Ayu duduk di depan cermin besar. Wajahnya tampak anggun dalam balutan riasan tipis dan gaun putih panjang menutup aurat. Tatapan matanya kosong. Ini adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan bagi seorang pengantin wanita. Namun, bagi Ayu, ini terasa seperti lonceng yang menyadarkan Cinderella bahwa kebebasannya segera berakhir.
Di luar, para tamu undangan sudah mulai memadati gedung. Sejujurnya, Ayu cukup takjub. Calon suaminya mampu menggelar acara pernikahan yang terbilang mewah hanya dalam waktu persiapan tujuh hari. Benar kata orang, uang bisa membuat segala sesuatu lebih mudah. Ketika saatnya tiba, Ayu duduk bersisian dengan Bahtiar. Tangannya dingin saat penghulu memulai prosesi ijab qabul. Di sampingnya, Bahtiar tampak sangat serius seolah-olah pernikahan ini adalah sesuatu yang telah lama ia nantikan. “Saya terima nikahnya Ayu Andani ….” Bahtiar menelan ludah. Mengucap akad ternyata tidak semudah kelihatannya. Dahinya mulai dibasahi keringat sebesar biji jagung. Penghulu mengoreksi namanya lengkap Ayu. Dia juga kembali menuntun Bahtiar untuk menghafal akad dan mengucapkannya dalam satu tarikan napas. “Saya terima kawinnya ….” Beberapa tamu spontan tertawa. Ayu tertunduk makin dalam. Sungguh, dia merasa sudah tidak punya muka. Akad saja tidak becus, bagaimana Bahtiar akan membimbing istrinya? Bahtiar mengambil sapu tangan dari saku jas. Penghulu memberi jeda lima menit agar calon pengantin pria bisa menghafal kembali akad nikahnya. Kasak-kusuk mulai terdengar di belakang. Setelah merasa siap, Bahtiar kembali menjabat tangan penghulu. Pada percobaan ketiga itu, akhirnya dia dapat mengucapkan ijab qabul dengan lancar. Ayu meneteskan air mata ketika para saksi menyatakan sah. “Ya Allah, aku yakin Engkau tidak akan memberikan ujian yang tidak sanggup kupikul. Karena itu, kuatkan aku. Tabahkan hatiku. Berikanlah hikmah sebagai balasan atas kesabaranku,” doa Ayu dalam hati. Wanita yang telah sah menjadi istri Bahtiar itu memperhatikan sekitar. Dia melihat ibunya menangis haru. Bapaknya menghela napas lega, entah karena anak sulung sudah lepas tanggungan atau karena utangnya akhirnya dianggap lunas. Yang jelas, dua alasan itu sama-sama tidak menyenangkan bagi Ayu. Bahtiar menatapnya dengan senyum kemenangan. Ayu merinding. Di matanya, tatapan Bahtiar itu seperti serigala kelaparan yang siap menerkam. Acara dilanjutkan dengan resepsi yang digelar selama dua jam. Bahtiar tampak begitu bahagia menerima ucapan selamat dari keluarga dan tamu yang hadir. Pria itu setengah memaksa agar Ayu mau melingkarkan tangan dan bergelayut manja. Kepercayaan dirinya naik berkali-kali lipat setiap kali tamu memuji kecantikan istrinya. Bibir Ayu kelu saat Zen dan keluarganya turut naik ke panggung dan memberi ucapan selamat. Matanya hampir-hampir tidak berkedip. Tangannya gemetar saat menangkup di depan dada. Ayu menatap punggung Zen sampai lelaki itu turun dari panggung dan berbaur dengan kerumuman orang. Bahtiar diam-diam memperhatikan sikap istrinya. Meski tujuannya menikahi Ayu telah tercapai, ternyata kebahagiaannya belum sempurna. Saat Ayu menatapnya, Bahtiar seakan-akan bisa melihat api kebencian yang menyala-nyala. Namun, di hadapan putra pemilik pondok pesantren itu, Ayu memberi tatapan sesejuk mata air pegunungan. Seorang fotografer memberi arahan agar Ayu dan Bahtiar berfoto bersama keluarga. Ayu tersenyum tipis, tapi mata sayunya tidak bisa menyembunyikan kepedihan. Dia membiarkan fotografer mengambil beberapa gambar. Sekali lagi, dia merasa seperti boneka yang sedang dipamerkan. Di sudut ruangan, Belinda duduk dengan ekspresi datar. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan atas pernikahan kakaknya. Bahkan ketika semua keluarga besar berkumpul untuk foto bersama, Belinda hanya ikut serta karena diminta, bukan karena keinginannya sendiri. Banyak kolega Bahtiar yang hadir dan menyumbang lagu. Lekai berpenampilan preman ada di mana-mana. Semua kegaduhan itu benar-benar membuat Ayu lelah, baik secara fisik maupun mental. Akibatnya, Ayu merasa tubuhnya seperti melayang dan pandangannya gelap. Semua berjalan begitu cepat. Begitu membuka mata, Ayu sudah berada di dalam sebuah kamar yang terlihat asing, bukan lagi di pelaminan yang penuh bunga dan sorot kamera. “Kamu sudah sadar, Sayang?” Wanita itu terhenyak mendapati Bahtiar sedang duduk di tepi ranjang. Dia masih mengenakan setelan jas putih lengkap dengan peci dan kalungan bunga. Ayu beringsut ke belakang. Baru dia sadari, rambutnya tergerai indah pertanda jilbabnya sudah dilepas. Kebayanya juga sudah tanggal, tersisa kaus manset panjang yang agak ketat. “Abang nggak ngapa-ngapain aku, kan?” tanya Ayu sembari melipat tangan di dada. Bahtiar tertawa keheranan. Dia sengaja mencondongkan badan ke depan. “Memangnya kenapa? Kan udah sah, udah boleh diapa-apain.” “Jilbabku mana?” Ayu panik mencari di bawah bawah dan di sisi ranjang. Mata Bahtiar menyipit. Dia gemas melihat kepanikan Ayu, tapi berusaha stay cool agar tidak terlihat terlalu menggebu-gebu. “Kamu lebih bingung cari jilbab di depan suami daripada mencari tahu sekarang sedang di mana?” Gerakan tangan Ayu terhenti. Benar juga. Kamar dengan dominasi warna putih dan furnitur kayu itu jelas berbeda dengan ruangan rias di gedung resepsi. “Selamat datang di rumah kita, istriku. Di sini, kamu ratunya.” Ayu menelan ludah. Matanya berkedip-kedip ketika mencerna ucapan Bahtiar barusan. “Rumah … kita?” ulangnya. Bahtiar mengangguk. Ayu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Untuk sekian detik, dia merasa takjub. Tidak pernah terpikir dirinya akan memiliki rumah yang kamarnya hampir sama luas dengan keseluruhan rumah milik orang tuanya. “Pakai ini. Kita harus menemui Mama, Papa, dan Belinda di depan,” perintah Bahtiar sambil mengulurkan sebuah jilbab instan berwarna biru muda. Ayu mengambil dan segera memakainya. Hatinya jadi jauh lebih lega setelah rambutnya tertutup rapat. “Tunggu, Bang!” serunya saat akan melangkah menuju pintu. Bahtiar menaikkan alis, menunggu apa yang akan dikatakan Ayu. “Abang punya jaket nggak? Aku malu pakai baju ketat begini.” Bahtiar berdecak kesal. “Ribet amat, sih? Keluarga saya itu sekarang ya keluarga kamu juga. Aneh banget pakai jaket di dalam rumah!” Nyali Ayu ciut. Mulai sekarang, dia harus bersikap biasa saja saat menampakkan aurat di depan keluarga barunya. “Buka lemari itu!” Bahtiar menunjuk lemari putih besar di sudut ruangan. Ayu menurut. Dia sontak menutup mulut saat melihat sederet baju perempuan yang kelihatan masih baru tergantung rapi di dalam lemari. Jangan-jangan …. “Saya tidak tahu selera bajumu seperti apa. Pilih saja satu, setelah itu cepat menyusul ke depan!” Bahtiar berlalu meninggalkan Ayu yang masih mematung. “Jadi, ini semua buat aku?” gumam Ayu. Dia tidak menyangka, lelaki yang selama ini dianggap jahat dan licik itu ternyata punya sisi lain yang baru terlihat setelah menikah. Ayu segera keluar dari kamar setelah berganti pakaian. Dia belum tahu ‘depan’ yang dimaksud Bahtiar itu sebelah mana. Ayu hanya mengira-ngira dari arah datangnya suara percakapan. Semakin dekat, suara percakapan itu semakin jelas. "Aku tidak akan berpura-pura senang dengan pernikahan kalian. Dan juga, jangan pernah menyuruhku menghormati Ayu sebagai seorang kakak karena kami seumuran.” Itu Belinda. Suara Bu Elly terdengar kemudian. “Kamu tahu, Bang, Ayu bukanlah sosok menantu yang Mama harapkan. Tapi karena kamu sudah memilihnya, Mama bisa apa? Yah, semoga saja dia tidak banyak tingkah.” Ayu menunduk. Ia tahu betul, orang kaya seperti keluarga Bahtiar pasti menginginkan menantu dari keluarga terpandang. Seorang wanita dari lingkungan yang sama, bukan gadis sederhana sepertinya. "Kita lihat saja, Ma. Papa yakin, Ayu tidak akan berani macam-macam karena dia berutang budi pada keluarga kita,” sambung Juragan Manan. Lutut Ayu lemas dan kakinya gemetar. Dadanya terasa sesak. Semua orang di keluarga itu tidak menyukainya. Akankah ia diperlakukan buruk dan selalu dicari-cari kesalahannya? *** Bersambung“Kok kamu bisa salah sih, Mas?” protes Sora. “Aku kan takutnya sama kucing, bukan kecoa!”Gunadi menggaruk kepala. Namun, wajahnya tidak benar-benar tampak merasa bersalah.“Ya udah sih, Sayang, lagian cuma games. Nggak lucu juga kalau kamu yang kasih hadiah, kamu juga yang dapat.”“Bukan soal menang kalahnya, Mas. Ini dikasih soal yang gampang aja kamu tetep jawab salah, apalagi kalau soalnya susah?” Sora masih tidak terima. Meski nada bicaranya sama sekali tidak meninggi, kerutan di alisnya menandakan bahwa ia sedang kesal.Melihat situasi mulai memanas, Ayu segera menengahi perdebatan pasangan itu. “Kita lanjut ke pertanyaan keempat, ya!”Ayu sengaja mencari pertanyaan yang kira-kira mudah dan bisa Gunadi jawab dengan tepat. Mereka akhirnya bisa menyelesaikan 10 pertanyaan.“Oke, kita rekap, ya!” kata Ayu sambil menatap peserta satu per satu.“Uri dan Bang Gugun berhasil mengumpulkan tujuh poin. Ayu dan Bang Tiar delapan poin. Dan terakhir, Teh Sora dan Pak Gunadi … tiga poin!”Uri
Nyaring suara tonggeret, dinginnya udara pegunungan, serta kabut tipis yang turun perlahan membuat suasana pagi itu terasa syahdu. Uri yang semalam mabuk perjalanan sudah terlihat lebih segar. Pun dengan Ayu yang kemarin sempat kehabisan tenaga.Pagi itu, Ayu sibuk menyiapkan sarapan bersama Sora di dapur villa. Dari ruang utama, Bahtiar memperhatikan keduanya. Sora tertawa lepas, wajahnya seolah tak menyimpan luka. Kontras sekali dengan keluhan getir yang ia lontarkan semalam.Harum aroma kopi dan mie rebus mengepul dari panci kecil yang diletakkan di atas kompor. Meski dengan menu seadanya, sarapan itu terasa mewah karena dinikmati bersama orang-orang terdekat. Tawa mereka berpadu dengan suara burung-burung liar yang bersahutan dari dahan pinus.“Yuk, sarapan dulu sebelum mandi! Habis itu kita kumpul di ruang utama karena Teh Sora sudah menyiapkan mini games buat kita,” ajak Ayu kepada lima orang lainnya.“Mini games?” ulang Bahtiar.“Iya, Bang. Tapi Teh Sora nggak bilang gamesnya a
“Lama-lama capek juga ya pura-pura nggak kenal sama kamu.”Bahtiar spontan menoleh. Dahinya langsung berkerut.“Kita … pernah ketemu?” tanyanya, suaranya ragu campur penasaran.Sora menarik sudut bibir hingga membentuk lengkungan yang tidak simetris. “Coba ingat-ingat lagi. Ospek mahasiswa baru Sekolah Tinggi Manajemen Keuangan, tahun 2018.”Bahtiar menelengkan kepala sambil menyipitkan mata. Ia lantas menggeleng pelan karena tidak ada sesuatu yang spesial untuk diingat.“Ikat kepala tradisional Sunda,” pancing Sora lagi.Mata Bahtiar langsung membelalak. “Jangan bilang kamu ….”Sora mengangguk cepat. “Iya. Aku yang nolong kamu waktu kamu lupa bawa ikat kepala batik.”“Astaga!” Bahtiar menepuk dahi. “Jadi itu kamu?”“Yap! Udah ingat sekarang?”Bahtiar mengerjap-ngerjapkan mata, antara terkesima dan heran bagaimana Sora masih ingat dirinya. Kejadiannya bahkan sudah berlalu hampir 10 tahun.“Kok bisa, sih?” gumam Bahtiar lagi. “Serius nggak nyangka banget bisa ketemu lagi dengan cara se
