Sementara itu di kafe GheaBeberapa waktu setelah meneguk jus yang dikasih Yuki, Embun pun merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Hasrat dan gairahnya timbul. Aliran darahnya mengalir cepat. Napasnya pun memburu tidak karuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, di bawah sana ada yang berkedut-kedut. Seperti minta dimasuki. Embun menggeleng keras. Dia tidak pernah sekacau ini.'Kenapa ini?' batin Embun gelisah. Gadis itu mencengkeram pahanya guna menahan hasrat. Beberapa kali pula ia menggeleng tegas guna mengusir rasa tidak biasa ini.Yuki yang melihat tingkah aneh Embun mengerutkan kening. Terlihat olehnya gadis itu memilih duduk di sudut kafe. Namun, wajahnya tampak begitu gelisah. Embun terlihat bangkit dari duduk untuk berdiri lalu beberapa menit kemudian duduk lagi. Begitu terus bolak-balik. 'Sebenarnya Embun dan Jevin minum apa sih?' Yuki berpikir keras sambil menowel-nowel hidungnya sendiri. Pemuda itu melangkah mendekati sang gadis dengan tangan membawa kudapan beru
Sementara itu di parkiran, Embun segera membonceng motor Yuki begitu dia memakai helm. Tanpa malu dan ragu dia memeluk erat pinggang Yuki. Tangannya melingkar mesra pada perut rata pemuda itu.Yuki menoleh ketika merasakan tangan Embun mengusap-usap lembut perutnya. Embun sendiri lekas menyengir melihat Yuki menatapnya aneh. Begitu Yuki menyalakan mesin dan mulai tancap gas, Embun tanpa sungkan menyandarkan kepalanya pada punggung cowok itu. Tentu saja Yuki merasa senang. Karena dulu, jangankan memeluk dan menyandarkan kepala, disuruh berpegangan pada perutnya pun, Embun segan. Sekali lagi, Yuki hanya mengernyit bingung sekaligus happy. Kembali Yuki dibuat menoleh ketika merasakan punggungnya diendusi oleh Embun."Bun ... kamu gak papa?" tegur Yuki risih-risih geli. Tapi senang. Pemuda itu tetap memfokuskan diri melajukan kuda besinya."Parfum kamu mantap banget, Ki. Aku suka aromanya maskulinnya." Embun mencoba berkelit dengan tingkah konyolnya."Dari dulu gue selalu pake parfum i
Keesokan pagiEmbun membuka mata tatkala mendengar kicauan burung di atas dahan pohon rambutan samping rumah. Mata gadis itu mengerjap. Sinar mentari pagi yang menerobos ventilasi kamarnya menyilaukan mata. Aargh!Embun menggeliat malas. Kepalanya terasa sedikit pusing dan badan juga terasa pegal-pegal. Dengan malas gadis itu kembali bergelung dengan selimut. Guling besar kesayangan kembali ia peluk. Namun, ada sesuatu hal aneh yang Embun rasakan. Guling yang ia peluk terasa seperti hidup. Telinganya menangkap ada deru napas teratur dari benda panjang tertutup selimut itu. Penasaran, Embun lekas menyingkap selimut putih miliknya."Aaaaa!"Embun berteriak histeris. Gadis itu panik melihat ada Yuki yang tengah tertidur pulas di sampingnya."Aaaaa!"Embun kembali berteriak kencang. Setelah membuka selimut, ternyata kancing bajunya telah terlepas beberapa. Cepat ia menutup kembali kancing bajunya. Setelah itu baru mengguncang tubuh Yuki untuk membangunkan cowok itu. "Yuki bangun!" ter
Mata Safia terbelalak mendengar suaminya menyebut nama Embun. Dia merasakan jantung di dadanya berdenyut perih. Seperti ada belati tajam yang menancap kuat di hatinya. Sakit. Sungguh terasa pedih. Seketika mata wanita itu merebak merah. Lekas Safia melepas dekapan sang suami. Ditepiskannya dengan kasar tangan kekar yang melingkar di perut. Menyadari perubahan sikap Safia, Jevin menarik kembali tubuh sang istri. Lagi Jevin mengunci rapat tubuh mungil Safia. "Lepaskan aku Jevin!" teriak Safia marah. Dia mendorong tubuh suaminya menjauh. "Hei ... ada apa ini?!" tanya Jevin bingung. Pria itu memincing melihat air muka Safia yang berubah mengerikan. Sang istri yang beberapa waktu lalu berseri-seri ceria, kini wajahnya merah padam. Sepertinya Safia tengah menahan amarah. Safia sendiri terkesima mendengar pertanyaan polos dari mulut suaminya. Mulutnya menganga lebar tak percaya. "Jevin, kamu masih tanya ada apa? Jangan pura-pura polos seperti itu!" Safia mendelik tajam ke arah Jevin
