Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali.
"Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi.
"Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.
Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.
Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area.
"Mencari siapa?"
"Kau sendirian?
"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?"
"Pacarmu?"
"Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya.
"Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang.
Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui orang. Dia menurut, dan dengan setia menuruti ajakanku.
"Kenapa harus di tempat umum seperti ini?" ucapnya sambil mengikuti langkahku. "Kalau kau mau, kita bisa memesan kamar."
"Hish." Aku menyentak tarikanku, agar ia tahu aku sedang tak ingin bercanda.
"Kau bilang rindu. Ayo kita tuntaskan di kamar."
"Daryan!" Dia terkekeh geli.
Aku berhenti di tempat yang aku rasa sudah cukup aman. Lalu merogoh slingbag, dan merogoh sesuatu dari sana.
"Ambillah!" Aku menarik tangannya, dan memberikan amplop uang dari Ren. Menggenggam tangannya, agar ia tak bisa melepaskan benda itu. Dahinya mengernyit. Tahu apa yang sedang dipegangnya saat ini.
"Apa ini? Kau bilang sudah membayarnya." Dia terlihat khawatir.
"Aku tak mau. Aku tak butuh itu. Aku terlalu jahat karena telah menjualmu. Kembalikan uang itu. Dan teruslah datang menemuiku."
"May?" Dia semakin mengernyit.
"Aku lebih butuh kau ketimbang uang itu. Jadi tolong, jangan menjauh." Tiba-tiba saja bulir bening itu jatuh ke pipiku. Entah kenapa, aku pun tak tahu.
"May?" Lagi-lagi hanya namaku yang bisa dia ucapkan.
"Kalau kau ada masalah, datang saja. Kalau tak mau pulang jangan keluyuran kemana-mana. Kamarku masih muat untuk menampungmu. Kau bisa tidur sepuasnya di sana." Napasku naik turun karena terisak.
Matanya tak berkedip memandangiku. Mungkinpun dia pikir aku sudah gila atau... sedang tergila-gila padanya.
"Jangan lagi mengacuhkanku," lirihku. Mengakhiri kalimat-kalimat yang ingin aku sampaikan sejak aku merasa kehilangan. Perasaan apa ini?
Dia tersenyum kecil. Lalu membalik tanganku agar berada di bawah genggamannya. Kini amplop yang kuberikan tadi berbalik ke tanganku.
"Kau menolak?" tanyaku setengah berbisik. Merasa kecewa atas sikapnya.
"Bayar hutangmu. Aku akan terus datang tanpa kau suruh."
"Aku tidak mau. Rentenir itu sudah berjanji akan memberiku kelonggaran. Aku tak perlu membayar sebanyak ini."
"Benarkah?" Aku mengangguk.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengeluh lagi padamu soal hutang-hutang itu. Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, ya? Aku tak mau lagi menjualmu."
"Kau yang aneh. Ingin jual diri. Seperti ada saja yang mau."
"Iya, aku aneh. Cukup aku saja yang gila. Kau puas?"
~~~
Usai mengajakku ke pesta, Daryan mengantarku pulang. Tadinya aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku kehilangan kata-kata untuk menghadapi ibunya. Takut akan membuat keributan di tengah-tengah pesta akan amukan wanita itu.
Namun Daryan bilang dia tak hadir. Saat aku bertanya, dia hanya tersenyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. Seperti gurat kekecewaan tergambar di wajahnya. Entah ada apa dengan keluarga mereka. Sampai-sampai di acara sebesar ini ibunya tidak hadir. Orang tua macam apa yang tidak menghadiri pernikahan anaknya sendiri.
Daryan hanya mengenalkanku pada kakak perempuannya saja. Selebihnya, aku tak tahu yang mana lagi keluarganya.
Kami hanya makan di meja di sudut ruangan. Dia bilang agar aku tak malu saat mengambil makanan terlalu banyak. Alasannya masuk akal. Dia tertawa senang karena aku tak malu-malu melahap habis banyak menu di sana.
*
"Aku kekenyangan," keluhku sambil mengusap perut. Dia terkekeh. Kami terus berjalan menuju lift untuk keluar.
"Bilang apa?"
"Terima kasih."
"Hanya itu?"
"Lalu aku harus bilang apa lagi?"
"Tidak ingin memberikan sesuatu?"
"Kalau kuberi uang, kau juga tidak akan mau."
"Aku tak butuh uang."
"Hem. Lalu?"
"Bagaimana kalau menginap? Aku bisa memesan kamar President Suite untuk kita." Dia sedikit menunduk demi bisa membisikkan kata-kata itu ditelingaku.
"Hish." Aku mendesis.
"Mau?"
"Daryan!"
"Iya, iya. Aku hanya bercanda."
~~~~
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.
"Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti
Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel