang-barang biar aku yang beresin.”

Kening Ayu berkerut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

*

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Undangan Buka Bersama

    “Yu, saya boleh minta satu hal?”Ayu mengangguk seraya menatap Bahtiar yang sedang melepas jam tangan. Dia sudah berniat akan memenuhi apa pun permintaan suaminya selama tidak melanggar syariat.“Sudahi kerjasama dengan pihak pesantren. Kamu boleh jualan apa pun. Kalau butuh tambahan modal, saya bersedia memberi suntikan dana. Tapi, jangan pernah lagi terlibat dengan orang-orang dan kegiatan pesantren.”"Jadi … Abang mau aku berhenti jualan takjil dari pesantren?" tanya Ayu pelan, memastikan apakah dia tidak salah dengar.Bahtiar menatap Ayu serius. "Ya. Kamu bisa produksi sendiri, ambil dari suplier lain, atau apa pun sistemnya asal bukan ambil jualan dari pesantren."Ayu terdiam sejenak mencerna permintaan itu. Sebenarnya, permintaan Bahtiar tidak sulit untuk dituruti. Dia juga ingin usahanya berkembang lebih mandiri, hanya saja keterampilannya memang masih terbatas.Mungkin ini memang yang terbaik untuk semua. Bahtiar tidak perlu cemburu lagi kepada Zen. Ayu pun bisa lebih menjaga

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Belajar Menekan Ego

    Bahtiar duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton. Piring bekas makan malam masih tergeletak di meja. Puntung rokok berceceran sehingga debunya mengotori taplak meja.Lelaki itu kemudian tersenyum kecut. Biasanya, akan ada seseorang yang mengomel jika melihat pemandangan tersebut.“Abang ini sudah besar, tapi nggak bisa rapihan dikit buang sampahnya. Noda kayak gini susah dicuci!”“Kenapa kamu yang sewot? Yang nyuci kan Bibi, bukan kamu.”“Justru itu, Bang. Bibi udah berumur, kasihan kalau keluar tenaga ekstra buat ngucek taplak.”Ada saja hal-hal yang menurutnya sepele, tapi mengganggu bagi Ayu. Terkadang Bahtiar tidak bisa memahami jalan pikiran istrinya. Bi Sanih memang digaji untuk melakukan pekerjaan rumah, tapi dia sering tidak tega ketika melihat pembantu mereka mulai kelelahan.Bahtiar juga tidak tahu mengapa Ayu begitu kukuh memegang prinsip agama. Di saat wanita lain berlomba-lomba memakai baju seksi

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Sambutan yang Berbeda

    Laras langsung berlari dan memeluk erat begitu melihat Ayu turun dari taksi online. Gadis cilik kelas 4 SD tersebut gembira bukan main. Baru kemarin minta dibelikan baju lebaran, kakaknya tiba-tiba datang membawa sebuah tas besar."Teh Ayu bawain baju lebaran, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.Ayu tersenyum canggung. Dia sebenarnya lupa akan permintaan adiknya. Kemarin pikirannya terlalu sibuk mencerna semua fakta terkait rahasia mertua serta trauma masa lalu Bahtiar.“Baju barunya nanti kita beli bareng aja, gimana?” Ayu berkelit.“Beneran, ya? Asik!”“ Iya, janji. Nanti kita beli mukena princess juga seperti yang kamu pengin.”Laras meloncat girang. Karena suaranya yang berisik, Bu Ratna yang tengah menggendong si bungsu pun ikut keluar. Galuh dan Sekar menyusul kemudian.Ayu mengucap salam dan mencium tangan sang ibu. Setelah itu, bergantian adik-adik yang menyalaminya. Meskipun baru-baru ini Ayu sempat mampir ke rumah untuk mengantar kue kering, pulang dalam keadaan bertengkar d

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Pergi dari Rumah

    Ayu merapikan toples-toples kue kering yang ia buat sendiri di sela-sela kesibukannya berjualan takjil. Kedainya makin ramai seiring berjallannya waktu dan dia semakin sibuk. Namun, kesibukan itu juga sebenarnya menjadi pelarian. Sejak pertengkaran mereka malam itu, Bahtiar mulai menjaga jarak.Bahtiar berangkat kerja sebelum Ayu bangun dan pulang saat Ayu sudah tidur. Tak ada lagi percakapan ringan atau sekadar basa-basi soal bagaimana hari mereka. Ayu menyadari perubahan itu, tapi ia memilih diam. Mungkin Bahtiar butuh waktu untuk menerima bahwa prinsip mereka soal halal-haram sama sekali tidak bisa dikompromikan.Hari itu, Ayu datang ke pondok dengan membawa bingkisan berisi snack dan perlengkapan sekolah untuk acara santunan anak yatim. Ia tidak bisa datang saat hari H untuk menghindari intensitas pertemuan dengan Zen. Namun, rencananya berubah saat yang menyambutnya justru lelaki itu sendiri."Teh Ayu?" Zen sedikit terkejut saat melihat Ayu berdiri di gerbang pesantren."Ehm, iya

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Rahasia dari Masa Lalu

    Bahtiar melempar kunci mobil asal-asalan dan langsung mengempaskan tubuhnya di sofa begitu tiba di rumah. Matanya terpejam, tapi napasnya berat dan tangannya mengepal erat.“Yang tadi beneran Papa, Bang?” tanya Ayu pelan.Lelaki itu tidak menjawab. Ayu sebenarnya menduga Juragan Manan berselingkuh. Namun, itu hanya sebatas dugaan berdasarkan apa yang dia lihat. Jika Bahtiar mau bicara, tentu semuanya akan lebih jelas.Ayu pergi ke kamar. Selain untuk berganti baju, dia juga ingin memberi ruang sendiri untuk suaminya. Wanita yang kini mengenakan piyama merah muda itu kemudian ke dapur untuk membuat teh hangat.“Diminum dulu, Bang,” katanya seraya menaruh segelas teh di depan Bahtiar. Aroma wanginya menguar hingga membuat Bahtiar membuka mata.“Mau sendiri dulu apa mau ditemani?” Entah mengapa, seperti ada dorongan dari dalam diri Ayu untuk menanyakan hal itu.Bahtiar menyesap teh beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Tumben perhatian.”Ayu cemberut. Ia berdiri hendak kembali ke kam

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Dua Wajah Suamiku

    Hari baru saja beranjak malam. Cahaya rembulan beradu indah dengan kerlip bintang. Keindahannya diiringi oleh lantunan ayat suci dari speaker masjid dekat rumah. Sebagian warga bersiap pergi ke masjid untuk salat Isya dan Tarawih. Namun, berbeda halnya dengan penghuni rumah Bahtiar.“Bang Tiar, kan, yang nyuruh preman buat hajar mereka?” tanya Ayu dengan tatapan tajam.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia hanya bersedekap menatap sang istri yang tengah merajuk. Sejak pulang dari kedai, wanita itu terus membahas soal permintaan maaf dari preman yang meminta iuran keamanan.“Jawab aku, Bang!”“Kalau iya, memangnya kenapa?” sahutnya santai sambil menyilangkan kaki dan bersandar di sofa.“Abang nggak mikirin perasaanku?” tuduh Ayu. “Sekarang orang-orang jadi curiga sama aku. Mereka selalu tanya backinganku siapa.”Tawa Bahtiar menggema. “Tinggal jawab Bahtiar, apa susahnya?”“Nggak akan! Asal Abang tahu, kemarin aku dengar percakapan pedagang yang punya utang di koperasi. Dia sampai ketak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status