Share

ADA APA DENGAN KELUARGA PAK CIPTO?

JERITAN MALAM PENGANTIN part 2

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....

Suara azan Subuh menggema di musala desa.

Aku dan Intan segera beranjak dari tempat tidur, untuk menunaikan salat subuh.

"Lu mau mandi dulu, Mel?" tanya Intan yang masih memejamkan matanya, sambil bersandar di pintu dapur.

"Nggak, nanti aja. Airnya dingin banget, bisa beku gue mandi gini hari,"

"Ya udah cuci muka sama gosok gigi aja, abis itu ambil wudu. Nenek udah nungguin tuh buat jama'ah."

Lalu aku dan Intan pun mencuci muka serta gosok gigi. Kemudian kami bergantian untuk mengambil wudu.

"Kakek ke mana, Nek?" tanyaku sambil memakai mukena.

"Jama'ah di musala sama Paklik Mulyono."

Kemudian kamipun menunaikan salat Subuh berjama'ah.

"Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."

"Assalamu'alaikum Warahmatullah ...."

Setelah salat subuh, kamipun beralih ke dapur untuk membantu Nenek membuat sarapan.

Nenek masih memasak menggunakan tungku kayu, padahal kompor gas ada. Tapi Nenek lebih suka memasak menggunakan kayu. Katanya, kalau masak pakai kayu rasanya lebih sedap daripada pakai kompor gas.

"Mel ... coba kamu petik daun singkong yang masih muda di kebun samping rumah," perintah Nenek, aku langsung bangkit dan mengambil baskom untuk wadah manaruh daun singkong.

Segar sekali udara di kampung jika pagi hari seperti ini. Aku menghirup dalam-dalam aroma embun yang menempel di dedaunan.

Berbeda dengan di Jakarta. Pagi-pagi saja sudah ada polusi mencemari udara.

Aku pun membuka pintu dapur samping, yang langsung terhubung dengan kebun yang berada di samping, serta dari sini aku juga bisa melihat rumah Pak Cipto.

Keadaan rumahnya sangat gelap, bahkan lampu di teras rumahnya saja mati. Padahal ini masih subuh, masih jam lima kurang sepuluh menit.

'Apakah orang-orang di sini pada menghemat listrik?' batinku berkata

Saat aku beranjak ke kebun untuk mengambil daun singkong. Seperti ada seseorang di belakangku yang membuntuti.

Sreeekk ....

Sreeekk ....

Seperti seseorang yang berjalan dengan menyeret kakinya.

Wangi hanyir darah pun tercium, membuatku mual dan pusing. Tengkuk leherku meremang, untuk menoleh ke belakang saja badanku terasa kaku.

Sreeekk ....

Sreeekkk ....

Perlahan-lahan, langkah kaki itu semakin mendekat ke arahku. Tubuhku semakin menegang. Suasana di kampung jika Subuh pun masih terlihat gelap.

"Tooolooongg ...!"

Seperti ada suara yang membisikan kata tersebut di telingaku dengan lirih.

"Allah ... aku nggak mau melihat yang aneh-aneh lagi," lirihku bergumam sambil memejamkan mata.

"Woii, Mel, lu lama banget petik daun singkong aja setahun." Intan menepuk pundakku, seketika itu juga badanku langsung bisa digerakkan.

Aku mengembuskan napasku dengan kasar. Keringat membanjiri keningku, padahal cuaca di sini begitu dingin tadi. Entah, setelah mendengar suara langkah dan rintihan minta tolong tadi. Tiba-tiba saja suhu tubuhku memanas.

"Kaya abis ngeliat setan aja lu ngos-ngosan gitu," oceh Intan sambil memetik daun singkong muda.

Aku masih mencoba mengatur napas, tak aku hiraukan ucapan Intan yang terus saja mengoceh.

"Hhuuu!"

"Lah, lu kenapa Maliiiihh ...?" ujarnya sambil menempelkan punggung tangannya ke keningku.

"Kalau udah selesai metiknya, ayo balik ke rumah. Badan gue nggak enak."

Intan terlihat bingung dengan sikapku. Berkali-kali ia menanyakan ada apa dengan diriku. Tapi aku masih tetap bungkam tak menjawab pertanyaannya.

Intan terlalu bawel. Tapi juga terlalu penakut, rasa penasarannya begitu besar.

"Kok lama petik daunnya?" tanya Nenek sambil mencuci bumbu-bumbu yang sudah dikupas.

"Iya tadi cari udara segar dulu, Nek di kebun," ujarku berbohong lagi.

Kemudian aku dan Intan membantu Nenek kembali untuk memasak.

****

Pukul 09.10 aku duduk lesehan di teras rumah Nenek sambil minum teh hangat.

"Cucunya Mbah Murti dan Mbah Sugeng sudah besar ya, cantik lagi seperti Mama-mu waktu masih muda dulu," sapa tetangga yang ingin pergi ke kebun jagung.

Aku hanya tersenyum saja menanggapinya.

"Iya sudah besar. Sudah lulus sekolah. Sekarang sedang liburan di sini," jawab Nenek.

Kemudian tetangga tersebut pun pergi ke kebun jagung.

"Nek, aku sama Melly mau lihat-lihat kebun jagung dan tebu ya?"

"Mau ngapain ke sana?" tanya Kakek yang tiba-tiba muncul dari pintu samping dapur.

"Mau cari udara segaaaarr ...," jawab Intan semringah.

