Beranda / Romansa / JERAT CINTA RENTENIR MUDA / Bukan Pernikahan Impian

Share

Bukan Pernikahan Impian

Penulis: DV Dandelion
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 15:40:32

Ayu duduk di depan cermin besar. Wajahnya tampak anggun dalam balutan riasan tipis dan gaun putih panjang menutup aurat. Tatapan matanya kosong. Ini adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan bagi seorang pengantin wanita. Namun, bagi Ayu, ini terasa seperti lonceng yang menyadarkan Cinderella bahwa kebebasannya segera berakhir.

Di luar, para tamu undangan sudah mulai memadati gedung. Sejujurnya, Ayu cukup takjub. Calon suaminya mampu menggelar acara pernikahan yang terbilang mewah hanya dalam waktu persiapan tujuh hari. Benar kata orang, uang bisa membuat segala sesuatu lebih mudah.

Ketika saatnya tiba, Ayu duduk bersisian dengan Bahtiar. Tangannya dingin saat penghulu memulai prosesi ijab qabul. Di sampingnya, Bahtiar tampak sangat serius seolah-olah pernikahan ini adalah sesuatu yang telah lama ia nantikan.

“Saya terima nikahnya Ayu Andani ….”

Bahtiar menelan ludah. Mengucap akad ternyata tidak semudah kelihatannya. Dahinya mulai dibasahi keringat sebesar biji jagung.

Penghulu mengoreksi namanya lengkap Ayu. Dia juga kembali menuntun Bahtiar untuk menghafal akad dan mengucapkannya dalam satu tarikan napas.

“Saya terima kawinnya ….”

Beberapa tamu spontan tertawa. Ayu tertunduk makin dalam. Sungguh, dia merasa sudah tidak punya muka. Akad saja tidak becus, bagaimana Bahtiar akan membimbing istrinya?

Bahtiar mengambil sapu tangan dari saku jas. Penghulu memberi jeda lima menit agar calon pengantin pria bisa menghafal kembali akad nikahnya. Kasak-kusuk mulai terdengar di belakang.

Setelah merasa siap, Bahtiar kembali menjabat tangan penghulu. Pada percobaan ketiga itu, akhirnya dia dapat mengucapkan ijab qabul dengan lancar. Ayu meneteskan air mata ketika para saksi menyatakan sah.

“Ya Allah, aku yakin Engkau tidak akan memberikan ujian yang tidak sanggup kupikul. Karena itu, kuatkan aku. Tabahkan hatiku. Berikanlah hikmah sebagai balasan atas kesabaranku,” doa Ayu dalam hati.

Wanita yang telah sah menjadi istri Bahtiar itu memperhatikan sekitar. Dia melihat ibunya menangis haru. Bapaknya menghela napas lega, entah karena anak sulung sudah lepas tanggungan atau karena utangnya akhirnya dianggap lunas. Yang jelas, dua alasan itu sama-sama tidak menyenangkan bagi Ayu.

Bahtiar menatapnya dengan senyum kemenangan. Ayu merinding. Di matanya, tatapan Bahtiar itu seperti serigala kelaparan yang siap menerkam.

Acara dilanjutkan dengan resepsi yang digelar selama dua jam. Bahtiar tampak begitu bahagia menerima ucapan selamat dari keluarga dan tamu yang hadir. Pria itu setengah memaksa agar Ayu mau melingkarkan tangan dan bergelayut manja. Kepercayaan dirinya naik berkali-kali lipat setiap kali tamu memuji kecantikan istrinya.

Bibir Ayu kelu saat Zen dan keluarganya turut naik ke panggung dan memberi ucapan selamat. Matanya hampir-hampir tidak berkedip. Tangannya gemetar saat menangkup di depan dada.

Ayu menatap punggung Zen sampai lelaki itu turun dari panggung dan berbaur dengan kerumuman orang. Bahtiar diam-diam memperhatikan sikap istrinya. Meski tujuannya menikahi Ayu telah tercapai, ternyata kebahagiaannya belum sempurna.

Saat Ayu menatapnya, Bahtiar seakan-akan bisa melihat api kebencian yang menyala-nyala. Namun, di hadapan putra pemilik pondok pesantren itu, Ayu memberi tatapan sesejuk mata air pegunungan.

Seorang fotografer memberi arahan agar Ayu dan Bahtiar berfoto bersama keluarga. Ayu tersenyum tipis, tapi mata sayunya tidak bisa menyembunyikan kepedihan. Dia membiarkan fotografer mengambil beberapa gambar. Sekali lagi, dia merasa seperti boneka yang sedang dipamerkan.