"Embun jangan gila!!" bentak Jevin takut dan panik."Aku memang sudah gila, Jevin. Gila karena selalu memikirkanmu. Tapi kamu sama sekali tidak peduli denganku." Nada suara Embun terdengar semakin dingin. "Kalo begitu lebih baik aku mati saja." Embun frustasi.Jevin meraup mukanya dengan kasar. Sungguh dia merasa amat tertekan. Di satu sisi ia ingin mengejar Safia sang istri. Di sisi lain dia juga amat takut mendengar ancaman dari mulut Embun. Jevin mengenal Embun begitu lama. Dia tahu watak gadis itu. Walau dulu Embun terkenal kalem, tetapi gadis itu juga mempunyai watak yang keras. Embun tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Dan Jevin tidak mau sesuatu hal buruk menimpa pada gadis yatim piatu itu. Akhirnya, dengan frustasi dia mengalah. "Oke-oke. Aku akan datang. Kamu tunggu saja di situ!" Jevin memutuskan sambungan telepon.Gegas pria itu memasukkan ponsel dan kunci mobil ke saku celana panjangnya. Selanjutnya ia langkahkan kaki cepat-cepat menuruni anak tangga. Berlari Jev
***"Jeviiin!"Jevin tidak menggubris teriakan histeris dari Embun. Pria itu tergesa masuk mobil. Sekarang yang di benakya adalah ke mana ia harus mencari istrinya itu. Dan rumah sang mertua adalah tempat pertama yang akan ia singgahi.Kembali Jevin menancap gas. Mobilnya melaju dengan mulus. Namun, ia harus terjebak macet di jalan protokol. Pria itu menggebrak keras klaksonnya.Sungguh Jevin merasa frustasi. Kenapa harus serumit ini kisah hidupnya? Di saat dirinya sudah mulai menerima Safia dalam hati, kenapa wanita itu justru malah lari meninggalkan dia. Jevin akui dirinya bersalah, tetapi kenapa Safia tidak mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.Lampu merah berganti hijau. Namun, laju mobilnya masih tersendat-sendat akibat padatnya mobil yang melintas. Jevin menghela napas panjang. Dia akan bersujud pada istrinya meminta maaf. Dan akan berjanji tidak akan menyebut nama Embun lagi di depan Safia.Jevin telah sadar bahwa cinta Safia begitu tulus padanya. Dan madu manis yang
Safia tengah tiduran di kamar kontrakan Tania. Saudara kembarnya Mania. Gadis itu juga teman sekantornya Safia dulu. Hanya saja dirinya sudah pindah kerja sejak tujuh bulan lalu. Safia sengaja memilih bersembunyi di tempatnya Tania agar susah dicari. Dan agar semakin sulit dilacak keberadaannya, Safia juga mematikan ponsel selama sehari semalam ini.Pagi itu Safia termenung seorang diri. Tania temannya sudah berangkat kerja dari sejam lalu. Safia tiba di hunian sempit ini kemarin siang. Wanita itu sempat terombang-ambing tidak jelas di taksi karena bingung menentukan arah kaki melangkah.Safia yang tengah berduka tidak mau pulang langsung ke rumah ibu. Wanita itu tidak mau ibunya tahu permasalahan yang sedang menimpa dirinya. Sehingga ia memutuskan untuk menepi sejenak di pinggiran kota ini.Ditinggal sendirian membuat Safia bosan. Acara televisi juga tidak ada yang menarik baginya. Wanita itu mendesah bingung. Akhirnya ia memutuskan untuk menyalakan kembali ponselnya.Ada banyak pang
"Semua yang dikatakan Embun itu fitnah."Sebuah suara lantang membuat Safia dan Embun refleks menoleh ke arah pintu. Jevin, Yuki, dan si empunya rumah Tania sudah berdiri di ambang pintu."Dia berdusta," sanggah Jevin tegas.Gegas pria itu melangkah masuk diikuti oleh Yuki dan Tania di belakang. Jevin lekas duduk di samping Safia."Aku memang kerap mengunjungi Embun di awal pernikahan kita." Jevin mengakui, "tapi kami belum pernah sekalipun melakukan hubungan suami istri," lanjut Jevin meyakinkan istrinya. "Percaya padaku, Fia." Jevin meraih jemari sang istri untuk digenggamnya.Safia menatap mata Embun dengan lekat. Wanita itu mencari jawaban atas kebenaran omongan Jevin pada diri Embun. Namun, sang kawan hanya mampu menuduk tanpa bisa membantah."Dengar, Embun!" Kali ini Yuki ikut bicara. Pemuda itu duduk tepat di hadapan Embun dan bersebelahan dengan Tania."Lo boleh mencintai Jevin, tapi jangan cinta buta seperti ini!" Yuki menatap lekat perempuan yang selalu hadir dalam mimpinya