“Itu muka apa belimbing wuluh, Yu? Pagi-pagi udah asem bener!” celetuk Uri, teman Ayu sesama penjual gerobak pinggir jalan.
Ayu tersenyum kecil mendengar gurauan itu. “Ada-ada aja kamu, Ri. Tumben baru datang.” “Iya, nih. Tadi nganterin adikku dulu ke sekolah.” “Ooh … emang Emak ke mana?” “Lagi nggak enak badan. Kamu sendiri kenapa? Sakit juga?” Uri sengaja mengalihkan topik obrolan. “Nggak, kok. Nggak kenapa-napa.” “Jangan bohong. Mukamu itu jelas-jelas kayak orang yang lagi mikirin hal berat. Mau curhat?" Mulut Uri menyerocos, tapi tangannya sibuk menata kontainer kecil berisi sosis dan jajanan bakar lainnya. Ayu tersenyum kecil. "Nanti aja, Ri. Sekarang masih bisa kutangani sendiri.” Uri mengangkat bahu. "Ya udah, asal jangan kepikiran terus sampai sakit. Hidup ini nggak bisa lepas dari masalah, tapi Insyaa Allah setiap masalah itu datang sepaket sama solusinya.” Ayu mengangguk. Dia mencoba melupakan rencana pernikahannya dengan memperhatikan pemandangan sekitar. Matanya lantas tertuju pada sebuah toko sepatu di seberang jalan. Sudah lama Ayu mengumpulkan uang untuk membelikan adik-adiknya sepatu. Namun, niat itu tak kunjung terlaksana sebab pemasukannya juga tidak seberapa. Kalau hanya membeli sepasang, adik yang lain pasti iri. “Beli ….” Saking asyiknya membayangkan aneka model sepatu yang ingin dibeli, Ayu sampai tidak sadar ada sepasang anak kecil di depan gerobaknya. Ayu melihat penampilan mereka dari ujung kelapa sampai ujung kaki. Yang besar laki-laki, menenteng tape pemutar kaset. Yang kecil perempuan membawa plastik bekas kemasan permen. “Beli apa, Dik?” “Aku mau yang ini, Kak.” Si bocah perempuan menunjuk gambar es teh susu cincau kemasan jumbo. “ Jangan! Itu harganya sepuluh ribu. Kita baru dapat uang lima ribu.” “Terus kalau lima ribu dapatnya yang mana?” Si anak lelaki menunjuk gambar es teh original. Sang adik terdiam dengan wajah murung. “Mau nggak? Ayo cepetan, kakaknya nungguin.” Ayu tersenyum memandang gadis cilik yang tak kunjung menjawab itu. “Adik mau yang ini?” Anak itu mengangguk. Namun, kakaknya menyela cepat. “Jangan, Kak. Yang original aja.” Dia menyerahkan dua lembar dua ribuan lusuh dan sekeping koin seribuan. “Sebentar, Kakak buatkan dulu.” Ayu lantas membeli tiga buah sosis bakar di tempat Uri. Setelah itu, dirinya cekatan meracik es teh cincau di dalam cup besar. “Pesanan kalian sudah jadi.” Gadis cilik itu menerima es tehnya dengan senyum semringah. Sementara sang kakak menatap Ayu keheranan. “Pesanan saya bukan yang itu, Kak.” “Nggak apa-apa. Itu rezeki dari Allah. Tunggu sebentar, ya, kakak itu lagi bikinin sosis buat kalian.” “Wah, beneran?” Mata si adik kian berbinar. “Beneran.” Senyum tak lekang dari bibir Ayu sejak tadi. Tak berapa lama kemudian, dua mika kecil berisi sosis bakar sudah berpindah tangan. Mereka berulang kali mengucapkan terima kasih. Ayu sampai tak kuasa menahan air mata ketika dua anak itu meninggalkan gerobak dagangannya sambil melompat dan bernyanyi riang. “Ayu, Ayu … gimana mau cepet kaya? Baru punya duit dikit langsung traktir anak jalanan,” seloroh Uri. Tangannya mengulurkan sosis pesanan Ayu yang satu lagi. “Itu buat kamu, Ri. Makan, gih. Masak penjual sosis nggak pernah makan sosis bikinannya sendiri?” balas Ayu dengan nada bercanda. “Wuih, habis