***
Sore itu, Safia telah merampungkan semua pekerjaan. Usai merapikan meja kerja, gadis itu berkemas. Diambilnya cermin kecil dalam tas.
Gadis itu berkaca. Terlihat mukanya kusam. Ada noda hitam di bawah mata. Akhir-akhir ini Safia memang sering tidur malam. Semenjak dirinya dijodohkan dengan Jevin, gadis itu merasakan kerumitan hidup yang membuatnya susah memejamkan mata.
"Fi, kita hang out, yuk!" ajak Vani salah seorang teman kantor Safia.
"Iya, yuk! Lama nih kita gak kongkow-kongkow bareng," timpal Mania. Teman Safia yang lain.
"Gah ah. Aku lagi males," sahut lemas. Gadis itu lantas berlalu meninggalkan kedua sahabatnya.
"Eh, Fi, hari ini Embun absen ada apa sih?" tanya Vani. Gadis itu mengejar langkah Safia. Begitu juga Mania. Ketiganya berjalan bersama.
"Entah." Masih dengan suara lemah Safia menjawab.
Gadis itu teringat hari kemarin. Hari di mana Embun terlihat begitu kacau setelah mendapat peringatan dari Bu Jenni.
'Apakah Embun sudah menanyakan pada Jevin, siapa calon jodohnya yang sebenarnya? Apakah Embun sudah tahu, lalu dia merasa sakit hati. Sehingga hari ini tidak masuk kerja,' renung Safia dalam hati.
Berbagai pertanyaan yang memenuhi rongga kepala membuatnya resah. Gadis itu tidak menghiraukan obrolan kedua sahabatnya.
"Safia!"
Sebuah suara berat memanggil namanya. Safia menoleh. Keduanya temannya pun ikut menengok siapa pemilik suara khas itu.
"Itu kan cowoknya Embun. Kok dia sendiri," ujar Vani heran.
Tampak Jevin dengan busana formalnya mendekati Safia dan kedua sahabatnya. Pemuda jangkung itu melangkah dengan tatapan datar pada Safia. Tanpa mau mengindahkan kedua teman Safia.
"Kita harus bicara!" ajak Jevin.
Tanpa diduga cowok itu menarik tangan Safia menjauhi kedua temannya. Membuat Vani dan Mania terbengong melihatnya.
"Apakah mereka ada affair?" julid Vani memincing.
"Hush ... sembarangan!" sambar Mania cepat. "Mungkin cowok itu mau nanya kenapa Embun bolos."
"Kenapa gak hubungi Embun langsung?"
"Ya ... mungkin ...."
"Tuh kan gak bisa jawab." Vani menyeringai.
"Au ah! Gue gak mau nething. Kita tahu Safia orang kek mana," ujar Mania bijak. Gadis itu lekas melangkah pergi diikuti Vani di belakang.
Sementara itu, Jevin membawa masuk Safia ke lift. Dan kebetulan lift kosong. Jadi hanya ada mereka saja. Jevin memencet tombol lantai satu. Pemuda itu berdiri menjaga jarak dengan Safia. Tidak ada suara yang ke luar dari mulutnya. Dan Safia juga enggan bertanya. Gadis itu diam saja saat Jevin menyuruhnya masuk masuk.
"Kita mau ke mana?" tanya Safia setelah beberapa waktu mereka berdua terdiam di mobil yang masih terparkir.
Jevin menghela napas sejenak, pemuda itu menatap lekat gadis mungil di hadapan. Safia pun memberanikan diri membalas tatapan Jevin.
"Safia ... maaf aku orangnya tidak bisa berbasa-basi," tutur Jevin memulai perbincangan.
"Ya udah ngomong aja," sahut Safia tenang. Gadis itu tetap menatap Jevin yang terlihat sangat gampang di matanya.
"Fia, aku mohon ...tolong hentikan perjodohan ini," pinta Jevin lirih. Safia tidak terhenyak. Hanya saja hatinya kembali terasa teremas mendengar itu.
"Aku tidak bisa hidup tanpa Embun," lanjut Jevin semakin lirih. "Kami saling mencintai. Tidak bisa kubayangkan kalau kami berpisah. Aku ... aku pasti menderita." Jevin bertutur dengan getir. "Aku tahu kamu gadis baik, Fia. Jadi aku mohon-"
"Akan coba bilang ke Ibu untuk membatalkan perjodohan ini," sambar Safia berusaha tegar. Dirinya merasa semakin terluka jika harus mendengar alasan penolakan Jevin pada dirinya.
Mulut Jevin ternganga mendengar itu. "Terima kasih," sahut Jevin bahagia. "Tidak salah penilaianku. Kami memang gadis yang baik," puji Jevin semringah.
Sikap kakunya beberapa hari terakhir mendadak lenyap. Jevin menjelma menjadi kembali sosok yang Safia kenal pertama kali. Ramah, santun dan tentunya gentle.
Jevin sendiri saking bahagianya tanpa sadar mengusap lembut rambut Safia. Membuat desir-desir halus di hati Safia kembali muncul. Namun, dengan cepat Safia memperingati diri sendiri. Bahwa dia harus berhenti mengagumi kekasih sahabatnya itu.
"Sekarang kita temui Embun. Kita bicarakan yang sesungguhnya. Dan kamu harus meyakin Embun bahwa kamu pun menolak perjodohan ini," ujar Jevin kemudian.
Safia hanya mengangguk kecil tanpa berniat menjawab. Segera Jevin melajukan mobil SUV hitamnya. Pemuda itu sedikit mempercepat cepat laju kendaraan. Dirinya ingin lekas sampai di tempat yang dituju.
Ternyata Jevin kembali membawa Safia ke kedai kopi. Pemuda itu mengajak Safia masuk. Dan gadis itu hanya pasrah mengikuti.
