“Berhentilah menangis! Aku ingin beristirahat!” tegur Ray galak.
Anna langsung terdiam dilihatnya di depan pintu kamar sudah berdiri tuannya, dengan wajah dingin dan rahang yang mengetat.
Matanya bersinar, karena emosi yang tidak disembunyikannya dari Anna. Wajah tampan itu seolah tidak menyiratkan rasa kasihan kepada Anna yang sedang berduka.
“Maaf, Tuan! Saya tidak bermaksud untuk mengusik ketenangan Anda.” Anna menundukkan kepalanya tidak berani menatap netra Ray.
Ray mendengus kasar, ia lalu membalikkan badan menjauh dari kamar Anna. Ray keluar dari rumahnya berjalan menuju kandang kuda miliknya.
Penjaga istal yang sedang membersihkan kandang kuda tersebut. Terlihat terkejut melihat kedatangan Ray.
“Selamat pagi, Tuan Ray!” sapa penjaga kuda itu.
“Tolong siapkan Thunder untukku!” perintah Ray dingin.
“Baik, Tuan! Dalam waktu lima menit kuda Tuan akan sudah siap untuk ditunggangi,” sahut penjaga kuda itu.
Beberapa menit, kemudian Ray sudah berkuda mengelilingi areal tanahnya yang luas dan ditumbuhi banyak pepohonan.
Ray menghentikan kudanya di atas sebuah bukit. Dipandanginya hamparan rumput luas yang ada di hadapannya.
Dahulu, setiap akhir tahun tempat ini akan ramai dikunjungi rekan dan sahabatnya, yang memang ia undang untuk berkuda dan mengadakan pesta. Namun, semenjak pengkhianatan istrinya ia sudah menghapus semua kegiatan tersebut.
Ray memutar arah kudanya, sehingga terlihatlah puncak Menara dari rumahnya. Rumah yang ia bangun dengan penuh cinta, tetapi kini sudah menjadi kenangan.
Ray turun dari atas kudannya, lalu ia bawa berjalan menuruni bukit menuju Sungai kecil di mana kudanya bisa minum.
Ray mengelus surai hitam kudanya dengan rasa sayang. ‘Kau satu-satunya yang masih setia kepadaku!’ ucap Ray pelan.
Setelah dirasa kudanya cukup meminum air. Ray menaiki kudanya dan memacu kembali menuju rumahnya.
Sesampainya di depan istal kuda Ray langsung melompat turun dari kudanya. “Tolong, rawat kuda saya!” Perintah Ray kepada penjaga kudanya.
“Baik, Tuan!” sahut penjaga kuda tersebut.
Ray bejalan dengan langkah kakinya yang panjang menuju rumah. Begitu ia berada dalam rumah dilihatnya Anna sudah rapi dan, sepertinya ia akan bepergian.
“Mau kemana kau?” Tanya Ray dingin.
“Saya mau pergi ke tempat persemayaman, Tuan!” sahut Anna.
“Saya akan mandi dahulu, setelah akan saya antar kamu!” sahut Ray.
Anna dengan cepat menggelengkan kepala, ia tidak mau merepotkan tuannya. Ia ragu dengan sikap tuannya ini, yang bisa berubah setiap waktu.
Dengan kepala tertunduk tidak berani menatap langsung netra Ray. Anna berkata, “Tidak perlu, Tuan! Saya sudah memesan taksi.”
Rahang Ray mengetat, ia tidak suka kata-katanya dibantah oleh Anna. Dengan suara yang terdengar tegas ia berkata, “Batalkan!”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Ray berjalan dengan cepat menaiki tangga. Sesampainya di kamar Ray melepas kemeja yang dipakainya, lalu melemparnya ke dalam keranjang pakaian kotor,
Dinyalakannya pancuran yang ada di kamar mandi, lalu ia berada di bawahnya dan membiarkan air tersebut membasahi badan.
Beberapa menit berselang dimatikannya air pancuran disambarnya handuk bersih. Yang tergantung di gantungan baju.
Keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, yang ia lilitkan di pinggangnya. Rambutnya yang masih basah menetes membasahi dadanya yang bidang dan ditumbuhi rambut tipis.
