Share

BAB 5. ANCAMAN ANGELA.

Pagi-pagi sekali Angela sudah bangun dan bersiap pergi ke Apartemen itu.

Ia berjalan pelan dan sedikit mengendap-ngendap berharap para iblis yang tinggal di rumahnya belum membuka mata, Angela sangat malas sekali harus menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

Namun, harapan hanyalah tinggal harapan, langkah Angela terhenti dengan dengusan kasar saat sebuah celetukkan terdengar, "Mau kemana? Kenapa berjalan seperti maling begitu?"

Angela berbalik, menatap Desi yag wajah berantakan khas bangun tidur, "Bukankah aku harus bekerja untuk melunasi hutangmu itu?" sindirnya.

"Oh iya, waktunya hanya dua hari lagi. Jika besok lusa kamu belum mendapatkannya, siap-siapa saja, rumah ini akan aku jual."

"Kamu tenang saja, aku pasti akan mendapatkan uang itu," sahut Angela malas.

"Bagus. Oh, mana gajimu kemarin? Isi kulkas sudah habis, aku mau berbelanja," ucapan Desi berhasil membuat mood pagi Angela menjadi buruk seketika. Yang benar saja, ia sudah dituntut mencari uang 10 Miliar secepatnya tetapi masih saja dimintai orang belanja.

"Apa benar-benar gila. Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan uang untuk hutangmu itu jika kamu terus meminta uang padaku!" Angela kemudian berlalu dari sana dengan hentakan keras, mengabaikan Desi yang berteriak memanggilnya.

Taksi pesanannya sudah datang. Angela termenung dalam taksi yang melaju kencang itu, pikirannya melayang akan amplop coklat berisikan uang 10 juta yang ia simpan dalam lemari di kamarnya, ia harus mencari uang senilai 9 miliar 990 juta lagi. Seketika, kepala Angela berdenyut sakit saat menghitung jumlah itu, ternyata, omongan Alexa hanya omong kosong, menjadi pelacur pun tidak semudah itu mendapatkan uang.

Taksi yang membawa Angela sampai di sebuah gedung yang menjulang tinggi itu.

Angela menghubungi Hendrix jika dirinya sudah berada di bawah, pria itu pun dengan cepat membalasnya, menyuruh Angela untuk langsung saja naik ke atas, lebih tepatnya, ke Apartemen yang mereka datangi kemarin.

Namun, saat Angela sudah sampai di Apartemen itu, bukannya Hendrix atau Devano yang menyambut, melainkan seorang wanita paruh baya dengan wajah datar menatapnya dengan ekspresi pongah.

"Kau Angela?" tanyanya.

Angela meneguk ludah kasar dan mengangguk pelan.

"Baiklah, silahkan masuk, letakkan tasmu dan kita mulai pelajaran."

Angela yang mulai melangkah masuk itu mengernyit bingung, "Pelajaran?"

Sambil memegang satu tongkat rotan sepanjang pinggang orang dewasa, wanita itu mengangguk. "Iya, kau harus terlihat menjadi wanita yang berkelas … Bukan seperti sekarang," sahutnya.

Angela sedikit kesal mendengar kalimat terakhir wanita itu. Memangnya, ada apa dengannya yang sekarang, pakaiannya rapi dan juga tertutup. Yah, meski semua yang ia kenakan adalah barang murah. Tapi rasanya tidak pantas saja wanita itu berkata begitu, hati Angela sedikit tergores mendengarnya. "Sekarang, apa yang akan aku lakukan?" tanyanya dengan berusaha menelan mentah-mentah rasa sakit hatinya.

Semua pun dimulai. Angela dilatih cara berjalan dan makan dengan elegan, gadis itu juga dilatih untuk mengatur ekspresi sebaik mungkin, senyum yang menawan meski hati sedang kesal. "Ekspresi wajahmu terlalu mudah ditebak, kau kesal dengan perkataanmu tadi, bukan?" tanya wanita itu.

Angela terdiam dengan perasaan tertohok. Oh, jadi wanita itu hanya mengujinya saja tadi, Angela jadi merasa sedikit bersalah sudah menyumpahi wanita itu macam-macam.

Di tengah ruangan, sambil kedua tangan merentang dan tiga tumpuk buku di atas kepala, Angela berlatih berjalan tegak, dibanding makan dan mengatur ekspresi, hal ini sangat sulit menurutnya, Angela beberapa kali gagal sampai mendapat pukulan keras di kakinya oleh wanita itu.

"Bisa istirahat sebentar? Aku lelah." Angela terduduk lemas di lantai. Menjalani latihan semacam putri kerajaan sungguh sangat melelahkan, apalagi bentakan dan pukulan yang wanita itu berikan tidaklah main-main, Angela yakin, kakinya membiru sekarang. Kalau bukan karena hutang ibu tirinya itu, Angela lebih baik tetap menjadi pelayan kafe saja, meski gajinya kecil, tubuhnya tidak akan di siksa.

"Kau sudah selesai dengan tugasmu?"

Angela menoleh, kehadiran Hendrix bagaikan malaikat penolongnya, tanpa sadar, gadis itu tersenyum tipis.

Wanita itu mengangguk hormat, "Sudah, Tuan."

"Baiklah, kau boleh pergi, upahmu sudah saya transfer," ucap Hendrix.

"Terima kasih, Tuan." Wanita itu pun berlalu dari sana setelah mengambil tas selempang yang ia bawa.

Sepeninggalan wanita itu. Hendrix mendatangi Angela. "Mari bangun, Nona, ikut saya, Tuan Devano sudah menunggu Anda."

Angela bangkit, "Kita kemana?"

Hendrix tidak menjawab, pria itu hanya tersenyum tipis.

Angela pun memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengikuti langkah pria itu.

Di depan pintu utama gedung, sebuah mobil hitam mewah bertengger, Hendrix segera membukakan Angela pintu mobil penumpang.

Baru saja Angela mendaratkan bokong di samping Devano, Angela tersentak akan lembaran kertas yang mendarat di atas pangkuannya, ia menoleh pada Devano dan bertanya, "Apa ini?"

"Baca saja, kau bisa membaca,'kan?" jawab Devano tanpa menoleh sedikitpun pada Angela.

Angela mengambil kertas itu dengan kesal kemudian mulai membacanya, satu alis gadis itu terangkat dan berseru, "Proposal?"

"Iya, itu data dirimu yang harus kau pakai saat di hadapan ibuku. Bacalah dengan benar dan tanamkan di otakmu," sahut Devano.

Angela mulai membaca semua yang tertera di sana. Dari segi nama dan latar belakang Angela semua di modifikasi. Ia meneguk ludah kasar saat membaca pendidikan terakhirnya. Sebuah tempat pendidikan yang begitu terkenal di negara Y? Haish, ke Negara Y saja Angela tidak pernah, apalagi penempuh pendidikan di sana. "Apa identitas baru ini tidak berlebihan? Maksudku, kalau untuk nama Nathalie saja aku setuju karena itu memang nama tengahku, tapi pendidikan? Aku ke Negara sana saja tidak pernah."

Devano menoleh sekilas masih berekspresi datar, "Tidak, itu memang standar yang harus dimiliki."

Angela terdiam, standar yang harus dimiliki? Yah, itu memang harus, dirinya saja yang kelewat miskin hingga tidak dapat memenuhi standar yang sekiranya tidak membuat hidupnya susah.

Mobil melaju dengan kencang. Tidak ada pembicaraan di antara mereka bertiga.

Angela menoleh ke arah jendela mobil di sampingnya, menatap jalanan dan orang-orang yang mereka lalui. Pikiran tentang uang 10 miliar itu kembali datang, bagaimana caranya ia akan mendapatkan uang itu dalam 2 hari ini? berharap dari Madam pun rasanya percuma. Ah, meminta tip? Tapi, bukankah Madam berkata ia harus meminta tip pada pelanggan yang puas akan dirinya? sedangkan, ia dan pria kaya raya di sampingnya ini saja tidak melakukan apapun. Lalu, dari segi apa ia bisa meminta uang tip?

Haish, ingin rasanya Angela berteriak kencang saat ini, melampiaskan rasa sakit atas semuanya.

Di tengah-tengah pikiran berkecamuk itu. Terbesit sebuah pikiran gila dari kapasitas otak Angela yang kecil.

Gadis itu menoleh ke arah Devano yang masih sibuk dengan ipadnya. Lalu menatap proposal di pangkuannya, Angela kembali menatap ke depan sambil menghela napas sedalam mungkin. Haruskah ia melakukannya?

Mobil berhenti di sebuah butik yang sangat terkenal di kota mereka. Angela tahu butik itu. Butik yang bahkan harga per gaunnya mampu untuk membeli satu mobil atau bahkan satu rumah.

"Ayo ke luar, Angela," ucap Devano. Angela langsung menurut saja tanpa membantah ataupun bertanya, pikirannya masih memikirkan cara bagaimana melancarkan aksinya nanti.

Saat di dalam pun, Angela hanya pasrah ketika dirinya dieksekusi oleh pemilik butik atas perintah Devano.