Di sudut ruangan, Belinda duduk dengan ekspresi datar. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan atas pernikahan kakaknya. Bahkan ketika semua keluarga besar berkumpul untuk foto bersama, Belinda hanya ikut serta karena diminta, bukan karena keinginannya sendiri.

Banyak kolega Bahtiar yang hadir dan menyumbang lagu. Lekai berpenampilan preman ada di mana-mana. Semua kegaduhan itu benar-benar membuat Ayu lelah, baik secara fisik maupun mental. Akibatnya, Ayu merasa tubuhnya seperti melayang dan pandangannya gelap.

Semua berjalan begitu cepat. Begitu membuka mata, Ayu sudah berada di dalam sebuah kamar yang terlihat asing, bukan lagi di pelaminan yang penuh bunga dan sorot kamera.

“Kamu sudah sadar, Sayang?”

Wanita itu terhenyak mendapati Bahtiar sedang duduk di tepi ranjang. Dia masih mengenakan setelan jas putih lengkap dengan peci dan kalungan bunga.

Ayu beringsut ke belakang. Baru dia sadari, rambutnya tergerai indah pertanda jilbabnya sudah dilepas. Kebayanya juga sudah tanggal, tersisa kaus manset panjang yang agak ketat.

“Abang nggak ngapa-ngapain aku, kan?” tanya Ayu sembari melipat tangan di dada.

Bahtiar tertawa keheranan. Dia sengaja mencondongkan badan ke depan.

“Memangnya kenapa? Kan udah sah, udah boleh diapa-apain.”

“Jilbabku mana?” Ayu panik mencari di bawah bawah dan di sisi ranjang.

Mata Bahtiar menyipit. Dia gemas melihat kepanikan Ayu, tapi berusaha stay cool agar tidak terlihat terlalu menggebu-gebu.

“Kamu lebih bingung cari jilbab di depan suami daripada mencari tahu sekarang sedang di mana?”

Gerakan tangan Ayu terhenti. Benar juga. Kamar dengan dominasi warna putih dan furnitur kayu itu jelas berbeda dengan ruangan rias di gedung resepsi.

“Selamat datang di rumah kita, istriku. Di sini, kamu ratunya.”

Ayu menelan ludah. Matanya berkedip-kedip ketika mencerna ucapan Bahtiar barusan.

“Rumah … kita?” ulangnya.

Bahtiar mengangguk. Ayu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Untuk sekian detik, dia merasa takjub. Tidak pernah terpikir dirinya akan memiliki rumah yang kamarnya hampir sama luas dengan keseluruhan rumah milik orang tuanya.

“Pakai ini. Kita harus menemui Mama, Papa, dan Belinda di depan,” perintah Bahtiar sambil mengulurkan sebuah jilbab instan berwarna biru muda.

Ayu mengambil dan segera memakainya. Hatinya jadi jauh lebih lega setelah rambutnya tertutup rapat.

“Tunggu, Bang!” serunya saat akan melangkah menuju pintu. Bahtiar menaikkan alis, menunggu apa yang akan dikatakan Ayu.

“Abang punya jaket nggak? Aku malu pakai baju ketat begini.”

Bahtiar berdecak kesal. “Ribet amat, sih? Keluarga saya itu sekarang ya keluarga kamu juga. Aneh banget pakai jaket di dalam rumah!”

Nyali Ayu ciut. Mulai sekarang, dia harus bersikap biasa saja saat menampakkan aurat di depan keluarga barunya.

“Buka lemari itu!” Bahtiar menunjuk lemari putih besar di sudut ruangan.

Ayu menurut. Dia sontak menutup mulut saat melihat sederet baju perempuan yang kelihatan masih baru tergantung rapi di dalam lemari. Jangan-jangan ….

“Saya tidak tahu selera bajumu seperti apa. Pilih saja satu, setelah itu cepat menyusul ke depan!”

Bahtiar berlalu meninggalkan Ayu yang masih mematung.

“Jadi, ini semua buat aku?” gumam Ayu. Dia tidak menyangka, lelaki yang selama ini dianggap jahat dan licik itu ternyata punya sisi lain yang baru terlihat setelah menikah.

Ayu segera keluar dari kamar setelah berganti pakaian. Dia belum tahu ‘depan’ yang dimaksud Bahtiar itu sebelah mana. Ayu hanya mengira-ngira dari arah datangnya suara percakapan. Semakin dekat, suara percakapan itu semakin jelas.