menang arisan kamu?” Tanpa basa-basi, Uri segera melahap sosis pemberian sahabatnya. Alis Ayu naik turun. Dia tidak sedang banyak uang. Dia hanya turut bahagia ketika melihat orang lain berbahagia atas pemberiannya meski tidak seberapa. Kebahagiaan itu sedikit mengobati lara yang menyelimuti hatinya. Mereka lanjut mengobrol. Namun, Uri kemudian bergegas mengelap mulut dan menganggukkan kepala seperti sedang menyapa seseorang. Ayu pun berbalik badan untuk memastikan siapa yang datang. Dadanya berdesir melihat pemuda berbaju koko dan berpeci putih di hadapannya. “Assalamu'alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Ayu dan Uri menjawab hampir bersamaan. “Ada yang bisa dibantu, Kak Zen?” Suara Ayu agak tergagap. Uri menahan senyum. Lengannya menyenggol sementara kakinya usil menginjak kaki Ayu. Sudah sejak lama Ayu mengagumi sosok Zainul Imam atau yang biasa dipanggil Zen ini. “Saya mau beli es teh 30 cup buat santri pondok, Teh, tapi nanti susah bawanya. Boleh nggak sekalian pinjam box termos esnya dulu, nanti saya kembalikan lagi?” “Masyaa Allah ….” Ayu bergumam. Jarang-jarang dia bisa menjual es sebanyak itu dalam satu hari. Semakin ke sini saingan penjual es teh pinggir jalan semakin banyak. Uri pun bergegas membantu Ayu menyiapkan pesanan. Seperti biasa, sambil bekerja pun mulutnya tak bisa diam. Dia menanya-nanyai Zen seputar kegiatan pondok pesantren milik abahnya tersebut. “Kak, ini pesanannya nggak muat di satu termos. Ada yang di plastik juga. Ribet kalau dibawa sendiri naik sepeda. Gimana kalau Ayu bantu bawain?” usul Uri. “Hah?” Ayu menunjuk hidungnya. “Udah, gas aja. Rezeki nggak datang dua kali. Nanti aku yang jagain es teh selama kamu pergi,” bisik Uri. Zen berterima kasih atas tawaran itu dan berusaha menolak karena khawatir merepotkan Ayu. Namun, Uri bersikeras membujuk. Lagi pula jarak pondok tidak terlalu jauh. Uri bisa bergantian menjaga selama Ayu pergi. Karena tidak tega melihat Zen membawa es sebanyak itu sendirian, Ayu pun bersedia mengantar. Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih karena Zen sudah melarisi dagangan. Sisa pesanan yang tidak muat di termos ditaruh di keranjang depan sepeda Ayu. Jantung Ayu berdegup kencang meski mereka hampir tidak bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Ayu hanya menatap punggung Zen penuh harap. Dialah yang diam-diam Ayu dambakan untuk menjadi imamnya. Sosok yang tinggi ilmu, rendah hati, dan bersahaja. Sosok yang mampu membimbing makmumnya menggapai surga. “Terima kasih atas bantuannya, Teh Ayu,” ucap Zen tulus begitu mereka selesai menaruh semua pesanan di teras aula. “Sama-sama, Kak. Senang bisa membantu.” “Oh, ya, pekan depan akan ada kajian bersama Ustaz Umar di sini, Insyaa Allah. Kalau Teh Ayu senggang, silakan datang. Bawa dagangan juga boleh.” Ayu menyambut kabar itu dengan gembira. Selain bisa menimba ilmu, Ayu juga bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Gadis berjilbab merah jambu itu kembali mengayuh sepedanya sambil bersenandung. Untuk sejenak, dia bisa melupakan kegundahan hatinya. Kalau boleh meminta, Ayu juga sangat berharap Bahtiar tidak bisa memenuhi syarat soal mahar. Dengan begitu, rencana pernikahan mereka bisa dibatalkan. Baru sebentar merasakan kebahagiaan, Ayu