"Nona, silahkan lihat diri Anda dulu, mungkin menurut Anda ada yang kurang pas." Ucapan sang pemilik butik membuat Angela kembali sadar, ia langsung menatap cermin besar di depannya dan seketika terperangah, betulkah itu bayangan dirinya? Cantik sekali.

Angela juga suka dengan gaun di tubuhnya, meski agak sedikit ketat membentuk lekuk tubuh, setidaknya tidak terlalu terbuka seperti dress mini waktu di klub.

"Bagaimana? Apa penampilanku sudah sempurna?" Angela mendatangi Devano dan berputar beberapa kali sambil merentangkan tangan.

"Iya," sahut Devano singkat.

Angela mendengus, hanya itu saja? Tidak bisakah memberi sedikit pujian kepadanya agar ia bisa sedikit lebih percaya diri?

Setelah membayar semua yang Angela kenakan, mereka berlalu dari butik terkenal itu, tentu saja sebelum itu Hendrix sudah membereskan semuanya agar Devano dan Angela bebas bergerak di butik itu.

Mobil kembali melaju dengan kencang. Lagi dan lagi, Angela hanya menatap ke arah jendela selama perjalanan, tanpa sadar, jantungnya berdegup dengan kencang memikirkan rencana yang sudah ia susun rapi di otaknya. Angela tahu hal itu penuh dengan resiko, tapi ia benar-benar tidak memiliki pilihan lagi.

Beberapa menit kemudian.

Mobil mewah itu membawa mereka memasuki perumahan elite, Angela tahu perumahan ini, sarangnya orang kaya raya.

"Bersiaplah," ucap Devano.

Angela menoleh, "Namamu siapa?"

Devano yang sedang melepas sabuk pengamannya seketika menoleh, "Kamu belum tahu namaku?

Angela menggeleng pelan dengan ekspresi polosnya, "Tidak, kamu belum mengenalkan dirimu padaku."

"Devano Christian Alexander." Setelah menjawabnya Devano langsung turun dan berjalan mengelilingi mobil ke sisi Angela untuk membukakan gadis itu pintu mobil.

Terlihat wanita paruh baya berdiri di teras sana seolah sedang menyambut mereka. Angela melirik pada Devano dengan ekor matanya, pria itu mendekat dan berbisik, "Jangan membuat kesalahan sedikitpun." Devano menggandengkan tangan Angela membawa gadis yang kini berkeringat dingin pada sang ibu yang sudah menunggu mereka.

"Hallo, Mom," sapa Devano.

Wanita paruh baya yang kerap disapa Emelly itu tersenyum lebar. "Dia kekasihmu?" tanyanya tanpa bisa mengalihkan perhatian dari Angela.

Angela berusaha mengambangkan bibirnya walau sangat susah, ia sangat gugup, tubuhnya tiba-tiba susah di kontrol, Angela seolah-olah sedang mati gaya. Apa yang terjadi padamu Angela? Jangan mengacaukan semuanya!

Devano tersenyum tipis dan melirik ke arah gadis di sampingnya. "Iya. Namanya Nathalie"

Senyum Emelly semakin lebar kemudian memeluk Angela dengan erat, dapat wanita paruh baya itu rasakan tubuh yang begitu dingin itu. Emelly mengerti, kekasih sang anak tengah gugup sekarang. Tentu saja, siapa yang tidak gugup saat bertemu calon mertua untuk pertama kalinya?

"Selamat datang di rumah kami, kau boleh memanggilku Mommy, oke, Nathalie?" ucap Emelly.

"I-iya, Mommy," sahut Angela dengan kikuk, sudah lama sekali rasanya ia tidak mengucapkan panggilan penuh makna itu.

Emelly mengajak Devano dan Angela memasuki rumah, mereka menuju ruang makan, di atas meja makan persegi panjang disana, sudah terdapat banyak menu mewah yang dimasak khusus oleh chef terkenal. Emelly sengaja mengundangnya saat mendengar Devano akan membawa kekasihnya ke rumah. Sudah sangat lama sekali ia menantikan momen ini.

Tentu saja Angela terkejut akan banyaknya makanan enak di sana. Air liurnya hampir saja menetes, semua makanan yang terhidang adalah makanan impiannya. Ya, Angela memiliki cita-cita, jika dirinya memiliki banyak uang kelak, Angela akan membeli semua makanan yang sering ia lihat di televisi. Namun, sekarang, semua makanan itu tertampang nyata di hadapannya.

