Share

BAB 4. PILIHAN DEVANO.

"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Devano sembari memperhatikan gedung di depannya.

"Menurut temanku sih ini. Katanya para wanita disini lebih berkualitas dibanding klub yang lain," tawab Hendrix.

"Tidak ada yang namanya jalang berkualitas," Hardik Devano yang tidak setuju akan penuturan Hendrix.

Hendrix mendesah, berbicara dengan Devano memanglah selalu menguji kesabarannya. "Ayo masuk kedalam, aku sudah mengikat janji dengan pengurus di klub ini."

Devano dan Hendrix berjalan beriringan masuk menuju Klub yang sangat megah itu. Devano sebenarnya sangat malas untuk ke tempat seperti ini. Namun, ini demi kelangsungan hidup damainya, ia tidak ingin Hendrix salah memilihkannya wanita, terpaksa ia harus ikut pergi ke tempat yang paling ia hindari ini.

"Tunggu!" Hendrix tiba-tiba berhenti membuat sebelah alis Devano terangkat di balik kacamata hitam yang ia kenakan.

"Kau perlu ini. Bisa heboh nanti jika sampai ada yang mengenalimu." Hendrix memberikan Devano masker hitam dan juga topi.

Devano menerimanya langsung memakai masker dan juga topi itu. Kini, Ditambah dengan kacamata hitam yang dikenakan pria itu menambah kesan misterius yang sangat melekat.

Hendrix meraih ponsel yang berada di saku celananya saat mereka sudah berada di salah saku meja dalam bar itu. "Halo. Kami sudah didepan, dimeja 18."

Devano hanya duduk diam saja, kepalanya berdenyut sakit dengan pemandangan di sekitarnya. Ia sungguh tidak mengerti akan semua manusia gila ini, apa nikmatnya hal seperti ini? "Apakah masih lama? Aku muak berada disini," desis Devano.

"Sabar sedikit. Pengurusnya sudah menuju kesini." Bertepatan dengan itu, seorang wanita dengan pakaian seksi dan glamor datang menghampiri, "Apakah ini dengan Tuan Hendrix?" tanyanya pada mereka.

"Iya," jawab Hendrix singkat

Pengurus tersenyum, bau-bau uang yang melimpah tercium. Bisa dilihat dari perawakan mereka, pria-pria ini bukanlah orang sembarangan. "Mari, ikut saya. Saya sudah menyiapkan beberapa wanita yang cocok dengan pilihan Anda."

Hendrix mengangguk dan berjalan mengikuti pengurus bersama Devano yang terus mengumpat dalam hatinya.

Mereka tiba di sebuah kamar yang cukup luas, disana sudah ada 5 orang wanita cantik yang berdiri berjejer rapi.

"Ini semua yang terbaik menurut kriteria yang Anda inginkan," jelas pengurus dengan tersenyum semanis mungkin.

Devano memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit melorot, ia menyorot dengan tajam wanita-wanita di hadapannya kemudian berjalan mendekati Hendrix dan berbisik.

Hendrix pun berdehem. "Apa hanya ini?" tanyanya pada pengurus.

Diujung sana. Angela terus menunduk, sedikit pun ia tidak berani mengangkat kepalanya. Selain rasa takut dan juga gugup, ia sungguh malu saat ini, pakaian yang ia kenakan sungguh sangat minim. Dengan rok yang hanya sejengkal dan baju tanpa lengan, Angela meringis dalam hati, ini sangat mengerikan.

Devano terus memperhatikan kelima wanita itu. Seketika, tatapannya terkunci pada wanita paling ujung. Senyum tipisnya terbit tanpa siapapun yang mengetahui. "Saya mau wanita paling ujung."

Angela yang mendengar itu seketika melotot. Paling ujung? Itu berarti dirinya.

Benar saja, sedetik kemudian, sang pengurus merangkul Angela dan membawa gadis itu ke hadapan dua pria itu. "Dia?" tanyanya lagi memastikan.

Devano mengangguk pelan. "Yang lain, silahkan keluar," ucapnya pada keempat pekerjanya yang lain.

