Share

Part 8

Penulis: Manda Azzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-03 03:30:09

Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali.

"Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi.

"Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.

Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.

Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area.

"Mencari siapa?"

"Kau sendirian?

"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?"

"Pacarmu?"

"Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya.

"Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. 

Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui orang. Dia menurut, dan dengan setia menuruti ajakanku.

"Kenapa harus di tempat umum seperti ini?" ucapnya sambil mengikuti langkahku. "Kalau kau mau, kita bisa memesan kamar."

"Hish." Aku menyentak tarikanku, agar ia tahu aku sedang tak ingin bercanda.

"Kau bilang rindu. Ayo kita tuntaskan di kamar."

"Daryan!" Dia terkekeh geli.

Aku berhenti di tempat yang aku rasa sudah cukup aman. Lalu merogoh slingbag, dan merogoh sesuatu dari sana.

"Ambillah!" Aku menarik tangannya, dan memberikan amplop uang dari Ren. Menggenggam tangannya, agar ia tak bisa melepaskan benda itu. Dahinya mengernyit. Tahu apa yang sedang dipegangnya saat ini.

"Apa ini? Kau bilang sudah membayarnya." Dia terlihat khawatir.

"Aku tak mau. Aku tak butuh itu. Aku terlalu jahat karena telah menjualmu. Kembalikan uang itu. Dan teruslah datang menemuiku." 

"May?" Dia semakin mengernyit. 

"Aku lebih butuh kau ketimbang uang itu. Jadi tolong, jangan menjauh." Tiba-tiba saja bulir bening itu jatuh ke pipiku. Entah kenapa, aku pun tak tahu.

"May?" Lagi-lagi hanya namaku yang bisa dia ucapkan.

"Kalau kau ada masalah, datang saja. Kalau tak mau pulang jangan keluyuran kemana-mana. Kamarku masih muat untuk menampungmu. Kau bisa tidur sepuasnya di sana." Napasku naik turun karena terisak.

Matanya tak berkedip memandangiku. Mungkinpun dia pikir aku sudah gila atau... sedang tergila-gila padanya. 

"Jangan lagi mengacuhkanku," lirihku. Mengakhiri kalimat-kalimat yang ingin aku sampaikan sejak aku merasa kehilangan. Perasaan apa ini?

Dia tersenyum kecil. Lalu membalik tanganku agar berada di bawah genggamannya. Kini amplop yang kuberikan tadi berbalik ke tanganku. 

"Kau menolak?" tanyaku setengah berbisik. Merasa kecewa atas sikapnya.

"Bayar hutangmu. Aku akan terus datang tanpa kau suruh."

"Aku tidak mau. Rentenir itu sudah berjanji akan memberiku kelonggaran. Aku tak perlu membayar sebanyak ini."

"Benarkah?" Aku mengangguk.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengeluh lagi padamu soal hutang-hutang itu. Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, ya? Aku tak mau lagi menjualmu."

"Kau yang aneh. Ingin jual diri. Seperti ada saja yang mau."

"Iya, aku aneh. Cukup aku saja yang gila. Kau puas?"

    ~~~

Usai mengajakku ke pesta, Daryan mengantarku pulang. Tadinya aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku kehilangan kata-kata untuk menghadapi ibunya. Takut akan membuat keributan di tengah-tengah pesta akan amukan wanita itu. 

Namun Daryan bilang dia tak hadir. Saat aku bertanya, dia hanya tersenyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. Seperti gurat kekecewaan tergambar di wajahnya. Entah ada apa dengan keluarga mereka. Sampai-sampai di acara sebesar ini ibunya tidak hadir. Orang tua macam apa yang tidak menghadiri pernikahan anaknya sendiri.

Daryan hanya mengenalkanku pada kakak perempuannya saja. Selebihnya, aku tak tahu yang mana lagi keluarganya.

Kami hanya makan di meja di sudut ruangan. Dia bilang agar aku tak malu saat mengambil makanan terlalu banyak. Alasannya masuk akal. Dia tertawa senang karena aku tak malu-malu melahap habis banyak menu di sana.

*

"Aku kekenyangan," keluhku sambil mengusap perut. Dia terkekeh. Kami terus berjalan menuju lift untuk keluar.

"Bilang apa?"

"Terima kasih."

"Hanya itu?" 

"Lalu aku harus bilang apa lagi?"

"Tidak ingin memberikan sesuatu?"

"Kalau kuberi uang, kau juga tidak akan mau."

"Aku tak butuh uang."

"Hem. Lalu?"

"Bagaimana kalau menginap? Aku bisa memesan kamar President Suite untuk kita." Dia sedikit menunduk demi bisa membisikkan kata-kata itu ditelingaku.

"Hish." Aku mendesis.

"Mau?"

"Daryan!"

"Iya, iya. Aku hanya bercanda."

        ~~~~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 92 (Ending)

    Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 91

    Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 90

    Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 89

    Minggu pagi.Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua."Ren!"Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar."Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk."Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"Aku terdiam.

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 88

    "Kau jangan panik. Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu. Setelah bertemu dia akan aman bersama mereka. Kau tak perlu cemas lagi.""Ren!" Aku membenamkan diri di dada bidangnya. Memeluk erat tubuh berotot itu.Begitu merasa bersalah dan jahat karena telah mencurigainya. Jadi apa yang dia katakan di kantor tadi adalah semata-mata hanya ingin melindungi ayahku saja."Harusnya kau tidak perlu tahu masalah ini. Lihatlah, kau semakin kacau saja." Ren mengangkat dan membawaku kembali dalam gendongan. Lalu berjalan menuju ranjang.Meletakkanku di sana, lalu duduk di sisiku."Maafkan aku, Ren. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan," sesalku, menatap wajah yang tadi sempat membuatku merasa takut."Ya. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan semua ini. Memangnya kapan kau pernah berpikiran baik tentangku, ha? Kau terlihat sayang padaku hanya saat aku sedang sakit saja. Selebihnya kau lebih sering mengumpat dan memukuliku," rajuknya."Ren!" Aku langsung menerkam tubuhnya. "Kapan aku seperti

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 87

    Aku memandang Ren penuh tanya. Dia tak mengelak sedikit pun dengan tuduhanku. Apa dia akan mengakui semuanya?Aku langsung menepis tangannya dengan kasar, lalu berbalik memunggunginya. Menangis ketakutan. Lalu sebentar saja kurasakan tubuh itu merapat dan memelukku dari belakang."Maaf, kalau aku tak jujur sejak awal," bisiknya penuh sesal.Sontak hatiku semakin teriris mendengarnya. Dan selama itu pula aku telah menuduh Daryan yang melakukannya."Aku hanya tak ingin membuatmu cemas. Itu saja." Ren kembali merapatkan bibirnya di telingaku. Membuat sekujur tubuhku merinding dengan sikapnya."Aku akan membereskan semuanya. Kau tidak perlu takut. Orang-orang ayahku punya akses di kepolisian, bahkan pemerintahan. Kau tidak perlu cemas." Dia kembali meyakinkan."Aku akan menutupi semuanya. Tak akan ada yang masuk penjara. Terlepas dari itu, bukankah Jo memang pantas mati?" Suara itu seperti membenarkan perbuatannya.Membuat suasana hatiku semakin mencekam."Kau tenang saja. Ayahmu akan sel

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 86

    Mendadak aku teringat pembicaraan di kamar kos hari itu. Ren memang nampak meyakinkan, bahwa Jo tidak akan mungkin lagi menggangguku sampai kapan pun. Apa ini yang dia maksud?Mendadak pikiranku kembali bimbang. Sikap aneh Ren tiap kali aku mengungkit soal pelaku membuatnya merasa gugup dan juga cemas. Tak jarang dia juga mengalihkan pembicaraan agar aku tak lagi membahas masalah itu.Dengan tungkai kaki yang kembali gemetar, aku memaksakan diri melangkah. Kembali menapaki anak tangga menuju kamar.Aku terduduk lemas di sisi ranjang, dengan dada yang kian sesak. Firasat buruk apa lagi ini?Apakah benar Ren yang ikut terlibat dalam pembunuhan sadis itu?Lalu Daryan?Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dari saku celana. Kulihat panggilan seluler tanpa nama, hingga aku tak bisa melihat foto profilnya.Aku berjalan menuju ke arah jendela. Membukanya dengan lebar untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan ragu mengangkat panggilan itu."Maya?" Suara itu sangat tidak asing bu

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 85

    Ingin sekali rasanya menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Berharap aku salah, dan bukan Daryan yang melakukannya. Aku pernah mengenal dia. Baginya, lebih baik pergi dan menghindar ketimbang marah dan berbuat kasar pada orang lain.Tapi seperti itulah. Sejak dia mulai bekerja, sikapnya kian berubah. Cenderung emosional, dan juga kasar. Belum lagi sikap memaksanya waktu itu. Sangat berbeda dengan Daryan yang pertama kali aku kenal.Aku benar-benar berharap bukan dia pelakunya. Aku pun tak mau dia mengalami masalah besar karena aku. Namun rasa takut di hati tak dapat kubohongi. Sulit bagiku untuk memberi tahukannya pada Ren. Dia pasti tidak akan terima kalau Daryan masih berusaha menemuiku. Mengetahui sifat dan perangainya, malah semakin membuatku takut. Ren tidak akan mungkin tinggal diam. Bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari Daryan sampai dapat.Sebagai orang yang menyayanginya, aku tidak mau hal itu terjadi. Andai memang Daryan yang membunuh Jo, mendatangi Daryan adalah hal berb

  • JERAT CINTA SANG RENTENIR   Part 84

    Motor melaju membelah jalanan. Angin bertiup, menyapa wajahku yang kini bersandar di punggung Ren, dengan tangan yang begitu erat melingkari pinggang berototnya.Sesekali dia menyentuh dan menggenggam tanganku saat berhenti di lampu merah. Lalu sekejap menariknya ke atas untuk dia kecup. Senyumku terukir, merasakan sikapnya yang begitu manis memperlakukanku. Hanya saja, dada ini masih tetap bergemuruh, merasakan ketakutan tentang rasa curiga ini."Masuklah!" Ren mengantarku hingga ke depan pintu. "Atau kau ingin aku bermalam bersamamu?" Ren menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.Aku tersenyum malu, menatap wajah tampan itu, yang selalu setia mendampingiku."Ren?""Hem?""Masuklah.""Kau mulai memancingku lagi, ha?" Dia melakukannya lagi, meremas rahangku dan menggoyang-goyangkannya karena gemas."Tunggu aku berkemas. Aku ingin tinggal di tempatmu sementara waktu. Boleh?"Ren terdiam. Merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam ucapanku."Ada apa? Kau masih merasa takut?" Ren menatap

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status