Selesai berpakaian dan penampilannya sudah rapi. Ray berjalan keluar kamar, lalu menuruni tangga menuju tempat di mana Anna berada.
Mendengar suara sepatu Anna mengangkat kepalanya. Tatapannya langsung terarah ke dada Ray, yang dengan sengaja membuka dua buah kancing kemeja yang dipakainya.
Lidah Anna menjadi kelu dan tenggorokannya terasa kering, karena ia tidak sanggup melihat Ray.
“Kenapa kau melihatku penuh napsu?” Tegur Ray, dengan tatapan tajam.
Sontak saja Anna menjadi tersadar dari kenangannya akan malam, yang pernah dilewatinya bersama dengan Ray.“Maaf, Tuan!” Anna dengan cepat menundukkan kepala.
Ray hanya diam menatap wajah Anna yang bersemu merah, sebelum wanita itu dengan cepat menundukkan kepalanya.
Ray berjalan menuju pintu keluar tanpa melihat ataupun menoleh ke arah Anna. Dan benar saja dapat didengarnya suara langkah Anna yang mengikutinya.
Begitu keduanya berada di luar, sopir pribadi Ray sudah menunggu dengan seragam tugasnya.
Begitu melihat Ray, sopir pribadinya langsung membukakan pintu mobil bagian penumpang.
“Masuklah, Anna!” Perintah Ray.
Anna pun masuk mobil, diikuti oleh Ray yang masuk, melalui pintu di sebelahnya. Keduanya duduk berdampingan dengan Anna yang duduk dengan tubuh kaku, karena takut kepada Ray.
Ray hanya melirik Anna sekilas, kemudian ia melihat ke depan mengabaikan Anna. Ia tidak suka dengan sikap wanita itu, yang seolah begitu ketakutan berada dekat dengannya.
Sesampainya mereka di lokasi sudah ada asisten Ray yang menunggu. Asisten Ray langsung menghampiri mereka dan menyapa keduanya.
“Tuan, sebentar lagi peti jenazah akan diangkat untuk dibawa ke pemakaman,” ucap asisten Ray.
“Bagus!” sahut Ray singkat.
Beberapa jam berlalu, upacara pemakaman Ibu Anna sudah Anna selesai. Namun, Anna masih enggan untuk meninggalkan makam Ibunya. Ia berlutut dengan kepala ia tumpangkan pada batu nisan Ibunya.
‘Selamat jalan, Bu! Semoga Ibu tenang di sana bersama dengan Ayah,’ ucap Anna pelan.
“Ayo kita pulang! Aku tidak mau berlama-lama berada di sini!” ujar Ray dengan dingin.
Anna langsung saja mengangkat kepalanya dan menatap Ray dengan mata besarnya yang berair.
“Tuan boleh pulang, saya masih ingin di sini sendiri!” Anna memalingkan wajahnya kembali melihat makam Ibunya.
Ray melihat ke arah langit yang sudah semakin gelap saja dan suara petir pun terdengar bersahutan.
“Dasar wanita bodoh! Tidakkah kau sadar, kalau hujan akan turun!” Bentak Ray.
Sontak saja Anna menjadi emosi, karena dirinya tidak meminta Ray untuk menunggu dirinya. Ia pun dengan cepat berdiri dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Ray.
Anna mengangkat dagunya, agar bisa menatap tepat netra Ray, karena tingginya yang hanya sepundak pria itu.
“Sudah saya katakan saya ingin sendiri! Saya tidak peduli, kalau harus kehujanan saya hanya ingin berada di sini lebih lama!” Teriak Anna emosi.
Mata Ray langsung melotot dengan tangannya yang terkepal di sisi tubuh bergerak memegang pundak Anna.
Diguncangnya bahu Anna dengan kasar dan dengan suara mendesis, karena marah ia berkata, “Aku tidak mau mengurus seorang pelayan, kalau kau sampai jatuh sakit!”
Tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya, sehingga membuat keduanya menjadi basah kuyub.
Dengan suara menggeram marah Ray langsung membopong Anna menuju mobilnya.
Anna yang tidak terima memukul punggung Ray dengan kepalan punggung tangannya, yang kecil.
“Turunkan saya, Tuan!” Teriak Anna.
Ray bergeming, ia tetap membopong Anna. Dan begitu sampai di depan mobilnya. Ia langsung menghempaskan badan Anna dengan kasar pada jok mobil.
Ray masuk, melalui pintu yang sama dengan Anna, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap Anna dengan geram.
“Lihat! Dikarenakan sifat keras kepalamu kita berdua menjadi basah kuyub!” Tegur Ray galak.
Anna memalingkan wajah, karena emosi membuatnya tidak merasa takut kepada Ray.
“Tuan yang salah, karena tidak mendengar apa yang saya katakan, kalau saya hanya ingin sendirian saja!” sahut Anna galak.
Ray menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kuat-kuat. Ia menatap Anna dengan garang, entah kenapa ia tidak tahu, kalau berada dekat dengan Anna ia selalu saja ingin memarahinya.
Tangan Ray terangkat hendak ia layingkan ke arah Anna. Namun, bukannya merasa takut Anna justru mendongakkan kepalanya dan menatap Ray dengan berani.
“Lakukanah, Tuan! Saya tidak bisa melawan Anda, karena Anda memiliki kuasa dan kekuatan!” Tantang Anna dengan suara yang bergetar.
Ray yang berada di ujung sambungan telepon berseru memanggil nama Istrinya. ‘Anna! Apa yang terjadi? Siapa yang masuk kamarmu? Apa yang dilakukan orang itu?’ Tanya Ray tidak sabar.Sayangnya hanya suara dengung yang berasal dari ponsel Anna saja. Sementara Anna sendiri tidak memberikan jawaban kepada Ray.Makanan yang sudah ada di atas meja Ray terlupakan. Ia langsung menghubungi orang kepercayaannya.‘Halo, apakah kamu sudah sampai di salon tempat Istri saya berada?’ Tanya Ray, begitu sambungan telepon terhubung.‘Saya sedang dalam perjalanan, Tuan! Saya berusaha secepat mungkin untuk sampai di tempat Istri Anda berada,’ sahut orang kepercayaan Ray.‘Cepatlah!’ perintah Ray.Ray menutup sambungan telepon, ia berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan terburu-buru. Sorot mata dan wajahnya yang penuh dengan amarah membuat staf hotel urung menyapanya. Mereka menghindari untuk berbicara dengan bos nya itu, daripada kena marah.Sesampainya di luar sopir Ray sudah siap membukakan pintu. Ia
Anna yang sedari tadi terus-menerus untuk masuk kamar tidak dapat lagi menahan emosinya. “Mengapa tidak kamu dan pria itu, kalian semua memerintahkan kepadaku untuk masuk kamar? Apa kalian pikir saya akan aman di sana? Bagaimana, kalau pria itu menyusup masuk kamar, sementara kalian berdua tidak ada?”Ray menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Ia ingin bersikap tegas kepada Istrinya itu, tetapi ia juga harus jujur, kalau Anna pastinya merasa tidak yakin dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.“Turunlah kamu ke bawah! Dan lakukan apa yang tadi saya perintahkan,” tegas Ray kepada sopirnya.Sopir itu menganggukkan kepala, sambil memberikan sikap hormat kepada Ray. Ia berjalan meninggalkan Ray dan Istrinya yang tetap berada di tempat mereka berdiri.Ray merangkul pundak Anna, lalu membimbingnya untuk masuk kamar mereka. “Sekarang kita nikmati saja sarapan ini selagi masih panas.” ajak Ray ketika dilihatnya, kalau di atas meja sudah tersaji makanan dan minuman.Mau tidak mau An