harus kembali tersadar oleh realita. Sekar sudah menunggu di depan gerobak es teh sesampainya Ayu di sana. “Ada apa, Kar?” Dia memandang Sekar dan Uri bergantian. “Teteh disuruh pulang sekarang,” ucap Sekar lemah. “Pulang? Ngapain? Jam kerja Teteh masih lama.” “Pokoknya pulang dulu aja, Teh. Nanti aku ceritain sambil jalan.” “Ya udah, iya. Tapi tunggu sebentar, Teteh kemasi dagangan dulu.” “Buruan, Yu!” tegur Uri. “Barang-barang biar aku yang beresin.” Kening Ayu berkerut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? * BersambungDua orang anak buah Bahtiar mulai menyerah menghadapi serangan hackers. Satu di antaranya terduduk lemas sambil memegangi kepala. Yang lainnya menatap layar kosong tanpa kata.Bahtiar berdiri di tengah ruangan dengan tangan terkepal, berusaha menahan amarah sekaligus frustrasi. Bukan kepada timnya, tapi kepada orang tidak bertanggung jawab di balik kekacauan ini.“Bos .…” Suara Gugun memecah keheningan. Pria pemilik cambang tipis itu mendekat dengan langkah sedikit ragu.“Anak-anak kayaknya udah kecapekan banget. Kita harus gimana?”Bahtiar mengangguk pelan. Dia bisa melihat, tim IT-nya yang lulusan SMK itu sudah mengerahkan semua kemampuan. Namun, tampaknya mereka sudah mencapai batas.Ada sesuatu yang mengganjal. Nama Ardan mengusik pikirannya. Akan tetapi, Bahtiar tidak mau buru-buru mengungkapkan kecurigaan tersebut. Menyebut nama tanpa bukti sama saja dengan membuka konflik baru yang lebih rumit.“Bos, apa akhir-akhir ini kita punya musuh baru? Mungkin ada orang yang tersinggung
Aplikasi jadwal salat di ponsel Ayu otomatis memutar azan ketika waktu Zuhur telah tiba. Ketiga wanita yang semula asyik mengobrol itu serentak diam.“Teh Ayu sama Teh Uri lagi pada shalat, nggak?” tanya Sora. “Kebetulan aku sedang berhalangan.”“Uri juga sedang datang bulan, Teh. Aku ke mushalla sendiri saja,” ujar Ayu.Sekilas, Uri melihat tatapan enggan dari Sora. Alangkah terkejut dirinya ketika kemudian Sora berkata, “Gini aja, Teh Ayu ke musholla, kami ke restoran duluan buat pesan makanan. Gimana?”Ayu dan Uri saling melempar pandang. Uri sudah memberi isyarat agar tidak meninggalkan mereka berdua. Namun, Ayu mengangguk setuju.“Biar kalian cepet akrab,” bisik Ayu sambil tersenyum jahil. Uri hanya bisa menghela napas pasrah.Ketiganya lantas berjalan beriringan dan berpisah di dekat eskalator. Uri dan Sora menuju lantai lima sementara Ayu ke musholla yang terletak di lantai dasar.Berjalan bersama Sora membuat Uri merasa seperti langit dan bumi. Sora itu tinggi semampai, punya
“Semalam pulang jam berapa, Bang? Maaf aku ketiduran,” tanya Ayu ketika Bahtiar kembali dari masjid untuk salat Subuh.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia meraih cangkir teh melati di meja, menghidu aroma wanginya, lalu meneguk sedikit dengan mata terpejam.“Sekitar jam 12 kalau nggak salah. Kamu kayaknya capek banget, jadi Abang nggak tega bangunin.”Ayu tersenyum malu-malu. Kemarin dirinya memang sibuk di butik karena ada stok yang baru tiba dari suplier. Badannya sangat letih sebab baru kembali ke rumah menjelang pukul sembilan malam.Rasa penasaran membuatnya bertanya lagi.“Gimana pertemuan keluarga dengan Ardan? Lancar?”“Ya … lancar-lancar saja. Dia jawab semua pertanyaan Papa sama Mama dengan tenang. Tapi Abang belum bisa ambil kesimpulan sekarang. Butuh waktu buat lihat lebih jauh,” ujar Bahtiar diplomatis.Tatapan Ayu menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. Nanti Bahtiar akan cerita sendiri kalau memang perlu.“Semoga dia benera
