Share

BAB 8. TIDAK ADA KESEMPATAN.

“Ambil saja uang itu, aku membatalkan perjanjian kita!” teriak Angela, tidak memedulikan jika mungkin saja suaranya akan terdengar oleh Emely, yang paling penting sekarang, ia harus terlepas dari jeratan hutang pada pria ini.

Devano berbalik, menatap Angela dengan satu alis terangkat.

“Kembalikan memori card–ku, ambil saja uangmu, aku tidak membutuhkannya.” Angela berusaha meraih tangan Devano yang masih tergenggam, berpikir jika memori card itu masih di sana.

Devano mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menyeringai. “Tidak semudah itu.”

“Kumohon, ambil saja uangmu, tolong lepaskan aku, anggap saja kita tidak saling kenal setelah ini.” Tubuh Angela merosot ke lantai, bersimpuh memohon, tidak memedulikan lagi harga dirinya yang sebetulnya memang tidak ada harganya.

Devano tersentak kaget melihat itu. Begitupun dengan Hendrix yang berdiri tidak jauh dari sana.

“Apa yang kamu lakukan?”

Angela menangkupkan kedua tangannya dengan bola mata berkaca-kaca, berharap Devano mau melepaskannya dengan cara seperti ini.

Yah, Angela hanya berusaha mempertahankan keadaan untuk tidak semakin buruk, tidak apa-apa mungkin ia kehilangan rumah itu di banding harus membusuk di penjara atau mungkin jadi bahan gunjingan seluruh media massa tentang perbuatannya terhadap Devano. Tentu saja, kalau sampai video dirinya memeras Devano tersebar di internet, akan dapat dipastikan namanya akan buruk seketika, yang lebih mengerikan dibanding itu. Semua membuka lowongan pekerjaan tidak akan ada yang mau menerimanya. Membayangkan itu semua rasanya Angela tidak sanggup, itu lebih mengerikan daripada harus kehilangan harta peninggalan kedua orang tuanya.

Devano ikut berjongkok, menatap mata Angela tanpa ekspresi. Tangannya yang besar dan kekar mengelus pelan pipi yang terasa lembut itu. “Kenapa menangis, heh? Kemana keberanian seorang Angela tadi?”

Angela semakin bergetar ketakutan mendengar suara rendah itu. “Tolong maafkan aku.”

Devano menggeleng pelan. “Tidak semudah itu, baby … Kau bawa uang 10 milyar untuk kebutuhan mendesakmu itu, jangan lupa kembalikan dalam enam bulan dari hari ini.”

“Ah, kalau kamu mau menangis, sebaiknya di kamar saja, Mommy akan melihatnya nanti.” Devano tersenyum sebentar sebelum pergi meninggalkan Angela yang mematung.

________

Angela baru bisa pulang setelah makan malam. Itu pun atas paksaan Emely.

Mobil mewah yang dikendarai Hendrix membawa Angela dan Devano ke apartemen semula. Semua barang-barang Angela masih di sana.

“Apakah tidak ada kesempatan? Aku benar-benar tidak membutuhkan lagi uang ini,” kata Angela saat mereka sudah sampai di basement.

Devano tersenyum miring, kedua kakinya saling bertumpu, sebelah tangan berada di atas penyangga pintu mobil sambil jari-jari yang mengetuk pelan benda itu. “Rentenir itu malam ini datang, kamu yakin tidak membutuhkannya? Siap tidur di kolong jembatan?” ucap Devano yang membuat Angela sedikit bingung.

“Apa maksudmu?”

Devano menoleh sambil terus mempertahankan senyum miringnya. “Ibu tirimu berbohong, rumah itu sudah menjadi jaminan atas hutangnya, tidak ada kesempatan lagi untuk menjual, tidak lunas malam ini juga, kalian akan langsung terusir dari rumah.”

Angela mematung. Pantas saja sertifikat rumahnya tidak ada dimana-mana, ternyata tersimpan di rentenir itu sendiri. “Pilih saja, siap jadi gelandangan atau menerima bantuan dariku.”

“Apa uang darimu ini bisa disebut bantuan?” kata Angela berdecak kesal.

“Hei, gadis manis, jangan macam-macam denganku kalau tidak mau hidupmu hancur dalam sekejap.” Devano tertawa rendah.

Di kursi kemudi, Hendrix mengernyit heran, sejak kapan sahabat sekaligus Tuannya itu bersikap menyebalkan seperti ini? Benar-benar bukan seorang Devano yang mempunyai sikap tidak pedulian.

“Tidak apa-apa, aku jadi gelandangan saja, ambil saja lagi uangmu.” Angela sudah hendak keluar dari mobil sebelum Devano menarik tangannya cepat.

Angela tersentak, tubuhnya kembali terhempas di sandaran mobil, ia bergetar ketakutan melihat Devano yang melotot. “Ambil uang itu! Kamu sendiri yang memerasku!”

Angela mengangguk tanpa bisa menahan, aura intimidasi dari Devano benar-benar kuat.

“Pulanglah.” Devano melepas cekalannya pada Angela. Angela meriah kedua tas besar di bawah kakinya kemudian keluar dari mobil tanpa sepatah katapun lagi.

“Kamu bukan Devano Christian Alexander yang kukenal,” celetuk Hendrix sambil menatap Angela yang perlahan melangkah menjauh.

Devano terkekeh pelan. “Aku hanya penasaran, sejauh apa gadis itu berani bertindak.”

“Kau menyukainya?”

“Tidak sama sekali,” sahut Devano lantang.

Hendrix sedikit menarik bibirnya tanpa sepengetahuan Devano. Ia tahu, Tuannya itu memiliki perasaan yang tidak biasa terhadap gadis malang itu.

________

Desi dan Laura ternganga menatap dua tas besar yang baru saja dihempaskan oleh Angela.

“Apa ini?” tanya Laura dengan bodohnya.

“Punya tangankan? Buka saja sendiri!” jawab Angela sewot. Kebenciannya terhadap dua wanita beda usia di hadapannya kini semakin bertambah. Angela sungguh tidak bisa melupakan perlakuan mereka seumur hidup.

Desi membuka tas besar itu dengan tidak sabaran. Seketika bola matanya terbelalak seolah hendak menggelinding keluar. “Ba-bagaimana kamu mendapatkan semua uang ini?”

“Jual diri!” Yah, Angela tidak sepenuhnya berbohong, semua uang itu adalah hasil jual dirinya meski tidak sepenuhnya benar juga. Itu hanya niat awalnya. Mungkin lebih tepatnya sekarang Angela bisa mendapatkan uang itu dengan cara menjebak.

Desi terdiam masih menatap kagum semua uang-uang itu. Meski ia tidak menyukai Angela. Akan tetapi Desi tidak yakin jika anak tirinya itu benar-benar melakukannya.

Suara bel rumah yang berbunyi mengalihkan perhatian mereka bertiga.

Desi kembali menutup resleting tas itu lalu bangkit untuk membukakan pintu.

Sesuai ucapan Devano tadi. Sang rentenir kembali datang.

“Bukankah seharusnya kalian datang besok?” ucap Desi gugup.

“Tidak ada waktu, kami mau uang itu sekarang!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status