JERITAN MALAM PENGANTIN part 1
"Aaaahhh ... tolong, Mas, saakiiitt ...!" Terdengar suara teriakan serta rintihan dari rumah pengantin baru, yang baru saja selesai mengadakan resepsi.Aku dan juga Intan saling berpandangan mata, mendengarkan rintihan itu."Waduh, kok seram ya dengarnya. Gue jadi takut kawin. Eh, maksudnya nikah," ungkap Intan sambil bergidik."Gue merinding dengernya, Tan, apa malam pertama sampai sebegitunya ya?" tanyaku sambil terus mempertajam indra pendengaranku.Suara rintihan itu masih terdengar walau samar terbawa angin malam.Keluarga Pak Cipto, baru saja selesai mengadakan resepsi pernikahan anaknya yang bernama Arif.Mendengar cerita dari Nenek, ternyata satu keluarga Pak Cipto terkesan dingin dan misterius. Mereka jarang berbaur dengan para tetangga.Pernah aku mencoba menyapanya saat berpapasan di jalan. Tapi, sapaanku tidak dihiraukannya.Aku Melly dan juga Intan sepupuku sedang liburan di rumah Nenek, yang berada di Jawa Tengah. Karena aku dan Intan baru saja lulus SMA, jadi kami meminta kepada orang tua kami untuk liburan ke rumah Nenek.Di kampung Nenek masih sangat asri. Di sini masih ada kebun tebu dan juga kebun jagung yang membentang luas. Jika dilihat pada pagi hari dan sore hari, pemandangannya indah. Udaranya sangat sejuk. Tapi jika malam hari datang, suasanya berubah mencekam.Di kampung Nenek ini, setiap rumah di samping kanan kiri dan juga belakang rumah, pasti ada kebun keluarga.Jarak rumah tetangga juga agak berjauhan. Kebetulan hanya rumah Pak Cipto yang lumayan dekat ke rumah Nenek."Menurut lu masuk akal nggak sih, malam pertama pengantin suaranya sampai histeris kaya gitu? Mbak Anggun kaya benar-benar ngerasain kesakitan," ucap Intan gusar."Dan ini malam jum'at kliwon, Mel, gue benar-benar merinding dengar rintihannya," sambung Intan lagi.Aku pun sama seperti Intan, begitu merinding mendengar rintihan kesakitan itu.Seketika di kamar langsung wangi kembang melati dan lampu pun padam."Arrrgghh ...!" teriak kami bersamaan dengan matinya lampu.Nenek dan Kakek yang mendengar jeritan kamipun langsung tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar."Ada apa toh, Nduk, teriak-teriak begitu?" tanya Kakek sambil menyinari kamar kami dengar lampu tempel."Tiba-tiba wangi kembang melati, Kek, terus langsung mati lampu. Kakek sama Nenek mencium bau kembang melati nggak sih?" tanya Intan sambil mendekap tubuhku karena ketakutan."Nggak kok, nggak bau apa-apa. Ya sudah sekarang keluar kamar saja, kita kumpul di ruang depan!" ajak Nenek sambil menggandeng tanganku.Lolongan anjing saling bersahutan, seperti ada sesuatu yang mengerikan terjadi.'Ah, kenapa bisa pas seperti ini sih. Wangi melati, mati lampu, dan sekarang malah ada suara lolongan anjing. Makin mencekam saja suasana di sini,' batinku bergumam."Nek, Kek. Denger suara kuda lumping nggak sih?" tanyaku."Nggak ada jaran kepang lah (kuda lumping), kan tadi Pak Cipto tidak panggil jaran kepang untuk acaranya," jawab Kakek."Lhooo ... serius kalian nggak dengar suara kuda lumping?" tanyaku lagi sambil membuka gorden jendela dan melihat ke arah luar.Sepi, sangat sepi dan gelap. Di jalanan kampung ini masih minim sekali pencahayaannya. Tiba-tiba saja ada sekelebatan putih terbang ke pohon kelapa depan rumah."Astaghfirullahaladzim ...," ucapku beristighfar sambil menepuk-nepuk dadaku."Ada apa, Mel?" tanya Intan sambil menatapku."Ng--nggak papa, kok. Tadi ada kucing lewat aja, gue jadi kaget hehe," elakku berbohong.Jika aku jawab jujur, bisa-bisa Intan makin ketakutan."Jangan berdiri terus di depan jendela! Sini duduk, tutup gordennya!" tegas Kakek."Iya, Kek."Aku langsung menuruti perintah Kakek dan duduk di samping Intan."Aaarrgghhh ...."Lagi-lagi suara teriakan itu begitu jelas kudengar. Kakek menatapku, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Kek, Nek. Itu suara pengantin baru seram banget sih. Kenapa teriak histeris kaya gitu, apa sebegitu mengerikannya malam pertama pengantin?" tanya Intan sambil memegang tengkuk lehernya."Mbak Anggun kaya ngerasain, sakit yang benar-benar sakit. Sampai teriak minta tolong gitu lho," sambung