Sebuah koper besar terbuka di atas tempat tidur. Ayu sibuk memasukkan pakaian hangat, kerudung, perlengkapan mandi, serta barang lainnya. Sesekali ia berhenti, senyum-senyum sendiri, lalu kembali melipat pakaian dengan rapi. Rasa penat beberapa hari terakhir seolah luruh, berganti dengan semangat baru menyambut perjalanan menuju Puncak, Bogor.[Aku ada ide! Gimana kalau kita jalan-jalan ke puncak? Aku punya villa di sana. Kita nginep sambil barbeque-an.]Itu bunyi pesan Sora beberapa hari lalu. Ayu awalnya kaget, tapi setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya itu bukanlah ide yang buruk.[Mau camping nggak, Teh? Aku kangen banget camping di gunung kayak waktu Pramuka SMA.][Boleh banget! Kita bangun tenda di lapangan sebelah villa aja. Biar nggak terlalu repot kalau butuh apa-apa.]Ayu membalas dengan emoji senyum disertai mata love. Pesan lanjutan dari Sora kembali masuk.[Kamu ajak Bang Tiar juga, ya. Suami juga ikut soalnya.]Ayu terpikir untuk mengajak Uri sekalian. Baginya, liburan
Ruang tamu malam itu terasa hampa. Ayu duduk di sofa dengan tangan bertaut. Wajahnya muram. Di hadapannya, Bahtiar baru saja menutup sambungan telepon dengan klien. Sejak tadi Ayu ragu membuka topik, tetapi beban pikirannya terlalu besar untuk ditahan sendirian.“Bang,” ucapnya pelan, “aku mau cerita, tapi bingung mulainya dari mana.”Bahtiar menoleh cepat, menatap istrinya penuh perhatian. “Ada apa, Sayang? Sini, sini ….”Ayu beringsut mendekat. Kepalanya rebah di paha Bahtiar dengan posisi tidur miring ke kanan. Lelaki itu lantas mengusap rambutnya dengan lembut.“Sebenarnya sedang ada masalah yang cukup serius di butik.” Ayu mengawali ceritanya.Bahtiar diam, menyimak kelanjutan ucapan sang istri. Ayu kemudian menjelaskan semuanya dari awal: perbedaan jumlah stok, diskusinya dengan Sora, hasil analisis Galuh tentang laporan keuangan, hingga Ayu yang memergoki tindakan curang karyawannya lewat CCTV.Ayu menutup ceritanya dengan pengakuan Siska, Mia, dan Wina. Tentang mengapa dan bag
“Ada yang nggak beres dengan laporannya, Teh. Ini kayaknya bukan sekadar salah ketik!” ucap Galuh lirih, tapi penuh keyakinan.Galuh memutar layar laptop sedikit agar Ayu bisa melihat lebih jelas. Jari telunjuknya mengetuk angka-angka yang sudah ia sorot kuning, lalu berpindah ke kertas bukti pembayaran dari suplier.“Lihat! Di bulan Februari selisihnya masih sedikit, cuma tiga cardigan. Tapi makin ke sini, jumlahnya makin banyak. Kalau cuma salah ketik, seharusnya hanya satu-dua data yang berbeda.”Ayu menunduk, membaca angka yang ditunjuk Galuh. Memang ada ketidaksesuaian dan jumlahnya mengalami peningkatan.“Terus ….” Galuh beralih pada tabel pengeluaran bulanan. “Biar nggak keliatan janggal dan angka hitungan akhirnya tetap sama, mereka nambahin pengeluaran fiktif. Kayak di bulan Juni nih, tiba-tiba ada biaya servis AC. Padahal kan AC di butik Teteh baru ganti. Masih ada garansi toko kalau memang bermasalah.”Ayu terdiam. Ingatannya langsung melayang ke nota pembelian AC yang masi