"Aku tidak akan berpura-pura senang dengan pernikahan kalian. Dan juga, jangan pernah menyuruhku menghormati Ayu sebagai seorang kakak karena kami seumuran.”

Itu Belinda. Suara Bu Elly terdengar kemudian.

“Kamu tahu, Bang, Ayu bukanlah sosok menantu yang Mama harapkan. Tapi karena kamu sudah memilihnya, Mama bisa apa? Yah, semoga saja dia tidak banyak tingkah.”

Ayu menunduk. Ia tahu betul, orang kaya seperti keluarga Bahtiar pasti menginginkan menantu dari keluarga terpandang. Seorang wanita dari lingkungan yang sama, bukan gadis sederhana sepertinya.

"Kita lihat saja, Ma. Papa yakin, Ayu tidak akan berani macam-macam karena dia berutang budi pada keluarga kita,” sambung Juragan Manan.

Lutut Ayu lemas dan kakinya gemetar. Dadanya terasa sesak. Semua orang di keluarga itu tidak menyukainya. Akankah ia diperlakukan buruk dan selalu dicari-cari kesalahannya?

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Amnesia (2)

    “Langsung aja ya, Teh. Maaf aku nggak bisa basa-basi,” kata Uri. Belinda mengangguk dan memperhatikan dengan seksama.“Dari obrolan sejak kemarin, aku berkesimpulan kalau ingatan Ayu terhenti sampai waktu sebelum dia menikah. Dia tahu siapa aku, tapi nggak ingat sama Teteh. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Bang Tiar sepertinya identik dengan kenangan buruk. Makanya dia bereaksi begitu.”“Terus kita harus gimana?” rengek Belinda.Uri menggeleng lemah. Ia sudah beberapa kali mencoba meyakinkan Ayu bahwa Bahtiar adalah suaminya, tapi hasilnya nihil. Ayu bahkan menuduh Bahtiar sengaja mengedit foto yang diunggah di medsos.Ayu pernah bercerita kepada Uri bahwa Bahtiar memang sangat ingin menikah dengannya. Ia bersedia menganggap lunas utang Pak Seno asalkan Ayu menjadi istrinya. Sudah, ingatan Ayu terhenti sampai di situ.“Kalau dia pingsan terus, akan sulit bagi kita untuk segera kembali ke Karawang. Paling tidak, badannya harus fit dulu supaya boleh pulang.”Belinda setuju dengan

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Amnesia (1)

    Ayu menggeliat lemah. Lehernya kaku dan kepalanya berat, seolah separuh pikirannya masih tertahan di alam mimpi. Ia mencoba membuka mata, tapi silau cahaya dari lampu kamar membuatnya kembali memejam. Beberapa detik kemudian, ia kembali mengerjap.Wanita itu mengedarkan pandangan. Ruangan yang ia tempati serba putih. Bau obat dan cairan antiseptik menusuk hidung. Sebuah infus menggantung, terhubung dengan tangan kanannya melalui sebuah selang.Matanya lantas membelalak saat menoleh ke sisi kiri. Seorang lelaki yang sangat ia kenal sedang duduk terkantuk-kantuk sambil memegangi tangannya. Karena takut, ia buru-buru menarik tangan hingga lelaki itu terlonjak bangun.“Sayang, kamu sudah sadar?”“Apa kamu bilang? Sayang?” Ayu memicingkan mata. Ia beringsut mundur, menyingkir sejauh yang ia bisa.“Iya, Sayang. Tunggu sebentar aku panggil dok–”“Jangan sentuh aku!”Ayu menangkis tangan Bahtiar yang hendak mengusap kepalanya. Bahtiar spontan kaget.“Kamu kenapa, Sayang? Apa yang salah?”Ayu

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Jatuh ke Jurang

    “Ayuuu!” Teriakan Uri bergema di antara rerimbunan kebun teh yang hening.Suaranya serak karena tangis dan panik bercampur jadi satu. Ia berlutut di tepian jurang, berusaha melihat sosok sahabatnya yang kini tersangkut di antara akar-akar pohon teh yang menjulur.Daun-daun hijau bergoyang tertiup angin, seakan ikut menertawakan betapa rapuhnya batas antara hidup dan mati di pagi itu.“Teh Sora, gimana ini? Kepala Ayu berdarah!” Wanita itu sudah berlutut di tepi jurang, mengira-ngira bagaimana cara membawa Ayu naik.“Uri, jangan turun! Bahaya!” teriak Sora. Ia menahan bahu Uri yang hampir merosot ke bawah.Sora menarik napas cepat, berusaha menenangkan situasi. “Dengar aku baik-baik! Kamu tetap di sini. Kalau bisa, cari bantuan dari pemetik teh atau mandor kebun. Aku akan kembali ke villa untuk memberi tahu yang lain.”“Tapi–”“Uri!” Nada suara Sora meninggi. “Kamu bisa bahaya kalau maksa turun. Ikuti saranku, paham?!”Uri menggigit bibir. Air matanya menetes. Ia mengangguk dengan kepa