Mereka kini duduk bersama di sebuah meja bundar yang berisikan beberapa botol alkohol. "Sesuai permintaanmu." Hendrix menyerahkan amplop coklat yang sangat tebal membuat bibir merah sang pengurus langsung merekah.

Angela hanya bisa diam saja di samping sang pengurus memperhatikan dua pria yang menyewa jasanya, Angela hanya bisa melihat wajah pria yang sedari tadi terus berbicara itu. Cukup tampan dan terlihat dewasa.

Namun, pria yang satunya, gadis itu sama tidak bisa melihat wajahnya, tetapi dari perawakan, mereka setara.

"Selama tiga hari kedepan, mereka Tuanmu, turuti perintah mereka. Oke, gadis manis?" ucapan sang pengurus sedikit mengejutkan Angela, "Iya, Madam,"

"Mari Nona, ikut kami." Angela mengangguk dan mulai mengikuti langkah pria itu. Di ambang pintu, Angela menoleh kebelakang sebentar, sang pengurus hanya melambaikan tangan sambil tersenyum manis.

Angela menarik napas sedalam mungkin, 'Maafkan aku, Pa, aku memilih jalan ini karena terpaksa.'

Mereka sampai di halaman gedung dengan banyak mobil yang terparkir, pria dengan kemeja hitam itu membukakan pintu sang Tuan dan Angela.

Angela menjadi kikuk sendiri, ini kali pertama dirinya diperlakukan semanis ini, "Terima kasih," ucapnya dengan tulus.

Pria itu hanya mengangguk dan tersenyum. Mobil hitam mewah itu pun melaju meninggalkan klub dengan segala kebisingannya.

"Haish, aku hampir kehabisan napas di tempat itu!"

Angela menoleh mendengar suara bariton itu. Ia terkejut sambil menutup mulutnya, tentu saja, pria itu adalah pria yang tempo lalu mobilnya ia tabrak. "Kamu?" kata Angela masih dengan ekspresi wajah syoknya.

Devano menoleh dan tersenyum tipis, "Bagaimana kakimu? Sudah sembuh?"

Angela terdiam, sedikit tidak menyangka jika pria itu masih mengingatnya. "S-sudah, kamu siapa? kenapa menyewa jasaku?" Angela penasaran, apalagi jika ditelisik lebih dalam, tampang pria di hadapannya seperti tipikal pria brengsek. Ah, tentu saja, pria baik-baik mana yang menyewa seorang pekerja klub?

"Menurutmu, untuk apa aku menyewa jasa seseorang sepertimu?" tantang Devano dengan senyum miring tercetak jelas.

Angela jadi gelagapan.

"Siapa namamu?" tanya Devano.

Sambil meremas kedua tangannya yang sudah berkeringat dingin, Angela menjawab, "Angela."

"Nama lengkap?"

"Angela Nathalie Maxion." Jawaban Angela membuat kedua alis tebal Devano tertaut. Ia merasa tidak asing dengan nama belakang gadis itu, Maxion? siapa kira-kira.

Mobil pun semakin meluncur dengan keheningan di antara mereka. Angela tidak lagi membuka suaranya, pikirannya sibuk dengan hal-hal menakutkan yang mungkin sebentar lagi akan terjadi. Firasatnya mengatakan sesuatu di luar dugaan sedang menunggu di depan sana.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gedung pencakar langit.

Angela digiring oleh Devano dan Hendrix melalui Lift yang tersedia di basement. Lift yang langsung menuju lantai paling atas.

Mereka tiba di griya tawang. Angela tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagumnya. Tempat yang ia pijak sekarang begitu mewah. Devano tertawa pelan melihat ekspresi yang menurutnya sangat berlebihan.

"Baiklah, Angela, langsung saja ke inti, saya tidak mempunyai waktu banyak." ucapan Devano langsung membuat Angela tersentak, keringat dingin mulai menjalar di seluruh tubuhnya sekarang. Pikiran-pikiran kotor itu mulai hadir, berpelukan, bercumbu atau bahkan yang lebih parah lagi. Ah, Angela mulai berpikir untuk kabur sekarang. Persetan dengan uang 10 milyar, Angela tidak sanggup melakukan semua hal menjijikan itu, meski dengan pria yang sangat tampan sekarang.

