"Kapan kau akan mengakhiri hubungan dengan orang itu? Perlukah aku menemui dan memintanya untuk tak bertemu denganmu lagi? Aku tak terima kau jadikan sebagai simpanan, apa lagi hanya pelarian.""Kau ini bicara apa? Kapan aku menjadikanmu seperti itu?""Kau hanya tinggal mengirim pesan. Setelah itu semuanya selesai. Jika dia masih bersikeras, selanjutnya biar menjadi urusanku.""Begitukah caramu dalam mendapatkan yang kau inginkan? Sudah berapa banyak wanita yang kau perlakukan seperti aku, ha?""Baru kau saja.""Di usia yang hampir tiga puluh tahun?""Biasanya para wanita yang mengejarku. Aku hanya tinggal memilih saja.""Hish, Ren!" Aku mencubit pahanya dengan kesal. Kali ini agak kuat, hingga dia merintih dan kesakitan."Lihatlah, kau begitu cemburu saat aku menyebut wanita lain yang tak pernah kau lihat." Dia mengusap bekas pelampiasanku tadi."Lalu bagaimana dengan perasaanku yang setiap saat memikirkan bahwa kau dan si brengsek itu selalu bercanda dan tertawa, ha? Bahkan sampai m
Aku menangis di kasur tipis di kamar sempit ini. Memeluk guling, membelakangi dia yang kini berbaring miring sambil memelukku."Kau menangis?" bisiknya lembut di telingaku.Aku langsung membalikkan tubuh dan menghadapnya. Memeluknya dengan sekuat tenaga. Membenamkan diri dalam dada bidangnya dengan tangis yang semakin terisak."Hei, kenapa seperti ini?" Dia terdengar merasa bersalah, semakin mendekapku dalam pelukan.Aku tak menjawab, masih larut dalam kesedihan. Kurasakan kini tangannya membelai, dan merapikan rambut yang berserakan menutupi wajahku. "Kau marah?" Suaranya lembut, merayu.Aku mengusap air mata, lalu bangkit. Duduk, dan kembali membelakanginya. Masih menangis sambil memeluk lutut. Dia ikut bergerak, kembali merangkul tubuhku dari belakang. Mendekatkan wajahnya ke telingaku."Aku sudah menepati janji untuk tak melakukan itu padamu. Kenapa malah menangis?" Ya, hal itulah kini yang membuatku menangis. Begitu terharu, karena nyatanya masih ada pria seperti Ren yang ben
Siang ini aku diantar Ren ke rumah ayah. Setelah itu dia pergi lagi, dan akan kembali saat urusannya sudah selesai. Seperti biasa aku mengantar keperluan rumah untuk adikku. Padahal Adit sudah melarang, karena kini dia sudah punya penghasilan sendiri untuk mencukupi kebutuhannya.Namun aku bersikeras, karena merasa masih bertanggung jawab dengan remaja kesayanganku itu. Tak ingin membuatnya merasa terbebani dengan tanggung jawab yang belum mampu dia pikul. Sama seperti yang aku rasakan dulu. Dewasa sebelum waktunya."Berhenti bekerja, Dit! Apa masih kurang uang yang kuberikan padamu?" Aku bersungut, saat menjemur pakaiannya."Kakak simpan saja. Sudah bertahun-tahun aku dan ayah seperti lintah yang menempel pada kakak," ucapnya, membantuku mengeluarkan sisa pakaian dari mesin pengering."Kau bicara apa? Kau sudah berani melawanku sekarang. Apa karena sekarang kau sudah bisa menghasilkan uang, dan tidak butuh aku lagi?""Aku hanya ingin merasa berguna, kak. Aku seorang laki-laki. Selam
Mataku mengerjab melihat Daryan. Tak menyangka kalau dia masih akan datang setelah kejadian waktu itu. Apalagi jelas-jelas aku sudah mengakhiri hubungan kami. Dan dia pun menerimanya, meski berujung penghinaan bernada emosi.Jujur, aku tak pernah membencinya. Hanya saja merasa kesal dengan kejadian yang menimpaku saat itu, hingga membuat rasa yang dulu pernah ada, perlahan memudar.Kemudian menghilang.Kulirik Ren menatapnya dengan pandangan sinis. Membuatku bergidik ngeri, mengingat perangainya yang selalu menyelesaikan segala urusan dengan tindak kekerasan. Aku bangkit, berdiri untuk menyapa pria yang sekarang berstatus hanya sebagai mantan."Ada apa ke sini?" tanyaku heran."Mencarimu," ucapnya sinis. Namun mata itu tertuju pada pria yang kini sedang duduk di sampingku."Ada perlu apa?"Dia menoleh, menyipit memandangku."Sedang apa dia di sini? Kau masih berhutang padanya?" Daryan menunjuk Ren dengan dagunya.Ren yang merasa terpanggil, meremas batang nikotin yang belum sempat h
"Iya... itu... aku...." Aku berucap ragu."Kau mendapatkannya dari dia?" Ren akhirnya tahu, dan aku tak pernah berniat menyembunyikannya. Aku mengangguk.Ren berjongkok, mensejajarkan tubuh pada Daryan, lalu menarik kembali kerah kemejanya."Berikan nomor rekeningmu, sialan! Aku tak sudi menerima uang dari bajingan sepertimu."Daryan tertawa mengejek, tentu saja dengan suara rintihan dan batuk akibat ulah kekasihku itu."Untuk apa kau melakukan itu? Kau ingin mengambil simpati Maya? Ha!" Daryan tetap menantang, tak merasa takut meski berulang kali tersakiti."Kau kecewa?" Ren tak mau kalah.Daryan kembali tertawa. Membuatku merasa semakin miris. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Meski dia tak tahu bahwa aku dan Ren berpacaran, setidaknya dia harus menyadari kalau dia bukan siapa-siapaku lagi."Sudah kuduga. Kau menyukai Maya, kan?" Daryan terus mengoceh. "Sayang sekali, karena kenyataannya Maya begitu membencimu.""Tutup mulutmu, sialan!" Ren kembali menarik kerahnya, mengay
"Kita harus segera pindah dari rumah ini!" ucap ayah tanpa rasa bersalah.Aku baru saja sampai, saat Adit panik dan memintaku segera pulang."Ini rumah ibu. Kenapa ayah tega menjualnya?" ucapku berang."Ayah juga tidak bermaksud menjualnya. Nanti kalau ayah punya uang banyak, ayah belikan rumah yang lebih bagus dari ini."Omong kosong!Ayah masih saja berkhayal menjadi orang kaya dengan situs-situs judi online itu. Membuatnya mengorbankan segala yang ada di rumah ini. Termasuk sepeda motornya sendiri yang sekarang sudah menghilang entah kemana.Tentu saja aku tak bisa tinggal diam. Adikku yang lemah, tampak memucat. Memikirkan bagaimana nasib kami ke depannya tanpa rumah ini. Satu-satunya harta berharga yang harus kami lindungi."Katakan padanya kalau aku akan mencicil kembali hutang ayah. Dan ini untuk terakhir kalinya!" Aku berteriak dengan kesal."Sudahlah, jangan buang-buang uang. Kau tak akan sanggup membayarnya. Jumlahnya bisa sepuluh kali lipat dari hutang ayah yang lalu. Pak
Aku bersikap seperti ini saja dia masih merendahkanku. Bagaimana jika aku merendahkan diri dan memelas di hadapannya. Dia pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku."Kau jangan sepele padaku, ya. Aku punya usaha untuk bisa membayarmu setiap bulan." Aku berusaha tidak terlihat lemah."Setiap bulan?" Suara tawanya terdengar merendahkan. "Kau pikir aku punya waktu menunggui uang recehmu selama sebulan?"Ah, shit!Sombong sekali rentenir yang satu ini. Dia memajukan sedikit wajahnya ke hadapanku, dengan kedua siku bertumpu pada meja, memegang dagu."Aku akan menagih setiap hari," ujarnya."Mana bisa begitu. Itu membunuh namanya.""Kalau begitu negosiasi batal. Angkat kaki dari rumahku!""Jangan!" sanggahku dengan cepat.Aku mulai merasa cemas. Dia bilang itu rumahnya? Mengesalkan!"Dua minggu sekali aku akan datang mengantar uang padamu." Aku kembali menawar. "Jangan mendatangiku."Dia berdecih! Mungkin muak dengan sikapku yang tak tahu diri. Tentu saja aku tak ingin dia datang.
Aku menyunggingkan senyum, melihat dia yang kini berdiri menungguku usai menutup kedai. Berjalan bersama, sambil bergandengan tangan layaknya pasangan pada umumnya. Sesekali saling menoleh sambil tersenyum malu. Ren menemaniku pulang."Tanganmu sangat kecil. Tapi kalau memukul, sakit sekali," keluhnya, lalu mengapit genggaman tanganku ke dadanya.Aku tertawa kecil, sambil mendorong bahunya dengan bahuku. Kami mengobrol sepanjang jalan, tentang apa saja yang terkadang membuatku merengut mendengarnya. Dia hanya tertawa, seolah wajah cemberut dan marahku jadi hiburan tersendiri dalam hidupnya."Andai sejak awal kau jujur, kejadian di karaoke tak akan mungkin terjadi," sesalku, sambil berdecak. Kembali merasa rendah diri."Tak perlu malu. Apa pun yang terjadi saat itu, aku masih akan terus menyukaimu."Aku mengulum senyum, dengan mata yang menghangat pastinya. Selain umpatan dan kata-kata kasar, ternyata dia juga bisa mengeluarkan kata-kata manis yang membuatku hampir menangis.Kami sam