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Jalan-jalan Berakhir Petaka

    “Kok kamu bisa salah sih, Mas?” protes Sora. “Aku kan takutnya sama kucing, bukan kecoa!”Gunadi menggaruk kepala. Namun, wajahnya tidak benar-benar tampak merasa bersalah.“Ya udah sih, Sayang, lagian cuma games. Nggak lucu juga kalau kamu yang kasih hadiah, kamu juga yang dapat.”“Bukan soal menang kalahnya, Mas. Ini dikasih soal yang gampang aja kamu tetep jawab salah, apalagi kalau soalnya susah?” Sora masih tidak terima. Meski nada bicaranya sama sekali tidak meninggi, kerutan di alisnya menandakan bahwa ia sedang kesal.Melihat situasi mulai memanas, Ayu segera menengahi perdebatan pasangan itu. “Kita lanjut ke pertanyaan keempat, ya!”Ayu sengaja mencari pertanyaan yang kira-kira mudah dan bisa Gunadi jawab dengan tepat. Mereka akhirnya bisa menyelesaikan 10 pertanyaan.“Oke, kita rekap, ya!” kata Ayu sambil menatap peserta satu per satu.“Uri dan Bang Gugun berhasil mengumpulkan tujuh poin. Ayu dan Bang Tiar delapan poin. Dan terakhir, Teh Sora dan Pak Gunadi … tiga poin!”Uri

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Games Kekompakan Pasangan

    Nyaring suara tonggeret, dinginnya udara pegunungan, serta kabut tipis yang turun perlahan membuat suasana pagi itu terasa syahdu. Uri yang semalam mabuk perjalanan sudah terlihat lebih segar. Pun dengan Ayu yang kemarin sempat kehabisan tenaga.Pagi itu, Ayu sibuk menyiapkan sarapan bersama Sora di dapur villa. Dari ruang utama, Bahtiar memperhatikan keduanya. Sora tertawa lepas, wajahnya seolah tak menyimpan luka. Kontras sekali dengan keluhan getir yang ia lontarkan semalam.Harum aroma kopi dan mie rebus mengepul dari panci kecil yang diletakkan di atas kompor. Meski dengan menu seadanya, sarapan itu terasa mewah karena dinikmati bersama orang-orang terdekat. Tawa mereka berpadu dengan suara burung-burung liar yang bersahutan dari dahan pinus.“Yuk, sarapan dulu sebelum mandi! Habis itu kita kumpul di ruang utama karena Teh Sora sudah menyiapkan mini games buat kita,” ajak Ayu kepada lima orang lainnya.“Mini games?” ulang Bahtiar.“Iya, Bang. Tapi Teh Sora nggak bilang gamesnya a

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Kisah dari Masa Lalu

    “Lama-lama capek juga ya pura-pura nggak kenal sama kamu.”Bahtiar spontan menoleh. Dahinya langsung berkerut.“Kita … pernah ketemu?” tanyanya, suaranya ragu campur penasaran.Sora menarik sudut bibir hingga membentuk lengkungan yang tidak simetris. “Coba ingat-ingat lagi. Ospek mahasiswa baru Sekolah Tinggi Manajemen Keuangan, tahun 2018.”Bahtiar menelengkan kepala sambil menyipitkan mata. Ia lantas menggeleng pelan karena tidak ada sesuatu yang spesial untuk diingat.“Ikat kepala tradisional Sunda,” pancing Sora lagi.Mata Bahtiar langsung membelalak. “Jangan bilang kamu ….”Sora mengangguk cepat. “Iya. Aku yang nolong kamu waktu kamu lupa bawa ikat kepala batik.”“Astaga!” Bahtiar menepuk dahi. “Jadi itu kamu?”“Yap! Udah ingat sekarang?”Bahtiar mengerjap-ngerjapkan mata, antara terkesima dan heran bagaimana Sora masih ingat dirinya. Kejadiannya bahkan sudah berlalu hampir 10 tahun.“Kok bisa, sih?” gumam Bahtiar lagi. “Serius nggak nyangka banget bisa ketemu lagi dengan cara se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status