Intan lagi.Kakek dan Nenek diam tak merespon. Kami semua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.'Sebenarnya ada apa dengan keluarga Pak Cipto,' batinku.Bersambung ....JERITAN MALAM PENGANTIN part 2Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....Suara azan Subuh menggema di musala desa.Aku dan Intan segera beranjak dari tempat tidur, untuk menunaikan salat subuh."Lu mau mandi dulu, Mel?" tanya Intan yang masih memejamkan matanya, sambil bersandar di pintu dapur."Nggak, nanti aja. Airnya dingin banget, bisa beku gue mandi gini hari,""Ya udah cuci muka sama gosok gigi aja, abis itu ambil wudu. Nenek udah nungguin tuh buat jama'ah."Lalu aku dan Intan pun mencuci muka serta gosok gigi. Kemudian kami bergantian untuk mengambil wudu."Kakek ke mana, Nek?" tanyaku sambil memakai mukena."Jama'ah di musala sama Paklik Mulyono."Kemudian kamipun menunaikan salat Subuh berjama'ah."Assalamu'alaikum Warahmatullah ....""Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."Setelah salat subuh, kamipun beralih ke dapur untuk membantu Nenek membuat sarapan.Nenek masih memasak menggunakan tungku kayu, padahal kompor gas ada. Tapi Nenek lebih suka memasak menggunakan kayu. Katanya, kala
JERITAN MALAM PENGANTIN part 3Nenek, Kakek juga Paklik Mulyono sudah bersiap-siap akan pergi menghadiri acara khitanan cucu Bude Tiwi di desa sebelah.Mungkin juga mereka akan menginap di sana sampai acara selesai. Bude Tiwi ini masih saudara jauh Kakek, aku dan Intan memilih untuk di rumah saja. "Jangan lupa pintu dan jendela dikunci ya!" titah Nenek sambil memakai hijab."Iya, Nek. Kalau bisa jangan menginap ya?!" pinta Intan."Nggak enak kalau nggak nginep, pasti di sana bantu-bantu juga. Kamu disuruh ikut malah nggak mau.""Sempit, Nek, di sana. Mau tidur di kebun? Mending aku di rumah," jawab Intan.Aku hanya menatap Nenek saja yang dari tadi sibuk merapihkan hijabnya. Kadang aku lucu melihat tingkah Nenek, sudah benar-benar aku pakaikan hijab dengan rapih. Tetapi Nenek malah merubahnya lagi."Mel, kamu juga nggak mau ikut?" tanya Kakek."Kalau aku ikut si Intan sendirian dong di rumah,""Ya sudah kalian baik-baik di rumah. Jangan keluyuran malam-malam. Kalau tidak, ajak teman-
JERITAN MALAM PENGANTIN part 4Sementara Intan jatuh pingsan, kini aku yang diam mematung di hadapan sosok tanpa kepala tersebut.Kenapa aku tidak ikut pingsan saja seperti Intan? Kenapa malah diam di tempat seperti ini. Badanku sama sekali tidak bisa digerakan, seolah terhipnotis dengan sosok tanpa kepala.Batinku menjerit, berkata ingin pergi. Tapi tubuhku tetap mematung. Keringat sebesar biji jagung telah membanjiri tubuhku. Gelegar petir serta hujan yang masih turun menambah keseraman ini. Aku di hadapkan dengan wujud yang sangat mengerikan. Sementara itu, tepat di samping sosok wujud tanpa kepala itu, ada sosok lain yang menatapku tajam. Badannya berbulu, besar, serta mempunyai mata merah dan taring yang panjang.Allah ... napasku tercekat, seperti dicekik oleh seseorang.Sebisa mungkin aku terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an di dalam hati, agar tubuhku tidak terkunci seperti ini.Perlahan, wujud tanpa kepala itu berjalan terseok-seok. Aku baru menyadari, bahwa sepertinya ini tubu
JERITAN MALAM PENGANTIN part 5"Janc*k!" teriak Hanif berlari sambil memegangi handuk yang melingkari pinggangnya."Kalian pada kenapa sih? Kenapa pada lari-larian gitu?" tanya Kak Sarah panik."Demit sial. Tuh, ada di dapur.""Panik sih panik, itu celana dipakai dulu sana," ujar Irma melihat Hanif dengan pandangan aneh."Gue lupa. Ya udah gue pakai di pojokan aja, jangan pada ngintip lu semua!""Rugi gue liatin lu pakai celana, menodai mata gue aja!" ketus Irma sambil menutup wajahnya dengan tangan.Cetlek!Tiba-tiba lampu padam. Di dalam rumah tampak gelap gulita. Ka Sarah langsung mengintip ke jendela, ternyata bukan hanya rumah Nenek yang lampunya mati. Tapi semuanya padam.Teror, lampu mati. Lengkap sudah kini penderitaan kami.Dug ....Dug ....Dug ...."Siapa yang malam-malam dan mati lampu gini main bola sih? Kurang kerjaan banget, udah gitu hujan deras lagi. Gila apa ya, tuh, orang!" maki Hanif."Entah, coba lu tengok, Nif!" ucapku sambil menyinari ruang dengan lampu ponselku
Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan menuju rumah Kak Sarah. Akhirnya kami sampai juga, kami disambut oleh keluarga Kak Sarah. Keluarga Kak Sarah nampak sangat panik. Terutama ayahnya Kak Sarah."Ayo kalian masuk. Langsung mandi dan ganti baju, setelah selesai mandi kumpul di ruang tamu!" tegas ayahnya Kak Sarah.Kami semua masuk ke dalam rumah Kak Sarah dan bergantian untuk mandi.Kepalaku terasa nyeri akibat benturan tadi, sedangkan Intan terlihat masih syok atas kejadian yang menimpa kita semua.Benar-benar malam yang sangat menyeramkan. Ketika kita panik, otak tak mampu berpikir dengan jernih. Segala sesuatu pasti dilakukan terburu-buru dan gegabah."Gue, mau pulang aja ke Jakarta," ucap Intan tiba-tiba dengan terisak."Sabar, Tan. Kalau kita pulang, terus siapa yang bakal mengungkap misteri ini? Bukankah sebelumnya kita juga pernah seperti ini?" jawabku sambil memegangi kepala yang masih nyeri."Dulu kita pulang ke Jakarta. Terus apa? Arwah itu meneror kita juga kan sa
Setelah kejadian semalam. Akhirnya kami semua memutuskan untuk menginap di kediaman Kak Sarah. Ridwan dan Hanif tidur di ruang tamu, dan kami para wanita tidur di kamar Kak Sarah. Kamar Kak Sarah lumayan besar, sehingga bisa menampung kami semua. Untungnya Kak Sarah tidak menggunakan ranjang pada kasurnya. Kasur springbed ia letakan di lantai atau lesehan. Kak Sarah bilang, ia takut jika menggunakan ranjang kasur. Takut di bawahnya ada penampakan. Dan subuh ini kami para wanita salat jama'ah di rumah. Sedangkan para lelaki berjama'ah di musala desa."Mel ... ambil wudhunya barengan, gue takut!""Ya Allah, Tan. Udah subuh kali, setan juga kaga ada subuh-subuh mah," ucapku kesal pada Intan."Bodo amat! Pokoknya bareng. Kalau nggak bareng gue nggak jadi salat!" cetusnya."Hilih, semprul! Mau jadi titisan setan lu nggak salat? Ya udah ayo bareng."Kemudian aku dan Intan berbarengan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Salat pun dipimpin oleh ibunya Kak Sarah."Assalamu'alaikum Warahmatul
Mataku masih menatap ke arah belakang rumah Pak Cipto. Siapakah wanita berbaju merah itu? Jalannya tertatih-tatih, seperti merasakan sakit yang luar biasa. Bukan, bukan Mbak Anggun. Aku tau bagaimana postur tubuh Mbak Anggun.Mbak Anggun tinggi semampai, dan yang aku lihat ini berperawakan kecil mungil. Mungkin tingginya hanya 155 centimeter saja.Teman-temanku yang lainnya pun ikut menengok ke belakang rumah Pak Cipto."Mm--Mba Wuri," ucap Hanif terbata.Hah, Mba Wuri? Bukankah katanya Mbak Wuri sudah meninggal. Aku memang jarang sekali melihat Mba Wuri jika liburan ke desa ini, satu atau dua kali aku pernah bertemu dengan Mba Wuri. Wajahnya cantik dengan kulit putih bersih."Nggak usah bercanda deh. Lu bilang Mbak Wuri udah meninggal kan? Bagaimana bisa orang itu adalah Mbak Wuri," ucap Intan panik."Tapi itu beneran Mbak Wuri, gue hafal banget sama postur tubuhnya." Hanif tetap pada pendiriannya kalau itu Mbak Wuri."Udah pada nggak usah ngaco! Nggak usah dilihatin. Pura-pura ngga
Setelah Nenek masuk ke dalam kamar. Kini di ruang tamu hanya ada aku, Intan dan teman-temanku saja."Masih mau diterusin, Mel?" tanya Intan."Masih, emang lu mau desa ini di teror terus tiap hari. Entar lama-lama nama desa ini bukannya desa Indah Permai lagi. Tapi desa sarang hantu," sahutku."Hiihhh ... serem amat itu omongan." Intan bergidik ngeri."Ya udah, lebih baik kita coba omongin lagi sama Kakek baik-baik. Semoga Kakek izinin, atau kalau nggak kita selidiki bareng-bareng sama Kakek dan Paklik Mulyono," ucap Ridwan memberi ide."Nah, ide yang bagus tuh, Mel," ujar Hanif menimpali dan disetujui oleh teman-teman lainnya.Aku masih diam tak merespon, tapi ide yang dibilang Ridwan boleh juga sih. Kenapa tidak kami selidiki saja bersama Kakek dan Paklik. Setelah nanti ketahuan siapa yang bersekutu dengan iblis, barulah kami akan panggil Ustaz Fiqih."Ya udah nanti gue pikirin dulu ide dari lu, Wan," ujarnya."Nah, gitu dong. Ya udah kita balik dulu ya, lu coba ngomongnya baik-baik