Dari teras Nenek aku masih terus melihat ke arah rumah Pak Cipto. Sepi, sunyi, senyap.

Seperti tidak ada manusia di dalamnya. Apakah mereka semua sedang pergi? Tetapi kenapa ada mobil dan motornya terparkir di halaman rumah?

Baru saja diomongin orangnya keluar dari rumah. Pak Cipto keluar dengan menggunakan pakaian serba hitam. Kemudian disusul dengan keluarnya Bu Desi istri Pak Cipto. Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam.

Hanya suami istri itu saja yang keluar, pengantin baru tidak terlihat sejak tadi. Kemudian Pak Cipto dan Bu Desi memasuki mobilnya, lalu pergi tanpa menegur kami yang berada di teras.

"Sombong banget!" Omel Intan sambil melipatkan tangannya di dada.

Sedangkan aku terus memperhatikan laju mobil Pak Cipto.

'Kenapa ada bayangan hitam yang mengikuti mobil itu?' lirihku.

Tak berapa lama keluarlah Mas Arif dari dalam rumahnya. Wajahnya begitu kusut, matanya cekung serta lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara sekali.

'Bukankah seharusnya pengantin baru wajahnya semringah?' lagi-lagi aku terus menebak.

Sadar aku perhatikan buru-buru Mas Arif kembali ke dalam rumahnya. Ia menutup rapat-rapat pintu dan juga gordennya.

"Buseh ... pengantin baru tancap gas terooss!!"

Intan terkikik melihat Mas Arif yang terburu-buru menutup pintunya. Lain denganku yang merasa heran dengan tingkah Mas Arif.

"Jangan ngeledek mulu, Tan, nggak enak kalau sampai orangnya dengar. Apalagi keluarga mereka terkesan misterius gitu," ucapku mencoba menasehati Intan.

"Yaelah, Mel, Mel, lu kaku banget sih nggak bisa diajak bercanda!"

"Bukan nggak bisa diajak bercanda, kita kan emang nggak akrab sama keluarga mereka. Tolong ngerti, jangan lu samain mereka sama lu yang langsung sok kenal sok dekat sama orang!!" ketusku.

Intan langsung terdiam setelah aku marahi. Entah, feelingku tidak bagus dan tidak enak pada keluarga Pak Cipto. Apalagi aku melihat bayangan hitam selalu saja mengikuti mereka.

****

"Melly, Intan. Kalian baru sampai kah di sini?" tanya Irma, Yuni, Hanif dan juga Ridwan berbarengan.

"Sudah lima hari kami di sini. Aku lupa mau kabarin kalian," ujar tertawa kecil.

"Halaaahh, masih muda sudah pikun," sahut Ridwan meledek.

Di kampung Nenek aku memang sudah mempunyai teman di sini. Itu karena ketika liburan aku sering berkunjung ke rumah Nenek dan Kakek.

Mereka semua sangat baik padaku dan juga Intan. Tak jarang kami sering ngebolang bersama.

"Kalau udah kumpul gini jadi kangen deh nyoba main jelangkung lagi," ujar Irma terkekeh.

"Hiihhh ... aku sih wedi, Ir, sampean saja yang main sendiri. Kapok aku diteror hantunya Pakde Susanto!" jawab Yuni sambil mencebikkan bibirnya.

Dulu kami memang pernah bermain jelangkung. Padahal niatnya hanya iseng-iseng saja, tetapi hantu yang datang malah neror beneran. Untungnya ada Ustadz Abdul yang membantu untuk mengusir arwah penasaran tersebut.

"Jangan gila! Emang kamu mau diteror lagi? Kami yang berada di Jakarta saja sampai diteror!" omel Intan pada Irma.

Irma melihat Intan dan juga Yuni yang sedang mengomel malah terkekeh.

"Sudah jangan pada ribut. Malu sama orang yang lihat noh," ucap Ridwan sambil menunjuk ke arah jalan.

"Ngaco, nggak ada orang barang sepotong pun yang lewat!!" ketus Yuni kesal.

"Emang kamu mau melihat orang cuma sepotong?" ledek Hanif.

Yuni menjepret Hanif dengan karet gelang yang ia bawa di kantong celananya. Anak ini ke mana-mana memang selalu bawa karet gelang. Entah apa gunanya.

"Kalian tahu tidak? Semalam suasana di sini mencekam banget, istrinya Mas Arif masa teriak-teriak minta tolong," ucap Intan menceritakan dengan serius.

"Teriak-teriak gimana? Eh, tapi wajar sih, kan pengantin baru hehehe." Hanif terkikih dengan muka menyebalkannya.

Sementara Ridwan, Yuni dan juga Irman begitu serius mendengarkan Intan bercerita.

"Gue serius, Mbak Anggun ngerintih kesakitan gitu. Nggak wajar kalau malam pertama ngerintihnya sampai pesakitan begitu. Ini tuh kaya menderita banget, tadi juga Mas Arif keluar dengan muka kusut kaya panik gitu."

'Ah rupanya Intan memperhatikan juga rawut wajah Mas Arif tadi," batinku.

"Dengerin gue, lu semua mending nggak usah kepo dan cari tahu ada apa dengan keluarga Pak Cipto. Jangan!!" ujar Ridwan memberi peringatan pada kami.

Aku yang mendengarkan larangannya jadi tambah penasaran dengan keluarga Pak Cipto.

Bersambung ....

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Klo penakut ngapain ke sana
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Wah punya indra ke 6 tuh bs liat bayangan hitam gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status