"Kamu hanya harus berpura-pura menjadi kekasihku, ketika aku membawamu bertemu ibuku."

Angela tertegun mendengarnya dan memastikan sekali lagi. "Jadi, begitu saja tugasku? Maksudku, aku hanya perlu menjadi kekasihmu di hadapan orang tuamu saja,'kan? Tidak ada hal apapun lagi yang harus aku lakukan untuk Anda?"

"Iya," jawab Devano singkat.

Tanpa sadar, Angela mendesahkan napas lega mendengar itu. Ini benar-benar menegangkan, Angela kira, dirinya akan melayani hal-hal mesum pada pria itu.

"Hanya di hadapan ibuku, kamu wajib bungkam pada siapapun, apalagi jangan sampai berita ini tersebar dimanapun, kamu mengerti?"

Angela mengangguk, "Iya, aku mengerti."

Devano menoleh ke arah Hendrix yang sedari tadi berada di belakangnya.

Hendrix mengerti, pria itu meraih sesuatu dalam saku jas dan menyerahkannya pada Devano. "Selama kau bertugas, pakai ponsel ini."

Angela terperangah. Bukankah itu ponsel yang baru saja launching minggu lalu?

Angela mengambil ponsel berharga puluhan juta itu dengan tangan gemetar.

"Jangan memakai ponsel itu untuk hal pribadimu," peringat Devano membuat Angela mengangguk mengerti.

"Apa sekarang aku boleh pulang?" tanya Angela dengan hati-hati."

"Iya, datanglah lagi besok pagi." Devano memerintahkan Hendrix untuk mengantarkan gadis itu. Namun, Angela menolak, selain karena khawatir akan dilihat oleh sang ibu tiri, Angela juga ingin mampir sebentar di suatu tempat.

"Tante, boleh aku minta jatahku untuk malam ini? Aku harus membawa pulang uang." Ya, Angela kembali ke klub itu sebelum dirinya kembali ke rumah.

Sang pengurus tersenyum, "Tentu, apa hari ini menyenangkan?" tanyanya sambil berlalu menuju meja kerja yang terdapat di ruangan itu.

"Lumayan." Hanya itu yang bisa Angela jawab saat ini, ia tidak mungkin membeberkan semuanya.

Wanita itu menyerahkan amplop coklat ke hadapan Angela. "Upahmu malam ini."

Angela menerimanya dengan sumringah. Ia membuka amplop itu dan menghitung uang didalamnya, seketika, raut wajah gadis itu berubah, "Apa hanya ini, Madam?"

Wanita dengan make up tebal itu menoleh dengan mata melotot, "Apa maksudmu hanya ini? 10 juta, itu sudah angka fantastis untuk orang baru!" sungutnya.

Angela tertunduk, "Aku kira, dengan jaminanku tiga hari mendatang, aku akan mendapatkan lebih dari ini."

"Ah, sepertinya kau belum tahu cara main seorang pekerja seperti ini ya?"

"Apa maksud, Madam?"

Sag pengurus mengambil duduk disamping Angela, membelai wajah itu dengan lembut. "Mereka memang tidak mendapat gaji yang besar dariku," ucapnya. Lalu, wanita itu mendekatkan wajahnya pada Angela dan berbisik. "Minta uang tip pada pelanggan, semakin puas mereka, semakin banyak uangmu."

Angela terdiam dengan tubuh yang menegang. Ia sama sekali tidak pernah berpikir tentang hal ini, ia kira, urusannya selesai dengan sang pengurus saja. Ternyata, setelah disewa, Angela harus berpikir untuk mendapat uang tambahan lagi.

"Pergilah, bawa uang itu," ucap pengurus.

Angela tidak bisa membantah lagi. Ia pun lekas menaruh amplop itu dalam tasnya dan melangkah pergi.

Sang pengurus tersenyum sinis menatap punggung Angela yang mulai menjauh itu. "Cuih, memangnya, berapa yang dia harapkan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status