Deru mesin mobil sedan keluaran 90an terdengar memasuki halaman rumah, berbarengan dengan cahaya lampu yang menerobos sela-sela pagar besi bercat hitam. Catnya berwarna abu-abu kusam dengan sedikit baret di sisi pintu kanan.Belinda, yang duduk di ruang tamu bersama abang dan kedua orang tua, buru-buru berdiri sambil merapikan kerudung. Senyum di wajahnya merekah seketika. Dia bergegas menghampiri Ardan yang baru turun dari mobil dan langsung mengajaknya masuk rumah.Pandangan Bahtiar tak lepas dari mobil itu. Alisnya terangkat sedikit.“Anak seorang Herman Tarigan datang dengan mengendarai mobil tua? Dia sedang berpura-pura miskin atau apa?” gumamnya dalam hati.Mesin manual, bodi sedikit bergetar saat mesin dimatikan, jauh dari kesan mewah. Herman Tarigan diketahui memiliki usaha ekspedisi pengiriman dan gerai minimarket. Tadinya Bahtiar pikir lelaki itu akan mengendarai–minimal–mobil MPV.Sosok Ardan Pratama muncul dengan setelan kemeja putih polos yang digulung rapi hingga siku se
“Ardan ternyata adalah anak bungsu Herman Tarigan!” ucap Gugun hati-hati.“Herman Tarigan?” Bahtiar mencoba mengingat-ingat. Nama itu tidak asing di telinganya.“Herman yang rekrut Aboy dan buka konter jasa ekspedisi di dekat kantor kita itu, Bos!”Hening sejenak. Bahtiar merasa darahnya berhenti mengalir. Nama itu menyeruak, membawa ingatan pahit yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam.Pak Herman adalah orang yang pernah mencoba menjatuhkannya lewat cara kotor. Dia merebut pelanggan dengan iming-iming potongan harga dan menyebarkan gosip murahan atas informasi dari Aboy.“Kamu yakin, Gun?” suaranya nyaris serak.“Seratus persen yakin, Bang. Menurut informan gue, Herman ini memang pebisnis yang licik. Makanya banyak yang nggak suka dan mencoba mengumpulkan informasi soal keluarganya.”Bahtiar mengusap wajahnya pelan. Dada terasa sesak seakan ruangan menyempit. “Oke. Makasih, Gun. Jangan cerita ke siapa pun soal ini.”“Siap, Bos.”Sambungan terputus. Bahtiar menatap layar ponselnya
“Siapa dia?” tanya Bahtiar akhirnya. Nadanya datar, tapi sarat rasa ingin tahu.Belinda menegakkan punggung. Sorot matanya mantap meski kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.“Namanya Ardan Pratama, teman sefakultas waktu kuliah dulu. Orang tuanya asli Minang, tapi dia lahir dan besar di Karawang.”Juragan Manan terbatuk kecil. “Sepertinya Papa belum pernah dengar nama itu.”“Ya, karena dulu kami cuma sebatas kenal. Baru belakangan ini komunikasi lagi,” jawab Belinda pelan.Bahtiar mencondongkan tubuh. “Kerjanya apa?”“Dia mengelola usaha parfum isi ulang, Bang. Alhamdulillah lancar dan sudah punya dua cabang.”Sejenak, tak ada yang bersuara. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan latar belakang suku maupun status sosial. Hanya saja, kabar ini terlalu mendadak.Bu Ely bertanya, “Orangnya baik? Keluarganya gimana?”Belinda menarik napas panjang. Dia tahu bagian ini akan sulit. Setali tiga uang dengan dirinya, Ardan juga pernah punya masa lalu yang kelam.“Dia dulu semp