Hubungan pertemanan antara Safia dan Embun tetap terjalin baik. Baik Safia maupun Jevin masih menyimpan rahasia perjodohan mereka pada Embun. Dan keduanya juga pandai bergelagat jika di depan Embun. Jevin yang datar pada Safia, serta Safia yang juga selalu menjaga jarak jika mereka bertiga bertemu.
Sore itu setelah pekerjaan menumpuknya telah usai, Safia memutuskan untuk pulang. Dan seperti biasa, dirinya ke luar kantor bersama Embun. Begitu tiba di lobby kantor gadis itu sedikit merasa heran. Karena dia melihat ada Bu Jenni yang tampak tengah duduk menunggu seseorang. Lalu begitu melihat dia dengan Embun, wanita itu bangkit dan mendekat.
"Embun, ayo kita pulang bareng. Ada hal penting yang ingin tante bicarakan dengan kamu," ajak Bu Jenni datar dan tanpa memedulikan Safia.
"Emm ... iya. Baik, Tante," balas Embun sedikit gugup.
Embun memang selalu merasa canggung jika berhadapan dengan Mama Jevin. Dirinya menyadari kalau calon mertuanya itu memang tidak menyukainya. Alasannya kenapa Embun tidak mengerti.
Dengan dagunya wanita itu menyuruh Embun masuk ke dalam mobil Alphard hitamnya.
"Itu mamanya Jevin," bisik Embun pada Safia. Safia tersenyum kecut menanggapi. Embun masih belum tahu kalau Safia sudah mengenal Bu Jenni. "Aku jalan dulu, ya. Bye," pamit Embun pada Safia dengan sedikit rasa takut.
Gadis itu berlalu mengikuti langkah Bu Jenni yang sudah dulu mendahuluinya. Sebelum masuk mobil, Embun melambaikan tangan pada Safia. Raut ketegangan terpancar dari wajah lembut itu.
Safia membalas lambaian tangan Embun dengan termenung. Dirinya hanya mampu memandang kepergian dua wanita itu dengan perasaan yang bercampur aduk tidak menentu. Ada rasa takut yang menyergap hati. Takut kalau Bu Jenni sampai berbuat sesuatu pada Embun. Jika demikian ia pasti akan merasa bersalah. Namun, ia bingung harus berbuat apa. Akhirnya, setelah mendesah perlahan Safia melangkah menuju halte bus.
*
Sementara itu, dengan kikuk Embun duduk di samping Bu Jenni. Di sepanjang perjalanan kedua wanita itu saling diam seribu bahasa. Bu Jenni yang lurus menatap ke depan tanpa ekspresi, sedang Embun yang diam menunduk takut. Sesekali membuang pandangan ke jalanan guna menentramkan hati. Dua puluh menit berlalu, sang sopir menghentikan kendaraannya di sebuah kafe.
"Ayo turun, Embun!" ajak Bu Jenni masih datar.
"Iya," sahut Embun santun.
Keduanya turun dari mobil. Sama seperti sebelumnya Embun berjalan di belakang Bu Jenni saat masuk kafe. Hati gadis itu diliputi berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan? Kenapa tiba-tiba Mamanya Jevin ingin berbicara dengannya?
Bu Jenni memilih meja nomer 20 yang terletak di sudut kafe. Sedikit lebih sepi. Wanita itu dengan tenang menyuruh Embun duduk.
Ketika keduanya telah duduk di sebuah kursi empuk berwarna merah, dengan anggun Bu Jenni mengawai seorang pelayan. Pelayan perempuan dengan seragam warna hitam mendekat. Bu Jenni lantas memesan minuman. Wanita itu menanyakan minuman apa yang diinginkan oleh Embun. Gadis di hadapan menjawab kalau dia memesan jus mangga susu.
"Jus mangga susu dua ya, Mbak," pesan Bu Jenni pada pelayan. Pelayan gadis itu mengangguk dan mencatat. "Sama dua porsi pisang goreng cokelat keju, ya," tambah Jenni.
"Baik, Bu. Mohon tunggu sebentar, ya" pinta pelayan itu ramah. Usai berkata seperti itu sang pelayan berlalu.
Tidak sampai sepuluh menit, pesanan Bu Jenni datang. Pelayan perempuan itu menyajikan dengan ramah. Setelah mempersilahkan, gadis itu pun kembali berlalu.
