Share

BAB 3. DEVANO CHRISTIAN ALEXANDER

"Devano, Mommy sudah memutuskan. Kalau dalam tiga hari ini kamu belum juga membawa calon istrimu kehadapan Mom, pilihanmu hanya dua, melihat Mommy mati bunuh diri atau menikah dengan anak Om Erlangga!"

Devano tersedak sarapannya kali ini. Perkataan sang mommy sungguh sangat tidak masuk akal menurutnya. "Mom tahu sendiri, aku tidak ingin menikah," jawab Devano dengan pelan.

"Justru karena itu, Devano! Kamu tidak ingin menikah, sedangkan Mommy ingin segera menimang cucu, kalau bukan cucu darimu, harus darimana lagi? Tidak mungkin, Bukan, Mom meminta pada Teha," Balas Emey.

Teha—Kucing kesayangan Emelly.

"Lagian, kau juga sudah tua bangka seperti itu. Bahkan teman sepantaranmu sudah memiliki anak yang mulai memasuki sekolah dasar. Sedangkan kamu? Hanya seperti ini saja." Emely menatap tajam sang anak. Ekspresi wajah wanita tua itu begitu menunjukkan keputusasaan yang mendalam. Tentu saja, anak satu-satunya itu tidak ingin menikah, ibu mana yang tidak frustasi?

"Mom jadi curiga tentang berita yang berseliweran di luar sana tentang kamu yang menyukai sesama jenis. Apa itu benar? Haduh, Mom sangat pusing sekali memikirkan dirimu itu!" Emelly terus berbicara tanpa henti dengan gerakan tangan pada Devano yang terlihat tidak peduli.

"Mom akui kamu itu tampan. Bahkan lebih tampan dari ayahmu yang brengsek itu. Tapi, apa gunanya tampan kalau belum menikah juga."

"Mom!" tegur Devano. Selera makannya seketika hilang mendengar sang mommy yang terus saja mengomel tentang hal menurutnya tidak terlalu penting. Menikah? Hah, mendengarnya saja membuat Devano muak.

"Apa jangan-jangan ... kamu memiliki hubungan dengan Hendrix, asistenmu itu?" Emely kembali mengeluarkan suara yang berhasil membuat Devano lagi-lagi tersedak.

"Mom! Berhenti berpikir tidak masuk akal seperti itu." Devano berkata dengan lirih. Harus dengan cara apa lagi ia menghentikan semua ini?

Namun, Emely tidak menghiraukannya, wanita tua itu terus saja meluncurkan ucapan demi ucapan yang seketika membuat Devano rasanya ingin pergi menjauh. "Pokoknya, Mom tidak mau tahu. Dalam tiga hari ini, kenalkan pacarmu pada Mom! Kalau tidak, siap-siap saja, kita kerumah Om Erlangga untuk melamar gadis beliau itu," Mutlak Emelly, kali ini ia akan bersikap tegas pada anak bujang tuanya itu. Emelly stres sendiri memikirkan sang anak yang tak kunjung mau menikah.

Bahkan, di umur Devano yang sudah menginjak kepala tiga. Tidak sekalipun Emelly melihat anak itu bersama dengan seorang wanita.

Devano kini sudah menyelesaikan sarapannya, ia meneguk habis susu hangat itu sebentar dan berdiri dari kursinya menuju sang mommy. "Baiklah, Mom. Aku berangkat dulu," Pamit Devano mengecup pipi sebelah kiri Emelly

"Ingat kata-kata Mommy tadi, Devano!" Peringat Emelly.

Devano hanya merespon dengan deheman pelan. Lalu, mulai beranjak dari sana tanpa sepatah katapun lagi.

Di pekarangan sana, sudah ada Hendrix yang menunggu didepan pintu mobil yang sudah terbuka.

"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Hendrix saat di perjalanan. Ya, walaupun posisi mereka saat ini atasan dan asisten. Namun, di luar itu, mereka adalah teman sejak kecil.

"Mommy menyuruhku menikah."

Mendengar itu, Hendrix mengernyit. "Apa yang salah dengan itu? Bukankah setiap saat kamu selalu disuruh menikah?"

"Kali ini lain. Aku harus mendapatkan wanita dalam tiga hari," jawab Devano, ia memijat pelan pelipisnya, hal ini cukup membuat kepalanya berdenyut sakit.

"Tiga hari?" Ulang Hendrix dengan satu alis terangkat.

"Iya. Kalau tidak, Mommy akan menjodohkanku dengan Moela dan mengancam akan bunuh diri."

Terdengar suara tawa Hendrix yang tertahan. "Sepertinya Tante Emelly benar-benar tidak memiliki kesabaran lagi kali ini." Tawa Hendrix kini meledak, ia benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

"Kamu masih tertawa. Ku potong gajimu 20%!" Seruan itu berhasil membuat Hendrix seketika menghentikan tawanya. "Kejam sekali." ucapnya kesal.

"Apa kamu memiliki wanita yang bagus untuk dijadikan kekasih?" tanya Devano kini menatap ke depan.

Hendrix mendesah pelan. "Bagaimana aku bisa memiliki teman wanita, hidupku saja sehari-hari hanya dihabiskan untuk menemanimu," keluhnya.