Memikirkan hal itu, seketika Angela mengembuskan napas lemah, percuma saja, Angela tidak akan bisa makan sepuasnya sekarang. Seperti pelajaran tadi pagi, Angela harus makan se elegan mungkin dengan suapan kecil seperti suapan seorang bayi.

Angela dipersilahkan duduk berdampingan dengan Devano dan Emelly yang berada di depan mereka.

Beberapa Maid datang mempersiapkan semua keperluan makan mereka, dari memperbaiki posisi piring yang terbalik di atas meja dan juga menuangkan air.

"Kita makan sambil ngobrol, tidak papa?" tanya Emelly menatap Angela.

Angela yang sedang sibuk memperhatikan pekerjaan para Maid yang terlihat cekatan itu menoleh dan tersenyum, "Iya, Mom, tidak apa-apa."

Devano melirik ke arah gadis itu. Ia merasa Angela begitu katrok, dari segi cara pandang dan respon gadis itu terlihat sekali tidak biasa berhadapan secara formal pada orang lain. Bukankah ia pekerja di sebuah klub malam? Seharusnya tahu bagaimana cara mengambil sikap yang sekiranya bisa memukau orang lain.

Saat makanan sudah terhidang di atas piring mereka masing-masing, denting sendok beradu dengan piring pun terdengar.

Angela sampai terpejam beberapa kali saat lidahnya merasakan rasa yang begitu nikmat sekali. Makanan ini sempurna, rasa maupun tekstur.

"Bagaimana, kamu menyukai makanan ini, Nathalie?" tanya Emelly dengan senyum teduh yang masih setia di wajah kencang itu.

Angela sedikit tersentak, masih belum terbiasa rasanya mendengar panggilan Nathalie pada dirinya. "Enak sekali, Mom, aku menyukainya," sahutnya girang.

Devano yang mendengar itu meringis. Padahal ia sudah membayar mahal pelatih untuk gadis itu. Haish, apa yang mereka pelajari tadi pagi? Kenapa Angela sekarang tidak ada anggun-anggunnya sama sekali?

Emelly tertawa dan bertanya. "Siapa nama panjangmu?"

Angela melirik ke arah Devano sebentar dan menjawah. "Angela Nathalie."

"Namanya yang cantik, seperti orangnya."

Angela merasakan sebuah ketulusan dari pujian itu, sudah lama sekali rasanya Angela tidak merasakan perasaan hangat ini. "Terima kasih, Mommy juga cantik sekali."

Angela dan Emelly pun terlibat obrolan seru. Tak jarang mereka berdua tertawa bersama membahas hal apa saja yang menurut mereka lucu.

Angela melupakan semua yang telah ia pelajari, melupakan segala keanggunan sebagaimana pantasnya untuk seorang wanita. Gadis itu juga mengekspresikan perasaannya dengan sesuka hati, ia tertawa kencang, tersenyum lebar dan terkejut secara natural.

Devano memijat pelan pelipisnya, ia bisa berbuat apapun lagi. Hanya bisa pasrah jika setelah ini nanti, sang mommy akan benar-benar menjodohkannya dengan wanita pilihannya, wanita yang sangat tidak ia sukai. Wanita penggila uang.

Beberapa saat setelah puas ngobrol. Emelly menyuruh Angela untuk beristirahat sebentar di rumahnya.

Gadis itu mengangguk setuju, lagipula, dia juga sangat lelah hari ini, badannya pegal-pegal akibat pukulan pelatih kejam itu, "Terima kasih untuk hidangannya, Mom, ini enak sekali," ucap Angela.

Emelly mengangguk dan tersenyum. Lalu, menoleh ke arah Devano, "Kamu antar Nathalie ke kamar tamu, baru setelah itu temui Mommy."

Devano menarik napas panjang dan mengangguk pasrah. "Iya, Mom."

Devano mengantarkan Angela ke sebuah kamar yang berada di dekat tangga.

Pria itu membukakan pintu dan berkata, "Ini kamarmu, beristirahatlah."

Namun, Devano seketika terkejut saat Angela menerjang tubuhnya, mereka tersungkur dengan posisi yang begitu mengerikan.

Angela yang berada di atas tubuh Devano dengan lekas menarik dasi pria itu membuatnya seketika terhenyak kesulitan bernapas. Dengan sebelah kakinya, Angela menendang pintu agar tertutup, ia khawatir akan ada yang menyaksikan aksinya.

"A-apa yang kau lakukan?" Devano berusaha membebaskan diri meski napasnya sudah terputus-putus.

"Beri aku uang 10 miliar, atau aku sebarkan tentang hubungan palsu kita pada ibumu!" Ancam Angela masih terus menarik dasi yang melilit leher Devano.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status