"Sebelumnya tante mau minta maaf, bila kedatangan Tante membuatmu terkejut," ucap Bu Jenni memulai obrolannya usai pelayan itu pergi.
"Ya, Tante," balas Embun disertai senyum tipis. Hati Embun masih takut. Untuk menutupi kegugupan hati gadis itu menyeruput jus mangga susunya.
"Tante tahu kalian saling mencintai sejak dulu," ujar Bu Jenni menatap lurus kekasih putranya. "Bahkan berulang kali Jevin bilang ke Tante kalo mau menikahi dirimu." Wanita itu menghentikan ucapannya. Dia menyesap minuman yang sama dengan Embun.
"Namun, berulang kali pula tante menolaknya," tutur Bu Jenni sembari menaruh gelas berkaki yang isinya masih tiga perempat itu ke meja kembali. "Kamu tahu kenapa?" tanya Bu Jenni menatap muka Embun dingin. Embun sendiri terlihat mulai memucat. Gadis itu menggelengkan pelan dan tampak bermuram durja.
"Karna Jevin sudah Tante jodohkan." Bu Jenni menjawab pertanyaannya sendiri.
"Dijodohkan? Dengan siapa Tan- te?" tanya Embun bergetar kaget. Sungguh ia tidak menyangka kalau Jevin sudah dipersiapkan jodohnya oleh sang Bunda. Otomatis kesempatan dirinya untuk berdampingan hidup dengan sang kekasih amatlah tipis.
"Dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan nyawanya dulu," jawab Bu Jenni lugas. "Gadis yang merelakan kepalanya tertembak peluru demi melindungi Jevin," lanjut Bu Jenni mengenang.
"Gadis yang telah kehilangan ayahnya dikarenakan pria itu berjuang menolong Papa Jevin," tambah Bu Jenni dengan mata yang menerawang. Embun mendengarkan dengan seksama. Bibir bawahnya ia gigit sembari menyimak tuturan Bu Jenni guna menguatkan hati.
"Kalo bukan karena pertolongan gadis itu, mungkin sekarang kau takkan pernah mengenal anakku." Bu Jenni kembali menatap Embun. Embun sendiri hanya mampu menunduk mendengar penuturan Mama Jevin.
"Embun ...." Bu Jenni meraih jemari gadis di depannya. Meremasnya pelan. "Kamu gadis yang cantik dan juga baik," puji Bu Jenni selanjutnya. " Tante yakin Allah pasti sudah menyiapkan lelaki yang terbaik untukmu. Tapi itu bukan Jevin." Bu Jenni menekankan suaranya saat menyebut nama Jevin.
"Tapi ... tapi Tante, saya dan Jevin saling mencintai. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Begitu pun sebaliknya," sela Embun memberanikan diri. Walau kini kedua kelopak matanya mulai memanas.
"Tolong jauhi Jevin!" Bu Jenni memerintah. "Biarkan kami membalas budi gadis itu. Serta menunaikan kewajiban kami untuk memenuhi janji Papa Jevin, yaitu menikahkan Jevin dengan gadis itu," papar Bu Jenni tegas.
"Tante ... aku sungguh sangat mencintai Jevin. Aku ... aku gak bisa-"
"Sekali lagi tolong jauhi Jevin, Embun!" potong Bu Jenni cepat. Kali ini wanita itu menatap tajam gadis yang mulai berurai air mata.
"Kenapa Tante kejam begini," rutuk Embun serayamenggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, Tante bukannya kejam, tapi Tante hanya menjalankan amanat." Bu Jenni membalas dengan pelan. Sesungguhnya dirinya merasa iba melihat Embun terisak seperti itu. Namun, amanat suaminya tetap harus dijalankan.
Akhirnya, wanita kaya itu melangkahkan pergi. Setelah meletakan dua lembar uang pecahan beragam di meja guna membayar pesanan mereka. Bu Jenni berlalu meninggalkan Embun yang masih tersedu dalam tangisnya.
Lama Embun menangis seorang diri di kafe itu. Dirinya tidak peduli menjadi santapan mata-mata pengunjung kafe yang lain. Hatinya amat sedih. Hubungannya dengan pria yang amat ia cintai itu tidak mendapat restu. Lalu setelah puas menangis dan menyusut sudut matanya, Embun pun berjalan pergi ke luar kafe.
Gadis itu berjalan tanpa arah dan gontai. Masih terdengar isakan tangisnya, ketika dia berjalan.
TIINNN TIN
Suara klakson motor membuat gadis itu menepikan jalannya yang kacau.
"Woy ... mau mati lu ye!!!" umpat pengendara motor pada Embun. Karena gadis itu berjalan di tengah jalan tanpa sadar. Untung pengendara motor itu pintar mengontrol laju kendaraan. Sehingga tidak terjadi kecelakaan.
Pengendara motor itu mengacungkan jari tengah ke arah Embun. Namun, gadis itu hanya diam. Dia tak membalas umpatan pengendara motor itu. Ketika melihat taxi lewat, Embun menyetop taxi tersebut. Gadis itu menyebut alamat Safia ketika sopir taksi menanyakan tujuan.
***
Safia tengah menyisir rambutnya di depan cermin besar hiasnya. Tiba-tiba terdengar ada gedoran pintu. Segeragera gadis bertinggi badan seratus enam puluh centimeter itu bangkit dari duduknya. Pelan ia meraih gagang pintu.
Begitu pintu terbuka, seseorang langsung menyeruak masuk. Dan segera memeluk tubuh Safia dengan cepat dalam tangisnya. Safia sedikit terhuyung karena ditubruk oleh sosok yang begitu semampai, yaitu Embun.
"Ada apa, Bun?" tanya Safia heran mendapati kawannya bersimbah air mata dan tersedu-sedu. Dia lantas mengajak Embun duduk di tepi ranjang.
"Mamanya Jevin ... dia ... ia memutuskan hubunganku dengan anaknya, Fi," jawab Embun terisak sedih. Kembali Embun memeluk Safia erat.
"Maksudnya gimana?" tanya Safia tak mengerti. Gadis itu mengurai pelukan. Dia bangkit berjalan menuju nakas untuk mengambil sekotak tisu.
"Mama Jevin menyuruhku untuk menjauhi Jevin," cerita Embun sembari menerima tisu tersebut, lantas mengelap mata dan pipi basahnya. "Bu Jenni bilang Jevin sudah dijodohkan dengan seseorang," lanjut Embun kembali terisak.
"Bukan Jevin yang memutuskanmu?" Safia menatap Embun iba.
"Bukan," sahut Embun terguncang.
Sesaat kemudian Embun seperti tersadar lantas berujar," Ah ... ya aku mau menemui Jevin." Embun menatap Safia pasti. "Akan kutanyakan siapa sebenarnya gadis yang dijodohkannya itu."
Embun menghapus air matanya. Lalu tanpa menunggu Safia bicara, gadis itu berlalu. Safia termangu menyaksikan itu.
"Bagaimana reaksi Embun saat tahu kalo gadis yang hendak dijodohkan dengan Jevin adalah aku?" cemas Safia bingung. "Apa yang harus kuperbuat?" Safia menjatuhkan diri di ranjang. "Kenapa harus serumit ini?!" rutuknya sembari meremas seprai ranjang.
***
Bersambung
Resepsi pernikahan Yuki dan Embun dilaksanakan pada keesokan malam harinya. Masih bertempat di gedung yang sama. Gaun pengantin Embun dan tuxedo Yuki masih hasil dari endorse-nya Ibu Jenni.Sebagai sahabat yang baik dan setia, Safia tentu hadir di acara penting kawan kecilnya itu. Walau sebenarnya keadaan tubuhnya sudah tidak memungkinkan. Bahkan berungkali Jevin melarang, tetapi Safia bersikeras untuk datang. Apalagi di pesta tersebut dia akan berjumpa dengan teman-teman lamanya saat masih ngantor. Keras kepala Safia tidak bisa dibendung. Akhirnya, dengan berat hati Jevin mengizinkan dengan syarat tidak terlalu lama. Safia menyanggupi syarat itu dengan riang. Selama dalam perjalanan wanita itu bersenandung kecil.Ketika dia dengan suaminya sampai di gedung pernikahan Yuki, kedua mempelai menyambutnya dengan hangat. Suasana pesta sudah mulai ramai. Safia mengedarkan pandangan. Dekorasi pelaminan penuh dengan bunga-bunga mawar. Aroma bunga sedap malam mendominasi ruangan berkonsep ser
Hari ini adalah momen tersakral pada hidup Embun. Pasalnya hari ini ia akan menanggalkan status lajangnya. Tiga jam lagi dia akan duduk berdampingan dengan Yuki menghadap sang penghulu. Mereka berdua akan mengikrarkan janji suci di depan para wali dan saksi.Kini di kamarnya, Embun tengah dirias oleh MUA rekomendasi dari Safia. Karena Embun berasal dari daerah Jawa makan gadis itu akan mengenakan kebaya Jawa Solo. Sedangkan Yuki memakai beskap Jawa.Busana pengantin tersebut dibuat langsung oleh Ibu Jenni sebagai hadiah perkawinan mereka. Jadi baik Yuki maupun Embun tidak mengeluarkan rupiah sepersepun. Tentu saja kedua calon mempelai tersebut merasa amat bahagia.Terutama Embun. Karena kebaya yang akan membalut tubuh moleknya itu terlihat sangat indah dan mewah. Kebaya beludru hitam itu berpotongan leher V. Kombinasi brokat dan aksen yang serba keemasan membuat kebaya tersebut terlihat mewah. Sementara ekor panjangnya menambah kesan anggun.*"Cantik," puji sang MUA usai melukis waja
Safia tengah mematutkan diri di cermin. Siang ini dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Dirinya sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Jevin selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Safia baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Safia menoleh. Seraut wajah kusut datang. Jevin sang suami melangkah gontai, lalu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah pria itu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau Safia harus menghampiri Jevin."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Safia lembut. Ia memegang pundak suaminya pelan. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegur Safia perhatian.Jevin membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Pak Budi hari ini banyak melakukan kesalahan, Fi," curhat Jevin lemah.Pria itu menyebut nama seker
Safia dan Jevin tengah jalan pagi mengitari komplek. Safia memang teratur melakukan olahraga tersebut semenjak hamil trimester pertama. Selain mudah, murah, juga kaya manfaat.Jevin sendiri berusaha menjadi suami siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dirinya menyempatkan diri menemani sang istri. Selain itu juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Safia merasa cukup berolahraga. Peluh juga mulai membanjiri badan. Wanita itu mengajak pulang suaminya.Di jalan Safia menyempatkan diri membeli bubur ayam. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat yang merupakan langganan. Tidak tanggung-tanggung, Safia memesan tiga porsi sekaligus."Yang satu buat siapa, Fi?" tanya Jevin sembari mengerutkan kening. Pasalnya di rumah cuma ada mereka berdua."Buat baby dong," sahut Safia seraya mengelus p
Enam bulan kemudianPukul empat sore. Embun telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Gadis itu lekas merapikan berkas-berkas. Usai merasa semua sudah beres, gadis yang tahun ini genap menginjak angka dua puluh lima tahun itu gegas menyangklong tas kecil bermerk Hermes itu.Sejak insiden berdarah beberapa waktu lalu Embun masih kerja di perusahaan yang sama. Namun, tidak dengan Safia. Wanita itu memilih resign dari perusahaan beberapa bulan lalu atas desakan sang suami. Kini dirinya sibuk membantu mertuanya mengelola bisnis."Aku cabut dulu ya, Genk," pamit Embun pada rekan-rekan kerjanya.Vani dan Mania yang duduk tidak jauh dari mejanya mengacungkan jempol pada Embun.Tersenyum semringah Embun melangkah kaki. Bersama rekan yang lain dia masuk lift untuk turun ke lobby. Matanya langsung menangkap bayangan Yuki yang tengah duduk santai di kursi lobby. Dengan penuh keanggunan dan senyum yang selalu tersunging, dara itu menderap mendekati sang bujang."Hai ... udah lama?" sapa Embun
❤️❤️Tujuh bulan kemudianTengah malam buta sekitar jam dua dini hari. Safia yang terbangun dari tidur. Wanita mungil berperut besar itu menggeliat pelan. Matanya melirik sosok lelaki yang tengah terlelap damai di samping. Jevin tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Menimbulkan bunyi dengkuran halus. Safia senang mendengarnya. Merasa gemas wanita itu mengecup lembut bibir bersih bebas nikotin itu.Padahal Safia hanya mengecup ringan bibir sang suami. Namun, Jevin yang sensitif segera sadar. Masih dengan memejam Jevin balas mencium Safia dengan ganas."Lagi, yuk!" ajak Jevin setelah mereka melepas ciuman untuk mengambil pasokan oksigen. Pria itu mengedipkan satu mata nakal. Ketika Safia menggeleng, Jevin justru menarik sang istri untuk didekap rapat."Tadi jam sepuluh waktu mo bobok kan udah," ujar Safia sembari melepas dekapan sang suami. "Kasihan dedek bayi ini kalo mamanya digoyang mulu," lanjut Safia mencubit gemas pipi suaminya."Salah sendiri malam-malam bangun terus nyiumin
Malam beranjak larut. Namun, Jevin masih saja berkutat dengan layar monitor. Pria itu membawa pekerjaan yang belum tuntas di kantor ke rumah. Sedari sejam lalu matanya tidak lepas dari layar laptopnya.Keadaan itu membuat Safia gusar. Ini malam Jumat. Wanita itu ingin bermanja-manja dengan suaminya. Tetapi sang suami seperti tidak peka. Membuat dirinya bergelung di ranjang seorang diri.Untuk membunuh waktu menunggu suaminya merampungkan pekerjaan, Safia memainkan ponselnya. Wanita itu memilih bermain dengan assiten google. Dirinya terkikik geli saat suara perempuan di ponselnya memberikan guyonan-guyonan ringan.Jevin yang duduk di meja kerja dalam ruangan itu merasa sedikit terganggu mendengar cekikikan Safia. Pria itu mengerutkan kening melihat Safia terpingkal-pingkal di ranjang seorang diri. Merasa penasaran lelaki itu lekas menutup laptopnya untuk kemudian mendekati istrinya."Lagi ngapain sih?" tanya Jevin penasaran. Pria itu duduk menempel pada sang istri."Lagi pacaran," sahu
Embun telah tiba di hunian sang bibi. Rumah tampak lenggang. Sepertinya para pegawai katering sang bibi telah pulang. Gadis itu sendiri lekas masuk kamar tanpa menghadap sang tante.Ia melemparkan begitu saja sling bag kepunyaan ke ranjang. Lalu disusul dengan pelemparan tubuh lelahnya. Mata Embun menerawang jauh. Pikirannya tidak terlepas dari kejadian seharian ini. Ghea yang culas seketika mendapatkan karmanya dengan dibayar tunai.Embun pun menilai diri sendiri. Gadis itu mulai mengingat semua. Dia sudah tahu siapa jati diri dan orang-orang terdekatnya. Ketika peristiwa insiden penusukan perut Safia mengulang di mata, Embun menangis. Dia merasa amat menyesal."Tidak akan pernah ada habisnya jika aku terus mengejar Jevin. Tidak!" Embun bergumam sendiri. "Aku lelah. Safia dan Jevin pun sama lelahnya dengan aku." Embun membesit hidungnya yang kini terasa mampat akibat isakannya. "Aku pasrah. Jevin bukanlah jodohku." Akhirnya Embun bertekad.Kini gadis itu bangkit dari duduk. Diraihny
"Arghhhh!"Ghea terus saja mengerang. Wanita itu merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Seperti ada ribuan tangan yang meremas kencang perut ratanya.Mendengar itu spontan Safia dan Embun kian cemas. Apalagi darah terus saja mengalir dari diri Ghea. Safia berjalan menjauh. Suara riuh dari orang-orang yang merubung membuatnya susah mendengar. Safia kini tengah mencoba menghubungi Vino.Embun sendiri tiba-tiba merasa pusing melihat darah merah menggenang di lantai. Gadis itu merasa ngeri. Melihat darah banyak dan wajah-wajah panik membuat otaknya mengirim sinyal memori. Mendadak peristiwa penusukan perut Safia yang ia lakukan terbayang di mata. Sekelebat wajah panik dari Jevin, Yuki, dan juga Tania menghiasai matanya."Arghhhh!" Embun ikut mengerang.Gadis itu melepaskan begitu saja pangkuan Ghea padanya. Embun merasakan kepalanya berdenyut pening jika mencoba mengingat semua."Embun!"Safia yang mendengar Embun menjerit kesakitan refleks mendekati gadis itu."Kamu kenapa, Bun?" ta