Pemuda itu menunjuk sebuah kursi yang telah ditempati seseorang. Tampak Embun tengah duduk sendiri. Tangannya sibuk mengusap-usap layar datar ponselnya.
"Kalian?" Mata Embun menyipit begitu sadar akan kedatangan Jevin dan Safia. "Kenapa Safia yang kamu bawa?" Embun semakin heran. "Mana gadis yang akan menikah dengan kamu itu?" Mata Embun menjelajah seisi ruangan guna mencari seseorang.
"Safia ... duduklah!" perintah Jevin. Safia menurut. Gadis itu duduk tepat di hadapan Embun dan Jevin. "Sekarang jelaskan semuanya ke Embun." Jevin menyuruh lagi.
"Kenapa harus aku? Semua ini kan masalahmu. Perjodohan ini juga berawal dari permintaan mamamu. Jadi kamu yang lebih pantas bercerita pada Embun," tolak Safia merasa enggan.
Embun semakin bingung mendengar pengakuan Safia. Sedangkan Jevin merasa sedikit sesak mendengarnya. "Oke ... aku yang akan bercerita," ujar Jevin usai menghela napas.
Lalu Jevin pun mulai menceritakan tentang siapa sebenarnya gadis yang hendak dijodohkan dengannya. Tak lupa, Jevin juga bertutur tentang insiden meninggalnya ayah Safia. Insiden yang membuat papanya berjanji akan menjodohkan dia kelak dengan Safia.
"Jadi gadis itu kamu?" tanya Embun tak percaya usai mendengar penuturan Jevin. Safia hanya mampu tersenyum kecut menanggapi.
Hati Embun semakin bertambah takut mendengar penjelasan Jevin. Embun sadar Safia gadis yang mungil dan imut. Walau kadang ceroboh, tetapi gadis itu tampak selalu menggemaskan. Apalagi setelah teringat cerita Bu Jenni tentang betapa besar pengorbanan Safia ketika dulu menolong Jevin.
"Fia ... apa kamu menerima perjodohan itu?" tanya Embun dengan muka yang sedih dan putus asa. Dirinya sadar, suatu kepantasan jika Jevin menyetujui perjodohan ini.
"Aku ... emmm-"
"Tadi di mobil sebelum ke sini, Safia bilang mau menolaknya. "Jevin menyambar omongan Safia dengan cepat dengan semringah.
"Eh ...." Safia menoleh ke arah Jevin.
"Terima kasih," sambut Embun tak kalah girang. "Aku tahu kamu tidak mungkin mengkhianati kami," lanjut Embun binar bahagia di mata. Gadis itu meremas tangan Safia. Safia sendiri hanya tersenyum getir mengiyakan tanpa bisa berkata lagi.
***
Setelah kejadian di kafe itu, di rumah Safia melakukan salat istikharah. Tiga hari berturut-turut dalam setiap sujudnya selalu wajah Embun yang terbayang. Dalam bunga tidur pun Embun selalu menyapa dengan wajah yang penuh dengan derai air mata.
Maka setelah menimbang dan berpikir keras, akhirnya Safia memutuskan untuk menolak perjodohan itu. Dia paham cinta Embun dan Jevin begitu dalam. Mereka tidak bisa dipisahkan. Dan dia juga tidak mau menderita untuk mempertahankan Jevin. Dia tidak mau hanya memiliki raga Jevin, tetapi tidak jiwanya.
Berbekal kesadaran itu Safia menemui sang ibu. Dengan hati-hati dia mendekati ibunya yang tengah asyik membuat bolu gulung batik di dapur.
"Bu," sapa gadis itu pelan.
"Hemm," sahut ibunya tersenyum sambil terus mengocok adonan
"Tiga hari ini Fia sudah salat istikharah ...."
"Lalu?"
"Yang terbayang selalu wajah Embun yang tengah menangis, Bu. Jadi Fia putuskan untuk menolak perjodohan ini," kata Safia hati-hati sembari menggigit bibir bawahnya.
Ibu tertegun mendengarnya. Dipandangi anak sulungnya itu dengan kecewa.
"Jadi kamu lebih menginginkan Ibumu yang menangis sedih, Fia?" tanya ibu dingin.
"Bukan begitu, Bu," sela Safia cepat dan merasa tidak enak hati. "Embun itu sahabatku. Aku gak tega mengkhianatinya." Safia berkilah galau.
"Kamu lebih memilih sahabatmu ketimbang orang yang telah melahirkanmu?" Mata ibu menatap tajam Safia.
"Bu ... tolong pahami posisi Fia, Bu." Safia mulai merengek.
Ibu Ratih terdiam dengan mulut yang tergetar tanpa suara. Hati Bu Ratih amat kecewa mendengar keputusan Safia. "Ibu akan segera menelpon Bu Jenni. Guna mempercepat pernikahan kalian," tegas Ibu Ratih tidak terbantahkan. Wanita itu berlalu
meninggalkan anaknya."Bu ... tolong ngertiin perasaan Dia," seru Safia sedih. Namun, teriaknya tidak digubris. Safia hanya mampu mengelus dadanya yang terasa semakin sesak. Tabpa sadar tubuhnya luruh ke lantai. Gadis itu menjambak rambutnya sedih.
***
Safia diam termangu dalam kamarnya. Kepalanya pusing memikirkan keruwetan hidup yang tengah menimpa. Tetiba saja telepon pintarnya bergetar. Diraihnya benda tipis itu. Ada sebuah chat masuk. Pesan dari Jevin.
[ Datang ke taman dekat tempat tinggalmu. Aku menunggu!]
'Ada apa Jevin ingin bertemu dengan aku lagi?' batin Safia heran.
Bersambung.
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin