Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.
Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.
Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.
Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.
Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.
Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya demi kepentinganku saja.
Sedari tadi aku sudah mencari-cari di mana keberadaannya. Menelusuri satu persatu foto di akun i*******m miliknya. Tak ada satu pun petunjuk. Dia hanya berbagi foto saat sedang sendiri. Tak ada keluarga, atau logo perusahaan yang menjadikan mereka kaya raya.
Hari sudah malam. Seperti biasa aku menutup daganganku. Lalu kembali mengintip kembali akun instagramnya. Anak konglomerat memang lebih sering aktif di sana ketimbang akun f******k yang jadi kesukaanku. Dari sosial media saja pun perbedaan kami tampak mencolok.
Eh? Kebetulan sekali. Dia baru saja mengupload sebuah foto sepuluh detik yang lalu. Tapi dimana? Sebentar, sebentar. Bukankah ini....
Dengan cepat aku bersiap, lalu bergegas memesan ojek online. Menuju tempat dimana dia berada. Sedang apa dia di sana? Bersama siapa?
Aku tak peduli. Dengan pacar atau pun calon istri, yang penting aku bisa bertemu dengannya. Meski ada ibu dan keluarga lainnya di sana, akan kukatakan bahwa aku lebih butuh dia dibanding uang ini.
Aku berdoa, agar saat aku sampai nanti, dia masih tetap berada di tempatnya. Aku benar-benar berharap, kami masih bisa bertemu lagi.
"Bisa lebih cepat, Pak?" Aku memohon pada driver.
Aku sampai di depan Hotel berbintang lima. Sepertinya mereka melaksanakan acara di sana. Aku ingat sebulan yang lalu, Daryan pernah bercerita, bahwa kakak laki-lakinya akan melangsungkan pernikahan di gedung ini.
Aku celingak-celinguk mencari ball room tempat diadakannya resepsi mewah. Hingga kulihat tempat yang sama persis saat Daryan berfoto tadi. Sendiri. Ya, hanya sendiri. Tak ada sepasang pengantin maupun keluarganya.
"Maaf. Undangannya mana?" Seorang penjaga menahanku saat hendak memasuki area ruangan. Memandangi gaya berpakaianku dari atas hingga ke bawah.
"Aku mencari seseorang," ucapku, memohon.
"Tapi kau tetap tidak bisa masuk tanpa undangan."
"Tolonglah! Aku harus bertemu dengannya. Dia pemilik...."
"Biarkan saja!" Suara tengil itu tiba-tiba muncul dari arah belakang. Mataku berkaca-kaca saat menoleh ke arahnya. Perkiraanku salah. Dia tak ada di dalam. Entah apa yang dilakukannya di luar, saat acara berlangsung.
Jika bukan di tempat umum, aku pasti sudah menerkam dan memeluknya.
"Dia bersamaku." Daryan mengangguk pada pria dengan postur tubuh seperti tentara itu.
Daryan menoleh ke arahku, tanpa ekspresi. Setelan batiknya membuatku bingung bagaimana harus bersikap. Dia terlihat sangat gagah. Masihkah dia temanku yang seperti biasanya, atau kini dia malah marah dan ingin menjauhiku.
Aku menggigit bibir bawahku, gugup. memainkan dan meremas jemariku sendiri. Pandanganku mengembun, menatap wajahnya. Wajah yang sudah tak kulihat sejak tujuh hari yang lalu.
"Kau kenapa?" Dia mulai membuka suara.
Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali."Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi."Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area."Mencari siapa?""Kau sendirian?"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?""Pacarmu?""Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya."Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan."Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui
"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. "Ibumu bilang apa?""Dia bilang kau plin plan.""Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar ke
"Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi," rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki."Tapi kau sengaja memintaku datang.""Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku.""Hish, Daryan!" Aku memukul bahunya. Kesal.Dia kembali terkekeh.*"Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan?" tanyaku serba salah. Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha memint
Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur. Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil."Ada apa?" jawabku, dengan suara khas bangun tidur."Kak." Suaranya terdengar ragu."Apa?""itu....""Katakan saja.""Motorku...."*Ah, shit! Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah. "Mana Ayah?" cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng."Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang,"
"Ada apa lagi?" tanyanya heran."Kenapa kau masih meminjami Ayahku uang. Kau tahu sendiri Ayahku tak akan sanggup membayarnya. Pakai otakmu sedikit saja. Jangan hanya memikirkan keuntungan." Seperti biasa aku menyerangnya dengan kata-kata kasar tanpa berbasa-basi."Kau bicara apa? Ini masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran. Aku bahkan belum sempat sarapan." Dia masih berusaha bersikap santai."Kembalikan BPKB adikku. Akan kutransfer setengah dulu. Sisanya minggu depan." Aku langsung pada pokok permasalahan.Uang yang dipinjam Ayahku hanya tiga juta. Itu pun dengan janji hanya dua bulan, dengan bunga lima puluh persen. Tapi sampai saat ini Ayah terus mangkir dari waktu yang dijanjikan. Hingga bunga bertambah lagi lima persen sebagai denda.Rincian angka itu tertulis jelas pada pesan whatasapp yang diterima Adit. Selain menjamin surat itu, Ayah juga memberikan nomor Adit, kalau-kalau ponselnya tidak bisa dihubungi.Tentu saja Ayah melarikan diri. Dengan apa dia akan membayar huta
Motor melaju membelah jalanan. Tanganku sebentar-sebentar memegangi pinggangnya, lalu melepaskannya kembali sesuai laju kendaraan. Sulit bagiku untuk tidak berpegangan di situasi seperti ini. Caranya mengemudikan seperti sengaja mempermainkan dan memanfaatkan keadaan. Dasar pria mata keranjang. Hanya memikirkan kesenangan.Akhirnya kuputuskan menggenggam jaketnya saja. Memegangnya dengan kuat, tanpa berniat melepaskan lagi. Hampir setengah jam kami menyusuri jalan raya, hingga akhirnya sampai ke pinggiran kota. Motor memasuki halaman rumah bergaya minimalis. Membuatku berpikir, apakah ini rumah milik rentenir yang meminjami uang untuk Ayah. Sejauh ini rupanya, Ayah berhubungan dengan banyak orang seperti Ren. Dan anehnya, Ren juga mengenal mereka."Mana Bos-mu?" Ren berjalan mendekati seseorang yang sedang menyiram tanaman. Lalu terjadi percakapan di antara mereka."Tunggu di sini!" Ren memberi perintah padaku, lalu mengikuti langkah pria paruh baya itu untuk masuk.Dasar bodoh. Kal
Daryan terdiam. Mulutnya yang sedari tadi mengunyah martabak isi kacang itu, langsung mematung dengan pipi yang menggelembung. Aktifitas mengunyahnya seketika terhenti. "Jangan ikut campur! Itu urusanku." Wajahnya berubah serius."Aku hanya memberi tahu. Demi kebaikanmu. Setidaknya kau harus punya kegiatan yang berarti. Jika senggang, kau masih bisa main ke sini. Setiap profesi pasti memiliki waktu libur. Jangan sia-siakan masa mudamu. Harta warisan tak bisa menjamin kebahagiaan.""Diamlah!" Dia terlihat semakin berang. "Kau mulai lancang." Aku terkejut mendengar ucapannya.Apa aku bersikap terlalu berlebihan?"Kau marah?" Aku mencoba membujuknya."Jangan terlalu lancang memasuki kehidupan pribadiku.""Daryan... Aku....""Aku tak suka!" Dia langsung bangkit dan berdiri. Sepertinya benar-benar marah atas sikapku tadi.Dia pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan rasa kesal. Ternyata aku bukan siapa-siapa yang bisa dengan mudah memasuki kehidupan pribadinya. Membuatku menyesal dan haru
Aku tahu Daryan tersinggung dengan ucapan lancangku. Sikapnya kembali seperti waktu itu. Sudah tiga hari sejak kejadian, batang hidungnya kembali menghilang. Bukan aku tak mau membujuknya. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kurasa dia bukan tipikal orang yang suka dipaksa. Dia butuh waktu untuk menerima dan mencerna kata-kata yang aku ucapkan. Sama sekali tak ada maksud untuk menjatuhkan mentalnya.Kupikir kami sudah terbiasa bicara secara blak-blakan. Aku pun tak pernah keberatan jika ia menyinggung nasib buruk dan juga ketidak sempurnaan dalam hidupku. Namun entah kenapa dia jadi begitu sensitif jika aku menyinggung soal keluarganya.Maka kubiarkan dia begitu saja. Berharap dia sedikit lebih tenang, lalu kembali menyuruhku datang untuk berbaikan. Aku akan menunggu saat hari itu tiba. Aku mengalah. Aku kembali bersalah. Daryan tak butuh nasihat dariku. Dia hanya butuh aku untuk mendengarkan. Percaya dengan apa pun yang dia ucapkan.*Udara siang terasa begitu terik. Seorang wanita