Share

Part 8

Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali.

"Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi.

"Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.

Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.

Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area.

"Mencari siapa?"

"Kau sendirian?

"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?"

"Pacarmu?"

"Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya.

"Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. 

Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui orang. Dia menurut, dan dengan setia menuruti ajakanku.

"Kenapa harus di tempat umum seperti ini?" ucapnya sambil mengikuti langkahku. "Kalau kau mau, kita bisa memesan kamar."

"Hish." Aku menyentak tarikanku, agar ia tahu aku sedang tak ingin bercanda.

"Kau bilang rindu. Ayo kita tuntaskan di kamar."

"Daryan!" Dia terkekeh geli.

Aku berhenti di tempat yang aku rasa sudah cukup aman. Lalu merogoh slingbag, dan merogoh sesuatu dari sana.

"Ambillah!" Aku menarik tangannya, dan memberikan amplop uang dari Ren. Menggenggam tangannya, agar ia tak bisa melepaskan benda itu. Dahinya mengernyit. Tahu apa yang sedang dipegangnya saat ini.

"Apa ini? Kau bilang sudah membayarnya." Dia terlihat khawatir.

"Aku tak mau. Aku tak butuh itu. Aku terlalu jahat karena telah menjualmu. Kembalikan uang itu. Dan teruslah datang menemuiku." 

"May?" Dia semakin mengernyit. 

"Aku lebih butuh kau ketimbang uang itu. Jadi tolong, jangan menjauh." Tiba-tiba saja bulir bening itu jatuh ke pipiku. Entah kenapa, aku pun tak tahu.

"May?" Lagi-lagi hanya namaku yang bisa dia ucapkan.

"Kalau kau ada masalah, datang saja. Kalau tak mau pulang jangan keluyuran kemana-mana. Kamarku masih muat untuk menampungmu. Kau bisa tidur sepuasnya di sana." Napasku naik turun karena terisak.

Matanya tak berkedip memandangiku. Mungkinpun dia pikir aku sudah gila atau... sedang tergila-gila padanya. 

"Jangan lagi mengacuhkanku," lirihku. Mengakhiri kalimat-kalimat yang ingin aku sampaikan sejak aku merasa kehilangan. Perasaan apa ini?

Dia tersenyum kecil. Lalu membalik tanganku agar berada di bawah genggamannya. Kini amplop yang kuberikan tadi berbalik ke tanganku. 

"Kau menolak?" tanyaku setengah berbisik. Merasa kecewa atas sikapnya.

"Bayar hutangmu. Aku akan terus datang tanpa kau suruh."

"Aku tidak mau. Rentenir itu sudah berjanji akan memberiku kelonggaran. Aku tak perlu membayar sebanyak ini."

"Benarkah?" Aku mengangguk.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengeluh lagi padamu soal hutang-hutang itu. Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, ya? Aku tak mau lagi menjualmu."

"Kau yang aneh. Ingin jual diri. Seperti ada saja yang mau."

"Iya, aku aneh. Cukup aku saja yang gila. Kau puas?"

    ~~~

Usai mengajakku ke pesta, Daryan mengantarku pulang. Tadinya aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku kehilangan kata-kata untuk menghadapi ibunya. Takut akan membuat keributan di tengah-tengah pesta akan amukan wanita itu. 

Namun Daryan bilang dia tak hadir. Saat aku bertanya, dia hanya tersenyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. Seperti gurat kekecewaan tergambar di wajahnya. Entah ada apa dengan keluarga mereka. Sampai-sampai di acara sebesar ini ibunya tidak hadir. Orang tua macam apa yang tidak menghadiri pernikahan anaknya sendiri.

Daryan hanya mengenalkanku pada kakak perempuannya saja. Selebihnya, aku tak tahu yang mana lagi keluarganya.

Kami hanya makan di meja di sudut ruangan. Dia bilang agar aku tak malu saat mengambil makanan terlalu banyak. Alasannya masuk akal. Dia tertawa senang karena aku tak malu-malu melahap habis banyak menu di sana.

*

"Aku kekenyangan," keluhku sambil mengusap perut. Dia terkekeh. Kami terus berjalan menuju lift untuk keluar.

"Bilang apa?"

"Terima kasih."

"Hanya itu?" 

"Lalu aku harus bilang apa lagi?"

"Tidak ingin memberikan sesuatu?"

"Kalau kuberi uang, kau juga tidak akan mau."

"Aku tak butuh uang."

"Hem. Lalu?"

"Bagaimana kalau menginap? Aku bisa memesan kamar President Suite untuk kita." Dia sedikit menunduk demi bisa membisikkan kata-kata itu ditelingaku.

"Hish." Aku mendesis.

"Mau?"

"Daryan!"

"Iya, iya. Aku hanya bercanda."

        ~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status