Anna memejamkan mata, sebelum ia memutuskan untuk mengikuti perintah nakal dari suaminya. “Kamu membuatku bersikap liar, Ray!”Ray memasangkan bathrobe ke badan Anna, lalu memegang pundak Istrinya dengan lembut. “Ini belum liar, seperti apa yang kuinginkan!”Anna berjalan mendahului Ray keluar kamar mandi, sambil berkata, “Saya tidak akan mau memenuhi fantasimu untuk bersikap liar!”Dalam tiga langkah panjang Ray sudah berhasil mensejajari langkah Anna. Ia mengatakan kepada Istrinya itu, kalau dirinya tidak akan memaksa, tetapi Anna sendirilah yang akan melakukannya.Anna memutar bola mata, ia tahu pasti suaminya akan menggunakan pesona maskulinnya. Yang dengan mudah akan membuat Anna bersedia melakukan apa saja untuk menyenangkan suaminya itu.Keduanya, kemudian berganti pakaian bersih. Setelahnya, Anna dan Ray berjalan keluar kamar menuju ruang makan.“Ray! Saya merasa, kalau ada yang mengintip kita.” Anna berhenti berjalan, ia melihat ke arah jendela kaca. Ia tadi merasa melihat ad
Ray menjadi gusar mendengar apa yang dikatakan oleh Anna. Wajahya menjadi merah, dengan tatapan yang menyorot marah. “Kenapa menjadi pengecut, Anna? Kenapa kau suka sekali melarikan diri dari masalah?”Anna memaksakan diri untuk tetap menatap mata Ray, walaupun dalam hati ia merasa ciut melihat tatapan Ray. Kedua tangannya berkeringat dingin, tetapi ia harus menguatkan dirinya. “Saya buk annya ingin melarikan diri dari pesta itu. Hanya saja saya tidak yakin akan bisa menjadi seorang wanita yang anggun.”“Kamu terlalu memikirkan apa yang belum terjadi! Berhentilah untuk berpikir, seperti itu,” tegas Ray.Anna memejamkan mata, ia tampak berusaha untuk menenangkan dirinya, agar tidak berteriak kepada Ray, karena suaminya itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Satu hal yang berbeda dengan dirinya.Ia menjauhkan dirinya dari Ray berdiri di depan cermin besar. Dilihatnya pantulan dirinya, dengan mata yang sembab, karena terlalu banyak menangis. Dilepasnya ikat rambut, sehingga rambutn
Anna mengambil pisau dari atas meja dapur, lalu ia genggam dengan erat. Jantungnya berdebar kencang, saat didengarnya suara langkah kaki dari arah luar rumah. ‘Ya, Tuhan! Siapa yang berada di luar dan tadi ia sudah masuk ke rumah ini? Diriku memang ceroboh, karena lupa mengunci pintu. Bagaimana, kalau itu adalah Derek dan ia mencoba untuk mencelakai diriku lagi?’ batin Anna.Tangan Anna terulur hendak menutup pintu dapur, ketika dilihatnya sebuah bayangan panjang. Lutut Anna terasa lemas, tetapi ia tetap memaksakan kakinya untuk tetap berdiri. Dengan tangan yang bergetar ia tetap memegang pisau berharap dapat dijadikan sebagai senjata untuk membela dirinya.“Anna! Apa yang kau lakukan berdiri di situ dengan pisau yang ada di tanganmu? Kau tidak mencoba untuk bunuh diri, bukan?” Tanya Ray dengan santainya.Mata Anna melotot tidak percaya, begitu melihat siapa yang berdiri di depannya. Pisau yang ia pegang jatuh ke lantai sampai menimbulkan bunyi yang nyaring.Begitu tersadar dari rasa
Anna berjalan cepat mendekati Ray, begitu sudah dekat ia mengangkat kedua tangan hendak memukul dada bidang suaminya. “Kamu tidak punya hati, Ray!” maki Anna.Ray dengan cepat menangkap tangan Anna, lalu menghempaskannya dengan kasar. “Kamu yang sudah membuatku melakukannya!”Usai mengatakan hal itu Ray berjalan, lalu masuk mobilnya. Ia tidak peduli, ketika didengarnya suara tangis Anna.Sopir Ray menatap Anna dengan rasa tidak nyaman, karena melihat wanita itu bertengkar dengan bosnya sampai menangis.“Selamat tinggal, Nyonya Anna! Semoga Anda baik-baik saja.” sopir itu, kemudian memasuki mobil, karena ia mendengar suara tidak sabar dari tuannya.Anna hanya diam mematung tidak menyahut ucapan dari sopir Ray, yang memang tidak menunggu tanggapan darinya. Dipandanginya mobil itu perlahan menjauh sampai menghilang dari pandangan.Dirinya berjalan menuju bangku kayu yang berada di bawah pohon, lalu duduk di sana. Dirapatkannya jaket yang ia pakai, karena udara semakin dingin saja.‘Bagai