Devano terdiam, bola matanya bergerak kesana-kemari dengan sebelah tangan menumpu rahang tegasnya. Masih memikirkan bagaimana caranya agar ia tidak menikah dengan wanita itu. Sungguh, Moela bukanlah wanita yang menarik menurutnya, pakaian kurang bahan yang selalu dikenakan wanita itu selalu membuatnya sakit mata.

"Hmm, bagaimana kalau kamu coba cari di klub? Biasanya banyak wanita-wanita menganggur disana." Usulan Hendrix membuat Devano menatap tajam sahabat sekaligus asistennya itu.

Hendrix merasakan aura-aura mencekam di sekitarnya kembali berceletuk. "Maksudku. Kamu sewa saja mereka sebagai kekasihmu. Hanya untuk diperkenalkan, bukan? Nah, mungkin setelah itu kamu bisa berbohong kalau kalian putus, untuk alasan mungkin bisa dipikirkan nanti. Ini hanya untuk menghindari kejadian tiga mendatang," jelas Hendrix, ia sungguh tahu kalau sebenarnya Tuannya ini sangat tidak menyukai hal-hal berbau klub, terlebih untuk para wanita di dalam sana.

Devano memikirkan saran dari Hendrix dan beberapa detik kemudian mengangguk, "Baiklah, kamu pergilah kesana, carikan wanita sebaik mungkin, jangan seperti wanita yang tidak memiliki pakaian."

"Kamu sendiri saja pergi, pilih wanita yang menu--"

"Potong 20%!"

"Iya-iya. Aku pergi kesana." Hendrix hanya bisa mengelus dadanya, berhadapan dengan Devano bukanlah hal yang mudah.

Hingga, tak berapa kemudian, mereka telah sampai di gedung tinggi pencakar langit itu. Hendrix langsung turun untuk membukakan pintu sang Tuan.

Devano turun dengan angkuhnya. Seperti biasa, ekspresi datar dan dingin pria itu selalu menghiasi wajah tampannya.

Pria itu langsung mulai berkutat dengan tumpukan berkas yang sudah melambai-lambai minta di tanda tangani. Hingga, pada sebuah laporan, sudut bibirnya terangkat.

Devano langsung meraih gagang telepon di dekatnya. "Suruh bagian keuangan keruanganku."

Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar.

"Masuk!" Perintah Devano.

Hendrix masuk diiringi dengan seorang wanita dibelakangnya.

"Kau boleh kembali," tunjuk Devao pada Hendrix.

Hendrix menunduk sebentar memberi hormat, lalu beranjak dari sana.

"Ada apa Tuan memanggil saya?" tanya wanita itu dengan senyum lebar.

Devano melempar berkas yang ada di tangannya, "Jelaskan!" Tuntutnya dengan tatapan tajam

Sang kepala keuangan gelagapan, ia sedikit gemetar saat ini. Namun, ia berusaha sebisa mungkin untuk tenang dan berjalan mendekati Devano, mengambil berkas itu dengan posisi sesensual mungkin, kancing baju atas yang sengaja ia buka, dengan ja yang menunduk tepat di hadapan Devano, membuat buah dada wanita itu terlihat sepenuhnya.

Devano menggeram marah. Ia yang pada dasarnya sangat tidak menyukai wanita murahan, apalagi secara terang-terangan menggodanya seperti ini. "Hendrix!" Teriaknya.

Hendrix langsung datang menghadap sang Tuan.

"Seret jalang ini keluar!" Teriak Devano yang langsung membuat Hendrix bertindak.

Tentu saja, sang kepala keuangan tidak terima, ia meronta sekencang mungkin sambi menjerit, "Tidak bisa seperti itu, Tuan!"

Hendrix terus mencoba menarik wanita itu keluar. Namun, tak terduga, wanita itu menendang aset yang membuat Hendrix mengerang kesakitan.

Kepala keuangan secepat kilat melepas pakaiannya, ia berlari menerjang Devano tanpa tahu malu. Ia sudah tercebur, jadi sekalian saja menyelam.

"Wanita gila!" Devano langsung mencekal kuat lengan wanita itu. Berusaha menyeretnya keluar, karena kepala keuangan yang terus berusaha menerjangnya dengan keadaan wanita itu yang sudah setengah bugil. Membuat Devano sedikit kesusahan.

"Apa Anda tidak tertarik dengan tubuh saya? Saya bersedia memberikan ini secara gratis." Kepala keuangan terus menggoda Devano, ia bahkan tak segan-segan meremas-remas buah dadanya sendiri.

"Bitch!" Dengan sekuat tenaga, Devano terus mencoba menyeret wanita itu

Kepala keuangan semakin berontak begitu mereka sudah menyentuh pintu ruangan. "Pak, lepaskan saya, saya berjanji tidak akan melakukan ini lagi." Namun, wanita itu terlambat, Devano sudah berhasil membawanya keluar tanpa pakaian atas.

"Penjaga!" Mereka sudah menjadi tontonan para karyawan kantor. Kepala keuangan mulai menangis dengan sebelah tangan yang berusaha menutupi buah dadanya yang tidak tertutupi apapun.

Para satpam pun datang. Devano melempar wanita itu dengan kasar membuatnya tersungkur. "Bawa pergi wanita gila itu!" Devano langsung pergi dari sana dengan wajah yang sudah merah padam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status